PEMAHAMAN PSIKOLOGI LINGKUNGAN DALAM UPAYA MEWUJUDKAN PEMBANGUNAN BERWAWASAN LINGKUNGAN

30 September 2013 17:00:23 Dibaca : 4760 Kategori : KUMPULAN MAKALAH

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Akhir-akhir ini dalam berbagai media massa diberitakan kondisi kekeringan yang melanda hampir di semua wilayah Indonesia ini. Kemarau panjang yang sekarang terjadi telah menguras sumber-sumber air tanah. Memang dapat kita rasakan bahwa bumi kita semakin panas. Sengatan sinar matahari yang begitu panas sengatannya seakan hampir membakar kulit kita. Maka tidak mengherankan kalau selain kekeringan, kebakaran hutan akibat panas sering kita dengarkan beritanya. Ini hanya sekelumit permasalahan yang terjadi dengan bumi kita.
Kalau kita telaah lebih jauh mengenai kondisi bumi dengan segala dinamika dan permasalahannya maka kita akan sampai pada kesimpulan bahwa sekarang ini bumi kita berada dalam keadaan yang sangat memprihatinkan. Dapat dikatakan bahwa bumi kita mulai “sakit”. Bahkan kalau kondisi tersebut dibiarkan maka tidak mengherankan bahwa bumi kita akan dengan segera menuju pada kehancuran.
Dapat dikatakan bahwa kemerosotan kualitas lingkungan kehidupan di bumi berlangsung terus sampai hari ini. Eksploitasi sumber daya dilakukan secara semena-mena tanpa etika lingkungan. Menurut Worlds Resources Institute, Indonesia kehilangan 72% hutan alam. Areal hutannya menurun rata-rata 3,4 juta hektar pertahun. Kawasan hutan di Indonesia menurun dratis dari 144 juta hektar (tahun 1950) menjadi hanya sekitar 92,4 juta hektar (1999). Tanah, air, udara tercemar baik oleh limbah industri maupun oleh limbah domestik yang berasal dari rumah hunian. Konon, sekitar 5 juta orang terserang muntaber dan sekitar 120 juta orang (60% penduduk) menderita cacingan akibat cemaran dari tinja.
Kebijakan pelaksanaan pembangunan yang semula dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat ternyata hanya dapat menyejahterakan sekelompok kecil masyarakat. Ironisnya, kegiatan pembangunan ini justru lebih banyak menurunkan kualitas hidup masyarakat akibat penurunan kualitas lingkungan. Atas pertimbangan inilah, badan internasional PBB dalam laporannya “our common future” mendeklarasikan konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yang berdimensi moral. Permasalahannya, bagaimana merubah keyakinan, sikap, dan perilaku tiap individu dari tidak ramah lingkungan menjadi ramah lingkungan?

B. PERUMUSAN MASALAH
Psikologi lingkungan sebagai ilmu perilaku multidisiplin yang memiliki orientasi dasar dan terapan yang memfokuskan interrelasi antara perilaku dan pengalaman manusia sebagai individu dengan lingkungan fisik dan sosial. Secara singkat psikologi lingkungan dapat diartikan sebagai ilmu kejiwaan yang mempelajari perilaku manusia berdasarkan pengaruh dari lingkungan tempat tinggalnya, baik lingkungan sosial, lingkungan binaan ataupun lingkungan alam.
Melihat krisis lingkungan yang terjadi, suatu alternatif proses pembanguan yang berwawasan lingkungan perlu dikembangkan. Dengan dikembangkannya pemahaman secara benar mengenai psikologi lingkungan dalam pembangunan jelas akan semakin mengantar manusia memahami hakekat keberadaannya di tengah-tengah lingkungan hidupnya.
Berangkat dari pemahaman tersebut maka tampak beberapa permasalahan mendasar yang kiranya dapat didalami, yaitu:
1. Apa yang dimaksud dengan Pemahaman mengenai Psikologi Lingkungan?
2. Apa yang dimaksud dengan Pembangunan yang berwawasan Lingkungan
3. Bagaimana pemahaman mengenai Psikologi Lingkungan dalam upaya mewujudkan pembangunan yang berwawasan lingkungan?

C. TUJUAN PENULISAN
Secara umum, penulisan makalah ini bertujuan untuk mengetahui pemahaman psikologi lingkungan dalam upaya mewujudkan pembangunan yang berwawasan lingkungan. Untuk mengupas pembahasan tersebut, pertama-tama penulis, melihat apa yang dimaksud dengan pemahaman mengenai psikologi lingkungan. Tujuannya adalah untuk mendapatkan landasan ilmiah hakekat hubungan manusia dengan lingkungannya. Dengan pemahaman yang benar akan hakekat hubungan manusia dan lingkungannya maka penulis akan semakin jelas bagaimana prespektif tersebut sunguh dapat menjadi inspirasi bagi manusia dalam upaya membangun kehidupannya, dengan tetap berakar pada hakekat relasinya dengan lingkungan.

BAB II
PEMBAHASAN
PEMAHAMAN MENGENAI PSIKOLOGI LINGKUNGAN

Environmental psychology is an interdisciplinary field focused on the interplay between humans and their surroundings. The field defines the term environment broadly, encompassing natural environments, social settings, built environments, learning environments, and informational environments. Since its conception, the field has been committed to the development of a discipline that is both value oriented and problem oriented, prioritizing research aiming at solving complex environmental problems in the pursuit of individual well-being within a larger society.[1] When solving problems involving human-environment interactions, whether global or local, one must have a model of human nature that predicts the environmental conditions under which humans will behave in a decent and creative manner. With such a model one can design, manage, protect and/or restore environments that enhance reasonable behavior, predict what the likely outcome will be when these conditions are not met, and diagnose problem situations. The field develops such a model of human nature while retaining a broad and inherently multidisciplinary focus. It explores such dissimilar issues as common property resource management, wayfinding in complex settings, the effect of environmental stress on human performance, the characteristics of restorative environments, human information processing, and the promotion of durable conservation behavior. This multidisciplinary paradigm has not only characterized the dynamic for which environmental psychology is expected to develop, but it has been the catalyst in attracting other schools of knowledge in its pursuit as well aside from research psychologists. Geographers, economists, policy-makers, sociologists, anthropologists, educators, and product developers all have discovered and participated in this field.[1] Although “environmental psychology” is arguably the best-known and most comprehensive description of the field, it is also known as human factors science, cognitive ergonomics, environmental social sciences, architectural psychology, socio-architecture, ecological psychology, ecopsychology, behavioral geography, environment-behavior studies, person-environment studies, environmental sociology, social ecology, and environmental design research.
Bicara soal psikologi tentu bukan merupakan hal asing. Psikologi adalah sebuah cabang ilmu pengetahuan. Menurut asalnya katanya, psikologi berasal dari bahasa Yunani Kuno: “ψυχή” (PsychÄ“ yang berarti jiwa) dan “-λογÎ¯α” (-logia yang artinya ilmu). Dengan demikian, secara etimologis, psikologi dapat diartikan dengan ilmu yang mempelajari tentang jiwa. Namun demikian, ternyata psikologi juga merupakan ilmu yang mencabangkan ilmu-ilmu lain yang sejenis, meskipun dari sudut pandang yang berbeda dalam pembahasannya. Salah satunya adalah apa yang dimaksud dengan psikologi lingkungan.
Di satu sisi disadari bahwa manusia lahir dengan membawa sifat keturunan dari induknya. Namun demikian, di sisi lain, keberadaan manusia ini juga dipengaruhi oleh unsur lingkungan yang ada di sekitarnya. Bahkan lingkungan sekitar pun dapat menjadi faktor yang membentuk karakteristik manusia. Barry, Child dan Bacon pernah mengadakan penelitan, yaitu menghubungkan tentang perbedaan antara pola asuh masyarakat yang menetap dengan masyarakat yang nomaden (berpindah-pindah sesuai dengan dimana sumber makanan dan air berada). Mereka berpendapat bahwa manusia yang lahir dan besar dalam masyarakat yang tinggal menetap diajarkan atau ditanamkan rasa tanggung jawab, ketaatan dan patuh. Sementara itu dalam masyarakat nomaden tidak terjadi demikian. Mereka lebih berorientasi pada mempersiapkan masyarakatnya untuk mandiri dan berakal agar dapat bertahan dalam keadaan alam yang tidak menentu dan sulit untuk diprediksi.
Asumsi bahwa lingkungan merupakan faktor dalam membentuk karakteristik seseorang menjadi asumsi dasar dalam psikologi lingkungan. Lalu, apa sebenarnya yang dimaksud dengan Psikologi lingkungan? Sebelum membahas mengenai psikologi lingkungan maka terlebih dulu kita akan melihat latar belakang sejarah dari psikologi lingkungan itu sendiri.

