TEORI HIPERSEMIOTIKA

23 October 2014 11:24:40 Dibaca : 4459

Ringkasan Materi Hipersemiotika

Semiotika (semiotics) adalah salah satu dari ilmu yang oleh beberapa ahli/pemikir dikaitkan dengan kedustaan, kebohongan, dan kepalsuan, sebuah teori dusta. Jadi, ada asumsi terhadap teori dusta ini serta beberapa teori lainnya yang sejenis, yang dijadikan sebagai titik berangkat dari sebuah kecenderungan semiotika, yang kemudian disebut juga sebagai hipersemiotika (hyper-semiotics).
Umberto Eco yang mengatakan bahwa semiotika “…pada prinsipnya adalah sebuah disiplin yang mempelajari segala sesuatu yang dapat digunakan untuk berdusta (lie).” Definisi Eco cukup mencengangkan banyak orang, secara eksplisit menjelaskan betapa sentralnya konsep dusta di dalam wacana semiotika, sehingga dusta tampaknya menjadi prinsip utama semiotika itu sendiri. Dalam semiotika, bila segala sesuatu yang dalam terminologi semiotika disebut sebagai tanda (sign), semata alat untuk berdusta, maka setiap tanda akan selalu mengandung muatan dusta; setiap makna (meaning) adalah dusta; setiap pengguna tanda adalah para pendusta; setiap proses pertandaan (signification) adalah kedustaan. Dengan ini Umberto Eco ingin menjelaskan bahwa bila sesuatu tidak dapat digunakan untuk mengungkapkan dusta, maka sebaliknya ia tidak dapat pula digunakan untuk mengungkapkan kebenaran (truth): ia pada kenyataannya tidak dapat digunakan untuk mengungkapkan apa-apa. Eco berpikir bahwa definisi sebagai sebuah teori kedustaan sudah sepantasnya diterima sebagai program komprehensif untuk semiotika umum.
Hipersemiotika dapat diartikan sebagai teori kedustaan. Awalan hipersemiotika yang bermakna melampaui memperlihatkan bahwa hipersemiotika bukan sekedar teori kedustaan, akan tetapi teori yang berkaitan dengan relasi-relasi lainnya yang lebih kompleks antara tanda, makna, dan realitas, khususnya relasi simulasi. Hipersemiotika yang berarti melampaui batas semiotika merupakan sebuah kecenderungan yang berkembang pada beberapa pemikir, khususnya pemikir semiotika yang berupaya melampaui batas oposisi biner (prinsip pertentangan di antara dua istilah berseberangan dalam strukturalisme, yang satu dianggap lebih superior dari yang lainnya: maskulin/feminin. Barat/Timur, struktur/perkembangan, fisika/meta-fisika, tanda/realitas dan sebagainya. Prinsip ini sangat sentral dalam pemikiran struktural mengenai semiotika, antara lain: perubahan dan transformasi, sifat imanensi, perbedaan, permainan bahasa, simulai, dan diskontinuitas. Dengan demikian, dunia hipersemiotika tidak dapat dipisahkan dari dunia hiperealitas yang dilukiskan oleh Baudrillard, sebuah dunia realitas yang dalam konstruksinya tidak bisa dilepaskan dari produksi dan permainan benas tanda-tanda yang melampaui (hyper-sign), sebuah tanda yang melampaui prinsip, definisi, struktur, dan fungsinya sendiri. Prinsipnya hipersemiotika sama dengan poststrukturalisme, persamaan konsep kunci yang digunakan di dalamnya, namun berbeda pada penekanannya. Karena itu, dunia hiperealitas dapat dipandang sebagai dunia perekayasaan (dalam pengertian distorsi) realitas lewat hyper-sign, sehingga tanda-tanda tersebut kehilangan kontak dengan realitas yang direpresentasikannya.
Hiperealitas menciptakan satu kondisi yang di dalamnya kepalsuan berbaur dengan keaslian; masa lalu berbaur masa kini; fakta bersimpang siur dengan rekayasa; tanda melebur dengan realitas; dusta bersenyawa dengan kebenaran. Kategori-kategori kebenaran, kepalsuan, keaslian, isu, realitas seakan-akan tidak berlaku lagi di dalam dunia seperti itu sehingga pada akhirnya membentuk kesadaran diri (self-consciousness) yang sesungguhnya adalah palsu. Budaya konsumerisme terutama muncul setelah masa industrialisasi ketika barang-barang mulai diproduksi secara massal sehingga membutuhkan konsumen lebih luas. Media dalam hal ini menempati posisi strategis sekaligus menentukan; yaitu sebagai medium yang menjembatani produsen dengan masyarakat sebagai calon konsumen. Masalah ini dikaji secara reflektif-akademik oleh seorang cendikiawan Prancis terkemuka,
Jean Baudrillard. Secara umum, menurutnya, media berperan sebagai agen yang menyebar imaji-imaji kepada khalayak luas. Keputusan setiap orang untuk membeli atau tidak, benar-benar dipengaruhi oleh kekuatan imaji tersebut. Jadi motivasi untuk membeli tidak lagi berangkat dari dalam diri seseorang berdasarkan kebutuhannya yang riil, namun lebih karena adanya otoritas lain di luar dirinya yang “memaksa” untuk membeli. Hasrat belanja masyarakat merupakan hasil konstruksi yang disengaja. Jauh hari sebelum hari-hari besar itu, media terutama televisi telah memoles-moles dirinya untuk bersiap bergumul ke dalam kancah persaingan merebut hati para pemirsa. Berbagai program, dari mulai sinetron, kuis, sandiwara komedi, sampai musik, disediakan sebagai persembahan spesial untuk menyambut hari spesial. Semakin cantik acara yang disajikan akan semakin mengundang banyak penonton. Selanjutnya, rating-pun tinggi sehingga merangsang kalangan produsen untuk memasang iklan. Iklan merupakan proses persuasi yang sangat efektif dalam memengaruhi keputusan masyarakat dalam mengonsumsi.

