Undang Undang Dasar (Resume)

13 January 2015 14:50:23 Dibaca : 2467

RESUME

UNDANG UNDANG DASAR

Disusun Oleh :

Kelompok IV

Julita Nurdin Nawaitu, Yasin Nasila, Rezka Apriyanto, Rahmin Djafar

• Pengantar

Dalam kehidupan sehari-hari kita telah terbiasa menerjemahkan istilah dalam bahasa Inggris constitution menjadi Undang-Undang Dasar (UUD). Sebenarnya ada kesukaran atau kekurangan dengan pemakaian istilah UUD, yakni kita langsung membayangkan suatu naskah tertulis. Padahal istilah constitution bagi bannyak sarjana ilmu politik merupakan sesuatu yang lebih luas, yaitu keseluruhan dari peraturan-peraturan baik secara tertulis maupun tidak secara tertulis.
Terjemahan kata constitution dengan kata UUD memang sesuai dengan kebiasaan orang Belanda dan Jerman, yang dalam percakapan sehariii-haro memkai kata Grandwet (Grond = daasar; wet=undang-undang), dan Grundgesetz (Grund = dasar; wet= undang-undang, yang dua-duanya menunjuk pada naskah tertulis. Dan memang tidak dapat disangkal bahwa dewasa ini hamper semua Negara (kecuali Inggris) memiliki naskha tetulis sebagai UUD-nya.

• Sifat dan fungsi Undang-Undang Dasar

Apakah Undang-undang Dasar itu? Umumnya dapat dikatakan bahwa UUD merupakan suatu perangkat peraturan yang menentukan kekuasaan dan tanggung jawab dari berbagai alat kenegaraan. UUD juga menentukan pusat kekuasaan itu dan memaparkan hubungan hubungan di antara mereka. Jadi, pada pokoknya dasar dari setiap system pemerintahan diatur dalam suatu UUD. UUD dapat dipandang sebagai lembaga atau kumpulana asas yang menetapkan bagaimana kekuasaan dibagi antara beberapa lembaga kenegaraan, misalnya antara badan legislative, badan ekskutif, dan badan yudikatif. UUD menentukan cara-cara bagaimana pusat kekuasaan ini melakukan kerjasama dan menyusaikan diri satu sama lain; UUD merekam hubungan-hubungan kekuasaan dalam sesuatu Negara. Dalam hubungan ini Herman Finer dalam buku Theory and practice of modern Government menamakan UUD sebagai : “ Riwayat suatu hubungan kekuasaan (the autobiography of a power relationship).
Definisi UUD dari sudut pandang filsafat diberikan oleh Richard S. Kay, seorang ahli yang lebih kontemporer. Menurut Kay : “Maksud diadakannya UUD adalah untuk meletakkan aturan-aturan yang pasti yang memengaruhi perilaku manusia dan dengan demikian menjaga agar pemerintah tetap berjalan dengan baik ( The purpose of a constitution is to lay down fixed rules that can effect human conduct and thereby keep government in good order).
Di samping UUD mempunyai status legal yang khusus, ia juga merupakan ungkapan aspirasi , cita-cita, dan standar-standar moral yang dijunjung tinggi oleh suatu bagsa. Banyak UUD juuga mencerminkan dasar-dasar Negara serta ideologinya. Sering unsure ideologinya dan mmmmmoralitas ini dijumpai dalam mukadimah suatu UUD.