A. LATAR BELAKANG SEJARAH PSIKOLOGI LINGKUNGAN
Pada awalnya seorang tokoh yang bernama Kurt Lewin memperkenalkan sebuah teori yaitu teori medan (field theory). Teori ini merupakan salah satu langkah awal dari teori yang mempertimbangkan interaksi antara lingkungan dengan manusia. Lewin mengatakan bahwa tingkah laku adalah fungsi dari pribadi dan lingkungan, yang mana diantaranya terjadi suatu interaksi yang saling mempengaruhi satu sama lain. Lewin merumuskannya sebagai berikut:
TL = f (P,L)
Keterangan : TL = tingkah laku, f = fungsi, P = pribadi, L = lingkungan
Berdasarkan rumusan tersebut, Lewin mengajukan adanya kekuatan-kekuatan yang terjadi selama interaksi antara manusia dengan lingkungan. Masing-masing komponen tersebut bergerak suatu kekuatan-kekuatan yang terjadi pada medan interaksi, yaitu daya tarik dan daya mendekat ataupun gaya menjauh. Interaksi tersebut terjadi pada lapangan psikologis seseorang (penghuni atau pemakai) yang pada akhirnya akan mencerminkan tingkah laku penghuni. Berdasarkan rumus di atas, maka P (pribadi) dan L (lingkungan) merupakan variabel bebas atau yang mempengaruhi, sementara TL (tingkah laku) merupakan variabel terikat atau yang dipengaruhi.
Pada tahun 1943, Lewin memberikan istilah atas teorinya ini degan sebutan ekologi psikologi. Lalu Egon Brunswik dengan beberapa mahasiswanya mengajukan istilah psikologi ekologi. Pada tahun 1947, Roger Barker & Herbert Wright memperkenalkan istilah setting perilaku untuk suatu unit ekologi kecil yang melingkupi perilaku manusia sehari-hari.
Istilah psikologi arsitektur pertama kali diperkenalkan ketika diadakan konferensi pertama di Utah pada tahun 1961 dan 1966. Sementara itu, jurnal profesional pertama yang diperkenalkan pada akhir 1960-an kerap kali menyebutnya dengan istilah psikologi lingkungan dan perilaku. Baru pada tahun 1968, Harold Proshanky dan William Ittelson memperkenalkan program tingkat doktoral yang pertama dalam bidang psikologi lingkungan di CNUY (City University of New York) (Gifford, 1987). Akhirnya istilah environmental pshycology atau psikologi lingkungan menjadi istilah baku hingga sekarang ini.

B. DEFINISI PSIKOLOGI LINGKUNGAN
Definisi dari psikologi lingkungan pun ternyata beragam. Heimstra dan Mc Farling menyatakan bahwa psikologi lingkungan adalah suatu disiplin yang memperhatikan dan mempelajari hubungan antara perilaku manusia dengan lingkungan fisik. Sementara itu Guilford menyatakan bahwa psikologi lingkungan merupakan studi dari transaksi di antara individu dengan setting fisiknya. Dalam transaksi tersebut individu mengubah lingkungan dan sebaliknya. Perilaku dan pengalaman individu diubah oleh lingkungan.
Berangkat dari beberapa asumsi-asumsi yang ada mengenai psikologi lingkungan maka tokoh yang bernama Veitch dan Arkkelin mendefinisikan psikologi lingkungan sebagai ilmu perilaku multidisiplin yang memiliki orientasi dasar dan terapan yang memfokuskan interrelasi antara perilaku dan pengalaman manusia sebagai individu dengan lingkungan fisik dan sosial. Secara singkat psikologi lingkungan dapat diartikan sebagai ilmu kejiwaan yang mempelajari perilaku manusia berdasarkan pengaruh dari lingkungan tempat tinggalnya, baik lingkungan sosial, lingkungan binaan ataupun lingkungan alam.

C. RUANG LINGKUP PSIKOLOGI LINGKUNGAN
Proshansky melihat bahwa psikologi lingkungan memberi perhatian pada manusia, tempat serta perilaku dan pengalaman-pengalaman manusia dalam hubungannya dengan setting fisik. Lingkungan fisik tidak hanya berarti rangsangan-rangsangan fisik (seperti cahaya, sound, suhu, bentuk, warna dan kepadatan) terhadap objek-objek fisik tertentu, tetapi lebih dari itu merupakan suatu kompleksitas yang terdiri dari beberapa fisik dimana seseorang tinggal, berinteraksi dan beraktivitas. Sehubungan dengan lingkungan fisik, pusat perhatian psikologi lingkungan adalah lingkungan binaan (built environment).
Ruang lingkup psikologi lingkungan lebih jauh membahas: rancangan (desain), organisasi dan pemaknaan ataupun hal-hal yang lebih spesifik seperti ruang-ruang, bangunan-bangunan, ketetanggan, rumah sakit dan ruang-ruangannya, perumahan, apartemen, museum, sekolah, mobil, pesawat, teater, ruang tidur, seting kota, tempat rekreasi, hutan alami serta setting-setting lain pada lingkungan yang bervariasi.
Sosiologi lingkungan yang muncul pada tahun 1970-an merupakan cabang ilmu yang amat dekat dengan psikologi lingkungan. Perbedaannya terletak pada unit analisisnya. Jikalau psikologi lingkungan unit analisisnya adalah manusia dan kumpulan manusia sebagai individu, maka sosiologi lingkungan unit analisisnya adalah unit-unit dalam masyarakat seperti penduduk kota, pemerintah, pengunjung taman rekreasi dan sebagainya.
Jenis-jenis lingkungan di dalam sosiologi lingkungan yang beberapa di antaranya adalah juga banyak digunakan dalam psikologi lingkungan adalah:
• Lingkungan alamiah (natural environment) seperti: lautan, hutan dan sebagainya.
• Lingkungan buatan/binaan (bulit environment) seperti: jalan raya, perumahan, taman, rumah susun dan sebagainya.
• Lingkungan sosial.
• Lingkungan yang dimodifikasi.
Sementara itu, Veitch dan Arkkelin sebagai mana disebut di muka menetapkan bahwa psikologi lingkungan merupakan suatu area dari pencarian yang bercabang dari sejumlah disiplin seperti biologi, geologi, psikologi, hukum, geografi, ekonomi, sosiologi, kimia, fisika, sejarah, filsafat, beserta sub disiplin dan rekayasanya. Oleh karena itu berdasarkan ruang lingkupnya, psikologi lingkungan ternyata selain membahas seting-seting yang berhubungan dengan manusia dan perilakunya, juga melibatkan disiplin ilmu yang beragam.

D. SEKILAS MENGENAI TEORI-TEORI PSIKOLOGI LINGKUNGAN
Secara umum dapat digambarkan bahwa ada tiga tradisi besar orientasi teori psikologi dalam menjelaskan dan memprediksi perilaku manusia, yaitu pertama, perilaku disebabkan faktor dari dalam (deterministik), kedua, perilaku disebabkan faktor lingkungan atau proses belajar, ketiga, perilaku disebabkan interaksi manusia-lingkungan.
Psikologi lingkungan merupakan ilmu perilaku yang berkaitan dengan lingkungan fisik, merupakan salah satu cabang psikologi yang tergolong masih muda. Teori-teori psikologi lingkungan dipengaruhi, baik oleh tradisi teori besar yang berkembang dalam disiplin psikologi maupun di luar psikologi. Grand theories yang sering diaplikasikan dalam psikologi lingkungan adalah teori kognitif, behavioristik dan teori medan. Veitch & Arkelin mengatakan bahwa belum ada grand theories psikologi tersendiri dalam psikologi lingkungan. Yang ada sekarang ini baru dalam tataran teori mini. Hal ini didasarkan pandangan bahwa beberapa teori memang dibangun atas dasar data empiris tetapi sebagian yang lain kurang didukung oleh data empiris.
Oleh karena itu dalam makalah ini disajikan paparan secara garis besar aplikasi 3 tradisi besar orientasi teori dalam psikologi tersebut. Selanjutnya akan dipaparkan lebih mendalam mengenai teori mini dalam Psikologi Lingkungan. Salah satu teori besar yang menekankan interaksi manusia-lingkungan dalam sikologi adalah teori Medan dari Kurt Lewin dengan formula B = f (E,O).
Perilaku merupakan fungsi dari lingkungan dan organisme. Berdasarkan premis dasar tersebut muncul beberapa teori mini dalam psikologi lingkungan seperti teori beban lingkungan, teori hambatan perilaku, teori level adaptasi, stres lingkungan dan teori ekologi. Berikut ini akan dipaparkan teori mini tersebut:
1. Arousal Theory (Teori Arousal)
Arousal dapat diartikan sebagai daya pembangkit. Ketika kita emosional, kita sering merasa bergairah. Beberapa teoriawan menyatakan bahwa semua emosi adalah hanya tingkat di mana seseorang atau binatang dihasut. Namun demikian, tidak semua orang setuju dengan gagasan ini. Tingkat keterbangkitan adalah bagian penting dari emosi. Contohnya, tingkat yang tinggi dalam keterbangkitan adalah dalam kemarahan, ketakutan dan kenikmatan. Sedangkan tingkat keterbangkitan yang rendah adalah kesedihan dan depresi.
Mandler menjelaskan bahwa emosi terjadi pada saat sesuatu yang tidak diharapkan atau pada saat kita mendapat rintangan dalam mencapai suatu tujuan tertentu. Mandler menamakan teorinya sebagai teori interupsi. Interupsi pada masalah inilah yang menyebabkan keterbangkitan (arousal) dan menimbulkan pengalaman emosional. Suatu hal yang dapat kita petik diri teori ini adalah bahwa orang dapat memperlihatkan perubahan emosi secara ekstrim, seperti bergembira atau bergairah pada suatu saat, mengalami perasaan dukacita atau amarah pada saat yang lain.
Arousal dipengaruhi oleh tingkat umum dari rangsangan yang mengelilingi kita. Kita dapat saja menjadi bosan atau tertidur jika yang kita hadapi adalah hal-hal yang “tidak ada apa-apanya”. Suatu materi pelajaran yang tidak menarik dan sedikit sekali memberi manfaat pada yang mendengarkan membuat hampir semua yang mendengarkannya tidak bertahan lama dalam mengikutinya. Menurut Mandler, manusia memiliki motivasi untuk mencapai apa yang disebut sebagai dorongan arousal sehingga kita dapat berubah-ubah dari aktivitas satu ke aktivitas lainnya. Hampir semua orang yang memiliki motivasi ini dalam berinteraksi sehari-hari. Hanya saja, ada beberapa orang yang tidak responsif terhadap perubahan-perubahan yang terjadi di sekelilingnya sehingga hanya dapat dimunculkan arousal-nya jika benar-benar dalam keadaan yang amat membahayakan.

