KATEGORI : Individu Muslim

salman Alfarisi

16 September 2013 17:34:05 Dibaca : 1897

Salman al-Farisi pada awal hidupnya adalah seorang bangsawan dari Persia yang menganut agama Majusi. Namun dia tidak merasa nyaman dengan agamanya. Pergolakan batin itulah yang mendorongnya untuk mencari agama yang dapat menentramkan hatinya.

Kisah Salman diceritakan langsung kepada seorang sahabat dan keluarga dekat Nabi Muhammad bernama Abdullah bin Abbas:

Salman dilahirkan dengan nama Persia, Rouzbeh, di kota Kazerun, Fars, Iran. Ayahnya adalah seorang Dihqan (kepala) desa. Dia adalah orang terkaya di sana dan memiliki rumah terbesar.

Ayahnya menyayangi dia, melebihi siapa pun. Seiring waktu berlalu, cintanya kepada Salman semakin kuat dan membuatnya semakin takut kehilangan Salman. Ayahnya pun menjaga dia di rumah, seperti penjara.

Ayah Salman memiliki sebuah kebun yang luas, yang menghasilkan pasokan hasil panen berlimpah. Suatu ketika ayahnya meminta dia mengerjakan sejumlah tugas di tanahnya. Tugas dari ayahnya itulah yang menjadi awal pencarian kebenaran.

"Ayahku memiliki areal tanah subur yang luas. Suatu hari, ketika dia sibuk dengan pekerjaannya, dia menyuruhku untuk pergi ke tanah itu dan memenuhi beberapa tugas yang dia inginkan. Dalam perjalanan ke tanah tersebut, saya melewati gereja Nasrani. Saya mendengarkan suara orang-orang beribadah di dalamnya. Saya tidak mengetahui bagaimana orang-orang di luar hidup, karena ayahku membatasiku di dalam rumahnya! Maka ketika saya melewati orang-orang itu (di gereja) dan mendengarkan suara mereka, saya masuk ke dalam untuk melihat apa yang mereka lakukan."

"Ketika saya melihat mereka, saya menyukai ibadah mereka dan menjadi tertarik terhadapnya (yakni agama). Saya berkata (kepada diriku), 'Sungguh, agama ini lebih baik daripada agama kami'".

Salman memiliki pemikiran yang terbuka, bebas dari taklid buta. "Saya tidak meninggalkan mereka sampai matahari terbenam. Saya tidak pergi ke tanah ayahku."

Dan ketika pulang, ayahnya bertanya. Salman pun menceritakan bertemu dengan orang-orang Nasrani dan mengaku tertarik. Ayahnya terkejut dan berkata: "Anakku, tidak ada kebaikan dalam agama itu. Agamamu dan agama nenek moyangmu lebih baik."

"Tidak, agama itu lebih baik dari milik kita," tegas Salman.

Ayah Salman pun bersedih dan takut Salman akan meninggalkan agamanya. Jadi dia mengunci Salman di rumah dan merantai kakinya.

Salman tak kehabisan akan dan mengirimkan sebuah pesan kepada penganut Nasrani, meminta mereka mengabarkan jika ada kafilah pedagang yang pergi ke Suriah. Setelah informasi didapat, Salman pun membuka rantai dan kabur untuk bergabung dengan rombongan kafilah.

Ketika tiba di Suriah, dia meminta dikenalkan dengan seorang pendeta di gereja. Dia berkata: "Saya ingin menjadi seorang Nasrani dan memberikan diri saya untuk melayani, belajar dari anda, dan beribadah dengan anda."

Sang pendeta menyetujui dan Salman pun masuk ke dalam gereja. Namun tak lama kemudian, Salman menemukan kenyataan bahwa sang pendeta adalah seorang yang korup. Dia memerintahkan para jemaah untuk bersedekah, namun ternyata hasil sedekah itu ditimbunnya untuk memperkaya diri sendiri.

Ketika pendeta itu meninggal dunia dan umat Nasrani berkumpul untuk menguburkannya, Salman mengatakan bahwa pendeta itu korup dan menunjukkan bukti-bukti timbunan emas dan perak pada tujuh guci yang dikumpulkan dari sedekah para jemaah.

Setelah pendeta itu wafat, Salman pun pergi untuk mencari orang saleh lainnya, di Mosul, Nisibis, dan tempat lainnya.

Pendeta yang terakhir berkata kepadanya bahwa telah datang seorang nabi di tanah Arab, yang memiliki kejujuran, yang tidak memakan sedekah untuk dirinya sendiri.

Salman pun pergi ke Arab mengikuti para pedagang dari Bani Kalb, dengan memberikan uang yang dimilikinya. Para pedagang itu setuju untuk membawa Salman. Namun ketika mereka tiba di Wadi al-Qura (tempat antara Suriah dan Madinah), para pedagang itu mengingkari janji dan menjadikan Salman seorang seorang budak, lalu menjual dia kepada seorang Yahudi.

