KATEGORI : NOVEL P. DIPONEGORO

Untold History of Pangeran Diponegoro (11)

17 April 2014 09:33:41 Dibaca : 2683

“Pasti, Tuan. Semuanya sudah saya siapkan, termasuk Sari.”

“Bagus, bagus. Tolong untuk perempuan itu kowe jangan suruh menari lama-lama. Nanti dia kecapekan. Aku tidak mau kalau dia nanti cepat capek. Untukmu sendiri pasti sudah juga kan?”

Danuredjo tertawa keras sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Smissaert juga ikut tertawa.

“Sriayu lagi…?” goda Smissaert.

Patih itu menggelengkan kepalanya, “Untuk malam ini yang lain saja. Bosan kalau makan sayur asem terus, biar malam ini saya makan sayur lodeh…”

Smissaert sekarang yang tertawa keras. Danuredjo pun demikian. Keduanya memang penggila perempuan. Bahkan di dalam urusan keputusan pengadilan pun, Patih Danuredjo akan memenangkan pihak yang memberikan hadiah berupa perempuan muda dan cantik kepadanya. Hanya Wakil Residen Chevallier yang mampu menandingi mereka dalam urusan perempuan. Wakil Smissaert ini memiliki banyak kisah asmara, termasuk dengan puteri-puteri kraton.

Di luar ruangan, musik Ratu Wihelmina masih mengalun dari phonograph, alat pemutar piringan hitam dengan corong besar berwarna hitam. Botol minuman keras berserakan di mana-mana. Laki-laki dan perempuan masih berpelukan di lantai mengikut alunan suara musik. Yang lain duduk rapat menikmati Whisky sambil tertawa cekikikan. Aula kraton malam itu tak ubahnya seperti bar atau rumah bordil. Aroma alkohol menyeruak sampai menembus ke luar dinding tebal kraton.[]

Bab 5

Puri Tegalredjo, 04.50 wib

ADZAN SUBUH BERKUMANDANG MEMENUHI ANGKASA pagi. Suaranya terdengar mendayu-dayu diteriakkan dari berbagai mushola dan masjid, besar dan kecil, yang tersebar di seantero dusun di lembah dan gunung di kaki Merapi. Ayam jantan pun berkokok bersahut-sahutan.

Masjid yang berada di pojok barat laut kompleks Puri Tegalredjo masih sunyi. Sejumlah lampu teplok yang biasanya menyala saat waktu Maghrib dan Isya, juga saat-saat pengajian diadakan, juga sudah padam. Di dalam masjid yang belum sepenuhnya rampung dibangun ini, walau sudah difungsikan sebagaimana masjid lainnya, sesosok lelaki berjubah putih dengan surban hijau pupus tengah asyik terpekur dalam zikirnya. Dia benar-benar menikmati suasana dini hari yang hening sendirian. Baginya malam adalah waktu yang tepat untuk berdialog dengan Sang Maha. Malam adalah selimut bagi jiwa-jiwa yang sepi. Dan malam adalah wahana untuk mengantarkan ruhani yang dahaga akan keabadian.

Suara derit pintu masjid berbunyi pelan. Seorang anak muda dengan jubah dan songkok putih melangkahkan kakinya masuk ke dalam masjid. Dia lalu berdiri tidak jauh dari lelaki itu yang masih saja asyik dengan zikirnya. Anak muda itu kemudian bertakbir dan mulai menunaikan sholat tahiyatul masjid, dua rakaat.

Lelaki yang duduk bersila pun menghentikan zikirnya. Dia ikut berdiri, kemudian melaksanakan sholat sunnah dua rakaat. Tak lama kemudian, beberapa orang lelaki berpakaian putih-putih tampak mendatangi masjid. Mereka adalah warga sekitar Puri Tegalredjo yang sering ikut pengajian pekanan. Tak sampai lima menit masjid kecil itu sudah dipenuhi jamaah sholat subuh yang nyaris seluruhnya mengenakan baju wulung atau jubah putih.

Lelaki yang tadi berzikir dan menunaikan sholat sunnah dua rakaat kemudian berdiri paling depan di mihrab imam. Dia mempersilakan anak muda yang tadi bersamanya untuk segera mengumandangkan iqamah.

Dengan suara yang elok, tidak terlalu keras dan juga tidak pelan, anak muda tadi menangkupkan tangan ke sebelah telinganya dan mulai meneriakkan iqamah, tanda sholat subuh berjamaah akan segera didirikan. Selesai iqamah, lelaki yang berdiri di mihrab untuk sesaat berdiam diri. Lalu dia mengangkat kedua tangannya sebatas telinga. Dengan penuh kekhusyukkan dia mengucapkan takbir, “Allahu Akbar!” Semua yang ada di belakangnya serentak mengikuti takbir sang imam.

Pada rakaat pertama, Pangeran Diponegoro yang menjadi imam sholat membaca surat Al-Ikhlas. Surat ini merupakan surat ke-112, termasuk surat al-Makiyah. Surat Al-Ikhlas berisi tentang kemurnian tauhid. Pangeran Diponegoro selalu mengawali sholat subuh dengan membaca surat ini. Seorang Muslim wajib memulai hari dengan tauhid yang benar agar semua ibadah di hari itu mendapatkan keridhaan Allah subhana wa ta’ala. Itu salah satu prinsip Pangeran Diponegoro.

Di rakaat kedua, Diponegoro membaca surat At-Takaatsur yang merupakan surat ke-102 yang menceritakan soal tabiat manusia kebanyakan yang sering lalai disebabkan kecintaannya pada kemegahan dan kelezatan dunia yang sesungguhnya menipu. Dengan suara yang lembut dan merdu, Diponegoro membaca delapan ayat surat tersebut. Banyak dari jamaahnya yang terisak menangis mendengar suara Sang Pangeran yang begitu menyayat hati.

“Bermegah-megahan telah melalaikan kamu,

Sampai kamu masuk ke liang kubur,

Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui,

Dan janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui,

Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin,

Niscaya kamu akan sungguh-sungguh menyaksikan neraka jahim,

Dan sesungguhnya kamu akan sungguh-sungguh akan melihatnya dengan yakin seyakin-yakinnya,

Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu bangga-banggakan di dunia itu)…”

Usai sholat, seperti biasanya, Pangeran Diponegoro mengisi tausiyah[1] subuh yang berisi soal penguatan akidah dan sebagainya. Dia juga tak segan-segan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan warga desa. Pagi ini, Diponegoro memberikan tausiyah soal “Islam dan Negara”.