• Konsep Tanda dengan Hipersemiotika
Sebuah tanda dapat dikatakan melampaui, ketika ia keluar dari batas prinsip, sifat,alam, dan fungsi tanda yang normal sebagai alat komunikasi dan penyampaian informasi. Tanda dapat juga melampaui dan menjadi hyper-signs ketika ia telah kehilangan kontak dengan realitas yang dipresentasikannya; dengan perkataan lain, ketika ia telah kehilangan fungsi informasinya. Diantara tipologi tanda tersebut adalah sebagai berikut:
1. Tanda sebernarnya (proper sign)
Tanda sebenarnya adalah tanda yang mempunyai relative simetris dengan konsep atau realitas yang dipresentasikannya. Misalnya penanda bunga (yang merujuk pada identitas bunga yang ada) yang digunakan untuk menyatakan konsep cinta atau sayang berdasarkan konvensisosial yang ada. Tanda merujuk pada realitas yang asli, dan ia menampilkan makna yang sesuai dengan keadaan yang sebenarnya.
2. Tanda Palsu (pseudo sign)
Tanda palsu adalah tanda yang bersifat tidak tulen, tiruan, berpretensi, gadungan, yang di dalamnya berlangsung semacam reduksi realitas, lewat reduksi petanda dan penanda. Penanda berpretensi seakan-akan ia adalah asli (sebenarnya), padahal palsu (bukan sebenarnya).
3. Tanda Dusta (false sign)
Tanda dusta adalah tanda yang menggunakan penanda yang salah (false signifier). Sebagaimana yang dikatakan oleh Arthur Asa Berger “bila tanda dapat digunakan untuk menampilkan kebenaran (truth), maka tanda juga dapat digunakan untuk berdusta atau menipu (lie).
4. Tanda Daur Ulang (Recyled Signs)
Tanda daur ulang adalah tanda yang digunakan untuk menjelaskan peristiwa-peristiwa masa lalu (dengan konteks ruang, waktu, dan tempatnya yang khas), kini digunakan untuk menjelaskan peristiwa masa kini (yang sesungguhnya berbeda tidak ada sama sekali).
5. Tanda Artifisial (Sign Artifisial)
Tanda artifisial adalalah tanda yang direkayasa lewat teknologi citraan mutkhir (teknologi digital, computer graphic, simulasi), yang tidak mempunyai referensinya pada realitas, biasa disebut juga tanda-tanda yang tidak alamiah atau buatan. Tanda-tanda seperti ini sangat menggantungkan dirinya pada kemampuan teknologi mutkhir dalam menciptakan citraan (imagology) yang sama sekali tidak mengacu pada realita.
6. Tanda Ekstrim (Superlative Sign)
Tanda ekstrim adalah tanda yang ditampilkan dalam sebuah novel pertandaan yang ekstrim (hyper-signnification), khususnya lewat efek-efek modulasi pertandaan dan makna yang jauh lebih besar ketimbang apa yang di dalam realitas sendiri, semacam intensifikasi realitas, peningkatan efek, ekstrimitas makna.

Piliang, Yasraf Amir. Hipersemiotika. 2003. Jalasutra. Yogyakarta
Sumber: http://gradixia.blogspot.com/2011/03/konsumtifisme_22.html

Kategori

  • Masih Kosong

Blogroll

  • Masih Kosong