lucunya negeri ini

21 February 2013 16:37:25 Dibaca : 1126

bah!
kopi yang baru saja hendak saya sruput dari cangkir yang sudah melekat di bibir saya yang rada memble terhenti sejenak; hanya karena mendengar kalimat dan atau pertanyaan spontan yang terlontar dari mulut seorang anak laki-laki berusia dikisaran lima tahun pada sebuah warteg di kawasan gorontalo utara.
pertanyaan anak kecil yang tiba-tiba saja menyela diskusi ringan saya dengan salah seorang sahabat dengan serta merta menimbulkan rasa penasaran saya dan sahabat saya. dan dengan rasa ingin tahu, iseng-iseng saya kembali bertanya kepada anak kecil itu.

“nak, selain pak presiden siapa lagi yang nakal?”
dengan lidah cedalnya anak kecil itu berceloteh: “yang nakal juga adalah pengawal-pengawalnya plesiden dan menteli-mentelinya”
dengan rasa yang semakin penasaran. anak kecil itu kembali saya cecar dengan pertanyaan yang menggoda. tujuannya, agar dia lebih bebas berceloteh.
“oh ya? terus siapa lagi yang nakal nak?”
sambil memainkan pesawat mainannya anak kecil itu kembali berceloteh dengan semangatnya; “lllluuungggg llluuuungggg…..itu juga om anggota-anggota de pe el, julu bicalanya plesiden….telus hakim-hakim yang suka main hakim-hakiman dan jaksa yang suka main jaksa-jaksaan”
keisengan saya semakin menjadi-jadi. kembali saya cecar anak kecil itu dengan pertanyaan iseng saya; “lho, khoq jaksa dan hakim diikutkan juga? khan mereka baik-baik, hayooooo!!!”
sekilas anak kecil itu menyipitkan mata kanak-kanaknya. sambil bertolak pinggang anak kecil itu sembari mencibirkan bibirnya kembali berceloteh; “bwehhhhh, itu khan kata om. tapi kata tian tidak weeekkk!” (nama anak kecil itu tian)
“lhoooo, iya khan?”
“yeeee, om salah besalllllll…..hakim dan jaksa itu benal-benal nakal. kalena menghukum maling jemulan lima tahun dan tukang kolupsi di hukum cuma satu tahun….weekkkk!”
bah!
saya semakin geli dan gelisah. dalam hati saya merenung sejenak. dan dengan rasa penasaran yang semakin iseng. anak kecil itu kembali saya usik dengan pertanyaan yang ingin menggoda intuisi kekanak-kanakannya.
“ok, sekarang om tanya ya?! tapi tian harus jawab dengan jujur”
“ya, tian jamin selatus pelsen om”
ck ck ck, saya membathin. anak ini luar biasa juga rupanya. di balik rasa keingin tahuan saya, dan dengan semangat seorang fakir yang hina dina. anak itu saya cecar lagi dengan pertanyaan.
“pak polisi dan tentara nakal juga gak?”
tiba-tiba saja anak kecil itu memperlihatlkan mimik serius pada wajahnya: “yeeeee, kalo polisi dan tentala jalang ada yang nakal om!”
nyaris saja saya tersedak dengan singkong goreng yang baru separuhnya masuk ke mulut saya ketika mendengar jawaban anak kecil itu. langsung saja saya cecar lagi dengan pertanyaan lain yang saya maksudkan tetap ingin menggoda intuisi kekanak-kanakannya
“alasannya apa hayooooo!”
sambil berteriak dengan kerasnya: “kalena pak polisi dan tentala tidak pelnah pake mobil hitaaaam!!!”
“huahahahahahha” maka, pecahlah tawa saya dan seisi warteg itu yang kebetulan nguping atau sekadar mendengar sekilas obrolan saya dengan anak kecil itu.
“weekkkkk, khoq om teltawa…..tian selius ommmmm” anak kecil itu langsung protes keras terhadap tawa kami
hm, saya tidak ingin kehilangan momen. sayapun langsung menetralisir suasana hati anak kecil itu: “pssstttt, om juga serius lho?!……sekarang om mau tanya serius sama tian. apa alasannya tian bilang pak presiden nakal?hayooooo jangan salah jawab lho?!”
anak kecil itu spontan menjawab: “kalena mobil tuan plesiden walnanya hitam”
(hladhalaaahhh!)
“lah, terus pengawal presiden, menteri, anggota de pe er, juru bicaranya tuan presiden, hakim dan jaksanya tuan presiden nakal juga ya?! tian serius khan?”
“ya, pastilah ommmmm, meleka itu adalah biang kenakalan….” pungkas anak kecil itu dengan semangat kekanak-kanakannya
“alasannya?”
“ya, kalena mobilnya juga walna hitam om…..hitam khan altinya nakal dan jahaaaaat!”
“lah, tian taunya darimana kalau mobil hitam itu miliknya orang nakal dan jahat?” saya kembali bertanya dengan sedikit geli.