“…di dalam sirohnya[2], Rasulullah shallallahu wa allaihi wa salam memang tidak secara eksplisit menyebut istilah Negara Islam. Inilah yang dijadikan senjata oleh orang-orang kafir dan para pengikutnya yang menyatakan jika tidak pernah ada Negara Islam di dunia ini, hatta di zaman Rasulullah hidup atau di masa kekuasaan para sahabiyah pun tidak. Semua ini salah kaprah. Sebagai agama yang kaffah syumuliyah, lengkap dan melengkapi, Islam mengatur manusia dalam semua sisi kehidupan, pribadi maupun sosial. Nah, sekarang apakah yang disebut suatu negara itu? Ada yang tahu?”

Diponegoro menatap semua jamaahnya yang duduk bersila menghadap dirinya. Seorang anak muda jebolan sekolah madrasah di Surakarta mengangkat tangannya.

“Ya, silakan jawab anak muda…”

“Maaf Kanjeng Pangeran. Setahu saya, yang dimaksudkan dengan istilah negara adalah kumpulan manusia yang berdiam di suatu tempat, memiliki aturan atau hukum yang disepakati semuanya. Maafkan saya kalau salah…”

Diponegoro tersenyum bangga, “Kisanak tidak salah. Jawaban Kisanak betul. Nah, jika kita semua, umat Islam, berkumpul di suatu tempat, di suatu wilayah yang kita miliki, dan di wilayah itu kita dengan kesadaran sendiri menerapkan hukum-hukum Islam, hukum-hukum tauhid, maka itu sudah bisa disebut sebagai Negara Islam. Walau wilayah yang kita diami atau miliki itu tidak luas. Inilah Daulah Islamiyah.”

Semua yang hadir di masjid itu mengangguk-anggukan kepalanya.

“Ada lagi yang ingin bertanya?”

Seorang lelaki tua mengangkat tangan.

“Ya, silakan Pak,” ujar Diponegoro.

“Dalem, Kanjeng Pangeran. Saya mau tanya bagaimana jika… apa itu… Daulah Islamiyah itu… belum ada… Apa yang harus kita lakukan?”

“Matur nuwun bapak… Iya, Daulah Islamiyah namanya. Atau Negara Islam. Jika Daulah Islamiyah belum tercipta seperti yang kita inginkan bersama, maka mulailah dengan menegakkan Daulah Islamiyah itu di dalam dada kita. Setelah itu tegakkanlah Daulah Islamiyah itu di dalam keluarga kita, rumah tangga kita. Lalu setelah itu sebarkanlah dengan damai, menyebar ke tetangga kita, dusun kita, kampung, desa, dan terus menyebar dan meluas. Dengan sendirinya akan tercipta suatu Daulah Islamiyah itu, walau mungkin tidak menamakan diri sebagai Negara Islam.”

“Maaf, Kanjeng Pangeran, bagaimana jika kita hidup seperti sekarang, dimana kaum kafir yang berkuasa dan dengan kekuatan senjata pula. Dan bagaimana dengan orang-orang Islam sendiri yang malah bersekutu dengan kafir Belanda itu?”

“Sekarang ini kita hidup di bawah paksaan hukum thagut. Thagut adalah hukum, sistem kekuasaan, atau penguasa, yang aturan atau tindak-tanduknya bertentangan dengan kalimat tauhid, bertentangan dengan perintah dan larangan Allah subhana wa ta’ala. Thagut adalah musuh Allah. Thagut adalah sekutu iblis. Sebab itu, orang yang Islamnya benar, maka dia wajib memusuhi dan memerangi thagut sebagaimana dia juga wajib memerangi iblis, dan bukan malah bersekutu dengannya dengan alasan atau dalih apa pun. Orang Islam yang bersekutu dengan thagut adalah orang yang mengkhianati perjanjiannya dengan Allah subhana wa ta’ala. Pasti ada balasan dari Allah terhadap orang-orang seperti itu. Apakah sudah jelas sampai bagian ini..?” Bersambung

Untold History of Pangeran Diponegoro (10)

21 February 2014 16:16:26 Dibaca : 2334

Bab 4

Pertengahan Juli 1825

MALAM TELAH TURUN MENYELIMUTI LANGIT Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Di aula kraton, musik Ratu Wilhelmina terdengar mendayu-dayu dari piringan hitam yang diputar. Gelak tawa para pembesar Belanda dan para pejabat kraton yang tengah dimabuk whisky dan Brandy dalam pesta jamuan makan malam yang mewah terdengar kencang. Diseling cekikikan genit para Noni Belanda dan perempuan-perempuan muda yang didatangkan orang-orangnya Patih Danuredjo entah dari mana.

Di salah satu ruangan utama kraton, Patih Dalem Danuredjo IV tampak duduk semeja dengan Anthonie Hendriks Smissaert, Residen Yogyakarta. Penggila pesta dan minuman keras itu, dan tentu saja juga wanita, merupakan Residen Belanda ke-18 untuk Yogyakarta. Sejak bertugas tahun 1823, hampir tiap pekan Smissaert menggelar pesta dansa-dansi dan minuman keras dengan mengundang koleganya, termasuk para pembesar kraton seperti halnya Patih Danuredjo IV dan sebagian pangeran serta pejabat lainnya.

Di hadapan meja yang dipenuhi abu cerutu dan beberapa botol Whisky yang sudah berkurang isinya, Patih Danuredjo tengah berembug dengan residen itu untuk menangkap Pangeran Diponegoro dan para pengikutnya yang makin lama makin mencemaskan mereka.

Dari para mata-mata yang disebar Belanda dan juga kraton, mereka mendapatkan keterangan jika kian hari kian banyak saja orang yang bergabung dengan Diponegoro. Apalagi di Puri Tegalredjo, tempat kediaman Diponegoro dan Ratu Ageng, sudah lama tercium adanya pelatihan-pelatihan ilmu bela diri bagi pribumi yang dipimpin oleh sejumlah ulama pendekar dan para jagoan yang menyatakan setia kepada Diponegoro. Pelatihan itu tidak saja dilakukan dengan tangan kosong, namun juga menggunakan berbagai macam senjata.

“Patih, Kowe musti bisa bikin cara supaya Diponegoro itu bisa segera ditangkap!”

Patih Danuredjo tersenyum. Dengan suaranya yang lembut dan kalimat yang teratur rapi, dia menjawab, “Insya Allah, Tuan Residen tenang saja. Saya dan anak buah saya sedang mencari jalan supaya dia bisa sesegera mungkin ditangkap.”