Singkat cerita, akhirnya Salman dapat sampai ke Yatsrib (Madinah) dan bertemu dengan rombongan yang baru hijrah dari Makkah. Salman dibebaskan dengan uang tebusan yang dikumpulkan oleh Rasulullah SAW dan selanjutnya mendapat bimbingan langsung dari beliau.

Betapa gembira hatinya, kenyataan yang diterimanya jauh melebihi apa yang dicita-citakannya, dari sekadar ingin bertemu dan berguru menjadi anugerah pengakuan sebagai muslimin di tengah-tengah kaum Muhajirin dan kaum Anshar yang disatukan sebagai saudara.

Kisah kepahlawanan Salman yang terkenal adalah karena idenya membuat parit dalam upaya melindungi kota Madinah dalam Perang Khandaq. Ketika itu Madinah akan diserang pasukan Quraisy yang mendapat dukungan dari suku-suku Arab lainnya yang berjumlah 10.000 personel. Pemimpin pasukan itu adalah Abu Sufyan. Ancaman juga datang dari dalam Madinah, di mana penganut Yahudi dari Bani Quradhzah akan mengacau dari dalam kota.

Rasulullah SAW pun meminta masukan dari sahabat-sahabatnya bagaimana strategi menghadapi mereka. Setelah bermusyawarah akhirnya saran Salman Al Farisi atau yang biasa dipanggil Abu Abdillah diterima. Strategi Salman memang belum pernah dikenal oleh bangsa Arab pada waktu itu. Namun atas ketajaman pertimbangan Rasulullah SAW, dan ridha Allah SWT. saran tersebut diterima.

Atas saran Salman itulah perang dengan jumlah pasukan yang tak seimbang dimenangkan kaum Muslimin.

Setelah meninggalnya Nabi Muhammad, Salman dikirim untuk menjadi gubernur di daerah kelahirannya, hingga dia wafat.

Bilal bin Rabah

16 September 2013 13:48:52 Dibaca : 1041

Bilal bin Rabah adalah seorang budak berkulit hitam dari Habsyah (sekarang Ethiopia) yang masuk Islam ketika masih diperbudak. Setelah majikannya mengetahui bahwa Bilal masuk Islam, maka Bilal disiksa terus menerus setiap harinya guna mengembalikannya agar tidak memeluk Islam. Setiap kali mereka berkata “Berimanlah pada Lata dan Uzza (nama berhala)”, Bilal mengatakan “Lidahku tidak bisa mengucapkannya.” Lalu Bilal malah mengucapkan “Ahad, ahad (Allah itu satu, Allah itu satu).”

Rasulullah S.A.W. merasa iba melihat semua penyiksaan yang diderita Bilal. Pada suatu hari dia pergi mengunjungi para sahabat R.A. “Apakah tidak ada orang yang dapat membeli Bilal dan membebaskannya?” Abu Bakar R.A. menyanggupinya. Dia pergi kepada Umayyah bin Khalf, dan berkata “Juallah Bilal kepadaku.”

Umayyah bin Khalf berkata “Aku akan menjualnya kepadamu, karena kau adalah orang yang pertama kali mempengaruhinya.”

Abu Bakar berkata “Kau ingin menjualnya dengan harga berapa?”

Dia berkata “Aku akan menjualnya seharga 10 koin emas.”

Kemudian Abu Bakar R.A. pulang ke rumah, dan dia kembali dengan membawa 10 koin emas, dan koin itu diberikan kepada Umayyah. Tiba-tiba Umayyah tertawa terbahak-bahak.

Abu Bakar R.A. berkata “Wahai Umayyah, kenapa kau tertawa?”

Umayyah berkata “Wahai Abu Bakar, aku bersumpah Demi Allah, jika kau menawar harganya dan menawarkanku 1 koin emas untuk Bilal, maka aku akan menjualnya untuk 1 koin emas.”

Abu Bakar R.A. menatap Umayyah dan berkata “Wahai Umayyah, aku bersumpah Demi Allah, jika kau menawarku, dan kau meminta 100 koin emas untuk Bilal, maka aku akan memberikanmu 100 koin emas."

Abu Bakar membelinya, dan dia membebaskannya. Dan apa yang dikatakan Abu Bakar tentang Bilal? Abu Bakar berkata “Bilal sayyiduna (Bilal adalah tuanku)”, meskipun Abu Bakar adalah salah seorang sahabat Rasulullah S.A.W. dan juga seorang Khulafaurrasyidin, namun dia sangat menghormati Bilal.

Umar ibn Khatab berkata “Abu Bakar sayyiduna wa ‘ataka sayyidana. (Abu Bakar adalah tuan kita dan dia telah membebaskan tuan kita)!