2. Teori Beban Lingkungan (Enviroment – Load Theory)
Premis dasar teori ini adalah manusia mempunyai kapasitas yang terbatas dalam pemrosesan informasi. Menurut Cohen ada 4 asumsi dasar teori ini yaitu:
• Manusia mempunyai kapasitas terbatas dalam pemprosesan informasi.
• Ketika stimulus lingkungan melebihi kapasitas pemrosesan informasi, proses perhatian tidak akan dilakukan secara optimal.
• Ketika stimulus sedang berlangsung, dibutuhkan respon adaptif. Artinya, signifikasi stimulus akan dievaluasi melalui proses pemantauan dan keputusan yang dibuat atas dasar respon pengatasan masalah. Jika stimulus tersebut dapat diprediksikan dan dikontrol, stimulus tersebut semakin mempunyai makna untuk diproses lebih lanjut. Tetapi jika stimulus yang masuk merupakan stimulus yang tidak dapat diprediksikan atau tidak dapat dikontrol, perhatiannya kecil atau mungkin pengabaian perhatian akan dilakukan. Akibatnya, pemrosesan informasi tidak akan berlangsung.
• Jumlah perhatian yang diberikan seseorang tidak konstan sepanjang waktu tetapi sesuai dengan kebutuhan.

3. Teori Hambatan Perilaku (Behaviour Constraints Theory)
Premis dasar teori ini adalah bahwa stimulasi yang berlebih atau tidak diinginkan, mendorong terjadinya arousal atau hambatan dalam kapasitas pemrosesan informasi. Akibatnya, orang merasa kehilangan kontrol terhadap situasi yang sedang berlangsung. Perasaan kehilangan kontrol merupakan langkah awal dari teori kendala perilaku. Istilah ‘hambatan’ berarti terdapat ‘sesuatu’ dari lingkungan yang membatasi (atau menginterferensi dengan sesuatu) dari apa yang menjadi harapan. Hambatan dapat muncul, baik secara aktual dari lingkungan atau pun interpretasi kognitif. Dalam situasi yang diliputi perasaan akan muncul sesuatu yang menghambat perilaku. Orang merasa tidak nyaman. Cara mengatasinya adalah orang mencoba menegaskan kembali kontrol yang dimiliki, yaitu dengan cara melakukan antisipasi faktor-faktor lingkungan yang membatasi kebebasan perilaku. Usaha tersebut dikatakan sebagai reaktansi psikologis (psychological reactance). Jika usaha tersebut gagal, muncul ketidakberdayaan atas apa yang dipelajari atau learned helplessness.
Averill mengatakan bahwa ada beberapa tipe kontrol terhadap lingkungan yaitu kontrol perilaku, kontrol kognitif dan kontrol lingkungan. Kontrol lingkungan mengarahkan perilaku untuk mengubah lingkungan, seperti mengurangi suasana yang bising, membuat jalan tidak berkelok-kelok, membuat tulisan/angka dalam tiap lantai di gedung yang bertingkat atau membuat pagar hidup untuk membuat rumah bernuansa ramah lingkungan. Kontrol kognitif mengandalkan pusat kendali di dalam diri. Artinya mengubah interpretasi situasi yang mengancam menjadi situasi penuh tantangan. Kontrol keputusan, dalam hal ini, orang mempunyai kontrol terhadap alternatif pilihan yang ditawarkan. Semakin besar kontrol yang dapat dilakukan maka akan lebih membantu keberhasilan adaptasi.
Teori kendala perilaku ini banyak dikembangkan Altman. Konsep penting dari Altman adalah bagaimana seseorang memperoleh kontrol melalui privasi agar kebebasan perilaku dapat diperoleh. Dinamika psikologis dari privasi merupakan proses sosial antara privasi, teritorial dan ruang personal. Privasi yang optimal terjadi ketika privasi yang dibutuhkan sama dengan privasi yang dirasakan. Privasi yang terlalu besar menyebabkan orang merasa terasing. Sebaliknya terlalu banyak orang lain yang tidak diharapkan, perasaan kesesakan (crowding) akan muncul sehingga orang merasa privasinya terganggu.
Selanjutnya dijelaskan oleh Altman bahwa privasi pada dasarnya merupakan konsep yang terdiri atas proses 3 dimensi. Pertama, privasi merupakan proes pengontrolan boundary. Artinya, pelanggaran terhadap boundary ini merupakan pelanggaran terhadap privasi seseorang. Kedua, privasi dilakukan dalam upaya memperoleh optimalisasi. Seseorang menyendiri bukan berarti ia ingin menghindarkan diri dari kehadiran orang lain atau keramaian tetapi lebih merupakan suatu kebutuhan untuk mencapai tujuan tertentu. Ketiga, privasi merupakan proses multi mekanisme. Artinya, ada banyak cara yang dilakukan orang untuk memperoleh privasi, baik melalui ruang personal, teritorial, komunikasi verbal dan komunikasi non verbal.
Ruang personal adalah ruang di sekeliling individu yang selalu di bawa ke mana saja orang pergi. Orang akan merasa terganggu jika ruang tersebut diinterferensi. Artinya, kebutuhan terhadap ruang personal terjadi ketika orang lain hadir. Ketika orang lain tidak hadi maka kebutuhan tersebut tidak muncul. Ruang personal biasanya berbentuk buble dan bukan semata-mata ruang personal tetapi lebih merupakan ruang interpersonal. Ruang personal ini lebih merupakan proses belajar atau sosialisasi dari orang tua. Seringkali orang tua mengingatkan anaknya untuk tidak mendekati orang asing dan lebih dekat ke orang tua terutama ibu atau anak diminta memberikan ciuman kepada saudaranya. Anak mempelajari aturan-aturan bagaimana harus mengambil jarak dengan orang yang sudah dikenal dan orang yang belum dikenalnya. Oleh karenanya, pengambilan jarak yang tepat ketika berinteraksi dengan orang lain merupakan suatu cara untuk memenuhi kebutuhan ruang personal diri dan orang lain.
Fungsi ruang personal adalah untuk mendapatkan kenyamanan, melindungi diri dan merupakan sarana komunikasi. Salah satu penelitian besar mengenai ruang personal dilakukan oleh Edward Hall yang bertujuan meneliti ruang personal sebagai cara mengirimkan pesan. Menurut Hall, ada kebutuhan dasar manusia untuk mengelola ruang yang disebut dengan proxemics.
Dengan memperhatikan jarak yang digunakan orang ketika mereka sedang berbicara, pengamat dapat menyimpulkan seberapa jauh kualitas hubungan interpersonal mereka. Jarak 0–45 cm dikategorikan sebagai jarak intim. Jarak personal dilakukan dalam jarak 3,5–7 meter. Jarak intim dilakukan oleh orang yang memang benar-benar mempunyai kualitas hubungan psikis sangat erat. Jarak personal dilakukan dalam berinteraksi dengan teman atau sahabat. Jarak sosial dilakukan individu yang tidak dikenal atau transaksi bisnis. Sedangkan jarak publik dilakukan oleh para public figure.
Aplikasi teori ruang personal terhadap rancangan lingkungan fisik adalah apakah fungsi utama dari lingkungan fisik tersebut dikaitkan dengan aktivitas dalam setting tersebut. Jika setting dirancang untuk memfasilitasi hubungan interpersonal maka rancangan model sosiofugal diperlukan, seperti ruang keluarga, ruang makan, ataupun ruang tamu. Sebaliknya, jika setting dirancang untuk tidak memfasilitasi hubungan interpersonal maka rancangan sosiopetal lebih diperlukan, seperti ruang baca di perpustakaan dan ruang konsultasi dan sebagainya..
Teritori merupakan suatu pembentukan wilayah geografis untuk mencapai privasi yang optimal. Dalam kaitannya dengan usaha memproleh privasi, perlu adanya upaya untuk menyusun kembali setting fisik atau pindah ke lokasi lain. Penyusunan kembali setting dapat dilakukan dengan pembuatan teritori yang diwujudkan seperti membuat pagar, membuat ‘tanda kepemilikan’ atau marking pada loksi-lokai di sungai, pegunungan atau pun di bukit.
4. Teori Level Adaptasi
Teori ini pada dasarnya sama dengan teori beban lingkungan. Menurut teori ini, stimulasi level yang rendah maupun level tinggi mempunyai akibat negatif bagi perilaku. Level stimulasi yang optimal adalah yang mampu mencapai perilaku yang optimal pula. Dengan demikian, dalam teori ini dikenal perbedaan individu dalam level adaptasi.
Adaptasi dilakukan ketika terjadi suatu disonansi dalam suatu sistem. Artinya ketidakseimbangan antara interaksi manusia dengan lingkungan muncul, seperti tuntutan lingkungan yang berlebih atau kebutuhan yang tidak sesuai dengan situasi lingkungan. Dalam hal ini, adaptasi merupakan suatu proses modifikasi kehadiran stimulus yang berkelanjutan. Semakin sering stimulus hadir maka akan terjadi pembiasaan secara fisik yang disebut sebagai habituasi. Selain itu juga akan terjadi pembiasaan secara psikis yang disebut adaptai. Dalam kaitannya dengan adaptasi, proses pembiasaan ini bukan bersifat mekanistik tetapi lebih merupakan antisipatif.
Dikatakan Helmi bahwa ketika seseorang mengalami proses adaptasi, perilakunya diwarnai kontradiksi antara toleransi terhadap kondisi yang menekan dan perasaan ketidakpuasan. Akhirnya, orang akan melakukan proses pemilihan dengan dasar pertimbangan yang rasional, antara lain memaksimalkan hasil dan meminimalkan biaya.
Teori beban lingkungan menurut Wohwill meliputi 3 dimensi dalam hubungannya perilaku lingkungan yaitu:
• Intensitas. Terlalu banyak orang atau terlalu sedikit orang di sekililing kita, akan membuat gangguan psikologis. Terlalu banyak orang meyebabkan perasaan sesak (crowding) dan terlalu sedikit menyebabkan orang merasa terasing (socialisolation).
• Keanekaragaman. Keanekaragaman benda atau manusia berakibat terhadap pemrosesan informasi. Terlalu beraneka membuat perasaan overload dan kekuranganekaragaman membuat perasaan monoton.
• Keterpolaan. Keterpolaan berkaitan dengan kemampuan memprediksi. Jika suatu setting dengan pola yang tidak jelas dan rumit menyebabkan beban dalam pemrosesan informasi sehingga stimulus sulit diprediksi, sedangkan pola-pola yang sangat jelas menyebabkan stimulus mudah diprediksi.

