Dampak Gejolak Sparatisme Permesta terhadap Ekonomi di Sulawesi Utara Tahun 1958-1963
Dampak Gejolak Sparatisme Permesta terhadap Ekonomi di Sulawesi Utara Tahun 1958-1963
oleh : Murdiono Prasetio A. Mokoginta
Pengantar
Perdjuangan Semesta atau Perdjuangan Rakyat Semesta disingkat Permesta adalah sebuah gerakan militer di Indonesia. Gerakan ini dideklarasikan oleh pemimpin sipil dan militer Indonesia Timur pada 2 Maret 1957 yaitu oleh Letkol Ventje Sumual. Pusat pemberontakan ini berada di Makassar yang pada waktu itu merupakan ibu kota Sulawesi. Awalnya masyarakat Makassar mendukung gerakan ini. Namun Belakangan, masyarakat Makassar mulai memusuhi pihak Permesta. Setahun kemudian, pada 1958 markas besar Permesta dipindahkan ke Manado. Disini timbul kontak senjata dengan pasukan pemerintah pusat sampai mencapai gencatan senjata. Masyarakat di daerah Manado waktu itu tidak puas dengan keadaan pembangunan mereka. Pada waktu itu masyarakat Manado juga mengetahui bahwa mereka juga berhak atas hak menentukan diri sendiri (self determination) yang sesuai dengan sejumlah persetujuan dekolonisasi. Di antaranya adalah Perjanjian Linggarjati, Perjanjian Renville dan Konferensi Meja Bundar yang berisi mengenai prosedur-prosedur dekolonisasi atas bekas wilayah Hindia Timur. (http://id.wikipedia.org)
Hari itu juga Pemerintah Pusat kemudian mengumumkan pemecatan dengan tidak hormat atas Letkol H.N. Ventje Sumual, Mayor D.J. Somba, dan kawan kawannya, dari Angkatan Darat. Saat itu pula para pelajar, mahasiswa, pemuda dan ex-KNIL mendaftarkan diri untuk menjadi Pasukan dalam Angkatan Perang Permesta. Bagi mereka yang telah mendatar langsung di beri latihan di Mapanget. (http://id.wikipedia.org), Bersamaan dengan keadaan yang terjadi diatas Kolonlel D. Somba dan Letkol Ventje Sumual dari Sulawesi Utara, yang ketika itu masih bermarkas di Makasar langsung juga menyatakan perang dengan membuntuk Perjuangan Semesta Alam atau Permesta Sesudah itu. Melihat peranan para Tokoh, seperti Syafruddin Prawiranegara dan Mohammad Natsir, banyak yang berpendapat, bahwa tujuan pembentukan PRRI/Permesta yang terutama adalah menyelamatkan Republik Indonesia dari bahaya Komunisme; yaitu sebagai sebuah strategi membangun negara tanpa Komunis. Terlepas dari “Perang” yang kemudian berlangsung, strategi itu juga belum berhasil mengingatkan Soekarno akan penolakan daerah atas politik Pro-Komunismenya. Sikap kersa kepala Soekarno ini pula yang melahirkan Peristiwa 1965. (Sri Bintang Pamungkas, 2014).
Setelah beberapa hal diatas kita juga harus menjelaskan beberapa faktor yang melatar belakangi Sebelum kita masuk pada pembahasan sesuai judul Artikel yang akan saya bawakan yakni Dampak Gejolak Sparatisme Permesta terhadap Ekonomi di Sulawesi Utara Tahun 1958-1963, faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya Pemerontakan-pemerontakan di beberapa daerah pada masa demokrasi liberal disamping karena perbedaan ideologi dalam menentukan sudut pandang masa depan bangsa, juga karena tidak meratanya pembangunan ekonomi dan dibatasinya suatu otonomi daerah di beberapa tempat sehingga munculah ketidakpuasan akan kinerja pemerintah hingga berujung pada tindakan Sparatis di beberapa tempat antara lain di Sumatera dan Sulawesi.
Secara Nasional, kondisi ekonomi di Indonesia pada masa liberal masih sangat buruk. Hal ini disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut :
1. Setelah pengakuan kedaulatan dari Belanda pada tanggal 27 Desember 1949, bangsa Indonesia menangung beban ekonomi dan keuangan seperti yang telah ditetapkan dalam hasil-hasil persetujuan Konfrensi Meja Bundar (KMB). Beban tersebut berupa Utang luar negeri sebesar 1,5 triliun rupiah dan utang dalam negeri sejumlah 2,8 triliun rupiah.