“Kapan? Kowe tidak bisa berlama-lama begitu! Apa mau tunggu sampai pengikutnya banyak? Jadi susah kita nantinya!” sergah Smissaert sambil menenggak sebotol Whisky dari botolnya langsung. Jakunnya yang besar terlihat bergerak naik turun di lehernya. Dia kemudian menopangkan sebelah kakinya yang pendek naik di atas meja ke atas kaki yang lain. Tapak sepatu lars Smissaert kini menghadap lurus ke wajah Danuredjo. Patih Danuredjo benar-benar direndahkan olehnya. Tapi patih itu hanya berdiam diri sambil tetap tersenyum, walau hatinya serasa panas diperlakukan seperti itu.

Melihat Danuredjo yang belum juga menjawab pertanyaannya, dengan tidak sabaran lelaki kecil berwajah bulat dengan rambut tipis berwarna putih keperakan dan bermata biru itu berkata, “Aah, jangan-jangan kowe berkomplot dengan Diponegoro hah!”

Danuredjo yang ikut minum Whisky, hanya saja dia meminumnya dari sloki, tersedak. Airnya sampai tumpah membasahi pakaiannya.

“Tidak, bukan begitu, Tuan. Tuan salah besar jika sampai menduga hal itu. Saya sebenarnya sejak beberapa hari lalu berpikir jika kita sebenarnya punya cara yang bagus untuk menangkap Diponegoro itu…”

“Kenapa kowe dari tadi diam saja?” ketus Smissaert dengan sinis. Bekas Residen Rembang yang ditunjuk Gubernur Jenderal Van Der Capellen pada 3 Januari 1823 menjadi Residen Yogyakarta ini, walau bertubuh kecil dan kikuk, namun sikapnya sangat percaya diri.

“Saya baru mau cerita, Tuan…”

“Ya, cepatlah cerita!”

Danuredjo membetulkan posisi duduknya. Kini punggungnya ditegakkan tanpa bersandar ke bagian sandaran kursi rotan yang tinggi. Setelah terbatuk-batuk kecil sebentar dia mulai memaparkan rencana bulusnya.

“Tuan Residen, Tuan pasti tahu proyek jalan lurus dari Yogyakarta ke Magelang yang sedang kita kerjakan bukan?”

Smissaert mengangguk-anggukkan kepalanya, “Ya, ya, saya tentu tahu. Ada apa dengan proyek itu?”

Wajah Danuredjo mendadak cerah. Dia memang selalu begitu jika sedang merencanakan sesuatu. Raut wajahnya yang sedemikian licik mengingatkan Smissaert pada salah satu tokoh penasehat Kurawa dalam epik Bharata Yudha yang pernah dibacanya semasa masih kecil di Bataaf, kampung kelahirannya.

Ya, orang ini mirip sekali dengan Patih Sasngkuni!

“Tuan Residen, bagaimana jika jalan yang tadinya dibuat lurus itu, melewati Muntilan, dibelokkan sedikit ke barat, melewati Tegalredjo. Jalan itu kita buat sengaja menerabas tanah makam leluhur Diponegoro dan juga kebun miliknya. Kita tancapkan saja patok-patok proyek jalan di sana. Jika kita melakukan itu, Diponegoro pasti akan marah….”

Residen Smissaert menurunkan kedua kakinya dari atas meja. Wajahnya ikutan cerah. Kedua matanya yang biru terlihat berbinar-binar. “Ha! Ini baru namanya Patih Danuredjo! Tak sia-sia Belanda punya orang seperti kowe! Ayo, ayo, teruskan ceritamu!”

Disanjung demikian, Danuredjo tersenyum lebar. Dengan sikap yang dibuat-buat dia merendahkan diri dengan mengatakan jika dirinya biasa saja dan hanya bekerja semaksimal mungkin demi kemuliaan ratu Belanda.

“Tuan pasti sudah bisa menebak kemana arahnya. Kalau Diponegoro marah, dia pasti akan mengirim utusannya kesini untuk mengajukan protes. Kita acuhkan saja protesnya dan tetap mematoki tanah itu untuk dibuat jalan. Bahkan kita kirim saja para kuli ke Tegalredjo dan mulai mengerjakan proyek ini. Diponegoro pasti akan marah besar. Dia akan kehilangan akal sehatnya. Bisa jadi dia akan menyerang kuli-kuli kita itu. Atau bisa jadi pula dia akan menyerang langsung kita di sini. Kalau itu sampai terjadi, kita tinggal menangkapnya. Kita katakan saja jika Diponegoro mau memberontak terhadap pemerintah. Bukankah itu mudah?”

Smissaert tersenyum lebar, kedua matanya yang besar menyipit, “Ha..ha..ha.. betul. Betul itu. Nah, belokan saja jalan itu menuju tanah leluhurnya Diponegoro!”

“Kapan rencana kita bisa dilaksanakan, Tuan?”

“Secepatnya. Malam ini saja. Biar kita bisa cepat menangkap orang itu!”

“Baik, Tuan!”

Patih Danuredjo kemudian berdiri dari tempat duduknya. “Sebentar, Tuan. Saya akan panggil orang proyek jalan itu sekarang.”

“Ya, kowe harus bergerak cepat!”

Danuredjo membungkuk takzim pada Smissaert, kemudian dia keluar ruangan diiringi pandangan puas dari Smissaert. Dengan langkah agak limbung karena pengaruh minuman keras, Danuredjo pergi memanggil salah seorang anak buahnya yang sudah duduk menunggu di teras dekat dengan ruangan pertemuannya dengan Tuan Residen. Agaknya Danuredjo sudah mempersiapkan segala sesuatunya dengan baik. Melihat Patih Danuredjo datang, lelaki yang duduk menunggu itu segera bangkit dan menyongsong tuannya.

“Joko!” panggil Danuredjo dari pintu ruangan.

“Dalem, Kanjeng Patih!” ujar lelaki yang dipanggil Joko seraya bergegas menghampiri Danuredjo sambil terbungkuk-bungkuk. Lelaki itu berhenti tepat dua meter di hadapan Danuredjo dengan sikap tubuh masih sedikit membungkuk dengan kedua tangannya ditangkupkan ke bawah perut.

“Tuan Residen sudah setuju dengan rencana kita. Bagaimana kalau malam ini juga rencana itu dilakukan?”

“Inggih, Kanjeng Patih. Saya siap…”

“Bagus. Kerjakan segera dan lapor setiap perkembangan yang ada padaku.”

“Inggih, Kanjeng Patih. Perintah segera saya laksanakan.”

Patih Danuredjo segera kembali ke dalam ruangan di mana Smissaert tengah asyik menenggak whisky-nya. Dia segera bergabung dengan orang Belanda nomor satu di Yogyakarta tersebut dan tenggelam dalam pesta minuman keras.

