Adab Berbicara

03 April 2013 11:53:36 Dibaca : 1168

“Lidah memang tidak bertulang”, itulah ungkapan yang sudah tidak asing lagi di telinga setiap kita. Ungkapan tersebut menunjukkan betapa lidah dapat digerakkan ke segala arah dengan mudah. Ia dapat diluruskan, dibengkokkan ke atas, ke bawah, ke kanan maupun ke kiri. Lidah pun dapat dilipat horizontal maupun vertikal. Begitulah lidah.

Gambaran mengenai lidah yang dapat digerakkan kesegala arah dengan mudah tersebut menyiratkan arti bahwa lidah dapat dengan mudah mengucapkan segala kata. Ia dapat mengucapkan perkataan yang lurus berupa kebenaran, maupun perkataan perkataan bengkok yang menyimpang dari kebenaran, seperti dusta, ghibah, fitnah, dan lain-lain.

Dalam ungkapan yang lain juga dikatakan bahwa, “Lidah itul lebih tajam dari sebilah pedang”. Benarkah bahwa lidah yang lembek itu lebih tajam dari sebilah pedang?

Coba kita renungkan sejenak…
Dengan menggunakan sebilah pedang yang tajam, bahkan yang paling tajam sekalipun seseorang hanya dapat membunuh seorang manusia lainnya hanya sekali saja. Setelah manusia itu mati, maka tidak mungkin dengan pedang itu ia dapat membunuhnya kembali untuk yang kedua kalinya. Namun, dengan lidah seseorang dapat membunuh seorang manusia lainnya setiap hari. Bahkan dalam sehari, seorang manusia dapat terbunuh berkali-kali oleh ganasnya lidah. Lidah dapat membunuh seseorang berkali-kali dengan cara memfitnah. Itulah mengapa akhirnya timbul istilah, “Sesungguhnya fitnah itu adalah lebih kejam daripada pembunuhan”.

Fitnah akan menghancurkan kehidupan seseorang. Fitnah merobek-robek harga diri seseorang. Fitnah menginjak-injak kehormatan seseorang. Fitnah menghancurkan segala sesuatu yang ada pada seseorang. Dan fitnah membuat seseorang hidup dalam kematian.

Itulah salah satu bahaya lidah yang tidak terkontrol dengan baik. Lidah yang tidak dikontrol dengan baik akan melontarkan kata-kata negatif yang tidak akan pernah diketahui seberapa besar efeknya terhadap orang lain maupun terhadap dirinya sendiri kelak. Demikian pula dengan lidah yang terkontrol dengan baik, yang selalu melontarkan kata-kata ma’ruf. Tidak akan pernah diketahui pula seberapa besar efek positif dari ucapan tersebut akan dapat mempengaruhi orang lain, dan seberapa besar pula balasan yang akan kita terima kelak. Hal ini senanda dengan sabda Rasulullah saw yang berbunyi:

“Sesungguhnya seorang hamba mengucapkan satu kata yang diridhai Allah swt yang ia tidak mengira yang akan mendapatkan demikian sehingga dicatat oleh Allah swt keridhoan-Nya bagi orang tersebut sampai nanti hari Kiamat. Dan seorang lelaki mengucapkan satu kata yang dimurkai Allah swt yang tidak dikiranya akan demikian, maka Allah swt mencatatnya yang demikian itu sampai hari Kiamat.” (HR. Tirmidzi dan ia berkata hadits hasan shahih; juga diriwayatkan oleh Ibnu Majah)

Untuk itu, sudah sepatutnyalah bagi setiap umat muslim yang beriman agar senantiasa menjaga lidahnya setiap saat. Berbicaralah dengan hati-hati, jangan sampai lepas kendali. Selalulah berupaya untuk senantiasa mengontrol lidah hanya untuk mengucapkan perkataan yang bernilai positif dan tidak menyinggung atau menyakiti. Karena, meskipun kita tidak pernah tahu mengenai apa dan seberapa besar balasan yang akan diberikan Allah swt kepada kita, namun kita harus yakin bahwa Allah swt selalu memberikan ganjaran yang setimpal. Tidak ada amalan sekecil apapun yang tidak akan mendapatkan balasan dari Allah swt, sebagaimana firman Allah swt dalam surat Al Zalzalah ayat 7-8, yang artinya:

“Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya pula.” (QS. Al Zalzalah : 7-8)