• Konstitusionalisme

UUD sebenarnya tidak dapat dilihat lepas dari konsep konstitusionalisme adalah bhwa pemerintah perlu dibatasi kekuasaannya (the limited state), agar penyelanggaraan tidak bersifat sewenang-wenang. Dianggap bahwa suatu UUD adalah jaminan utama untuk melindungi warga dari perlakuan yang semena-mena. Dengan demikian timbul kooooosep the constitutional stat, di mana UUD sebagai institusi yang paling efektif untuk melindungi warganya melalui konsep Rule of Law atau Rechtsstaat. Sementara itu, sarjana ilmu politik Andrew Heywood mengartikan konstitusionalisme dari dua sudut pandang. Dalam arti semmppit, konstitusionalisme adalah penyelenggaraan pemerintahan yang dibatasi secara efektif oleh UUD. Sedangkan dalam arti yang lebih luas, konstitusionalisme merupakan perangkat nilai dan aspirasi politik yang mencerminkan adanya keinginan untuk melindungi kebebasan dengan melakukan pengawasan (checks) internal maupun eksternal terhadap kekuasaan pemerintahan. Jadi, dalam arti ini konstitusionalisme merupakan bagian penting dari demokrasi konstitusional.

• Ciri-ciri Undang-undang Dasar

1. Organisasi Negara, misalnya pembagian kekuasaan antara badan legislative, eksekutif, dan yudikatif serta hubungan di antara ketiganya.

2. Hak-hak asasi manusia (biasanya disebut bill of rights kalau terbentuk naskah sendiri).

3. Prosedur mengubah UUD (amendemen)

4. Adakalanya memuat larangan untuk mengubah sifat tertentu dari UUD. Jika para penyusun UUD ingin menghindari terulangnya kembali hal-hal yang baru saja diatasi. Seperti misalnya munculnya seorang dictator atau kembalinya suatu monarki.

5. Merupakan aturan hokum yang tertinggi yang mengikat semua warga Negara dan lembaga Negara tanpa terkecuali.

• Undang-undang Dasar dan Konvensi

Sudah dikemukakakn bahwa setaip UUD mencerminkan konsep-konsep dan alam pikiran dari masa di mana ia dilahirkan, dan merupakan hasil dari keadaan material dan spritual dari masa ia dibuat. Oleh para penyusun UUD diusahakan agar ketentuan-ketentuan dalam UUD yang dibuat itu tidak lekas using dan dapat mengikuti perkembangan zaman. Maka dari itu, disamping UUD yang terbentuk naskah tertulis, di beberapa Negara telah banyak timbul kebiasaan-kebiasaan ketatanegaraan atau konvensi.

Apakah konvensi itu ? Konvesi adalah aturan perilaku kenegaraan yang didasarkan tidak pada undang-undang melainkan pada kebiasaan-kebiasaan ketatanegaraan dan preseden. Menurut Heywood kebiasaan-kebiasaan tersebut dijunjung tinggi baik oleh rasa kepatutan konstutional (apa yang benar atau correct) ataupun oleh pertimbangan praktis (apa yang kemungkinan dapat dilaksanakan atau workable). Dalam konteks UUD tidak tertulis, konvensi merupakan hal yang signifikan karena ia memberikan arahan tentang prosedur, kekuasaan, dan kewajiban dari institusi-institusi utama Negara. Konvensi-konvensi itu diperlukan untuk melengkapi rangka dasar hukum UUD.

Maka dari itu benarlah apa yang dikemukakan dalam penjelasan UUD 1945 bahwa untuk menyelediki hukum dasar suatu Negara tidaklah cukup hanya menyelediki pasal-pasal dalam UUD saja, akan harus diselidiki pula bagaimana praktiknya dan latar belakang kebatinanya (geistlichen hintergrund) dari UUD itu. Sebab UUD dari Negara mana pun juga tidak akan dimengerti kalau hanya sekedar dibaca naskahnya saja.

• Pergantian Undang-undang Dasar
Adakalanya suatu UUD dibatalkan dan diganti dengan UUD baru. Hal semacam ini terjadi jika dianggap bahwa UUD yang ada tidak lagi mencerminkan konstelasi politik atau tidak lagi memenuhi harapan dan aspirasi rakyat. Di Indonesia kita telah melalui lima tahap perkembangan UUD, yaitu:

1. Tahun 1945 (UUD Republik Indonesia yang de facto hanya berlaku di Jawa, Madura, dan Sumtra).

2. Tahun 1949 (UUD Republik Indonesia Serikat (RIS) yang berlaku diseluruh Indonesia, kecuali Irian Barat).

3. Tahun 1950 (UUD Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang berlaku diseluruh Indonesia, kecuali Irian Barat).

