ARSIP BULANAN : August 2015

Review Jurnal Interpretasi Budaya Clifford Geertz:

Agama sebagai Sistem Budaya


 

Biografi
Clifford Geertz dilahirkan di San Francisco, California, Amerika Serikat pada tanggal 23 Agustus 1926. Dia merupakan ahli antropologi budaya yang beberapa kali melakukan penelitian lapangan di Indonesia dan Maroko. Dia menulis esai tentang ilmu-ilmu sosial serta merupakan pelopor pendekatan “interpretif” dalam bidang antropologi.
Geertz, melakukan penelitian untuk di wilayah Jawa selama 2 tahun. Ia pergi bersama isterinya Hildred yang juga seorang peneliti, dia meneliti wilayah Mojokuto tahun 1952 – 1954. Sekembalinya ke Harvard, dia berhasil meraih gelar doctor di bidang antropologi dari Department of Social Relation pada tahun 1956.
Geertz men¬jadi Guru Besar pada Advanced Study di Pricenton, New Jersey tahun 1970 – 2000. Karya-karyanya antara lain ;The Religion of Java (1960), Agricultural Involution (1963), The Social History of an Indonesian Town (1965), Islam Observed (1968), The Interpretation of Cultures (1973), Meaning and Order in Morocean (1980), Local Knowledge (1993), Tahun 2006, Geertz meninggal di Philadelphia dalam usia 80 tahun. Dia meninggalkan banyak sekali karya yang teori-teorinya bisa menjadi rujukan tidak hanya kalangan antropolog, tapi juga ilmuwan humaniora pada umumnya.
Latar Belakang Pemikirannya
Secara umum, pandangan Geertz dipengaruhi oleh tokoh antropologi dan ilmu sosial yaitu Evan Pitchrd dan Talcott Parsons. Pitchard menegaskan bahwa setiap teori harus berasal dari etnografi “particular” yang memberikan tekanan bahwa budya merupakan kata kunci dalam kajian antropologi. Dan menegaskan bahwa objek kajian lapangan tidak hanya meneliti tentang sebuah masayarakat tetap juga meneliti sebuah sistem, adat istiadat, sikap, ide maupun institusi besar masyarakat. Metode westehen lebih menekankan pada peran ide maupun sikap manusia. Menurunya kebudayaan merupakan produk atau hasil tindakan mausia. Untuk bisa memahami sesuatu yang sedang atau yang telah berlangsung dalam masyarakat, maka harus juga memahami makna sesuatu tindakan orang-orang yang terlibat didalamnya. Sebaliknya, parsons megataka bahwa suatu sistem budaya adalah objektif, koleksi symbol, tanda maupun isyarat adalah peistiwa yang akan membentuk sikap dan membimbing tidakan seseorang.
Interpretasi Budaya dan Agama dengan Menggunakan Metode Thick Description
Pada awalnya Geertz berpandangan bahwa sebuah agama akan tergambar dari kondisi masyarakat pemeluknya. Namun pada kenyataannya masyarakat akan menunjukkan agama yang mereka anut. Dalam teornya, Geertz memandang bahwa agama merupakan sebuah fakta budaya dan bukan semata-mata hanya sebagai ekspresi dari sebuah kehidupan sosial maupun ketegangan ekonomi. Sehingganya dalam penelitiannya di Jawa, Geertz melihat bahwa ide ataupun adat istiadat ritual-ritual kebuasaan akan menentukan adanya pengaruh agama dalam setiap celah kehidupan masyarakat jawa.
Dalam metode yang digunakan, Geertz menjelaskan agama kedalam lima kalimat. “Agama sebagai sebuah system budaya berawal dari sebuah kalimat tunggal yang mendefinisikan agama sebagai: 1) Sebuah sistem simbol yang bertujuan; 2) Membangun suasana hati dan motivasi yang kuat, mudah menyebar dan tidak mudah hilang dalam diri seseorang dengan cara; 3) Merumuskan tatanan konsepsi kehidupan yang umum; 4) Melekatkan konsepsi tersebut pada pancaran yang factual; 5) Yang pada akhirnya konsepsi tersebut akan terlihat sebagai suatu realitas yang unik”.
Geertz menjelaskan bahwa setiap simbol-simbol keagamaan mempunyai makna tersendiri sehngga seseorang harus memahami makna yang terdapat pada sibol-simbol agama tersebut. Dan tidak kalah pentignya adalah simbol yang berhubungan dengan struktur masyarakat dan psikologi individu anggotanya. Geertz membuatnya dalam transfigurasi segitiga, yang satu memiliki arti simbol, yangmemiliki arti, yang satunya masyarakat dan yang satunya lagi psikologi individu, yang saling berkaitan dalam sistem budaya agama.