Dan hendaknya kita pun senantiasa mengingat akan satu firman Allah swt yang artinya:

“Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” (QS. Qaaf : 18)

Dalam surat Qaaf tersebut jelas sekali bahwa setiap patah kata yang terucap dari mulut kita dicatat oleh malaikat Allah swt yang tidak pernah berdusta maupun korupsi untuk menyembunyikan keburukan maupun kebaikan perkataan seorang manusia dari Allah swt. Dan andaipun hal itu terjadi, maka sesungguhnya “inna robbakalbilmirshood”, “sesungguhnya Rabb-mu benar-benar mengawasimu”. Maka tidak akan ada sedikitpun kata yang akan terlewat dari pendengaran Allah swt.

Untuk itu, hendaknya kita mengetahui bagaimanakah Islam mengajarkan tata cara dalam berbicara yang baik, sehingga kita tidak akan terjerumus dalam limbah dosa yang disebabkan oleh lidah kita, baik secara sengaja maupun tidak disengaja. Ingatlah bahwa segala sesuatu itu ada ilmunya, dan Islam adalah agama yang memiliki aturan atas setiap aktivitas kehidupan umatnya, dari masalah-masalah yang kecil hingga masalah-masalah yang besar. Maka sudah menjadi kewajiban umat muslimlah untuk terus menuntut dan memperdalam ilmu Islam agar tidak salah dalam melangkah, agar tidak salah dalam berucap.

Lidah adalah salah satu perangkat tubuh yang sangat vital bagi manusia, sekaligus salah satu perangkat tubuh yang juga dapat menjerumuskan seorang manusia dalam murka dan azab Allah swt yang sangat pedih. Maka dari itu kita harus mampu untuk mengontrol gerak lidah dengan baik. Untuk mengontrol lidah agar tidak berbicara dalam kemungkaran, Islam telah memberikan aturannya dengan jelas yang kemudian disebut dengan adab berbicara. Menurut kacamata Islam, adab berbicara memiliki beberapa poin yang jika direalisasikan insya Allah akan mengontrol lidah agar senantiasa berbicara dalam kebaikan dan menghindari ucapan-ucapan atau pembicaraan yang berbau maksiat, sebagaimana firman Allah swt yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman bertaqwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar.” (QS. Al Ahzab : 70). Berikut adalah poin-poin yang terdapat di dalam adab berbicara tersebut:

1. Berpikir sebelum berbicara

Hendaknya, segala sesuatu yang kita ucapkan merupakan kalimat atau kata-kata yang merupakan hasil pemikiran dan renungan dari dalam hati nurani, bukan merupakan kata-kata yang terlontar sembarangan. Pikirkanlah apakah ucapan yang akan akan disampaikan merupakan sebuah kebenaran dan kebaikan atau bukan. Tanyakan terlebih dahulu pada hati nurani, apakah ucapan yang akan dilontarkan berbau maksiat atau tidak. Dan tentunya, pemikiran serta perenungan tersebut pun harus dilandaskan pada prinsip-prinsip Islam, amar ma’ruf dan nahi munkar. Hendaknya, kalimat atau kata yang kita ucapkan mengandung nilai-nilai kebaikan. Hal ini senada dengan sabda Rasulullah saw berikut:

“Dalam Islam mengajak umat agar senantiasa menjaga lisan. Dengan begitu, lisan menjadi selalu digunakan untuk sesuatu yang baik, tidak bertentangan dengan kehendak Allah swt. Rasulullah SAW bersabda, “Lisan orang yang berakal muncul dari balik hati nuraninya. Maka ketika hendak berbicara, terlebih dahulu ia kembali pada nuraninya. Apabila ada manfaat baginya, ia berbicara dan apabila dapat berbahaya, maka ia menahan diri. Sementara hati orang yang bodoh berada di mulut, ia berbicara sesuai apa saja yang ia maui.” (HR. Bukhari-Muslim).

Berkata yang baik juga merupakan salah satu ciri orang yang beriman kepada Allah swt. Maka jika ada seseorang yang mengaku beriman kepada kepada Allah swt namun masih suka mengucapkan kata-kata kotor, dusta, masih gemar bergossip, suka memfitnah, serta perkataan-perkataan berbau maksiat dan kemungkaran yang lain, bisa dikatakan bahwa imannya masih pincang atau cacat.