5. Teori Stres Lingkungan (Environment Stress Theory)
Teori stres lingkungan pada dasarnya merupakan aplikasi teori stres dalam lingkungan. Berdasarkan model input – process – output, maka ada 3 pendekatan dalam stres yaitu stres sebagai stressor, stres sebagai respon/rekasi dan stres sebagai proses. Oleh karenanya, stres terdiri atas 3 komponen yaitu stressor, proses dan respon. Stressor merupakan sumber atau stimulus yang mengancam kesejahteraan seseorang, seperti suara bising, panas atau kepadatan tinggi. Respon stres adalah reaksi yang melibatkan komponen emosional, fikiran, fisiologis dan perilaku. Proses merupakan proses transaksi antara stressor dengan kapasitas dengan kapasitas diri.
Oleh karena itu, istilah stres tidak hanya merujuk pada sumber stres, respon terhadap sumber stres saja tetapi keterkaitan antara ketiganya. Artinya, ada transaksi antara sumber stres dengan kapasitas diri untuk menentukan reaksi stres. Jika sumber stres lebih besar daripada kapasitas diri maka stres negatif akan muncul. Sebaliknya jika sumber tekanan sama dengan atau kurang sedikit dari kapasitas diri maka stres positif akan muncul.
Dalam kaitannya dengan stres lingkungan, ada transaksi antara karakteristik lingkungan dengan karakteristik individu yang menentukan apakah situasi yang menekan tersebut menimbulkan stres atau tidak. Udara panas bagi sebagian orang menurunkan kinerja. Namun demikian, bagi orang lain yang terbiasa tinggal di daerah gurun, udara panas tidak menghambat kinerja.
Ada tiga tahap stres dari Hans Selye yaitu tahap reaksi tanda bahaya, resitensi, dan tahap kelelahan. Tahap reaksi tanda bahaya adalah tahap di mana tubuh secara otomatis menerima tanda-tanda bahaya yang disampaikan indra. Tubuh siap menerima ancaman atau menghindar, seperti otot terlihat menegang, keringat keluar, sekresi adrenalin meningkat, jantung berdebar karena darah dipompa lebih kuat sehingga tekanan darah meningkat. Tahap resistensi atau proses stres. Proses stres tidak hanya bersifat otomatis hubungan antara stimulus-respon tetapi dalam juga muncul karena proses peran-peran kognisi. Model psikologis menekankan peran interpretasi dari stressor, yaitu penilaian kognitif apakah stimulus tersebut mengancam atau membahayakan.
Proses penilaian terdiri atas 2 yaitu penilaian primer dan sekunder. Penilaian primer merupakan evaluasi situasi apakah sebagai sesuatu yang mengancam, membahayakan ataukah menantang. Penilaian sekunder merupakan evaluasi terhadap sumber daya yang dimiliki, baik dalam arti fisik, psikis, sosial maupun materi. Proses penilaian primer dan sekunder akan menentukan strategi koping. Strategi koping dapat diklasifikasikan dalam direct action (pencarian informasi, menarik diri, atau mencoba menghentikan stressor) atau bersifat palliatif yaitu menggunakan pendekatan psikologis (merasinalisasi, meditasi, menilai ulang situasi dan sebagainya). Jika respon koping tidak adekuat mengatasi stressor, padahal semua enegi telah dikerahkan, orang akan masuk fase ketiga yaitu tahap kelelahan. Tetapi jika orang sukses, maka orang dikatakan mampu melakukan adaptasi. Dalam proses adaptasi tersebut memang mengeluarkan biaya dan sekaligus memetik manfaat.

6. Teori Ekologi (Echological Theory)
Menurut Hawley, perilaku manusia merupakan bagian dari kompleksitas ekosistem yang mempunyai beberapa asumsi dasar sebagai berikut:
- Perilaku manusia terkait dengan konteks lingkungan
- Interaksi timbal balik yang menguntungkan antara manusia – lingkungan
- Interaksi manusia – lingkungan bersifat dinamis
Interaksi manusia – lingkungan terjadi dalam berbagai level dan tergantung dengan fungsi.

E. METODOLOGI DAN PENDEKATAN KARAKTERISTIK PSIKOLOGI LINGKUNGAN
1. Metodologi Penelitian dalam Psikologi Lingkungan
Menurut Veitch dan Arkkelin terdapat 3 metode penelitian yang lazim digunakan di lapangan penelitian psikologi lingkungan. Ketiga metode tersebut adalah : Eksperimen Laboratorium, Studi korelasi, dan Eksperimen Lapangan.
 Eksperimen Laboratorium
Menurut Veitch dan Arkkelin, jika seorang peneliti memiliki perhatian terutama yang berkaitan dengan tingginya validitas internal maka eksperimen laboratorium adalah pilihan yang biasanya diambil. Metode ini memberi kebebasan kepada eksperimenter untuk memanipulasi secara sistematis variabel yang diasumsikan menjadi penyebab dengan cara mengontrol kondisi-kondisi secara cermat yang bertujuan untuk mengurangi variabel-variabel yang mengganggu. Selain itu yang tidak kalah pentingnya, metode eksperimen laboratorium juga mengukur pengaruh manipulasi-manipulasi tersebut. Dengan cara ini maka hasil pengumpulan datanya benar-benar merupakan variabel yang telah dimanipulasikan oleh eksperimenter.

