Dinamika Atheisme

10 October 2013 07:05:16 Dibaca : 1528

Oleh: Defri Sofyan (291413006)

dikutip dari latar belakang Makalah saya "Ketuhanan", saat Basic Training HmI

Potensi yang dimiliki manusia memang bersifat dinamis, berkembang dari masa ke masa. Beda dengan hewan yang mengandalkan pengalaman saja dan mempraktekkan kembali secara berulang-ulang dengan kata lain hewan mempunyai pengetahuan yang bersifat stagnan. Ini dikarenakan oleh neocortex yang dimiliki manusia berfungsi mengembangkan informasi-informasi menjadi suatu keahlian yang berkembang dan menjadi strategi jangka panjang dalam mempertahankan hidup.

Dari potensi manusia dalam hal mengembangkan cara berfikirnya menimbulkan hal-hal kontoversial sepanjang sejarah. Atheisme – paham yang menafikkan keberadaan Tuhan— hadir di tengah-tengah kita. Mereka mengakui bahwa keberadaan Tuhan patut dipertanyakan. Atheis secara terang-terangan menolak pendapat Theisme – paham yang percaya akan keberadaan Tuhan.

Manusia pada dasarnya mempunyai insting yang paling dasar dari yang terdasar, yaitu bertuhan. Insting ini sama sekali tidak bisa dipungkiri. Banyak orang yang mengakui atau menganggap mereka tidak bertuhan (atheis), dengan pengakuan seperti ini mereka pada dasarnya sudah mengakui bahwa mereka bertuhan. Pengakuan seperti ini tidak lebih dikarenakan manusia memiliki konsep budaya yang berbeda, contoh: Manusia menyebut Pencipta mereka dengan sebutan “Tuhan”. Tuan, Tuhan (bahasa Inggris: Lord atau lord; bahasa Arab: Rabb adalah sesuatu, seseorang atau zat yang memiliki kekuasaan, kemampuan untuk mengubah, mengatur dan menguasai atas (segala) sesuatu yang lain, yang dipakai dalam konteks keagamaan, budaya, sosial.

Kata "tuan" ditujukan kepada manusia, atau hal-hal lain yang memiliki sifat menguasai, memiliki, atau memelihara. Digunakan pula untuk menyebut seseorang yang memiliki derajat yang lebih tinggi, atau seseorang yang dihormati. Penggunaannya lumrah digunakan bersama-sama dengan disertakan dengan kata lain mengikuti kata "tuan" itu sendiri, dimisalkan pada kata "tuan rumah" atau "tuan tanah" dan lain sebagainya.

Kata ini biasanya digunakan dalam dalam konteks selain keagamaan yang bersifat ketuhanan.

Sedangkan kata "Tuhan" sendiri biasanya mengacu pada Allah, Zat yang Mahasempurna pemilik langit dan bumi yang disembah manusia. Kata ini digunakan untuk menunjuk selain daripada manusia.1

Menurut Ibnu Atsir, Tuhan dan tuan secara bahasa diartikan pemilik, penguasa, pengatur, pembina, pengurus dan pemberi nikmat. Pluralitas ketuhanan dalam sejarah tidak hanya sekadar perbedaan nama dan cara bertuhan, tetapi juga hakekat ketuhanan itu sendiri. Jika hanya sekadar bahasa, misalnya dalam bahasa Indonesia kata rabb dan ilah kita terjemahkan dengan Tuhan, atau dalam bahasa Inggris disebut God, tentu tidak jadi masalah. Tuhan tetap ADA dan EKSIS. Mereka yang mengaku atheis kebanyakan adalah para ilmuwan dan pemikir-pemikir hebat, saking hebatnya mereka menganggap diri mereka tuhan. Ini memang ironis, mereka yang seharusnya menjadi hamba sejati Tuhan malah berbalik 120 derajat.

Di dalam kaedah Filsafat ada 2 garis besar yang harus kita ketahui, yaitu mengkaji secara Eksistensi dan Esensi. Para atheis mereka hanya “menghebatkan” keeksistensian suatu objek kajian. Ketika mengkaji suatu objek, haruslah kita mengkajinya secara rasional, radikal, sistematis, dan universal. Oleh karenanya tidak mengherankan kalau mereka tersesat pada pemikiran yang terbatas dan tidak mendalam. Dengan pemikiran seperti ini semakin hari semakin banyak orang yang tersesat dan menyesatkan tetapi tidak menyadari bahwa mereka sesat dan menyesatkan. Belum lagi pemikiran seperti ini didukung penuh oleh media-media dunia, hadir di berbagai seminar, organisasi-organisasi, institut-institut dan perguruan tinggi, lembaga-lembaga berbasis agama, dan lain-lain.

[1] http://id.wikipedia.org/wiki/Tuhan