Kemudian datanglah perang Badar. Umayyah bin Khalf sama sekali tidak ingin berpartisipasi dalam perang ini. Dan salah seorang musyrikin lainnya, Uqbah bin Mu’ith, menghampiri Umayyah dan melemparnya dengan sepotong batu bara. Dia berkata “Pulanglah ke rumah dan memasaklah seperti wanita karena kau tidak akan pergi ke medan perang!”

Kemudian Umayyah berkata “Semoga Allah merusak wajahmu!” Sekarang Umayyah dipaksa pergi ke medan perang.

Dan di setiap perang, umat muslim punya slogan. Slogannya dalam perang ini adalah Ahad! Ahad! (Satu Allah! Satu Allah!) Hal ini mengejutkan Umayyah! Dan setelah perang, Umayyah ditawan dan Bilal R.A. melihatnya. Bilal berkata “Oh Umayyah adalah akarnya kekufuran. Aku tidak akan tinggal disini, jika dia tinggal. Entah apakah dia yang pergi atau aku saja yang pergi.” Dan Bilal melangkah dan mendorong Abdurrahman ibn Auf, kemudian dia menusuk Umayyah dan membunuhnya.

Dan ketika dia membunuhnya, apa yang dia ucapkan? “Ahad! Ahad! (Satu Allah! Satu Allah!)”

Ketika Rasulullah S.A.W. sedang sakit menjelang akhir hayatnya. Riwayat mengatakan bahwa Bilal R.A. sering melakukan adzan, kemudian dia memanggil Rasulullah. Dan Rasulullah belum keluar. Dan kemudian dia menghampiri dan ternyata Rasulullah S.A.W. terkadang sadar dan pingsan.

Bilal berkata “Benar-benar suatu duka. Aku harap ibuku tidak pernah melahirkanku sehingga aku tidak perlu melihat hari ini, atau aku lebih baik mati sebelum hari ini tiba.”

Kemudian Bilal melakukan adzan dan dia menjadi tak sadarkan diri. Dan ketika Rasulullah S.A.W. meninggal dunia, riwayatnya menyebutkan bahwa jenazah Rasulullah S.A.W. masih belum dikuburkan, dan Bilal mengumandangkan adzan. Ketika dia sampai pada “Ashyadu Anna Muhammadar Rasulullah”, biasanya ketika dia sampai pada kalimat ini, Rasulullah S.A.W. keluar dari rumahnya menuju ke masjid. Tapi sekarang ketika dia menoleh, tidak ada lagi Rasulullah S.A.W. Riwayat mengatakan bahwa Bilal mulai tersedak, dan dia mulai menangis, orang-orang di sekitarnya pun mulai menangis.

Dan selama 3 hari berikutnya, Bilal R.A. mencoba untuk mengumandangkan adzan, setiap kali dia sampai pada “Ashyadu Anna Muhammadar Rasulullah”, dia mulai tersedak. Kemudian dia pergi kepada Abu Bakar karena dia tidak bisa berada di Madinah tanpa Rasulullah S.A.W. Dia berkata “Wahai Abu Bakar, izinkan aku untuk pergi karena aku mendengar Rasulullah S.A.W. menyebutkan keutamaan berjihad, aku ingin berjihad.” Dan Abu Bakar berkata “Janganlah Oh Bilal, kau tetaplah bersamaku. Aku membutuhkanmu.” Bilal R.A. berkata “Wahai Abu Bakar, jika kau membebaskanku untuk dirimu sendiri, maka aku akan tetap disini. Tapi jika kau membebaskanku semata-mata karena Allah, maka biarkan aku pergi.” Dan Abu Bakar R.A. mengizinkannya untuk pergi, sehingga Bilal pergi berjihad.

Dan pada suatu malam, ketika Bilal R.A. sedang tertidur, dia bermimpi melihat Rasulullah S.A.W. Dan Rasulullah S.A.W. bersabda “Wahai Bilal, kenapa kau tidak pernah mengunjungi kami?” Dan dia terbangun, kemudian pergi menuju Madinah dengan terburu-buru. Ketika sampai di Madinah, dia berbaring di makam Rasulullah S.A.W., mengingat masa lalunya bersama Rasulullah.

Kemudian Hassan dan Hussain (cucu Rasulullah S.A.W.) datang. Mereka berkata “Wahai Bilal, beradzanlah.” Bilal R.A. bangun dan dia mengumandangkan adzan .Dan riwayatnya menyebutkan bahwa Madinah bergejolak. Kota ini bergejolak, karena Bilal membawa kembali kenangan pada waktu Rasulullah S.A.W. masih hidup. Diriwayatkan bahwa pria dan wanita keluar dari rumah mereka, merobek baju mereka, dan menjambak rambut mereka sendiri karena semua ini mengingatkan mereka pada waktu Rasulullah S.A.W. masih hidup.