4. Tahun 1959 (UUD Republik Indonesia 1945. UUD ini mulai 1959 berlaku di seluruh Indonesia, termasuk Irian Barat).

5. Tahun 1999 (UUD 1945 dengan amandemen dalam masa reformasi).

• Perubahan Undang-Undang Dasar (Amandemen)

Selain pergantian secara menyeluruh, tidak jarang pula Negara mengadakan perubahan sebagian dari UUD-nya. Perubahan ini dinamakan amandemen. Pada umumnya dianggap bahwa suatu UUD tidak boleh terlalu muda diubah, oleh karena itu akan merendahkan arti simbolis UUD itu sendiri. Di lain pihak hendaknya jangan pula terlalu sukar untuk mengadakan amandemen, supaya mencegah generasi mendatang merasa terlalu terkekang dan karenanya bertindak di luar UUD.

Di Indonesia wewenang untuk mengubah UUD ada tangan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dengan ketentuan bahwa kuorum adalah 2/3 dari anggota MPR, sedangkan usul perbuhan UUD harus diterima oleh 2/3 dari anggota yang hadir (pasal 37). Sejak tahun 1999, tak lama setelah rezim Orde baru berakhir kekuasaanya, UUD 1945 telah 4 kali diamandemen. Banyak perubahan yang sangat substansial dalam ketatanegaraan kita yang berubah akibat dari adanya amandemen tersebut.

• Supremasi Undang-Undang Dasar
UUD berbeda dengan undang-undang biasa. Undang-undang Dasar di bentuk menurut cara yang istimewa. Cara tersebut berlainan dengan cara pembentukan undang-undang biasa. Demikian pula badan yang membuat undang-undang biasa. Karena dibuat secara istimewa, maka UUD dapat dianggap sesuatu yang luhur. Ditinjau dari sudut politis, dpat dikatakan bahwa undang-undang dasar sifatnya lebih sempurna dan lebih tinggi daripada undang-undang biasa.

Dengan adanya gagsan bahwa UUD adalah hukum tertinggi (surpreme law) yang haruss ditaati baik oleh rakyat maupun oleh alat-alat perlengkapan Negara, maka timbullah persoalan siapakah yang akan menjamin bahwa ketentuan UUD benar-benar diselenggarakan menurut jiwa dan kata-kata dari naskah, baik oleh badan ekskutif maupun oleh badan-badan pemerintahan lainnya. Di sini ada beberapa pikiran yang berbeda.

Di Inggris Parlemen-lah yang dianggap sebagai badan yang tertinggi (parliamentary supremacy atau legislative supremacy) dan oleh karena itu hanya parlemenlah yang boleh menafsirkan ketentuan-ketentuan konstitusional dan menjaga agar semua undang-undang dan peraturan sesuai dan tidak bertentangan dengan ketentuan konstitusional. Di Amerika Sedrikat, India, dan Jerman Barat wewenang itu ada di tangan Mahkamah Agung Federal. Di Negara-negara itu berlaku asas judicial supremacy dan Mahkamah Agung dinaggap sebagai pengaman UUD (Guardian of the Constitution).

• Undang-Undang Dasar Tidak Terulis dan Undang-Undang Tertulis
Suatu UUD umumnya tertulis, bila merupakan satu naskah, sedangkan UUD tak tertulis tidak merupakan satu naskah dan banyak dipengaruhi oleh tradisi dan konvensi. Oleh karena itu istilah lain untuk UUD tertulis adalah UUD bernaskah (kadang-kadang dinamakan codified constitution), sedangkan untuk UUD tak tertulis adalah UUD tak bernaskah (non-codified constitution).