2. Politik keuangan Pemerintah Indonesia tidak dibuat di Indonesia melainkan dirancang di Belanda.
3. Pemerintah Belanda tidak mewarisi ahli-ahli yang cukup untuk mengubah sistem ekonomi kolonial menjadi sistem ekonomi nasional.
4. Tidak stabilnya situasi Politik dalam negeri mengakibatkan pengeluaran pemerintah untuk operasi-operasi keamanan semakin meningkat.
5. Defisit yang harus ditanggung oleh Pemerintah RI pada waktu itu sebesar 5,1 Miliar.
6. Ekspor Indonesia hanya bergantung pada hasil Perkebunan.
7. Angka pertumbuhan jumlah penduduk yang besar.
Defisit itu berhasil ditangulangi oleh Pemerintah dengan pinjaman luar negeri sebesar Rp 1,6 Miliar. Selanjutnya, melalui sidang Uni Indonesia-Belanda disepakati Kredit sebesar Rp 200 juta dari negeri Belanda. Adapun masalah jangka pendek yang harus ditangani antara lain mengurangi jumlah uang yang beredar, dan mengatasi kenaikan biaya hidup. Adapun jangka panjang adalah masalah pertambahan penduduk dan tingkat kesejahteraan penduduk yang rendah. (Nugroho Notosusanto, dkk, 1992)
Keadaan ekonomi yang sangat parah sangat berpengaruh pada lambatnya pembangunan infrastruktur dan sarana serta prasarana apa terlebih di wilayah di luar pulau jawa, keadaan diatas sangat dirasakan sekali. Adanya ketidakpuasan beberapa daerah di Sumatera dan Sulawesi terhadap alokasi biaya pembangunan dari pemerintah Pusat mendapat tangapan negatif dari beberapa daerah di Sumatera dan Sulawesi. Ketidakpuasan ini didukung oleh beberapa panglima militer disusul dengan pembentukan beberapa dewan-dewan militer daerah, diantaranya Dewan Banteng di Sumatra Barat, Dewan Gajah di Medan, Dewan Garuda di Sumatra Selatan, dan Dewan Manguni di Manado. Pembentukan Dewan-Dewan ini bertujuan menuntut kepada pemerintah dipusat bahwa usaha pembangunan daerah akan dilaksanakan dengan menggali otonomi seluas-luasnya dan dihapuskannya sistem sentralisasi. (Nugroho Notosusanto, dkk, 1992)
Sikap pemerintah yang tidak menentu dalam menanggapi tuntutan dan aspirasi dari dewan-dewan militer selanjutnya mendapat respon yang kurang menguntungkan bagi kondisi negara yang sedang tidak menentu. diSumatra Selatan Letkol Achmad Husain selaku ketua Dewan Banteng mangambil alih Pemerintah daerah Sumatra Tengah dari Gubernur Ruslan Muljohhardjo pada tanggal 20 September 1956 tepat di kantor Gubernur Padang. Begitu juga dengan di Sumatra Selatan, dicetuskannya tuntutan kepada Pemerintah pusat agar Sumatra Selatan diberikan Otonomi yang seluas-luasnya serta wacana yang menuntut agar Dwitunggal Soekarno-Hatta disatukan kembali untuk mengendalikan Pemerintahan RI juga kurang mendapat tangapan sehingga Letkol Barlian selaku Pejabat Panglima TT II mengeluarkan keputusan bahwa daerah Sumatera Selatan dalam keadaan Bahaya. Gubernur Sumatra Selatan diminta untuk menyerahkan kekuasaannya dalam rangka memperlancar pembangunan di Sumatra Selatan. (Nugroho Notosusanto, dkk, 1992)
Gerakan ini yang menjadi pokok dari inti pembahasan nanti menggenai bagai mana keadaan yang terjadi pada masa pergolakan tersebut. Kita ketahui bersama bahwa dalam hal yang menyangkut permasalahan dalam suatu negara pasti ada dampak secara langsung di masyarakat, apa itu dampak positif maupun negatif. Masyarakat merupakan jiwa bagi negara karena menyangkut hak-hak yang bersifat kebutuhan manusiawi baik berupa kesejahteraan, keamanan, dan ketentraman hidup. Sehingga ketika kebutuhan umum suatu masyarakat tidak bisa dipenuhi oleh negara, maka negara tersebut dapat dikatakan gagal dalam memenuhi harapan dan tujuan pembentukan suatu negara yang sebenarnya.