Kemudian Bilal mencoba untuk tetap tinggal di Madinah, tapi ini terasa berat baginya, karena kemanapun dia melihat, semua ini mengingatkannya kepada Rasulullah S.A.W. Jadi dia pergi.

Kemudian datanglah waktu penaklukkan Masjidil Aqsa. Dan penjaga Al-Aqsa mengatakan “Aku hanya akan memberikan kuncinya kepada Umar ibn Khatab.” Dan Umar R.A. bepergian dari Madinah ke Masjidil Aqsa, sementara semua sahabat ada di sana, di antaranya Khalid ibn Walid, Muadz ibn Jabal, dan yang lainnya.

Kemudian mereka menghampiri Umar dan berkata “Wahai Umar, mintalah Bilal untuk mengumandangkan adzan.” Dan Umar meminta Bilal untuk mengumandangkan adzan. Dan riwayat menyebutkan bahwa ketika Bilal sampai kepada “Ashyadu Anna Muhammadar Rasulullah”, jenggot para sahabat ketika mereka masuk Islam berwarna hitam, namun sekarang berubah menjadi kelabu, karena jenggot mereka dibanjiri air mata. Tidak ada satu pun jenggot seorang sahabat yang tidak dibanjiri air mata, mereka sampai meminta nasihat kepada Umar ibn Khatab, karena hal ini

mengingatkan mereka ketika masih menemani Rasulullah S.A.W.

Dan inilah keutamaan yang menakjubkan dari Bilal, karena dia mengumandangkan adzan, di tanah Haram di Mekkah, di masjid Rasulullah S.A.W., dan juga Masjidil Aqsa, di ketiga tempat suci ini.

Kemudian ketika Bilal R.A. menjelang saat-saat kematiannya... Riwayat menyebutkan bahwa dia meninggal di Damaskus, dan istrinya berkata “Benar-benar suatu duka.” Dan Bilal berkata “Tidak. Katakanlah: Benar-benar kebahagiaan, karena besok aku akan menemui Rasulullah S.A.W. dan para sahabat.”

Dapatkah kalian bayangkan, seberapa besar imannya? Wallahi, kau sedang sekarat, dan kau merasa senang karena dengan meninggalkan dunia, maka kau akan bertemu dengan Rasulullah. Karena Rasulullah S.A.W. bersabda “Dunia ini adalah penjara bagi orang-orang yang beriman, dan surga bagi orang-orang kafir.”

Para ulama menulis “Kenapa dunia menjadi penjara bagi orang-orang beriman? Karena dunia menahan mereka dari bertemu Allah dan Rasul-Nya. Dunia adalah penjara karena menghentikanmu dari bertemu Allah dan rasul-Nya. Dan surga bagi orang-orang kafir karena hanya inilah yang mereka miliki

Iman Ibnu Majah

16 September 2013 13:39:40 Dibaca : 1261

Ibnu Majah Imam atau yang lebih dikenal dengan Abu Abdullah Muhammad bin Yazid Ar-Rabi’I bin Majah Al-Qazwini Al-Hafidz. Nama ibnu (anak) Majah dinisbatkan kepada ayahnya Yazid, yang juga dikenal dengan sebutan Majah Maula Rab'at. Selain itu sebagin ulama berpendapat, Majah adalah ayah dari Yazid. Namun pendapat, nama Ibnu Majah yang dinisbahkan kepada ayahnya lebih mashur di kalangan muhadditsin.

Sejak remaja, Ibnu Majah dikenal sebagai sosok yang tekun dan cinta ilmu. Pada usia 15 tahun, Ibnu Majah belajar hadits pada seorang guru besar kala itu, Ali bin Muhammad At-Tanafasy (233 H). Bakat dan kegigihan yang dimiliki Ibnu Majah membawanya berkelana ke penjuru negeri untuk menekuni bidang hadits. Sepanjang hayatnya, seluruh pikiran dan usahanya untuk menulis baik di bidang fikih, tafsir, hadits, dan sejarah.

Tidak hanya itu, di bidang sejarah, Ibnu Majah menyusun At-Târîkh. Buku ini secara terperinci mengulas biografi para muhaddits yang hidup sebelumnya hingga biografi ualama hadits yang semasa dengannya. Di bidang tafsir, Ibnu Majah juga menulis Al-Qur'ân Al-Karîm. Namun sayang, buku At-Tarikh dan buku Al-Qur'an Al-Karim tidak sampai ke generasi berikutnya hingga sekarang.

Seperti ama halnya dengan para imam muhadits sebelumnya, Ibnu Majah juga melakukan perjalanan ilmiahnya untuk mencari hadits. Ibnu Majah pernah melakukan rihlah ke kota-kota di Iraq, Hijaz, Syam, Pârs, Mesir, Bashrah, Kufah, Mekah, Madinah, Damaskus, Teheran maupun ke Konstatinopel.