“Patih…, kowe sudah panggil itu Sari?” tanya Smissaert menyebut salah satu penari kraton dari Pacitan yang terkenal kecantikannya. Smissaert agaknya jatuh hati pada gadis yang usianya belum genap delapanbelas tahun itu. Danuredjo tersenyum lebar penuh arti ketika Smissaert menanyakan Sari.(Bersambung)


lihat juga

Untold History of Pangeran Diponegoro (9)

12 December 2013 15:45:19 Dibaca : 2596

Suromenggolo melanjutkan paparannya, “Danurejo juga telah memerintahkan dua orang kepercayaannya, Pangeran Murdaningrat dan Pangeran Ponular untuk menaikkan tarif pajak di beberapa ruas jalan yang makin ramai. Siapa saja yang tidak sanggup bayar, dilarang melintas di jalan itu…”

Pangeran Diponegoro bergumam, “Murdaningrat dan Ponular, jahat benar mereka…”

Suromenggolo mendengar gumamannya, “Ya, benar Kanjeng Gusti Pangeran. Mereka berdua telah benar-benar menjadi kaki tangan bagi Danurejo dan juga kafir Belanda. Bukankah mereka yang menggantikan Kanjeng Gusti Pangeran dan Pamanda Kanjeng Gusti Mangkubumi di dewan perwalian?”

Diponegoro mengangguk. “Ya, mereka yang menggantikanku dan

Paman Mangkubumi di Dewan Perwalian Kraton.”

Ustadz Taftayani dan semua orang yang berkumpul di ruangan itu tahu benar jika sesungguhnya Dewan Perwalian Kraton hanyalah alat bagi kepentingan Belanda untuk menipu rakyat.

Awalnya adalah ketika Sultan Hamengku Buwono III wafat pada tahun 1814. Saat itu Raden Mas Jarot, adik dari Pangeran Diponegoro, baru berusia sepuluh tahun. Rakyat menginginkan agar Diponegoro yang menjadi raja. Namun Diponegoro sejak awal menolak. Dan Belanda pun tidak menyukai Diponegoro yang tidak mau tunduk pada kepentingannya. Akhirnya Raden Mas Jarot pun naik tahta, menjadi Sultan Hamengku Buwono IV dalam usia belia. Belanda menunjuk Paku Alam I sebagai wali pemerintahannya.

Pada tanggal 20 Januari 1820, ketika Hamengku Buwono IV sudah hampir berusia enambelas tahun, Paku Alam I meletakkan jabatan sebagai wali raja. Namun pemerintahan mandiri Hamengku Buwono IV hanya berjalan selama dua tahun, karena pada tanggal 6 Desember 1822 tengah hari, ketika baru saja sepulangnya dari tamasya, dia meninggal dunia. Sebab itulah Hamengku Buwono IV disebut juga sebagai Sultan Seda ing Pesiyar, Sultan yang meninggal dunia ketika tengah tamasya.

Menurut keterangan Belanda, sakitlah yang menjadi sebab kematiannya. Namun banyak orang yang percaya, jika Belanda atau orang-orangnya telah meracuni Sultan. Belanda berbuat itu agar kekuasaan Patih Danuredjo IV bisa lebih besar.[1] Patih Danuredjo IV, yang berasal dari keluarga Danurejan yang memang sejak lama menjadi kaki tangan Belanda, kemudian menempatkan saudara-saudaranya menduduki jabatan-jabatan penting di kraton. Dengan meninggalnya Hamengku Buwono IV, maka otomatis, Raden Mas Gatot Menol, anaknya yang baru berusia tiga tahun akan naik tahta. Dengan adanya raja balita ini, maka Patih Danuredjo akan sangat leluasa untuk menguasai seluruh kraton. Dan kepentingan Belanda pun akan terjamin dalam waktu yang lama.

Dan memang demikian adanya. Raden Mas Gatot Menol yang baru berusia tiga tahun pun diangkat menjadi Sultan Hamengku Buwono V. Untuk mendampingi raja kecil ini, Belanda bersama Patih Danuredjo IV membentuk Dewan Perwalian Kraton, yang terdiri dari orang-orang terdekat dari sang raja. Dewan ini dibentuk salah satunya untuk menghilangkan kecurigaan rakyat banyak soal sebab kematian Hamengku Buwono IV. Dengan adanya Dewan Perwalian, maka Patih Danuredjo bisa berlindung di balik dewan ini atas semua tindak-tanduknya.

Naiknya Raden Mas Gatot Menol menjadi Hamengku Buwono V dan dibentuknya Dewan Perwalian Kraton menimbulkan dilema tersendiri bagi seorang Pangeran Diponegoro. Dia sudah curiga jika Dewan Perwalian hanyalah hasil akal-akalan dari seorang Danuredjo. Karena keputusan final pemerintahan tetap berada di tangan Patih Danuredjo IV bersama-sama dengan Residen Belanda.

Namun jika dia tidak bergabung di dalamnya, maka kraton akan sepenuhnya dikuasai Danuredjo dan para penjilat kafir Belanda lainnya. Setelah bertafakur cukup lama di Parangkusumo, dengan mengucapkan Bismillah, maka Pangeran Diponegoro pun memilih untuk mau bergabung sebagai anggota Dewan Perwalian, bersama dengan Mangkubumi, pamannya yang sangat dihormati Diponegoro. Diponegoro berharap dengan bergabungnya dia dan Mangkubumi di dalam Dewan Perwalian Kraton, maka mereka bisa mewarnai kraton agar lebih memihak umat ketimbang memihak penguasa kafir Belanda.

Namun kenyataan berkata lain. Hampir setiap hari rapat demi rapat berlangsung, memutuskan ini dan itu terkait kebijakan kraton terhadap berbagai macam masalah menyangkut rakyat banyak, namun segala keputusan Dewan Perwalian ternyata tidak berjalan sebagaimana mestinya. Semua kebijakan pemerintah ternyata tidak sejalan dengan hasil musyawarah atau rekomendasi dari Dewan Perwalian. Patih Danuredjo yang sangat licin dan mahir berbicara ini. bahkan dengan menyitir banyak ayat Qur’an, hadits, dan juga siroh Rasul, selalu menelikung semua keputusan Dewan ini. Sehingga keberadaan Dewan seolah tidak ada artinya, kecuali hanya sebagai panggung sandiwara. Danuredjo bisa dengan mudah dan leluasa memutuskan segala hal walau itu bertentangan dengan hasil musyawarah Dewan Perwalian Kraton. Patih Danuredjo lebih berkuasa ketimbang Dewan Perwalian itu sendiri. Dewan yang berfungsi sebagaimana layaknya Dewan Syuro ini tidak memiliki kekuatan apa-apa jika Danuredjo berkehendak lain.