Sekiranya kita tidak mampu untuk berbicara yang baik, atau kita merasa bibir ini gatal manakala mendengar orang bergossip, maka sebaiknya menjauhlah dari hal-hal tersebut. Jangan turut mendengarkan, yang akan memancing kita untuk turut serta. Rasulullah saw bersabda:

“Siapa yang beriman Kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah ia mengatakan yang baik atau diam.” ( HR. Bukhari dan Muslim )

Inti pada poin pertama ini adalah, hendaknya pembicaraan selalu berada dalam lingkaran kebaikan, bukan merupakan pembicaraan yang mengandung kemaksiatan atau kemungkaran.

Mengenai perintah untuk selalu berbicara dalam kebaikan ini, Allah swt juga telah menegaskan melalui firman-Nya di dalam Al Quran, yang artinya:

“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam sembahyangnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna,” (QS. Al Mu’minun : 1-3)

Di dalam surat yang lain, Allah swt juga berfirman:

“Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisik-bisikan mereka, kecuali bisik-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah atau berbuat ma'ruf, atau mengadakan perdamaian diantara manusia.” (QS. An Nisa : 114)

2. Berbicara dengan jelas dan tidak bertele-tele

Islam menganjurkan umatnya untuk selalu berbicara dengan jelas sehingga dapat dipahami dengan baik oleh semua yang mendengarkan. Hindari kebiasaan berbicara bertele-tele yang dapat menyebabkan pendengar justru menjadi tidak mengerti maksud yang akan disampaikan. Selain itu, pembicaraan yang bertele-tele juga akan menimbulkan kejenuhan dan rasa tidak nyaman kepada pendengar, dan akhirnya pembicaraan itu dapat menghilangkan keihklasan dari pendengar. Dalam hal ini Rasulullah saw telah bersabda:

“Bahwasanya perkataan Rasulullah saw itu selalu jelas sehingga bias dipahami oleh semua yang mendengar.” (HR. Abu Daud)

Dalam hadist lain, Rasulullah saw juga telah berkata, “Sesungguhnya orang yang paling aku benci dan paling jauh dariku nanti di hari Kiamat ialah orang yang banyak omong dan berlagak dalam berbicara.” Maka dikatakan: Wahai Rasulullah kami telah mengetahui arti ats-tsartsarun dan mutasyaddiqun, lalu apa makna al-mutafayhiqun? Maka jawab nabi saw: “Orang-orang yang sombong.” (HR. Tirmidzi dan dihasankannya)

Ucapan yang jelas dan tidak bertele-tele akan meminimalisir terjadinya kesalah pengertian pihak pendengar dalam menangkap dan mengartikan maksud dari si pembicara. Ucapan yang jelas di sini tentunya juga mengandung pengertian tidak terlalu cepat, sehinga kata perkata dapat terdengar dengan baik oleh pendengar.

3. Tidak mengucapkan kebathilan

Salah satu yang juga termasuk di dalam adab berbicara adalah menghindarkan diri dari perkataan yang bathil, yaitu membicarakan kebathilan tanpa tujuan yang dibenarkan syariat.

Banyak sekali manusia yang terjerumus dalam perkara yang satu ini. Dan sebagian besar penyebabnya adalah karena mereka menganggap sepele terhadap apa yang akan dan telah mereka ucapkan. Ketika mereka mengucapkan satu kebathilan, sebenarnya hati kecil mereka mengerti bahwa ucapan tersebut tidak baik. Namun, seolah ada bisikan kecil yang menyusup ke dalam hati, kemudian berkata lirih namun begitu dahsyat pengaruhnya, “Halah…Cuma gitu aja!”, “Itu mah masalah sepele…!”, “Halah…Cuma bercanda kok!”, dan sebagainya. Bisikan-bisikan semacam itulah yang akhirnya membuat seseorang dengan PD-nya (Percaya Diri), tanpa rasa bersalah maupun berdosa mengucapkan kebathilan tersebut.

Sungguh, merugilah orang-orang yang sampai saat ini masih mempertahankan dan mengikuti bisikan-bisikan semacam itu. Apakah mereka berpikir bahwa Allah swt memiliki pemikiran yang sama dengan dirinya yang dhoif itu? TIDAK! Allah swt adalah Zat yang Maha Tinggi dan Maha Sempurna, mustahil bagi-Nya disamai oleh makhluk-Nya dalam hal apapun.