Pada rihlah ilmiahnya ini, Ibnu Majah bertemu banyak pakar hadits. Dari para pakar inilah Ibnu Majah mendapatkan ilmu dan pengetahuan yang dalam, terutama seputar hadits. Para guru inilah yang sangat berperan bagi keintelektualan Sang Imam. Selama perjalanan ilmiahnya, tercatat banyak para guru tempatnya menimba ilmu.

Khusus dalam bidang hadits, para pakar yang sempat ditemui Sang Imam diantaranya, Abdullah dan Usman, kedua anak dari Syeikh Syaibah. Namun Imam Ibnu Majah lebih banyak meriwayatkan hadits dari Abdullah bin Abi Syaibah. Selain dari Abdullah, Imbu Majah juga banyak meriwayatkan hadits dari Abu Khaitsamah Zahir bin Harb, Duhim, Abu Mus'ab Az-Zahry, Al-Hâfidz Ali bin Muhammad At-Tanâfasy, Jubârah bin Mughallis, Muhammad bin Abdullah bin Numayr, Hisyam bin Ammar, Ahmad bin Al-Azhar, Basyar bin Adam dan para pengikut perawi dan ahli hadits imam Malik dan Al-Lays.

Berkat para guru dan kecenderungannya di bidang hadits, Ibnu Majah juga melahirkan para murid yang mewariskan ilmu kesereusannya memelihara Hadits Nabawi. Tidak heran, murid-murid Ibnu Majah termasuk orang-orang yang pakar di bidang ini. Sederet nama besar seperti Abu Al-Hasan Ali bin Ibrahim Al-Qatthân tercatar sebagai muridnya. Selain itu, pakar lain yang lahir dari Imam Ibnu Majah adalah Sulaiman bin Yazid, Abu Ja'far Muhammad bin Isa Al-Mathû'î dan Abu Bakar Hamid Al-Abhâry. Dalam periwayan hadits, keempat muridnya ini adalah para perawi hadits yang yang dihimpun Ibnu Majah.

Atas kegigihan dan warisan yang ditinggalkannya ini, tidak sedikit para ualama memberi komentar dan sanjugan pisitif kepada Sang Imam. Menurut Abu Ya'la Al-Kahlily Al-Qazwiny, bahwa Imam Ibnu Majah adalah seorang yang sangat terpercaya, disepakati kejujurannya, pendapatnya dapat dijadikan argumentasi yang kuat, disamping itu juga mempunyai pengetahuan yang luas dan banyak menghapal hadits.
Seperti Abu Ya'la, sanjungan senada juga dilontarkan Abu Zar'ah Ar-Râzî dan Zahaby dalam bukunya Tazkiratu Al-Huffâdz. Keduanya menyebut Imam Ibnu Majah sebagai ahli besar di bidang hadit, sosok pengembara ilmu, pengarang kitab sunan dan tafsir, dan ahli hadits kenamaan negerinya.

Atas kecerdasan dan kebesaran Imam Ibnu Majah ini, “memaksa” salah seorang ualam sebesar Ibnu Kasir turut memberi komentar yang sangat positf. Dalam buku karyanya Al-Bidayah, Ibnu Katsir mengatakan : "Muhammad bin Yazid (Ibnu Majah) adalah pengarang kitab Sunan yang masyhur. Kitabnya itu bukti atas ilmu dan amalnya, keluasan pengetahuan dan pandangannya, kredibilitas dan loyalitasnya terhadap hadits, ushul serta furû'.

Tentunya, apa yang disanjungkan kepada Imam Ibnu Majah, sebenarnya tidak terlepas dari metode yang diterapkan dalam menulis hadits, terutama dalam kitab haditsnya, Sunan Ibnu Majah. Dalam penulisan kitab Sunannya, Ibnu Majah biasa memulai dengan mengumpulkan hadits dan menyusunnya berdasarkan bab yang berkaitan dengan masalah seputar fiqih.

Setelah menyusun dalam bentuk bab, Ibnu Majah tidak terlalu fokus pada kritik al-Hadits yang diangakatnya, namuan Ibnu majah lebih fokus mengkritisi hadits-hadits yang menurutnya lebih penting dan perlu penjelasan. Termasuk juga, Ibnu Majah tidak menyebutkan pendapat para ulama fâqih setelah penulisan hadits. Disamping itu, ia juga sedikit melakukan pengulangan hadits sebagaimana yang dilakukan Imam Muslim.

Selain itu, ada sisi kunikan lain dari buku hadits Imam Ibnu Majah. Kitab Sunan ini tidak semuanya diriwayatkan Ibnu Majah. Namun ada beberapa tambahan yang diriwayatkan oleh Abu Al-Hasan Al-Qatthany, salah seorang dari Sunan Ibnu Majah ini. Hal semacan ini dalam ilmu musthalahul hadits dikenal dengan kategori hadits Uluwwu Al-Isnad. Sehingga riwayat Al-Qatthany yang sebatas murid derajatnya sama dengan Ibnu Majah sebagai guru.