Semua ini membuat Pangeran Diponegoro bertambah muak. Maka dengan tegas, Diponegoro-bersama Mangkubumi-menyatakan keluar dari dewan ini dan bersama-sama umat berjuang dari luar lingkaran kekuasaan yang bertambah korup. Danuredjo sendiri mengiming-imingi kedudukan dan uang yang banyak kepada Diponegoro, namun Sang Pangeran tidak goyah dan tetap memilih berjuang dari luar tembok kraton sepenuhnya.

Dengan tetap mengecilkan volume suara, Suromenggolo melaporkan semua informasi yang diterimanya di lapangan, baik berkenaan dengan pergerakan pasukan Belanda dan antek-anteknya, juga kebijakan baru yang diambil oleh Patih Danuredjo yang kian menyusahkan rakyat.

Di akhir laporannya, Suromenggolo dan kedua rekan anggota pasukan telik sandi-nya bersepakat jika perkembangan di luar semakin panas dan bukan tidak mungkin Belanda dan Danuredjo akan mengambil suatu langkah untuk memprovokasi Pangeran Diponegoro untuk memulai perang.

“Maaf Kanjeng Pangeran..,” ujar Suromenggolo. “…saat ini Kanjeng Pangeran dan semua yang ada di sini harap lebih waspada dan hati-hati. Dari berbagai informasi yang kami dapatkan di lapangan, kami yakin jika Belanda dan Patih Danuredjo tengah menyusun siasat agar kita semua terpancing . Mereka ingin kita melawan mereka secara terbuka terlebih dahulu. Semua ini agar mereka memiliki alasan untuk menangkap dan membunuh kita semua di sini…” [] (Bersambung)

Sumber

Untold History of Pangeran Diponegoro (8)

31 October 2013 13:58:04 Dibaca : 1436

Bab 3

SUROMENGGOLO BERSAMA TIGA LELAKI LAINNYA sudah duduk bersila di ruangan agak besar berdinding bambu yang tidak dilabur dengan kapur, sehingga bilik-biliki bambu yang mengikat dengan saling-silang itu menampakkan keasliannya. Sebuah pelita kecil sengaja diikatkan di pokok bambu, tepat di bagian tengah atas ruangan. Keempat orang itu merupakan bagian dari pasukan telik sandi yang sengaja dikirim Diponegoro ke daerah-daerah musuh untuk menggali informasi sebanyak-banyaknya tentang berbagai hal.

Di luar, suara hewan malam terdengar bersahut-sahutan. Sesekali di kejauhan, lenguhan monyet menimpali. Suaranya begitu memilukan, bagai meneriakkan nasib rakyat pribumi yang terus-menerus menderita di bawah kekejaman Belanda dan antek-anteknya.

Suromenggolo sungguh-sungguh kagum dengan Susuhunan Paku Buwono IV. Keponakan dari Pangeran Diponegoro inilah-bersama Pangeran Mangkubumi[1]-yang menganjurkan agar pamannya memilih Gua Selarong sebagai basis perlawanan gerilya. Wilayah Selarong dengan beberapa guanya memang sangat strategis. Tempatnya berada di ketinggian sebuah bukit, dikelilingi hutan yang masih lebat walau tidak luas. Jalan dari dan menuju gua hanya satu dan itu pun kecil sehingga sulit dilalui kereta yang ditarik kuda. Walau berada di ketinggian, namun Gua Selarong yang berada di selatan Yogyakarta ini tak begitu jauh dengan dengan garis pantai Laut Kidul, tempat yang disukai Diponegoro untuk tafakur .

Di bawah Gua Selarong terdapat perkampungan yang sudah ramai oleh rumah penduduk. Walau demikian, kontur daerah ini memang menjadikannya sangat cocok untuk dijadikan markas komando dalam kacamata militer.

Setelah menyimak dan menimbang saran dari Paku Buwono VI, Pangeran Diponegoro akhirnya mengakui jika usul keponakannya tersebut memang tepat. Gua Selarong memang sebuah benteng alami yang cukup tangguh.

Sebagai seseorang yang dididik dan dibesarkan panglima pasukan khusus pengawal raja, Pangeran Diponegoro tahu banyak soal strategi perang. Ratu Ageng tidak hanya memberinya pengetahuan keagamaan, tetapi juga membekalinya dengan dasar-dasar kepemimpinan dan kemiliteran, pengetahuan tentang taktik perang, penggunaan senjata, manajemen pasukan, dan lain sebagainya.

Sebab itulah, walau tidak dilakukan tiap malam, selepas pengajian dan di saat yang lain sudah beristirahat atau kembali berjaga di posnya masing-masing, Pangeran Diponegoro selalu mengadakan pertemuan terbatas dengan para telik sandi terpilih untuk memantau perkembangan di luar sana.

Pangeran Diponegoro percaya dengan informasi yang disampaikan para telik sandinya. Di sisi lain, tanpa sepengetahuan para telik sandinya, Diponegoro juga membentuk unit kontra intelijen yang mengawasi dan mengecek semua informasi yang diterima dari bawahannya. Yang terakhir ini direkrut dari orang-orang yang sangat dipercayainya, walau pun jumlahnya tidak banyak. Ustadz Taftayani sendiri yang telah membaiat mereka dengan kitab suci al-Qur’an di atas kepala.

Tiba-tiba pintu bilik yang bagian luarnya terbuat dari bambu bergerak terbuka. Deritnya terdengar pelan. Dari pintu yang terbuka tampak Ki Guntur Wisesa yang pertama memasuki ruangan, diikuti Pangeran Diponegoro, Ustadz Taftayani, Pangeran Bei, seorang pengawal khusus, dan kemudian barulah beberapa orang sesepuh dan para senopati. Salam pun ditebarkan, dijawab kembali dengan salam saling mendoakan kebaikan bagi semuanya. Mereka duduk melingkar di tengah ruangan, diterangi temaram satu-satunya pelita kecil yang diikat di atas dekat wuwungan.

Tidak ada yang bersuara hingga Ustadz Taftayani membuka pertemuan.

“Bagaimana laporanmu Suromenggolo?” bisiknya langsung ke pokok pertemuan.

Lelaki yang disapa Suromenggolo mengangguk pelan. Murid sekaligus orang kepercayaan Kiai Mojo, ulama kharismatik dari Desa Mojo yang berada di utara Surakarta, ini tidak segera menjawab. Dia mengedarkan terlebih dahulu pandangannya ke sekeliling ruangan. Walau nyaris gelap, namun dia bisa merasakan jika seluruh pimpinan pasukan jihad fi sabilillah Kanjeng Gusti Pangeran berkumpul di sini.

