Cermin yang seharusnya

18 September 2012 12:38:56 Dibaca : 2078 Kategori : Individu Muslim

Manusia adalah makhluk yang memiliki kecenderungan untuk bercermin kepada orang lain; meniru tingkah laku dan gerak-geriknya, mengikuti gaya hidupnya; mulai dari cara berpakaian, cara berdandan, potongan rambut, model rumah, kendaraan, bahkan kadang sampai cara tersenyum dan berbicaranya mengikuti gaya orang lain, yang dia anggap lebih baik dan lebih sempurna dari dirinya.

Perkataan orang lain yang menjadi cerminnya adalah mutiara petuah dan permata nasihat bagi kehidupannya. Informasi perkembangan cerminnya senantiasa di up date, tidak pernah ketinggalan. Bahkan foto-foto dan gambar-gambar sang idola terpampang di dinding rumahnya atau di dinding FB dan BBnya.

Dia akan marah bila ada yang bersuara sumbang tentang cerminnya, bahkan dia siap pasang badan bagi siapa saja yang menebarkan debu kotor padanya. Karena bagi dia, hanya orang itulah yang pantas untuk diikuti, seorang panutan dan suri tauladan..

Namun sayangnya banyak yang bercermin pada cermin yang pudar bahkan berantakan, sehingga hidupnya menjadi berantakan walaupun godaan iblis dan bisikan nafsu menghiasi keberantakan dirinya.

Ia merasa senang dan gembira dengan gaya hidupnya, padahal ia jauh dari standarisasi kebahagian yang hakiki.

Dan cermin dalam kehidupan memiliki fungsi dan peran yang sangat penting dalam mengarahkan alur hidup seorang hamba. Iblis dan bala tentaranya sangat mengetahui hal ini, sehingga mereka berusaha untuk menciptakan cermin-cermin pudar dan berantakan namun dihiasi beribu berlian yang gemerlapan, sehingga manusia silau dan berebut untuk bercermin kepadanya.

Sebagai contoh adalah fenomena acara di televisi yang menceritakan kehidupan para artis atau yang mirip dengannya, di mana acara ini mengandung propaganda agar para pemirsa, dari mulai anak-anak, para remaja, muda-mudi bahkan yang tua pun untuk bercermin kepada mereka. Sehingga yang buruk dan dimurkai Ilahi bila datangnya dari para artis idola, akan dianggap biasa bahkan diikuti tanpa rasa malu, karena buat mereka itu indah dan sempurna.

Islam adalah agama yang sesuai dengan fitrah manusia, Allah Jalla Jalaluhu mengetahui dengan pasti apa yang dibutuhan makhluk ciptaannya, manusia butuh cermin, dan dia memang suka bercermin, maka agar manusia ini tidak bercermin kepada cermin yang pudar nun pecah dan berantakan, Allah Jalla Jalaluhu menjelaskan dalam kalamnya kepada siapa manusia harus bercermin, karena Allah telah menciptakan cermin-cermin indah dan elok, di mana Allah Jalla Jalaluhu setelah menceritakan kisah-kisah para nabi sebelum nabi kita Muhammad shallallahu ‘alahi wa sallam, Allah berfirman kepada nabi Nya:

 

“Mereka Itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, maka ikutilah petunjuk mereka (QS. Al An’am:90).

Subhanallah, merekalah yang pantas ditiru tingkah laku dan dicontoh gaya hidup, mereka adalah orang bahagia calon penghuni surga.

Dan kisah-kisah indah lagi penuh makna yang disebutkan di dalam Alquran dan sunah bukanlah hanya sekedar untuk wawasan dan wacana belaka, namun lewat kisah-kisah itu, umat harus belajar, mengikuti petunjuk-petunjuk mereka, dan menjadikan mereka cermin dalam mengarungi samudera kehidupan.

Nabi Muhammad shallallahu ‘alahi wa sallam adalah sosok cermin yang sangat elok, yang tak pudar dimakan zaman, bahkan Allah menekankan tentang hal ini di dalam Alquran

 

Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al Ahzab: 21).

Para sahabat telah benar-benar bercermin kepada Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam, kemudian para tabi’in tidak pernah meninggalkan cermin yang tak pernah pudar itu, sehingga mereka pun menjadi cermin-cermin elok bagi murid-murid mereka yang berlanjut sampai hari ini.

Menyelami lautan kehidupan mereka akan menambah gereget keimanan, memompa semangat untuk beramal baik, apalagi di masa kini, masa krisis figur sehingga sulit mencari cermin yang elok, Abu Hanifah berkata:

 

“Kisah para ulama lebih aku sukai daripada banyak pelajaran fiqih, lantaran dalam kisah itu terdapat gambaran akhlaq dan adab mereka.” (Tartib al-Madarik, Qadhi ‘Iyadh 1:23).

Salah satu cermin yang elok dan tak pudar adalah kehidupan salah seorang tabi’ut tabi’in Abdullah bin al-Mubarak al-Hanzhali Maulahum al-Marwazi, yang dilahirkan pada tahun 118 H. Ayah ia berdarah Turki, dahulunya adalah seorang hamba sahaya, sedangkan ibunda ia berasal dari Khawarizm di Persia.

Tengoklah bagaimana putra mantan budak ini kelak menjadi seorang ulama hebat dan konglomerat yang dermawan. Imam Dzahabi menyebutkan tentangnya:

 

Dialah Imam, Syaikhul Islam, yang paling alim di masanya, pimpinannya orang-orang yang bertaqwa di waktunya, al-Hafidz al-Ghazi (seorang pejuang) salah satu tokoh.

Ibnul Mubarak, telah mulai menuntut ilmu pada waktu yang mungkin agak terlambat, Imam adz-Dzahabi menyebutkan dalam ensiklopedinya Siyar A’lam an-Nubala’, bahwa ia baru memulai menimba ilmu tatkala usia ia memasuki dua puluh tahun, namun hal ini tidak membuat ia tertinggal oleh teman-temannya yang telah menimba ilmu terlebih dahulu.

Perlu digarisbawahi, bahwa tiada kata terlambat untuk menuntut ilmu, karena ilmu tetap bersahaja sampai kapanpun, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

 

“Dunia ini terlaknat dan dilaknat segala sesuatu yang ada padanya, kecuali dzikirullah dan ketaatan kepada-Nya, orang yang berilmu, dan orang yang belajar ilmu.” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah, dihasankan Albani).