Menurut Az-Zahabi, Sunan Ibnu Majah terdiri dari 32 kitab, 1500 bab menurut Abu Al-Hasan Al-Qatthanî, dan terdiri dari 4000 hadits menurut Az-Zahabî. Namun, setelah diteliti ualng dan di-tahqîq oleh Muhammad Fuad Abdul Bâqî rahimahullah, buku ini berjumlah 37 kitab, 515 bab dan terdiri dari 4341 hadits.
Semoga Allah senantiasa merahmati Ibnu Majah yang wafat Senin tanggal 22 Ramadhan 273 H yang dimakamkan di tanah kelahirannya Qazwîn, Iraq setelah selesai menyumbangkan segenap usaha dan kesungguhan untuk umat Islam.

Imam Abu Dawud

16 September 2013 13:38:29 Dibaca : 1023


Abu Dawud Sulaiman bin Al-Asy'ats As-Sijistani, yang lebih dikenal dengan Imam Abu Dawud. Ia lahir tahun 202 H (817 M) di Basrah, Irak dan wafat tahun 276 H (888 M). Dalam kitab hadits, Abu Daud, Abi Daud, atau Abu Dawud dikenal sebagai salah seorang perawi hadits. Semasa hidupnya, Abu Dawud telah mengumpulkan sekitar 50.000 hadits. Puluhan ribu hadits ini kemudian diseleksi dan menulisnya kembali sehingga menjadi 4.800 shahih, di antaranya terkumpul pada kitab hadits, Sunan Abu Dawud.

Kecenderungan Abu Dawud dalam bidang hadits sebenarnya tidak terlepas dari didikan keluarganya. Al Asy'ats bin Ishaq, ayah Abu Dawud, seorang perawi hadits yang meriwayatkan hadits dari Hamad bin Zaid. Tidak hanya itu, saudaranya Muhammad bin Al Asy'ats termasuk seorang yang menekuni hadits dan ilmu hadits. Tidak jarang pula, Muhammad, saudaranya menjadi teman perjalanan Abu Dawud dalam mencari hadits dari ulama hadits.

Kecintaan Abu Dawud dalam bidang hadits terlihat sejak berusia belasan tahun. Abu Dawud sejak tahun 221 H, sudah berada di Baghdad. Abu Dawud sempat menyaksikan wafat Imam Muslim. Bahkan "Aku menyaksikan jenazahnya dan menshalatkannya, " kata Abu Dawud.

Ketika di Bagdad, Imam Abu Daud mulai menyusun kitab Sunannya. Uniknya, Abu Dawud memfokuskan diri pada hadits-hadits yang terkait dengan syariat. Setiap hadits dalam kumpulan haditsnya diperiksa kesesuaiannya dengan Al-Qur’an. Begitu pula dengan keseriusan Abu Dawud melihat hadits-hadits dari sisi sanadnya. Bahkan Abu Dawud pernah memperlihatkan kitab haditsnya kepada Imam Ahmad untuk dikoreksi.

Berkat kegigihannya mengumpulakan hadits, tidak sedikit ulama yang meriwayatkan hadits dari Abu Dawud. Di antara ulama yang meriwayatkan hadits dari Abu Dawud, ulama sekelas Imam Tirmidzi dan Imam Nasa’I, keduanya tercatat sebagai ulama perawi hadits. Al-Khattabi mengomentari, Sunan yang disusun Abu Dawud merupakan sebaik-baik tulisan dan isinya lebih banyak memuat fiqih dibanding kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim. Imam Al-Ghazali juga mengatakan bahwa kitab "Sunan Abu Dawud" sudah cukup bagi seorang mujtahid untuk menjadi landasan hukum.

Selain sebagai muhaddits, Abu Dawud juga dikenal sebagai imam dari imam-imam Ahlussunnah wal Jamaah yang hidup di Bashrah. Padahal di kota ini, tempat berkembang kelompok Qadariyah, Khowarij, Mu'tazilah, Murji'ah dan Syi'ah Rafidhoh serta Jahmiyah dan lain-lainnya. Namun , Abu Dawud tetap istiqomahan pada aqidah Sunnah wal Jamaah.

Bahkan Abu Dawud juga termasuk tokoh yang tegas membantah aliran Qadariyah dengan menulis sebuah buku Al Qadar. Demikian pula bantahan Abu Dawud terhadap Khowarij dalam bukunya, Akhbar Al Khawarij. Tidak hanya itu, Abu Dawud juga keras membantah pemahaman yang menyimpang dari kemurnian ajaran Islam. Bantahan Abu Dawud terhadap penyimpangan ini banyak terlihat pada buku yang tulisannya, As Sunan. Bantahan-bantahannya itu termasuk ditujukan kepada Jahmiyah, Murji'ah dan Mu'tazilah.