Setelah mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan, masih sambil duduk bersila, Suromenggolo membungkukkan badan dan mulai mengeluarkan suaranya. Terdengar seperti orang berbisik, namun bisa didengar dengan jelas.

“Alhamdulillah. Semakin banyak ulama dan para pendekar yang menyatakan dengan tegas jika mereka akan bergabung dengan kita….”

Pangeran Diponegoro dan semua yang ada di dalam ruangan tersebut juga mengucapkan hamdallah tanda syukur kepada Allah subhana wa ta’ala. Beberapa tahun lalu, Pengeran Diponegoro dan yang lainnya memang bergerak di segenap penjuru negeri untuk menggalang kekuatan untuk memerangi dan mengusir Belanda.

Orang pertama yang dikunjungi Diponegoro adalah Kiai Abdani dan Kiai Anom di Bayat, Klaten. Kedua kiai ini tidak saja menyatakan dengan tegas kesanggupannya untuk bergabung namun juga memberi Diponegoro tambahan ilmu bela diri. Dari Bayat, Diponegoro bersama Pangeran Mangkubumi melanjutkan perjalanan ke Sawit, Boyolali, untuk menemui Kiai Modjo, seorang Kiai kepercayaan Kanjeng Susuhunan Pakubuwono VI. Kiai Modjo pun mendukung penuh Pangeran Diponegoro. Lalu dengan diantar Kiai Modjo, Pangeran Diponegoro menemui Tumenggung Prawirodigdoyo di Gagatan. Tumenggung ini adalah orang kepercayaan Susuhunan Paku Buwono VI.

Dan atas saran Kiai Modjo dan Tumenggung Gagatan inilah, Pangeran Diponegoro pun menemui Paku Buwono VI, keponakan Diponegoro sendiri.

“Hampir semua ulama yang saya temui di sekitar Merapi, Dieng, Merbabu, Kulon Progo, dan lainnya, semua siap bergabung dengan Kanjeng Pangeran. Bukan saja para ulama, namun juga para pendekar dan jagoan-jagoan setempat. Mereka sudah muak dengan Belanda. Mereka hanya tinggal menunggu perintah dari Kanjeng Pangeran.”

Ustadz Taftayani mengangguk-angguk. “Alhamdulillah, ini perkembangan yang baik. Namun ketahuilah, jika perang yang akan kita lakukan ini adalah perang sabil, Jihad fi sabilillah. Perang yang semata-mata bertujuan untuk meninggikan kalimat Allah dan menghapuskan segala kezaliman. Sebab itu, kita harus mengaktifkan pengajian-pengajian di seluruh negeri, agar semua yang nantinya bergabung dengan kita memahami apa tujuan dan hakikat perang ini. Bagaimana Pangeran?”

“Insya Allah, saya juga berpendapat sama. Kita akan memetik kemenangan. Tidak ada sedikit pun rasa takut dan cemas menghadapi hari esok bagi orang-orang beriman. Kematian adalah kepastian. Dan hanya orang-orang beriman dan tawakal yang kematiannya akan benar-benar indah. Insya Allah, Ustadz, dan juga yang lainnya, para senopati dan para ulama, mulai besok kita akan menggencarkan pengajian kepada semua orang yang bersedia bergabung dalam kafilah tauhid ini. Insya Allah..,” ujar Diponegoro.

“Lantas, bagaimana dengan Danuredjo, Kisanak?” tanya Ustadz Taftayani kembali kepada Suromenggolo.

“Danurejo makin tak terkendali, Ustadz. Tadi pagi seorang ibu yang sedang hamil tua bersama dua orang anak kecil yang dibawanya dilarang lewat jembatan di Desa Jotawang, hanya karena uang yang dimiliki sang ibu tadi untuk bayar pajak jalannya kurang. Danurejo ada di sana. Dia tengah menginspeksi pos-pos jalan utama. Dia sendiri yang kemudian memerintahkan ibu itu dan anak-anaknya untuk menyeberangi Kali Code yang berbatu-batu yang ada di bawah jembatan. Akhirnya ibu dan anak-anaknya itu pun terpaksa menyeberangi kali. Dan celaka, mereka jatuh dan terbawa hanyut air kali yang deras. Tidak ada yang berani menolongnya karena Danurejo dan pasukannya melarang semua orang yang ada di situ untuk menolong mereka….”

“Astaghfirullah al-adziem....,” desis semua yang ada di sana.

“Dasar anjing Belanda!” umpat Ki Singalodra geram. Giginya sampai terdengar bergemeletuk saking marahnya.

“Teruskan Kisanak…,” ujar Ustadz Taftayani. (Bersambung)

[1] Pangeran Mangkubumi merupakan anak dari Sultan Hamengku Buwono II atau yang lebih populer disebut sebagai Sultan Sepuh. Sultan Hamengku Buwono II ini sangat anti penjajah Belanda. Sikap ini diwariskan oleh Pangeran Mangkubumi. Pangeran Diponegoro sendiri lebih dekat kepada Sultan Sepuh ketimbang terhadap ayahnya sendiri, Sultan Hamengkubu Buwono III yang tidak begitu tegas, bahkan beberapa kali dengan jelas mendukung Belanda. Bersambung.

Sumber

Untold History of Pangeran Diponegoro (7)

24 October 2013 14:34:18 Dibaca : 1341

Di masa itu, perempuan-perempuan dan laki-laki Jawa-termasuk di kalangan bangsawan kraton-lazim menikah di usia yang masih relatif sangat muda. Ketika Diponegoro dilahirkan, Raden Ayu Mangkarawati, sang ibu, masih berusia 14 tahun, dan ayahnya 16 tahun[1]. Dan sudah menjadi kelaziman jika sang anak kemudian diasuh oleh nenek atau buyutnya. Hal ini merupakan tradisi leluhur agar sang anak mendapatkan pendidikan dan pengasuhan yang benar dari seseorang kerabat yang jauh lebih matang dan dewasa. Suatu konversi budaya yang saat ini sudah punah.

Sesuai amanah khusus dari Hamengku Buwono I, bayi Diponegoro diasuh oleh nenek buyutnya, Ratu Ageng. Ratu Ageng dikenal sebagai seorang permaisuri yang sangat taat pada agama dan luas ilmunya. Sampai tahun 1792, ketika suaminya masih berkuasa, Ratu Ageng mengasuh Diponegoro di kraton dan kemudian meneruskannya di Puri Tegalredjo setelah suaminya wafat.