 Studi Korelasi
Menurut Veitch dan Arkkelin, jika seorang peneliti ingin memastikan tingkat validitas eksternal yang tinggi maka seorang peneliti dapat menggunakan variasi-variasi dari metode studi korelasi. Studi-studi yang menggunakan metode ini dirancang untuk menyediakan informasi tentang hubungan-hubungan di antara hal-hal atau peristiwa-peristiwa yang terjadi di alam nyata yang tidak dibebani oleh pengaruh pengumpulan data. Dalam studi korelasi kita pada umumnya melaporkan hal-hal yang melibatkan pengamatan alami dan teknik penelitian survai.
Dengan menggunakan metode pengambilan data apapun maka penyimpulan dengan menggunakan studi korelasi dapat diperoleh hasil yang berbeda dibandingkan dengan eksperimen laboratorium. Dengan eksperimen laboratorium, kesimpulan yang berkaitan dengan faktor-faktor yang menjadi penyebab akan membuahkan hasil yang tepat.

 Eksperimen Lapangan
Menurut Veitch dan Arkkelin, jika seorang peneliti ingin menyeimbangkan antara validitas internal yang dicapai melalui eksperimen laboratorium dengan validitas eksternal yang dapat dicapai melalui studi korelasi maka ia boleh menggunakan metode campuran yang dikenal dengan istilah eksperimen lapangan. Dengan metode ini seorang eksperimenter secara sistematis memanipulasi beberapa faktor penyebab yang diajukan dalam penelitian dengan mempertimbangkan variabel eksternal dalam suatu setting tertentu. Hal-hal yang dapat dikendalikan memang hilang. Namun demikian, pada saat yang sama banyak hal yang berpengaruh dalam metode korelasi ditemukan. Oleh karena itu, para peneliti mengembangkan kontrol terhadap variabel, menjaga validitas eksternal pada tingkat tertentu dan mencoba menemukan percobaan yang lebih realistis guna mendukung suatu penelitian yang baik.

2. Karakteristik Pendekatan Psikologi Lingkungan
Secara umum, terdapat dua pendekatan, yaitu yang menyatakan bahwa lingkungan dalam kemurnian fisik (kaidah obyektifnya) dan pendekatan lainnya dalam orientasi phenomenology yang secara esensial menyatakan kesamaan dari lingkungan fisik/signifikansinya. Masing-masing mengabaikan tujuan dasar untuk mendefinisikan arti lingkungan dalam kerangka pendekatan tersebut. Jika kedua pendekatan tersebut dapat menyatakan definisi maka kesulitan mendasar akan muncul karena masing-masing pendekatan melihat suatu tingkatan parameter yang signifikan yang dinyatakan oleh satu dan lainnya.
Pendekatan obyektif untuk lingkungan merupakan akar dari percobaan psikofisik dan Watsonian Behaviourism, yang membagi lingkungan fisik menjadi dorongan discrete quantifiable, sebagai fungsi hubungan yang khas terhadap pengalaman dan perilaku. Pendekatan ini secara esensial digunakan untuk memantapkan dimensi dan kebebasan psikologi manusia seperti melihat/mengamati, berpikir, belajar dan merasakan. Hal itu banyak mengajarkan kita tentang beberapa hal yang mendasar tentang fungsi tersebut. Hanya saja hal tersebut tidak berarti terlalu banyak untuk dimengerti sebagai hasil integrasi manusia dalam bertingkah. Perilaku sendiri punya maksud tertentu dalam suatu setting sosial yang kompleks.
Pendekatan psikologi lingkungan sebagaimana yang disampaikan oleh Holahan mempunyai karakteristik antara lain:
 Adaptational Focus
yaitu suatu fokus penekanan pendekatan terdapat pada proses adaptasi manusia terhadap kebutuhan yang demikian kompleks dan terhadap suatu lingkungan fisik. Tiga aspek penting dalam adaptational focus ini adalah
- Bahwa adaptational focus adalah proses psikologi yang yang menjadi perantara dari pengaruh lingkungan/setting fisik terhadap kegiatan manusia
- Bahwa adaptational focus merupakan pandangan yang holistik terhadap lingkungan fisik dalam hubungannya dengan perilaku, lingkungan, pengalaman dan kegiatan manusia. Lingkungan fisik adalah suatu setting bagi perilaku manusia dan bukan hanya sebagai stimula tunggal.
- Bahwa adaptational focus melibatkan peranan aktif manusia dengan lingkungannya. Manusia aktif mencari cara positif dan adaptif untuk mengatasi tantangan lingkungannya (adaptational model)
Pendekatan psikologi lingkungan ini lebih merupakan problem solving dalam pembentukan paradigma baru yang berkaitan dengan suatu disiplin keilmuan. Dalam hal ini ilmuwan psikologi lingkungan harus terus melanjutkan usahanya untuk melakukan uji coba lanjutan dan lebih mensistematiskan asumsi “terjadi dengan sendirinya” terutama dengan perhatian terhadap wilayah permasalahan yang relatif tidak terjangkau oleh riset yang sistematis. Salah satu yang bisa diusulkan adalah teknik observasi partisipatif.

 Observasi Partisipatif
Observasi partisipatif didefinisikan sebagai suatu proses di mana observer berada dalam situasi langsung dengan yang diamatinya. Dengan peran serta dalam kegiatan sehari-hari observer mengumpulkan data. Observasi Partisipatif merupakan teknik yang sering digunakan dalam berbagai kajian ilmu termasuk psikologi lingkungan. Perkembangan bidang kajian arsitektur lingkungan dan perilaku juga banyak dilakukan dengan menggunakan teknik ini dengan beberapa modifikasi. Prinsip dasar yang digunakan adalah meniadakan ‘dinding batas’ serta menghilangkan jarak antara obyek yang diamati dengan subyek (pengamat). Artinya pengamat bisa berbaur dengan lebih intens terhadap obyek yang diamatinya.

BAB III
PERANAN PSIKOLOGI LINGKUNGAN DALAM UPAYA MEWUJUDKAN PEMBANGUNAN YANG BERWAWASAN LINGKUNGAN

Pada hakekatnya pembangunan berkelanjutan merupakan aktivitas memanfaatkan seluruh sumber daya, guna meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat manusia. Pelaksanaan pembangunan pada dasarnya juga merupakan upaya memelihara keseimbangan antara lingkungan alami (sumber daya alam hayati dan non hayati) dan lingkungan binaan (sumber daya manusia dan buatan) sehingga sifat interaksi maupun interdependensi antarkeduanya tetap dalam keserasian yang seimbang. Dalam kaitan ini, eksplorasi maupun eksploitasi komponen-komponen sumber daya alam untuk pembangunan, harus seimbang dengan hasil/produk bahan alam dan pembuangan limbah ke alam lingkungan. Prinsip pemeliharaan keseimbangan lingkungan harus menjadi dasar dari setiap upaya pembangunan atau perubahan untuk mencapai kesejahteraan manusia dan keberlanjutan fungsi alam semesta.
Sistem masukan dan keluaran dalam pembangunan yang berwawasan lingkungan dapat dikontrol dari segi sains dan teknologi. Penggunaan perangkat hasil teknologi diarahkan untuk tidak merusak lingkungan alam serta bersifat “teknologi bersih” dan mengutamakan sistem daur ulang. Arah untuk menjadikan produk ramah lingkungan dan menekan biaya eksternal akibat produksi tersebut harus menjadi orientasi bagi setiap usaha pemanfaatan sumber daya alam untuk kesejahteraan masyarakat. Mekanisme pengaturan keseimbangan sistem masukan dan keluaran akan ditentukan oleh kepedulian atau komitmen sumber daya manusia, sistem yang berlaku, infrastruktur fisik dan sumber daya lain yang dibutuhkan. Dengan prinsip keterlanjutan, pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan perlu disusun dalam arah strategis untuk menyelamatkan aset lingkungan hidup bagi generasi mendatang. Upaya peningkatan kesejahteraan manusia harus seiring dengan kelestarian fungsi sumber daya alam agar keseimbangan lingkungan tetap terjaga dan potensi keanekaragaman hayati tidak akan menurun kualitasnya.