Selain lama di Bagdad dan Bashrah, Abu Daud juga biasa berkunjug ke negeri lainya. Abu Daud kerap melakukan rihlah ilmiahnya ke Saudi Arabia, Khurasan, Mesir, Suriah, Naisabur, dan tempat-tempat lainnya. Di tempat-tempat inilah Abu Dawud menimmba ilmu langsung dari para pakar hadits. Diantara guru-guru Abu Dawud adalah Imam Ahmad, Al-Qanabiy, Sulaiman bin Harb, Abu Amr adh-Dhariri, Abu Walid ath-Thayalisi, Abu Zakariya Yahya bin Ma'in, Abu Khaitsamah, Zuhair bin Harb, ad-Darimi, Abu Ustman Sa'id bin Manshur serta Ibnu Abi Syaibah.

Tidak hanya memiliki guru, Abu Dawud pula memiliki banyak murid, diantaranya: Imam Turmudzi, Imam Nasa'i, Abu Ubaid Al Ajury, Abu Thoyib Ahmad bin Ibrohim Al Baghdadi, Abu 'Amr Ahmad bin Ali Al Bashry, Abu Bakr Ahmad bin Muhammad Al Khollal Al Faqih, Isma'il bin Muhammad Ash Shofar, Abu Bakr bin Abi Daud (anak Abu Dawud), Zakariya bin Yahya As Saaji, Abu Bakr Ibnu Abi Dunya, Ahmad bin Sulaiman An Najjar, Ali bin Hasan bin Al 'Abd Al Anshari, Muhammad bin Bakr bin Daasah At Tammaar, Abu 'Ali Muhammad bin Ahmad Al Lu'lu'i, Muhammad bin Ahmad bin Ya'qub Al Matutsy Al Bashry.
Abu Dawud wafat di kota Bashroh tanggal 16 Syawal 275 H dan dishalatkan janazahnya oleh Abbas bin Abdul Wahid Al Haasyimi.

Imam Tirmizi

16 September 2013 13:17:29 Dibaca : 1077

Imam al-Hafiz Abu Isa Muhammad bin Isa bin Saurah bin Musa bin ad-Dahhak at-Sulami at- Tirmizi, salah seorang ahli hadits kenamaan, dan pengarang berbagai kitab yang masyur lahir pada 279 H di kota Tirmiz.

Semenjak kecilnya Abu Isa gemar mempelajari ilmu dan mencari hadits. Abu Isa tercatat pernah mengembara ke berbagai negeri, seperti Hijaz, Irak, Khurasan dan lain-lain. Dalam kunjungannya, Abu Isa banyak menemui ulama besar dan para guru hadits untuk mendengar hadits.

Sudah menjadi kebiasaan pada Abu Isa untuk menghafal dan mencatat hadits ketika dalam perjalanan atau ketika tiba di suatu tempat. Abu Isa tidak pernah menyia-nyiakan kesempatan ini termasuk ketika bertemu dengan seorang guru di perjalanannya menuju Makkah.

Di kalangan ulama, Abu Isa diakui sebagai sosok shalih dan takwa. Ia juga dikenal sebagai orang yang dapat dipercaya, amanah dan sangat teliti. Selain itu, Abu Isa adalah tokoh hadits yang terkenal dengan kekuatan dan kecepatan hafalannya.

Al-Hafiz Ibnu Hajar dalam Tahzib at-Tahzib menceritakan apa yang pernah disampaikan Abu Isa seputar hafalannya. Dalam sebuah perjalanan menuju Makkah, waktu itu itu Abu Isa sudah menulis dua jilid buku berisi hadits-hadits yang berasal dari seorang guru. Di perjalan inilah Abu Isa berpasan dengan guru tersebut. Kesempatan ini tidak ia sia-siakan untuk bertanya lebih banyak tentang hadits.

Abu Isa lalau memohon kepada guru ini untuk mendengar hadits. Guru ini pun mengabulkan permohonan Abu Isa. Kemudian ia membacakan hadits yang dihafalnya. Di sela-sela pembacaan itu ia melihat kertas Abu Isa masih putih bersih tanpa ada tulisan sesuatu apa pun. 'Tidakkah engkau malu kepadaku?, 'tegur sang Guru. Lalu Abu Isa menjelaskan, apa yang ia bacakan telah dihafal semuanya. “Coba bacakan!” suruhnya.

Abu isa pun membacakan seluruhnya secara beruntun. “Apakah telah engkau hafalkan sebelumnya?” tanyanya penasaran. “Tidak,” jawabnya. Kemudian Abu Isa meminta lagi agar dia meriwayatkan hadits yang lain. Ia pun kemudian membacakan 40 hadits yang tergolong sulit atau garib. “Coba ulangi apa yang kubacakan tadi,” pinta sang guru. Lalu Abu Isa membacannya dari pertama hingga selesai. “Aku belum pernah melihat orang seperti engkau," sanjugnnya kepada Abu Isa.