Undang-Undang Dasar Tidak Tertulis
Inggris : salah satu UUD yang dewasa ini dianggap tak tertulis ialah UUD inggris. UUD ini disebut tak tertulis karena tidak merupakan satu naskah, tetapi jika diselidiki benar-benar, ternyata bahwa sebagian terbesar UUD Inggris itu terdiri atas berbagai bahan tertulis berupa dokumen-dokumen resmi.

Undang-Undang Dasar Tertulis
Amerika Serikat : UUD Amerika Serikat yang disusun pada tahun 1787 dan diresmikan pada tahun 1789, merupakan naskah yang tertua di duniaa. Hak Asasi warga Negara tercantum dalam suatu naskah tersendiri yang dinamakan Bill of Rights.

• Undang-Undang Dasar yang Fleksibel dan Undang-Undang Dasar yang Kaku
Suatu UUD yang dapat diubah dengan prosedur yang sama dengan prosedur membuat undang-undang doisebut fleksibel, seperti Inggris, Selandia Baru, dan kerajaan Itali sebelum Perang Dunia II. UUD yang hanya dapat diubah dengan prosedur yang berbeda dengan prosedur membuat undang-undang, disebut kaku, seperti Amerika Serikat, Kanada, dan sebagainya.

Undang-Undang Dasar yang Fleksibel
Selandia baru: Di selandia Baru perubahan dari negara federal menjadi vnegara kesatuan dalam tahun 1876, dilakukan dengan undang-undang biasa; begitu pula pembubaran Majelis Tinggi dalam tahun 1951. Dalam konstitusional Selandia Baru yang berupa naskah dikatakan secara eksplisit bahwa Parlemen boleh bertindak dengan leluasa termasuk mengubah UUD.

Undang-Undang Dasar yang Kaku
Jika kita mengadakan perbedaan berdasrkan perumusan tersebut di atas maka ternyata bahwa jauh lebih banyak UUD bersifat kaku daripada undang dasar yang fleksibel. Kebanyakan UUD menentukan perlunya partisipasi dari beberapa badan lain di samping Parlemen untuk mengambil keputusan semacam ini.

• Undang-Undang Dasar Indonesia
Dari sejarah ketatanegaraan Indonesia dapat diketahui bahwa UUD yang berlaku telah beberapa kali berganti, yaitu dari UUD 1945, kemudian diganti UUD RIS 1949, lalu berganti dengan UUD sementara 1950, dan akhirnya kembali ke UUD 1945. UUD yang kini berlaku itu juga telha mengalami beberapa amandemen.

Sekalian demikian, ada baiknya kita pelajari secara khusus beberapa peristiwa yang dialami UUD 1945. Ada tiga krisis yang langsung melibatkan UUD. Pertama, pada bulan november 1945 sistem pemerintahan presidensial merubah menjadi sistem pemerintahan parlementer. Kedua, juli 1959 kita kembali ke UUD 1945. Ketiga, 1999 sampai 2002 terjadi emppat amandemen yang banyak merubah banyak sistem ketatanegaraan kita.

Sehari setelah kemerdekaan indonesia diproklamasikan, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) menetapkan UUD 1945 sebagai UUD Indonesia. Pada waktu itu dinyatakan bahawa penetapan tersebut sementara dengan ketentuan bahwa 6 bulan setelah perang berakhir, presiden akan melaksanakan UUD itu, dan 6 bulan setelah MPR terbentuk, lembaga ini akan menyusun UUD yang baru.

Pada 17 agustus 1945, Soekarno – Hatta, didukung oleh masyarakat luas, meproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia. PPKI secara resmi mendukung proklamasi itu dan pada tanggal 18 1945 mengeluarkan UUD yang telah disusun sebelumnya.
UUD itu menetapkan sistem pemerintahan presidensial dengan kekuasaan yang besar ditangan presiden, meskiopun kekuasaan tertinggi berada ditangan MPR. Selain itu, ada Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Pertimbangan Agung yang berwenang memberi nasehat Mahkamah Agung.