A. PSIKOLOGI LINGKUNGAN MENDASARI PEMBENTUK PERILAKU SUBYEK PEMBANGUNAN YANG BERWAWASAN LINGKUNGAN
Sebelum menjelaskan lebih jauh mengenai korelasi psikologi lingkungan dalam kaitannya dengan pembentukan perilaku subyek pembangunan dan pembentukan wawasan peduli lingkungan maka perlu diperhatikan beberapa catatan berikut:
1. Mekanisme pembentukan perilaku manusia secara psikologis.
Dalam lingkup yang paling kecil, setiap individu memiliki kebutuhan psikologi dasar. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut setiap individu termotivasi untuk mengembangkan sikap yang berfungsi membantu pencapaian pemenuhan kebutuhan. Dengan demikian terdapat hubungan dua arah antara sikap dan kebutuhan-¬kebutuhan dasar. Semua kebutuhan memotivasi individu mengadopsi sikap tertentu, selanjutnya memuaskan kebutuhan dasarnya.
Sikap terdiri atas komponen kognitif dan afektif yang dipercaya akan mem¬bentuk komponen ketiga yaitu kecenderungan bertindak (a tendency to act). Sikap ini akan membentuk nilai-nilai (values). Nilai-nilai ini nantinya akan menuntun seseorang untuk bertindak (action). Dalam hal ini, berpikir merupakan proses mental yang terkait komponen sikap dengan nilai-nilai yang mengarahkan perilaku.
Perilaku (behavior) terjadi karena sikap dan nilai-nilai yang telah teradopsi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tertentu. Perilaku ini juga membantu dalam pemenuhan kebutuhan tersebut. Namun demikian, kadang-kadang perilaku juga menentukan sikap. Demikian sebaliknya.
2. Orientasi utama psikologi lingkungan
Pada bagian sebelumnya telah disampaikan bahwa psikologi lingkungan adalah suatu disiplin yang memperhatikan dan mempelajari hubungan antara perilaku manusia dengan lingkungannya. Psikologi lingkungan menekankan studi dari transaksi di antara individu dengan setting fisiknya. Dalam transaksi tersebut individu mengubah lingkungan dan sebaliknya. Perilaku dan pengalaman individu diubah oleh lingkungan. Bahkan dalam perkembangannya, pendapat mengenai hubungan yang saling tergantung antara manusia dengan lingkungannya pada saat ini akan tampak pada teori-teori yang dikembangkan pada disiplin psikologi lingkungan.
Dari pemahaman tersebut tampak bahwa secara implisit psikologi lingkungan, sebagai disiplin ilmu, senantiasa mempunyai fungsi 3 yaitu
• Memberikan pemahaman mengenai konsep-konsep dasar tentang manusia dan lingkungannya
• Memberikan dasar-dasar kemampuan untuk melakukan analisis mengenai permasalahan lingkungan aktual baik yang terjadi di tingkat lokal, regional ataupun global
• Mengantar penemuan solusi-solusi alternatif tentang bagaimana mengatasi permasalahan lingkungan melalui pendekatan ekologis dan penerapan bagi kehidupan manusia.
3. Konsep Manusia dalam prespektif Pembangunan Berwawasan Lingkungan
Dalam prespektif pembangunan yang berwawasan Lingkungan, manusia dipandang sebagai subyek dan obyek pembangunan itu sendiri (Misra, 1991). Manusia merupakan subjek pembangunan karena ia merupakan pelaksana pembangunan. Sementara itu, manusia menjadi objek pembangunan dipahami bahwa sasaran hasil pembangunan itu pada hakikatnya untuk kepentingan manusia itu sendiri. Dengan kata lain, pembangunan dilaksanakan oleh dan untuk manusia.
Pada dasarnya tujuan pembangunan adalah tercapainya standar kesejahteraan yang adil dan merata bagi hidup manusia. Karena aspek kesejahteraan yang adil dan merata di setiap wilayah harus diupayakan maka dalam pelaksanaan pembangunan, manusia memiliki hak dan kewajiban. Hak dan kewajiban ini diatur sedemikian rupa sehingga kedudukan manusia sebagai subjek dan objek pembangunan dapat terwujud. Hanya saja yang perlu diperhatikan adalah bahwa pelaksanaan hak dan kewajiban manusia dalam mencapai kesejahteraan perlu tetap menjaga kelestarian lingkungan alam serta tetap tersedianya sumber daya yang diperlukan.
Perlu dipahami bahwa ada keterkaitan antara lingkungan dan perilaku individu. Artinya seseorang tidak bisa terpisahkan dari lingkungannya. Keduanya merupakan bagian yang integral dari lingkungan dan saling membentuk. Antara perilaku dan lingkungan terjadi pula hubungan timbal balik yang saling membawa pengaruh. Ketika seorang individu bertindak terhadap lingkungan maka ia akan membawa pengaruh perubahan atas kondisi lingkungan. Demikian juga sebaliknya. Kondisi lingkungan yang berubah juga akan mempengaruhi perilaku individu.
Upaya manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sangat terpengaruh oleh kualitas keberadaan sumber daya lingkungan yang ada, baik yang berupa SDA (seperti tanah, air dan udara dan sumber daya alam yang lain yang termasuk ke dalam sumber daya alam yang terbarukan maupun yang tak terbarukan) maupun SDM (interaksi kebutuhan antarmanusia). Perlu disadari bahwa sumber daya lingkungan yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan manusia mempunyai keterbatasan di dalam banyak hal, yaitu keterbatasan tentang ketersediaan menurut kuantitas dan kualitasnya. Sumber daya lingkungan juga mempunyai keterbatasan menurut ruang dan waktu. Oleh sebab itu, perlu adanya pengelolaan yang bijaksana, rasional, cerdas dan bertanggung jawab. Dalam pengelolaan sumber daya lingkungan, manusia perlu berdasar pada prinsip ekoefisiensi. Artinya tidak merusak ekosistem, pengambilan secara efisien dalam memikirkan kelanjutan sumber daya yang ada dan keberlangsungan hidup manusia serta makhluk lainnya.
Pemanfaatan sumber daya alam tidak dimaksudkan untuk menguras habis kekayaan yang terkandung di dalam alam tetapi bertujuan pada terwujudnya tata pengelolaan keberadaan sumber daya alam untuk mendukung kesejahteraan manusia. Sebenarnya Prioritas utama pemanfaatan adalah upaya pelestarian lingkungan itu sendiri.
Yang sering kali disayangkan adalah bahwa upaya manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (yang katanya demi kesejahteraan) seringkali tidak didasarkan pada pemahaman yang integral atas kualitas keberadaaan sumber daya lingkungan yang ada. Lebih sering perilaku manusia dalam memenuhi kebutuhan dasarnya mengakibatkan rusaknya sumber daya lingkungan yang ada. Manusia justru memperlakukan sumber daya lingkungan yang ada sebagai pusat eksploitasi pemenuhan kebutuhan, dikuras habis.
Banyak contoh yang dapat kita lihat, seperti kasus-kasus pencemaran dan kerusakan lingkungan (pencemaran udara, pencemaran air, pencemaran tanah serta kerusakan hutan). Semua hal ini terjadi karena perilaku dan aktivitas manusia yang tidak bijaksana, tidak rasional, tidak cerdas dan tidak bertanggung jawab. Akibatnya ekosistem lingkungan menjadi terganggu. Ujungnya adalah sama, yaitu terganggu pula perilaku manusia itu sendiri.
Kalau pola perilaku manusia atas lingkungannya yang “merusak” ini dibiarkan maka harapan awal bahwa pembangunan yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan manusia hanya menjadi jargon semata. Dalam konteks ini jelas bahwa keberadaan psikologi lingkungan memegang peranan penting. Psikologi lingkungan merupakan suatu proses untuk membangun manusia yang sadar dan peduli terhadap lingkungannya secara total (keseluruhan) serta segala masalah yang berkaitan dengannya. Psikologi lingkungan mengantar manusia yang memiliki pengetahuan, ketrampilan, sikap dan tingkah laku serta memotivasi manusia untuk membangun komitmen untuk bekerja sama, baik secara individu maupun secara kolektif, untuk dapat memecahkan berbagai masalah lingkungan saat ini dan mencegah timbulnya masalah baru.
Terbentuknya pola perilaku manusia yang terinspirasi dan berwawasan lingkungan merupakan salah satu dasar penetapan tujuan umum (goal) dalam psikologi lingkungan. Seiring dengan goal tersebut maka untuk membantu manusia sebagai pelaku pembangunan yang berwawasan lingkungan, psikologi lingkungan perlu merancang metode sebagai berikut:
1. Pembangunan Kesadaran
Dengan jalan membantu individu dan kelompok sosial memperoleh kesadaran tentang kepekaan terhadap lingkungan dan berbagai masalah yang berkaitan.
2. Transfer Pengetahuan
Dengan jalan membantu individu dan kelompok sosial memperoleh berbagai pengalaman tentang lingkungan dan pemahaman dasar mengenai masalah¬masalah yang berhubungan. Dasarnya adalah eksplorasi kemampuan rasional manusia
3. Pengembangan Sikap
Dengan jalan membantu individu dan kelompok sosial memperoleh nilai-nilai sosial, perasaan kuat dan kepedulian terhadap lingkungan serta mempunyai motivasi.
4. Pemberian Ketrampilan
Dengan jalan membantu individu dan kelompok sosial memperoleh ketrampilan dalam pemecahan masalah-masalah lingkungan.
5. Partisipasi dan observasi
Dengan jalan membantu individu dan kelompok sosial mengembangkan rasa tanggung jawab terhadap berbagai masalah lingkungan dan mencoba menerapkan tindakan yang tepat untuk membantu memecahkan masalah tersebut.
6. Evaluasi dan refleksi
Dengan jalan membantu individu dan kelompok sosial mengembangkan pola internalisasi diri atas seluruh aktivitas terhadap lingkungan dengan seluruh pembelajarannya sehingga menjadi sebuah spiritualitas hidup. Spiriualitas hidup inilah yang nantinya akan mendorong perilaku konstan manusia atas lingkungannya.
Untuk membangkitkan kesadaran manusia terhadap lingkungan hidup di sekitarnya, proses yang paling penting dan harus dilakukan adalah dengan menyentuh hati. Jika proses penyadaran telah terjadi dan perubahan sikap dan pola pikir terhadap lingkungan telah terjadi, maka dapat dilakukan peningkatan pengetahuan dan pemahaman mengenai lingkungan hidup serta peningkatan keterampilan dalam mengelola lingkungan hidup