Abu Isa juga tercatat pernah berguru pada Imam Bukhari, baik hadits maupun fiqh.ia juga ia belajar kepada Imam Muslim dan Abu Dawud. Bahkan Tirmizi juga belajar hadits dari
sebagian guru para imam hadit termashur ini. Selain mereka, Tirmizi juga pernah berguru pada Qutaibah bin Saudi Arabia'id, Ishaq bin Musa, Mahmud bin Gailan. Said bin 'Abdur Rahman, Muhammad bin Basysyar, 'Ali bin Hajar, Ahmad bin Muni' serta Muhammad bin al-Musanna.

Seperti Imam Bukhari dan Imam Muslim dengan Kitab Sahihnya, Tirmiz juga memiliki karya monumnetal. Abu Isa menyebut karnya dengan nama Al-Jami'. Karya ini tergolonga salah satu "Kutubus Sittah" (Enam Kitab Pokok Bidang
Hadits) dan ensiklopedia hadits terkenal. Al-Jami' ini terkenal dengan nama
Jami' Tirmizi, dinisbahkan kepada penulisnya. Kita ini juga terkenal dengan nama
Sunan Tirmizi.

Imam Tirmizi dalam Al-Jami' tidak hanya meriwayatkan hadits sahih semata,
tetapi juga meriwayatkan hadits-hadits hasan, da'if, garib dan mu'allal dengan
menerangkan kelemahannya. Termasuk juga hadits-hadits yang dijadikan pegangan oleh ahli fiqh.

Sedang hadits-hadits da'if dan munkar dalam kitab ini, pada umumnya hanya
menyangkut fada'il al-a'mal (anjuran melakukan perbuatan-perbuatan kebajikan).
Hal itu dapat dimengerti karena persyaratan-persyaratan bagi (meriwayatkan dan
mengamalkan) hadits semacam ini lebih longgar dibandingkan dengan persyaratan
bagi hadits-hadits tentang halal dan haram.

Dengan gaya penulisan hadits seperti ini, tidak sedikit ulama besar memuji dan mengakui kemuliaan dan keilmuannya. Al-Hafiz Abu Hatim Muhammad ibn Hibban, kritikus hadits, menggolangkan Tirmizi dalam kelompok Siqat atau orang-orang yang dapat dipercayai dan kokoh hafalannya. Menurutnya, "Tirmizi salah seorang ulama yang mengumpulkan hadits, menyusun kitab, menghafal hadits dan bermuzakarah (berdiskusi) dengan para ulama."

Abu Ya'la al-Khalili dalam kitabnya Ulumul Hadits menerangkan, Muhammad bin
'Isa at-Tirmizi adalah seorang penghafal dan ahli hadits yang baik yang telah
diakui oleh para ulama. Ia memiliki kitab Sunan dan kitab Al-Jarh wat-Ta'dil.
Hadits-haditsnya diriwayatkan oleh Abu Mahbub dan banyak ulama lain. Ia terkenal
sebagai seorang yang dapat dipercaya, seorang ulama dan imam yang menjadi ikutan
dan yang berilmu luas. Kitabnya Al-Jami'us Sahih sebagai bukti atas keagungan
derajatnya, keluasan hafalannya, banyak bacaannya dan pengetahuannya tentang
hadits yang sangat mendalam.

Abu Isa, selain dikenal sebagai ahli dan penghafal hadits, ia juga dikenal sebagai
ahli fiqh. Bagi yang mendalami Kitab al-Jami' akan mendapatkan ketinggian ilmu dan kedalaman penguasaannya di bidang ini. Kajian-kajiannya mengenai persoalan fiqh
mencerminkan dirinya sebagai ulama yang sangat berpengalaman dan mengerti betul
duduk permasalahan yang sebenarnya.

Sebagai tokoh yang banyak memberi pengaruh khususnya dalam khazanah hadits, hadits-hadits dan ilmunya dipelajari dan diriwayatkan oleh banyak ulama. Di
antara ulama ini adalah, Makhul ibnul-Fadl, Muhammad bin Mahmud Anbar, Hammad bin Syakir, 'Ai-bd bin Muhammad an-Nasfiyyun, al-Haisam bin Kulaib asy-Syasyi, Ahmad bin Yusuf an-Nasafi serta Abul-'Abbas Muhammad bin Mahbud al-Mahbubi.

Sebelum wafat pada malam Senin 13 Rajab 279 H dalam usia 70 tahun, sepanjang hidupnya, Imam Tirmizi juga meninggalkan karya-karya yang bermanfaat kepada umat Islam selain Kitab Al-Jami' diantarnya : Kitab Al-'Ilal, Kitab At-Tarikh, Kitab Asy-Syama'il an-Nabawiyyah, Kitab Az-Zuhd dan Kitab Al-Asma' wal-kuna.