Ketahuilah, bahwa bisa jadi Allah swt menganggap sepele terhadap sesuatu yang kita anggap besar. Dan sebaliknya, bisa jadi Allah swt menganggap besar terhadap sesuatu yang kita anggap sepele. Karena hanya Dia-lah yang Maha Tahu atas segala sesuatu, hanya Dia-lah yang Maha Benar. Dalam hal ini Rasulullah saw telah bersabda:

“Sesungguhnya seorang hamba mengucapkan satu kata yang diridhai Allah swt yang ia tidak mengira yang akan mendapatkan demikian sehingga dicatat oleh Allah swt keridhoan-Nya bagi orang tersebut sampai nanti hari Kiamat. Dan seorang lelaki mengucapkan satu kata yang dimurkai Allah swt yang tidak dikiranya akan demikian, maka Allah swt mencatatnya yang demikian itu sampai hari Kiamat.” (HR. Tirmidzi dan ia berkata hadits hasan shahih; juga diriwayatkan oleh Ibnu Majah)

Cobalah renungkan sejenak sabda Rasulullah saw diatas, betapa perkataan yang dianggap sepele tersebut ternyata dapat menjerumuskan seseorang ke dalam murka Allah sw hingga datangnya hari kiamat kelak.

4. Tidak berkata keji dan mencela

Rasulullah saw bersabda, “Bukanlah seorang mukmin jika suka mencela, melaknat dan berkata-kata keji.” (HR. Tirmidzi dengan sanad shahih)

Dengan kata lain, hadits di atas mengatakan bahwa orang-orang yang beriman adalah orang-oran yang selalu berbicara dalam kebaikan. Atau dapat juga dikatakan bahwa orang-orang yang suka berkata keji itu bukanlah termasuk ke dalam golongan orang-orang yang beriman. Untuk itu, jika seseorang mengaku bahwa dirinya telah beriman kepada Allah swt maka tidak ada lagi kata-kata keji yang akan terlontar dari mulutnya.

Seseorang yang beriman akan selalu berusaha dengan keras untuk menahan nafsu yang selalu mengajaknya untuk emosi dan akhirnya mengeluarkan kata-kata yang keji atau kotor, menjauhi kebiasaan mencela yang dapat menyakiti hati orang lain.

5. Tidak sombong dan banyak berbicara

Hindarilah kebiasaan terlalu banyak bicara, karena hal ini dapat menimbulkan kejenuhan bagi pendengarnya. Keingingan kita untuk menyampaikan sesuatu hendaknya dikemas dengan bahasa yang mudah dipahami dan tidak terlalu bertele-tele. Pendengar yang sudah dikuasai oleh kejenuhan dapat kehilangan konsentrasi yang akhirnya tidak dapat menyerap isi dari perkataan si pembicara.

“Adalah Ibnu Mas’ud ra senantiasa mengajari kami setiap hari Kamis, maka berkata seorang lelaki: Wahai abu Abdurrahman (gelar Ibnu Mas’ud)! Seandainya anda mau mengajari kami setiap hari? Maka jawab Ibnu Mas’ud : Sesungguhnya tidak ada yang menghalangiku memenuhi keinginanmu, hanya aku kuatir membosankan kalian, karena akupun pernah meminta yang demikian pada nabi saw dan beliau menjawab kuatir membosankan kami .“ (HR. Muttafaq ‘alaih)

Janganlah bersikap sok pintar yang seolah-olah mengerti akan banyak hal. Sikap sok pintar dan ingin dipuji sebagai orang yang pandai atau memiliki banyak ilmu pengetahuan akan membuat seseorang menjadi terlalu banyak berbicara. Dan hal ini justru tidak akan menimbulkan pujian dari pendengar, melainkan akan menimbulkan rasa bosan dan kesal kepada si pendengar. Sikap sok pintar merupakan salah satu sifat yang paling dibenci oleh Rasulullah saw, sebagaimana dinyatakan di dalam hadits Jabir ra:

“Dan sesungguhnya manusia yang paling aku benci dan yang paling jauh dariku di hari Kiamat kelak adalah orang yang banyak bicara, orang yang berpura-pura fasih dan orang-orang yang mutafaihiqun”. Para shahabat bertanya: Wahai Rasulllah, apa arti mutafaihiqun? Nabi menjawab: “Orang-orang yang sombong”. (HR. At-Turmudzi, dinilai hasan oleh Al-Albani)

 

Kategori

  • Masih Kosong

Blogroll

  • Masih Kosong