B. PSIKOLOGI LINGKUNGAN SUMBER INSPIRASI PENENTUAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN YANG BERWAWASAN LINGKUNGAN
“State have, in accordance with the charter of the United Nation and the principles of International law, the sovereign rights to exploit their own resources pursuant to their own environmental policies, and the responsibility to ensure that activities within their juridiction or control do not cause damage to the environment of other state or of areas beyond the limits of national jurisdiction”.

Dari gagasan tersebut tampak ada dua hal mendasar dari perkembangan kebijakan hukum baru terkait dengan pembangunan. Pertama, perkembangan kebijakan hukum bertalian dengan hak berdaulat (govereign right) terhadap sumberdaya alam yang menimbulkan masalah hukum yang bersifat lintas batas negara (hukum internasional). Kedua, keterkaitan eksploitasi sumberdaya (sebagai bagian dari kegiatan pembangunan) dengan kebijakan pengelolaan lingkungan sebagai tanggung jawab negara (state responsibility).
Pada tahap perkembangan kebijakan pengelolaan lingkungan, secara operasional di negara berkembang sangat berbeda dengan negara industri. Di negara industri: meskipun negara memegang tanggungjawab utama pengelolaan lingkungan pada pemanfaatan sumber daya alam, swasta telah ikut memainkan peranan penting untuk menerjemahkan isu lingkungan ke dalam kegiatan-kegiatan ekonomi. Mekanismenya lebih terukur sehingga dapat lebih cermat diinternalisasikan ke dalam biaya produksi melalui mekanisme pasar (cost-effectiveness). Perkembangan ini didukung pula oleh kebijakan hukum yang lebih acceptable, baik secara sosial dan ekonomi. Sementara itu, di negara berkembang, seperti Indonesia, kondisinya masih jauh dari harapan tersebut. Bahkan kalau boleh dikatakan kondisinya berbanding terbalik. Karena berkuasanya atas sumber daya alam maka diekploitasi sesukanya dan lupa atas kepedulian lingkungan.
Benar, bahwa isu lingkungan di negara industri terus diperdebatkan dan dipersoalkan secara ekonomi dan hukum. Namun demikian, sistem hukum, yang di dalamnya menyangkut kebijakan-kebijakan publik yang telah berjalan baik ikut membantu mengurangi potensi resiko sosial dan distorsi kebijakan lingkungan. Jelas bahwa penentuan kebijakan hukum pembangunan tidak bisa dilepaskan dari konteks kualitas keberadaan lingkungan. Bahkan dapat dikatakan bahwa kebijakan pembangunan perlu memperhatikan pengelolaan dan pertanggungjawaban atas lingkungan.
Pertanyaannya adalah apakah dalam konteks ini psikologi lingkungan mempunyai peranan dalam penentuan kebijakan pembangunan. Kalau ada, bagaimana dan sejauh mana peranannya dalam mempengaruhi kebijakan pembangunan yang berwawasan lingkungan?
Dipahami bahwa pembangunan yang berwawasan lingkungan adalah pembangunan berkelanjutan yang mengoptimalkan manfaat sumber daya alam dan sumber daya manusia dengan cara menyerasikan aktivitas manusia dengan kemampuan sumber daya alam untuk menopangnya. Komisi dunia untuk lingkungan dan pembangunan mendefinisikan sebagai pembangunan berkelanjutan, yaitu pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengorbankan hak pemenuhan kebutuhan generasi mendatang.
Di sisi lain, Otto Sumarwoto, sebagai ahli ekologi menyatakan bahwa ada keterkaitan dan kesalingtergantungan antara pengelolaan ekonomi dan lingkungan dalam konsep pembangunan berkelanjutan. Emil Salim, sebagai ahli ekonomi dalam kapasitasnya sebagai Menteri Negara Lingkungan Hidup (sebelumnya, sebagai Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup, 1978-83) telah ikut membangun dasar-dasar pemikiran pembangunan berkelanjutan baik secara Internasional, terutama sebagai anggota Komisi Brundlant yang menyusun laporan “masa Depan Kita” (Our Common future) maupun secara nasional melalui kebijakan dan hukum lingkungan nasional. Emil Salim juga telah memberikan rumusan pengertian pembangunan berkesinambungan (sustainable development) sebagai “suatu proses perubahan yang di dalamnya eksploitasi sumberdaya, arah investasi, orientasi pengembangan teknologi, dan perubahan kelembagaan semuanya dalam keadaan yang selaras serta meningkatkan potensi masa kini dan masa depan untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasi manusia”.
Tujuan pembangunan yang berwawasan lingkungan adalah tercapainya standar kesejahteraan hidup manusia dunia akhirat yang layak, cukup sandang, pangan, papan, pendidikan bagi anak-anaknya, kesehatan yang baik, lapangan kerja yang diperlukan, keamanan dan kebebasan berpolitik, kebebasan dari ketakutan dan tindak kekerasan serta kebebasan untuk menggunakan hak-haknya sebagai warga negara. Taraf kesejahteraan ini diusahakan dicapai dengan menjaga kelestarian lingkungan alam serta tetap tersediannya sumber daya yang diperlukan. Untuk mencapai hal tersebut jelas butuh tata pengelolaan lingkungan hidup yang tepat.
Yang dimaksud lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan dan makhluk hidup termasuk manusia dan perilakunya yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain. Tata pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijakan penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan dan pengendalian lingkungan hidup..
Untuk membangun tata pengelolaan lingkungan yang tepat menuntut adanya berbagai perangkat kebijaksanaan dan program serta kegiatan yang berpihak pada lingkungan. Sistem tersebut mencakup kemantapan kelembagaan, sumber daya manusia dan kemitraan lingkungan. Di samping itu, perangkat hukum dan perundangan, informasi serta pendanaan juga perlu dipikirkan. Sifat keterkaitan (interdependensi) dan keseluruhan (holistik) dari esensi lingkungan telah membawa konsekuensi bahwa pengelolaan lingkungan, termasuk sistem pendukungnya, tidak dapat berdiri sendiri. Namun demikian terintegrasikan dan menjadi roh dan bersenyawa dengan seluruh pelaksanaan pembangunan.
Oleh karena itu, sesuai dengan rencana tindak pembangunan berkelanjutan dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup maka perlu dilakukan peningkatkan kualitas lingkungan melalui upaya pengembangan sistem hukum, instrumen hukum, penaatan dan penegakan hukum termasuk instrumen alternatif, serta upaya rehabilitasi lingkungan. Dalam pembentukan hukum dan kebijakan publiknya, konsep pembangunan yang dijalankan tidak bisa tidak mesti memperlihatkan bahwa ilmu-ilmu non-hukum. Ilmu-ilmu non-hukum sangat berperan penting.
Mochtar Kusumaatmadja, sebagai penulis hukum pembangunan yang berpengaruh di Indonesia, menjelaskan pentingnya peranan ilmu-ilmu non-hukum dalam pembentukan hukum pembangunan nasional. Dalam tulisannya, yang berjudul “Fungsi dan Perkembangan Kebijakan Hukum dalam Pembangunan Nasional”, di bawah sub-judul “Hukum dan nilai-nilai sosial budaya” mengatakan bahwa hukum sebagai kaidah sosial, tidak lepas dari nilai (values) yang berlaku di suatu masyarakat. Bahkan hukum itu sendiri merupakan pencerminan dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Oleh karena itu, kebijakan hukum yang baik adalah kebijakan yang sesuai dengan hukum yang hidup (the living law) dalam masyarakat, yang sesuai pula atau merupakan percerminan daripada nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat itu.
Menurut Mochtar Kusumaatmadja dalam pembangunan nasional yang terpenting bukanlah pembangunan dalam arti fisik. Pembangunan nasional hendaknya mengacu pada perubahan pada anggota masyarakat itu dan nilai-nilai yang mereka anut. Jadi hakekat dari pembangunan nasional adalah pembaharuan cara berfikir dan sikap hidup. Sebab tanpa perubahan sikap dan cara berfikir, menurut Mochtar Kusumaatmadja, maka pengenalan lembaga-lembaga modern dalam kehidupan tidak akan berhasil dengan baik.
Berangkat dari pemahaman tersebut jelas bahwa pendekatan psikologi lingkungan merupakan salah satu pendekatan ilmu yang dapat digunakan sebagai metode dalam menentukan kebijakan pembangunan nasional yang berwawasan lingkungan. Secara umum, paling tidak peranan psikologi lingkungan dalam penentuan kebijakan pembangunan nasional yang berwawasan lingkungan meliputi 3 hal, yaitu fungsi inspiratif, fungsi daya operatif dan fungsi evaluatif.
1. Fungsi Inspiratif
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan Pusat Bahasa Diknas, kata inspirasi adalah kata benda yang berarti ilham. Sedangkan kata ilham sendiri memiliki arti, petunjuk (Tuhan) yg timbul di hati, pikiran (angan-angan) yg timbul dari hati bisikan hati serta sesuatu yg menggerakkan hati untuk mencipta sesuatu. Dengan demikian, fungsi inspiratif dimaksudkan bahwa psikologi lingkungan digunakan sebagai dasar petunjuk, pemahaman dan analisis kritis dalam menentukan kebijakan pembangunan yang berwasasan lingkungan.
Konsep penentuan kebijakan pembangunan tidak bisa meninggalkan konsep pemahaman yang menyeluruh, analisis kritis atas realitas lingkungan dengan seluruh dinamika yang terjadi. Dengan adanya pemahaman, analisis kristis maka akan didapatkan prinsip-prinsip dasar yang dapat menjadi petunjuk dalam menentukan kebijakan. Beberapa prinsip dasar yang perlu diperhatikan dalam penentuan kebijakan pembangunan yang berwawasan lingkungan adalah sebagai berikut:
• Prinsip kedaulatan negara atas sumberdaya alam demi pergunakan untuk kemakmuran rakyat dan tanggungjawab negara untuk mencegah dampak lingkungan yang bersifat lintas batas
• Prinsip melakukan tindakan pencegahan (the principle of prevention action)
• Prinsip bertetangga yang baik dan kewajiban melakukan kerjasama dengan semua lembaga dan internasional
• Prinsip pembangunan berkelanjutan (the principle of sustainable development)
• Prinsip kehati-hatian (the precautionary principle)
• Prinsip pencemar membayar (the polluter – pays principle)
• Prinsip kebersamaan dengan tanggungjawab yang berbeda (the principle of common but differentiated responsibility)
Apabila prinsip dasar ini dipakai dalam penentuan kebijakan pembangunan maka diyakini bahwa tujuan luhur pembangunan seperti yang tercantum dalam UUD’45 akan menjadi kenyataan