 

RESIKO DARI INDUSTRI TAHU

28 August 2015 16:00:05 Dibaca : 1179

                               RESIKO DARI INDUSTRI TAHU


 

Dengan adanya industri tahu dalam masyarakat, akan meningkatkan pendapatan masyarakat itu sendiri. Sehingganya keberadaan pabrik tahu ditengah-tengah masyarakat akan berdampak pada perekonomian suatu masyarakat. Meskipun berdampak positif bagi masyarakat tidak bisa dipungkiri lagi akan berdampak negatif terutama bagi lingkungan dari limbah itu sendiri.
Pembuatan sebuah pabrik tidak terlepas dari yang namanya limbah hasil industri. Begitu juga dengan limbah tahu. Persoalan limbah tahu di kota Gorontalo khususnya yang berada di kelurahan Tamalate, masih sering diabaikan. Kebanyakan mereka hanya membuang limbah sembarangan dan bahkan dibuang di sungai yang berada di sekitar lokasi tersebut yang justru merusak kondisi sungai. Bahkan mereka beranggapan bahwa tidak ada dampak yang ditimbulkan dari pembuangan limbah disungai malahan membuat ikan menjadi cepat besar. Untuk itu, masalah limbah tahu ini harus diperhatikan oleh pemilik industri tahu karena berada dilingkungan masyarakat,limbah merupakan kontoran atau hasil saringan, namum limbah juga berbahaya bagi masyarakat di sekitar pabrik tahu dengan itu pemilik pabrik tahu harus mengatur pembuangan limbah dan mengurangi pembuatan tahu sehingga limbah dapat di kurangi agar tidak tercemar.
Seperti yang di jelaskan dalam teori masyarakat resiko Beck menjelaskan ”risiko” (risk) sebagai, “kungkinan-kemungkinan kerusakan fisik (termasuk mental dan sosial yang disebabkan oleh proses teknologi dan pemroses-proses lainnya, seperti proses sosial, politik, komunikasi, seksual” Dengan demikian, risiko mempunyai hubungan sangat erat dengan sistem, model, dan proses perubahan di dalam sebuah masyarakat (industrialisasi, modernisasi, pembangunan), yang akan menentukan tingkat risiko yang akan mereka hadapi.
Masyarakat risiko merupakan suatu istilah yang menunjukkan bahwa terjadi perubahan ke kondisi-kondisi baru dalam kehidupan manusia saat ini. Terdapat perbedaan pendapat pada hal tersebut, di satu pihak perubahan dimaksud mengarah dari era modernitas menuju modernitas lanjut, sedangkan ada yang menyebut pula perubahan tersebut terjadi dari era modernitas menuju postmodernitas. Walaupun begitu, keduanya sepakat bahwa perubahan tersebut melahirkan konsekuensi penting. Konsekuensi yang dimaksud ialah tuntutan akan kesadaran bahwa dalam kehidupan manusia kini lebih diwarnai ketidakmenentuan dan risiko yang sewaktu-waktu dapat mengancamnya. Jadi, karakteristik penting dari masyarakat risiko adalah risiko dan cara untuk mengatasi atau usaha meminimalkan menjadi masalah sentral kehidupan manusia.
Giddens membedakan risiko lingkungan pra modern (tradisional) dan modern. Menurutnya risiko kebudayaan tradisional didominasi oleh bahaya dunia fisik, sementara risiko lingkungan modern distrukturasi terutama oleh risiko yang ditimbulkan manusia. Selain itu, Giddens juga berpendapat bahwa “risiko bukan semata-mata tindakan individu. Ada risiko lingkungan yang secara kolektif mempengaruhi massa individu yang besar.