Selain seorang pendidik, Ratu Ageng juga merupakan Panglima Bregada Langen Kesuma-kesatuan pasukan elit khusus perempuan pengawal raja, seperti hanya Trisat Kenya di zaman Amangkurat I-pada masa kekuasaan Mangkubumi.

Bregada Langen Kesuma merupakan kesatuan khusus pengawal raja yang sangat tangguh. Walau semua anggotanya perempuan, namun pasukan berkuda ini dilengkapi dengan senjata api laras panjang dan pendek, pedang, keris, tombak, trisula, dwisula, dan lain sebagainya. Keterampilan mereka dalam olah senjata dan olah kanuragan jangan diragukan lagi.

Ada sebuah kisah yang terjadi pada bulan Juli 1809. Ketika itu Marshall Hermann Wilhelm Daendels berkunjung ke Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Dalam salah satu jamuan penyambutan, diperlihatkan atraksi dari Bregada Langen Kesuma dan dia terkagum-kagum melihat atraksi pasukan khusus perempuan ini. Sejarawan Carey mengatakan jika Langen Kesuma merupakan satu-satunya kesatuan militer pribumi yang mampu membuat Daendels berdecak kagum ketika melihatnya.

Selain Daendels, J. Greeve bersama Residen Surakarta Hartsinch juga pernah menyaksikan Bregada Langen Kesuma ini. Mereka disambut dengan salvo senapan dan meriam yang dipergilirkan dengan amat sempurna.

Markas dari kesatuan istimewa ini berada di Pesanggrahan Madyaketawang. Lapangan latihan menembak bagi pasukan ini berada di alun-alun Pungkuran, di selatan kraton. Serat Rerenggan Karaton, Pupuh XXII, Sinom, menyebutkan:

“Sanggrahan Madya Ketawang, lamun miyos Sri Bupati, pratameng Langenkusuma, lir priya praboting jurit, tinonton saking tebih, saengga priya satuhu, samya munggeng turangga, myang yen gladhi neng praja di, angreh kuda neng ngalun-alun pungkuran.”

Artinya lebih kurang sebagai: “Di Pesanggrahan Madyaketawang, dan datanglah Sri Bupati (maksudnya Sri Sultan) untuk menyaksikan mereka, seorang perempuan yang menjadi pemimpin pasukan Langen Kesuma, penampilannya mirip prajurit lelaki, dilihat dari jauh, tampak seperti prajurit laki-laki sungguhan, semua naik kuda, menuju tempat latihan di ibukota, yaitu di Alun-alun Pungkuran.”

Selain menempa pasukan khusus perempuannya dengan ilmu perang dan kanuragan, Ratu Ageng juga membekali mereka dengan ilmu agama sehingga pakaian pasukan ini terbilang sangat sopan, dengan tetap mengedepankan kebebasan gerak untuk berperang. Ratu Ageng sebagai pengasuh Pangeran Diponegoro adalah panglima pasukan khusus ini. Bukan hanya sebagai panglima, Ratu Ageng juga merupakan seorang permaisuri raja yang sangat peduli dengan nilai-nilai keislaman. Sebab itulah, selain menempa seorang Diponegoro dengan cara-cara seorang ksatria, Ratu Ageng juga membekali cicit kesayangannya ini dengan ilmu agama yang cukup dalam.

Namun berbeda sikapnya dengan Diponegoro, terhadap anak kandungnya sendiri Ratu Ageng malah tidak akur. Ini disebabkan karena Raden Mas Sundoro dianggap tidak taat dalam menjalankan perintah agama, walau Raden Mas Sundoro sendiri dikenal sangat anti terhadap penjajah Belanda.

Sebab itulah, ketika Hamengku Buwono I turun tahta dan digantikan oleh Raden Mas Sundoro yang kemudian dikenal sebagai Hamengku Buwono II di tahun 1792, Ratu Ageng memilih untuk keluar dari lingkungan kraton yang dianggapnya sudah cemar oleh tradisi kafir Belanda. Ratu Ageng lebih memilih tinggal di sebuah dusun terpencil yang kelak dikenal sebagai Tegalredjo, berjarak sekira tiga kilometer barat kraton. Diponegoro ikut diboyong keluar dari kraton dan tinggal di dusun di tengah-tengah rakyatnya sendiri.

Dari Kraton, Puri Tegalredjo tepat berada di arah barat laut, arah yang dijadikan kiblat bagi umat Islam di Nusantara untuk sholat. Di dalam kompleks puri, Ratu Ageng juga membangun sebuah masjid di sebelah barat laut bangunan utama puri yang berupa pendopo utama.

Karena dibesarkan dalam lingkungan kawulo alit atau rakyat kecil, maka dalam jiwa seorang Diponegoro tumbuh rasa kepedulian yang sangat besar kepada orang-orang kecil. Apalagi sejak kecil Diponegoro melihat dengan mata kepalanya sendiri betapa seorang Ratu Ageng, permaisuri seorang raja, tidak merasa rendah ketika harus bergaul dengan kawulo alit. Bahkan Ratu Ageng ikut terjun langsung bercocok tanam di sawah dengan kaki dan tangan penuh lumpur. Ratu Ageng harus bekerja, karena dia harus menghidupi keluarganya sendiri disebabkan dia menolak bantuan keuangan dari kraton yang dianggapnya sudah dikotori oleh kemaksiatan dan kezaliman.

“Akan jauh lebih mulia di hadapan Allah jika aku bekerja dengan tangan dan kakiku sendiri, ketimbang hidup dengan bertumpu pada uang kotor yang berasal dari memeras keringat dan darah rakyat!” tegasnya.

Diponegoro juga melihat betapa Ratu Ageng sangat gandrung pada literatur-literatur keagamaan, sejarah, dan juga sastra, sehingga rumahnya yang sederhana di Tegalredjo bagaikan sebuah perpustakaan kecil. Sebaliknya, terhadap harta benda, Ratu Ageng tidak memiliki minat yang besar. Dia hanya memiliki barang-barang primer yang memang dibutuhkan dalam rumah tangga seperti kebanyakan orang.

Semua pengajaran yang diberikan Ratu Ageng dan para ulama yang dipanggil maupun yang didatangi langsung oleh Diponegoro muda menyebabkan Pangeran Diponegoro menjadi seorang pemuda yang bersahaya. Seluruh kehidupannya diusahakan dengan keras mengikuti teladan Rasulullah SAW. Dia sering menyamar sebagai orang kebanyakan, mengenakan ikat kepala dan kain wulung dan berbaju hitam. Diam-diam dia sering membaur bersama para santri di pondok-pondok pesantren di pedesaan dengan menggunakan nama samaran Ngabdurakhim. Di saat samarannya hampir terbongkar, dia akan segera pindah ke pondok pesantren yang lain. Selain itu, Diponegoro juga senang mengembara, keluar masuk hutan, tinggal di gua-gua untuk menyendiri, dan menatap lama-lama deburan ombak dan langit Laut Kidul.