2. Fungsi daya operatif
Secara umum, operatif merupakan kata sifat dari operasional. Operasional sendiri berarti fungsi yang didasarkan pada karakteristik yang dapat diobservasi atau mengubah konsep-konsep yang berupa konstruk dengan kata-kata yang menggambarkan perilaku atau gejala yang dapat diamati dan yang dapat diuji dan ditentukan kebenarannya oleh orang lain
Dari sini tampak bahwa fungsi daya operatif yang dimaksud terkait langsung dengan proses pelaksanaan kebijakan yang telah dijalankan. Dalam hal ini psikologi lingkungan berperan untuk mengobservasi, meneliti, menguji kebenaran dan mengamati sejauh mana pelaksanaan kebijakan pembangunan berdampak pada pola perilaku dan gejala yang muncul akibat pelaksanaan kebijakan tersebut. Bahkan dalam hal ini, psikologi lingkungan dapat berperan sebagai pengontrol pelaksanaan kebijakan pembangunan.

3. Fungsi evaluatif
Secara umum evaluasi adalah proses penilaian. Penilaian ini bisa menjadi netral, positif atau negatif atau merupakan gabungan dari keduanya. Dalam kaitannya dengan sebuah pelaksanaan kegiatan evaluasi diartikan sebagai kegiatan untuk mengumpulkan informasi tentang bekerjanya sesuatu. Selanjutnya informasi tersebut digunakan untuk menentukan alternatif yang tepat dalam mengambil keputusan. Fungsi utama evaluasi dalam hal ini adalah menyediakan informasi-informasi yang berguna bagi pihak decision maker untuk menentukan kebijakan yang akan diambil berdasarkan evaluasi yang telah dilakukan.
Mengacu pada pemahaman tersebut maka fungsi evaluatif yang dimaksudkan adalah bahwa psikologi lingkungan berperan dalam mengevaluasi proses pelaksanaan kebijakan pembangunan yang telah dilaksanakan. Sejauh mana tingkat dan indikasi keberhasilan dari pembangunan yang berwawasan lingkungan berhasil? Kalau tidak berhasil apa kendala-kendalanya? Dan bagaimana kendala tersebut dapat dicarikan alternatif pemecahannya?

Sejenak dikaitkan dengan UU No. 32 Tahun 2004 dengan PP No. 25 Tahun 2000 tampak bahwa pengelolaan lingkungan hidup menjadi fokus utama. Implikasi yang muncul dari UU tersebut mencakup :
1. Program Pengembangaan dan Peningkatan Akses Informasi Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup.
Program ini bertujuan untuk memperoleh dan menyebarluaskan informasi yang lengkap mengenai potensi dan produktivitas sumber daya alam dan lingkungan hidup melalui inventarisasi dan evaluasi, serta penguatan sistem informasi. Sasaran yang ingin dicapai melalui program ini adalah tersedia dan teraksesnya informasi sumber daya alam dan lingkungan hidup, baik berupa infrastruktur data spasial, nilai dan neraca sumber daya alam dan lingkungan hidup oleh masyarakat luas di setiap daerah.
2. Program Peningkatan Efektifitas Pengelolaan Konservasi dan Rehabilitasi Sumber Daya Alam.
Tujuan dari program ini adalah menjaga keseimbangan pemanfaatan dan pelestarian sumber daya alam dan lingkungan hidup hutan, laut, air udara dan mineral. Sasaran yang akan dicapai dalam program ini adalah pemanfaatan sumber daya alam untuk mendukung kebutuhan bahan baku industri secara efisien dan berkelanjutan. Sasaran lain di program adalah terlindunginya kawasan-kawasan konservasi dari kerusakan akibat pemanfaatan sumber daya alam yang tidak terkendali dan eksploitatif
3. Program Pencegahan dan Pengendalian Kerusakan dan Pencemaran Lingkungan Hidup.
Tujuan program ini adalah meningkatkan kualitas lingkungan hidup dalam upaya mencegah kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan dan pemulihan kualitas lingkungan yang rusak akibat pemanfaatan sumber daya alam yang berlebihan, serta kegiatan industri dan transportasi. Sasaran program ini adalah tercapainya kualitas lingkungan hidup yang bersih dan sehat adalah tercapainya kualitas lingkungan hidup yang bersih dan sehat sesuai dengan baku mutu lingkungan yang ditetapkan.
4. Program Penataan Kelembagaan dan Penegakan Hukum, Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Pelestarian Lingkungan Hidup.
Program ini bertujuan untuk mengembangkan kelembagaan, menata sistem hukum, perangkat hukum dan kebijakan, serta menegakkan hukum untuk mewujudkan pengelolaan sumber daya alam dan pelestarian lingkungan hidup yang efektif dan berkeadilan. Sasaran program ini adalah tersedianya kelembagaan bidang sumber daya alam dan lingkungan hidup yang kuat dengan didukung oleh perangkat hukum dan perundangan serta terlaksannya upaya penegakan hukum secara adil dan konsisten.
5. Progam Peningkatan Peranan Masyarakat dalam Pengelolaan Sumber Daya alam dan Pelestarian fungsi Lingkungan Hidup.
Tujuan dari program ini adalah untuk meningkatkan peranan dan kepedulian pihak-pihak yang berkepentingan dalam pengelolaan sumber daya alam dan pelestarian fungsi lingkungan hidup. Sasaran program ini adalah tersediaanya sarana bagi masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam dan pelestarian fungsi lingkungan hidup sejak proses perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan, perencanaan, pelaksanaan sampai pengawasan.
Tingkat keberhasilan pelaksanaan kebijakan pembangunan yang berwawasan lingkungan diukur dari tingkat terjaganya kualitas lingkungan dan keberlangsungan seluruh makhluk. Oleh karena itu, kebijakan dalam pembangunan h