sembari mengejap-ngejapkan matanya dan dengan mimik lucu anak kecil itu menjawab pertanyaan saya: “yeeee,…..om kuno ya? om tidak pelnah nonton tipi ya? om pasti tidak punya tele[pisi di lumah, soli dipelsoli ommmm….tian tau dali telepisiiiiii” anak kecil itupun langsung lari kepelukan bapaknya sang pemilik warteg.
“eits, jangan lari dulu dong. om mau tanya lagi. cita-citanya tian kalau sudah besar mau jadi apa?” dalam hati saya berharap mendapatkan jawaban sebagaimana jawaban anak-anak lainnya. hal yang membuat saya kembali merasa sangat surprise ketika anak kecil itu menjawab dari balik badan bapaknya.
“tian kalau sudah besal nantiiiii……ingin menjadi lebih nakal lagi dali pak plesiden!”
bah! hah! lah! dah! tah! yah!
(”mari ngopi dua pertiga babak, srupuuuutttt!)
(catatan kesaksian);
dialog-dialog yang saya tuliskan adalah yang sebenar-benarnya terjadi di sebuah warteg kawasan jakarta timur kemarin sore. diketerbatasan penilaian saya sebagai seorang fakir, ada hal yang saya pahami bahwasanya anak sekecil itu sudah bisa membaca situasi dan perilaku pemimpin bangsa ini dengan cara dan sudut pandang ala anak-anak.
sementara, arus deras televisinisasi diberbagai lini kehidupan bangsa sedikit banyaknya telah ikut mempengaruhi alam berfikir manusia indonesia tanpa pandang bulu. pun, pada berbagai media visual tersebut nyaris tidak ada saringan sama sekali. baik itu dalam penyajian informasi maupun hanya sekadar acara hiburan belaka
belajar dari ‘kasus’ tian. adalah hal yang sangat tidak terpungkiri. berbagai informasi yang didapatkan oleh tian baik itu dari berbagai media visual maupun dari cerita-cerita yang di dengarnya dari orang-orang disekitarnya, adalah contoh yang paling nyata. walaupun akhirnya penjabaran anak kecil seusia tian masih sangat terbatas terhadap hal-hal yang berhubungan dengan pamer kemewahan oleh berbagai elemen bangsa.
pada siatuasi bangsa yang semakin berada ditepian jurang jaman ini. apakah masih dianggap tidak penting lagi saringan penyajian berita dan hiburan di televisi indonesia? lantas, jika ada dampak buruk (side effect bin multi effect) terhadap anak-anak seusia tian. apakah masih dianggap bahwa samgat tidak penting lagi ada sebuah saringan yang “rapat dan ketat”‘ dari berbagai media televisi?
jika dianggap tidak perlu dan tidak genting. maka, kita mungkin tidak perlu merasa aneh, heran dan takjub ketika dalam kenyataannya bahwa anak-anak kita di rumah ternyata lebih padat menerima informasi yang mereka terima dibandingkan dengan orang tuanya.
kita semua sangat tahu bahwa dikekinian berbagai berita, gosip murahan selebriti yang selebor, anggota de pe er yang semakin tak punya malu, menteri-menteri yang tak tahu tugas/kewajiban dan tanggungjawabnya, aparat penegak hukum yang tidak mampu menegakkan hukum dengan mata yang dibutakan serta masih bebas berkeliarannya pesakitan diberbagai mal-mal baik di dalam maupun di luar negeri. telah menjadi santapan rohani anak-anak kita di rumah. sementara para orang tua semakin sibuk dengan dunianya. bahkan jika boleh saya katakan bahwa dikekinian para orang tua telah terjangkit sebuah penyakit yang bernama “syndrome pseudo-autism”
kenapa demikian?
ya karena mereka. anak-anak kita yang berada di rumah lebih memiliki banyak waktu luang untuk menikmati sajian berbagai media televisi yang terasa semakin tersesat.
dan, akhirnya sayapun harus mengaminkan ketika dalam sebuah percakapan di warteg itu seorang ibu paruh baya berkata-kata dengan cemas; “ampun deh, saiki jamane wis wolak walik. anak sekecil itu ternyata lebih tahu daripada kita-kita yang sudah bau tanah ini alias usianya telah menjelang maghrib”
atau, apakah kita mesti merasa malu juga ketika sebuah kalimat yang ‘memerihkan’ dan ‘memerahkan’ telinga diperdengarkan ke telinga dewasa kita hanya dengan satu baris kalimat yang mungkin saja njyinyir.
“bah, anak kecil aja tahu!”
bah!
bahhh!
bahhhhhhh!
“sesungguhnya kita telah menjadi penyaksi buta, bisu dan tuli pada perjalanan bangsa yang semakin berada ditepian jurang sebuah jaman”