Sifat sementara UUD itu terungkap dengan ketentuan bahwa 6 bulan setelah perang berakhir, preseden akan melaksanakan UUD itu, dan bahwa 6 bulan setelah pembentukannya, MPR akan memulai menyusun sebuah UUD baru. UUD itu memuat sejumlah peraturan peralihan yang sebagai akibat menjadi basis perkembangan negara selanjutnya. Peraturan itu menetapkan bahwa untuk pertama kali seorang Presiden akan ditetapkan pertama kali bahwa Presiden akan dipilih oleh PPKI dan bahwa, karna pembentukan MPR dan DPR ditunda, wewenang kedua badan ini akan dijalankan oleh presiden dengan nasehat Komite Nasional Indonesia Pusat (KMIP). PPKI pada 18 agustus 1945 memilih Soekarno Hatta masing – masing sebagai Presiden dan Wakil Presiden. 22 Agustus 1945, PPKI membentuk sebuah partai negara, partai nasionalis indonesia. Kekuasaan dan kewenangan KNIP, yang anggota-anggotanya dipilih oleh Soekarno-Hatta dari kalangan orang-orang yang menjadi pendorong kuat proklamasi kemerdekaan, ternyata mengalami berbagai perubahan penting pada hari-hari pertama refrusi.

Presiden Soekarno melantik kabinet parlementer yang pertama dengan Sjahrir sebagai Perdana Menteri. Dengan demikian UUD telah diamandemen dari sistem presidensial menjadi parlementer.
Perubahan dari sistem presidensial menjadi sistem parlementer dianggap perlu tidak hanya dalam rangka demokratisasi kehidupan masyarakat akan tetapi juga untuk menangkis kecaman-kecaman dari luar negeri .

Melalui pemindahan ke system parlementer, maka jabatan kepala Negara (presiden) dipisahkan dari jabatan kepala pemerintahan (perdana menteri). Selaindari memperluas basis perjuangan karena mengikut sertakan semua kekuatan antifasis dalam perjuangan kemerdekaan, perubuhan ini juga memungkinkan untuk tetap mempertahankan Presiden Soekarno sebagai “symbol” kepala Negara dan pemersatu rakyat. Hingga saat itu belum tersusun UUD yang baru malah hasil perundingan dengan Belanda (Konferensi Meja bundar) membuat pihak Indonesia terpaksa menerima bentuk Negara Republik Indonesia Serikat (RIS) dengan UUD Republik Indonesia Serikat 1949, yang dibuat oleh kedua belah pihak.

Sama halnya dengan yang dinyatakan di dalam UUD 1945, UUD Sementara 1950 juga mengamanatkan agar segera disusun sebuah UUD yang baru. Konstituante yang dibentuk melalui pemilihan umum Desember 1955 ternyata tidak berhasil menyusun UUD baru. SIdang-sidang yang diselanggarakan oleh lembaga ini tidak pernah berjlaan lancer, malah sebaliknya menjadi ajang perdebatan yang berkepanjangan.

Presiden Soekarno yang ketika ,menyampaikan pidato pembukaan Sidang Konstituante sudah berpesan agar lembaga ini menyelesaikan tugas menuyusun UUD secepat-cepatnya dan tidak mengulur-ulur waktu, akhirnya habis kesabarannya. Maka pada bulan April 1959 Presiden Soekarno menyampaikan anjuran kepada konstituante tetap saja berlangsung a lot dan menemui jalan buntu, maka pada 5 juli 1959 Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit yang isinya menetapkan kembali UUD 1945 sebagai UUD Negara RI. Demikianlah sejak saat itu hukum UUD yang berelaku bagi ketatanegaraan Indonesia adalah UUD 1945. Pertentangan yang paling mencolok dengan UUD 1945 di antaranya adalah adanya produk hukum yang mengangkat Soelarno sebagai presiden seumur hidup setelah Soekarno jatuh dari kekuasaan dan digantikan oleh rezim Orde Baru yang di pimpin Presiden Soeharto, yang di dengung-dengungkan adalah melaksanakan UUD 1945 dan pancasila secara murni dan konsekuen memamng menggetatrkan banyak pihak.