Pangeran Diponegoro tahu betul, kehidupan para pembesar kraton yang sebagian besar masih kerabatnya, kian hari malah kian jauh dari tuntunan agama. Para pejabat kraton yang notabene sudah memeluk Islam, semakin hari malah semakin mesra dengan kafir Belanda. Islam bagi mereka hanyalah identitas formal, sedangkan kelakuannya sudah tidak ada beda lagi dengan kelakuan kaum kafir Belanda yang menyukai dansa-dansi sampai pagi, minum-minuman keras, gila harta dan judi dengan taruhan gadis-gadis penari.

Martabat Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat yang tadinya begitu tinggi dan mulia kini sudah cemar, dikotori kafir Belanda dan sebagian besar pembesar kraton sendiri yang sudah lupa dengan jatidirinya.

Sebab itu, ketika Hamengku Buwono III, ayah kandungnya, hendak menobatkannya sebagai putera mahkota-walau Diponegoro bukan berasal dari permaisuri, namun selir-dengan tegas dia menolaknya. Ustadz Taftayani tahu, penolakan Diponegoro lebih disebabkan ketidaksukaannya terhadap campur tangan Belanda dalam kekuasaan kraton. Bahkan pengangkatan seorang raja pun harus disetujui Belanda dan Residen Belanda-lah yang melantik seorang raja. Diponegoro amat muak dengan semua ini. Itulah yang melatarbelakangi penolakannya untuk menjadi raja di Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat.

Dengan penuh keikhlasan, dia menunjuk adiknya yang masih belia, Raden Mas Jarot, untuk menerima posisi sebagai putera mahkota. Dihadapan orang-orang terdekatnya, Diponegoro ketika itu mengatakan,

“Rakhmanudin dan kau Akhmad, jadilah saksi saya, kalau-kalau saya lupa, tolong ingatkan pada saya, bahwa saya bertekad tidak mau dijadikan pangeran mahkota, walau pun seterusnya akan diangkat menjadi raja, seperti ayah atau nenenda. Saya sendiri tidak ingin itu terjadi. Cukuplah saya menjadi seperti apa yang ada sekarang, dekat dengan Gusti Allah dan rakyatku. Saya bertobat kepada Allah Yang Maha Besar. Hidup di dunia tiada akan lama dan saya tidak ingin hidup saya ini nantinya dikotori oleh kafir Belanda. Saya tidak ingin hidup dengan menanggung dosa…”[2]

Bagi Diponegoro, kehidupan penuh glamor di dalam kraton sama sekali tidak menarik hatinya. Baginya kraton adalah tempat yang penuh dengan dosa, dan dia tidak mau ikut terkotori. Diponegoro lebih menyukai hidup dan berada di tempat yang sepi, untuk mencari kesejatian dan makna hidup, menggali ilmu agama, dan pengetahuan yang bermanfaat.

Seorang Diponegoro lebih menyukai menjalin silaturahim dengan para alim-ulama dan rakyat biasa, ketimbang berdekat-dekatan dengan penguasa. Sejumlah ulama besar yang dekat dengan Diponegoro antara lain Kiai Muhammad Bahwi, penghulu utama kraton, lalu Haji Baharudin yang menjadi Komandan Pasukan Suronatan, Kiai Kasongan, Kiai Papringan, juga dengan Kiai Baderan ayah dari Kiai Mojo, dan lain-lain. Dan seorang Ustadz Muhammad Taftayani merasa bersyukur bisa menjadi salah satu guru bagi orang yang berhati mulia ini.

“Ustadz… silakan lanjutkan paparannya. Saya hendak keluar dahulu,” ujar Pangeran Diponegoro membuyarkan semua ingatan Muhammad Taftayani[3] tentang murid kesayangannya itu.

“Astaghfirullah.. saya melamun. Silakan Pangeran. Dan karena hari sudah semakin malam, pengajian kali ini kita cukupkan sampai disini dahulu. Mudah-mudahan iman Islam yang kita miliki mampu untuk mengikat hati kita semua dalam perjuangan yang sebentar lagi akan mendatangi kita. Cepat atau lambat, semuanya akan diuji oleh perjuangan ini. Saya berdoa agar Allah subhana wa ta’ala nanti memasukkan dan mengumpulkan kita semua di dalam jannah-Nya. Amien ya Rabb. Apakah kisanak semua masih ada pertanyaan?”

Ketujuh lelaki dewasa yang ada di hadapan Ustadz Taftayani saling berpandangan dan kemudian menggelengkan kepala.

“Baiklah. Nanti kita akan berkumpul kembali dalam pengajian berikutnya. Untuk saat ini saya cukupkan. Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.“

“Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh,” jawab semuanya.

Pengajian telah berakhir malam itu. Para prajurit ada yang beristirahat, ada pula yang bertugas jaga. Sedangkan dua senopati, sejumlah sesepuh, dan pimpinan pasukan lainnya bergabung di sebuah rumah yang cukup besar di bagian bawah Gua Selarong. Seperti yang dilakukan setiap malam, semuanya akan mendengar pemaparan perkembangan terakhir situasi Yogyakarta dan juga kraton dari para telik sandi atau mata-mata yang dikirim ke berbagai tempat. Pangeran Diponegoro akan langsung memimpin pertemuan tersebut. [] (Bersambung)

[1] Bendoro Raden Mas Mustahar atau Bendoro Raden Mas Ontowiryo atau Pangeran Diponegoro dilahirkan 11 November 1785. Ayahnya, Raden Mas Surojo atau yang kemudian dikenal sebagai Hamengku Buwono III dilahirkan pada 20 Februari 1769.

[2] Kalimat yang diucapkan Pangeran Diponegoro ini tertulis di dalam Babad Diponegoro jilid I hal.39-40.

[3] Menurut laporan Residen Belanda tahun 1805, Ustadz Taftayani yang berasal dari Sumatera Barat itu mampu memberikan pengajaran dalam bahasa Jawa dan pernah mengirimkan anak-anaknya ke Surakarta, pusat pendidikan agama pada waktu itu. Di Surakarta, Taftayani menerjemahkan kitab fiqih Sirat Al-Mustaqim karya Nuruddin Ar Raniri ke dalam bahasa Jawa. Ini mengindikasikan, Pangeran Diponegoro belajar Islam dengan serius. (Dr. Kareel A. Steenbrink, 1984, “Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke 19″, Penerbit Bulan Bintang, Jakarta hal. 29). Sumber