Sejak saat itu perubahan terhadap UUD 1945 (dengan jalan amandemen) telah dilakukan empat kali. Perubahan pertama dilakukan melalui Sidang Umum MPR Oktober 1999. Perubahan kedua melalui Sidang Tahunan MPR Agustus 2000. Perubahan ketiga melaiui Sidang Tahunan MPR Agustus 2002. UUD 1945 yang telah diamandemen inilah yang sekarang menjadi UUD kita.
Apabila diperhatikan dengan cermat, terdapat substansi yang amat penting dan mendasar dari perubahan-perubahan dalam ketatanegaraan kita. Memang ada juga perubahan yang lebih bersifat idealisits yang pada praktiknya sukar untuk dilaksanakan. Berikutnya ini adalah perubahan yang bersigfat mendasar dan nyata dalam system ketatanegaraan kita setelah amandemen.

Pertama, hasil amandemen tahap pertama adalah pasal 7 yang isinya menyebutkan nahwa presiden dan wakil presiden memegang jabatan selama masa 5 tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali untuk jabatan yang sama. Sebelum di amandemen frase “hanya untuk satu kali masa jebatan “ tidak ada. Selanjutnya dalam satu amandemen ketiga disebutkan bahwa presiden dan wakil presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat. Ini berebeda sama sekali dengan sebelumnya di mana presiden dan wakil presiden dipilih oleh MPR.

Kedua, semua anggota MPR diangkat melalui pemilihan umum. Hal ini terlihat dari =I hasil amandemen kedua dan ketiga. Di sana dinyatakan bahwa semua anggota DPR dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang merupakan unsur MPR jika mereka melakukan sidanng gabungan diangkat melalui pemilu. Ketentuan UUD ini berbeda sama sekali dengan sebelumnya, dimana cukup besar jumlah anggota MPR yang diangkat. Untuk pertama kalinya pula melalui (amandemen ketiga) dinyatakan dalam UUD bahwa pemilu dilaksanakan oleh sebuah Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Keberadaan partai politik juga menjadi nyata disebutkan di dalam UUD. Sebelum amandemen UUD 1945 tidak menyebut-nyebut partai politik.

Ketiga, kekuasaan DPR dalam pembuatan undang-undang semakin besar. Dari amandemen tahap pertama, dinyatakan bahwa DPR memegang kekuasaan membuat Undang-Undang; setiap Rancangan Undang-Undang dibahas DPR bersama presiden untuk mendapat persetujuan bersama.Selain itu anggota DPR berhak mengajukan usul Rancangan Undang-Undang. Kemudian pada amandemen kedua diperkuat dengan tambahan satu ayat pada pasal 20, yaitu ayat (5), yang menyatakan bahwa dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama (oleh DPR dan pemerintah) tidak disahkan oleh presiden dalam waktu 30 hari semenjak disetujui, Rancangan Undang-Undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib di undangkan. Ini berbeda dengan sebelum amandeme, dimana Rancangan Undang-Undang yang sudah disetujui bersama tidak disahkan oleh presiden dalam waktu 30 hari sejak disetujui, maka yang berlaku adalah undang-undang yang lama.

Keempat, di bidang yudikatif juga ada kemajuan yang bersifat memndasar, yaitu adanya Mahkamah Konstitusi yang berhak melakukan uji undang-undang terhadap UUD pada tingkat pertama dan terakhir yang keputusannya bersifat final. Selain itu Mahkamah Konstitusi juga berhak memutus sengketa kewenangan lembaga merupakan hasil dari amandemen ketiga. Selain yang disebutkan di atas masih banyak hasil-hasil lain.