Dampak politik yang tidak menentu dalam suatu negara atau suatu wilayah daerah sangat berdampak kepada kehidupan sehari-hari masyarakat. Dalam keadaan perang otomatis roda perekonomian masyarakat juga ikut lumpuh, karena perekonomian itu yang menjadi pengeraknya adalah manusia. Jika masyarakat tidak merasakan keamanan, maka ekonomi dan sosial dimasyarakat pasti akan berjalan tidak sesuai apa yang diharapkan bersama. Untuk itu dalam pembahasan nanti di harapkan ada sedikit hal atau informasi yang bisa kita dapatkan mengenai bagaimana kehidupan sosial ekonomi masyarakat sulawesi utara ketika terjadi peristiwa gerakan Sparatisme Permesta, dan untuk lebih jelasnya nanti kita akan lanjutkan pada bab pembahasan selanjutnya.
Kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat sebelum masa Permesta
Kehidupan masyarakat sulawesi Utara sebelum terjadinya pergolakan Permesta sebagian besarnya adalah bertani. Sektor pertanian yang paling penting di Sulawesi Utara adalah Kopra, hasil alam ini merupakan sumber yang sangat menunjang ekonomi di Sulawesi Utara umumnya. Sulawesi Utara dalam prospektif regional maupun internasional berada pada posisi yang sangat strategis karena terletak di bibir Pasifik sehingga menjadi lintasan antara dua benua yaitu Benua Asia dan Australia dan dua Samudera yaitu Samudera India dan Pasifik. Posisi strategis ini menjadikan Sulawesi Utara sebagai pintu gerbang Indonesia ke Pasifik dan memiliki potensi untuk menjadi pusat pertumbuhan ekonomi dalam AFTA. Komoditi tanaman perkebunan yang potensial di provinsi ini selain kelapa, juga ada cengkeh, pala, kopi, kakao dan vanilli. Komoditi yang dihasilkan berupa perikanan laut dan perikanan darat termasuk perikanan umum, tambak, kerambah dan lain-lain.
Komoditi sekunder yang diunggulkan di Sulawesi Utara yaitu dari sektor industri pengolahan yang terdiri atas industri kelapa terpadu, industri minyak goreng kelapa, minyak atsiri, pengolahan kopi, industri makanan dari kacang-kacangan, pengalengan ikan, tepung ikan dan industri ikan beku. Kini juga tengah dikembangkan teknik-teknik baru dalam budidaya perikanan laut, meliputi ikan untuk umpan, ikan kerapu, baronang, rumput laut dan kerang mutiara. Untuk budidaya perikanan darat fokus diarahkan untuk ikan mas dan nila. Dari sektor industri telah banyak perusahaan yang sudah beroperasi dan menanamkan modalnya di provinsi ini. Perusahaan-perusahaan ini bergerak dalam bidang industri pengolahan makanan, minuman, kayu, hasil tambang, batubara, minyak bumi, gas bumi, hasil perkebunan, karet, bahan dasar logam, barang galian furnitur dan industri jasa.
Potensi sumber daya perikanan di Sulawesi Utara sangat potensial. Tetapi, hingga sekarang potensi tersebut belum dimanfaatkan secara optimal, terutama di wilayah perairan laut utara Sulawesi Utara, perairan Teluk Tomini, serta perairan darat di Bolaang Mongodow dan Minahasa. Pada tahun 1920-an, Tanah Minahasa, sudah menjadi daerah kelapa. Di era ini, hampir setiap rumah tangga memiliki kurang lebih 50 pohon kelapa. Tonsea merupakan daerah yang paling subur untuk ditanami kelapa. Kelapa juga banyak ditanam di Manado, Amurang, Tondano, Ratahan dan Kawangkoan. Fenomena itu terjadi kurang lebih setengah abad ketika kelapa dibudiyakan secara massal pada tahun 1870-an. Begitu juga di Bolaang Mongondow tepatnya di desa Lalow Kecamatan Lolak yang pada masa belanda sudah menjadi perkebunan kelapa. (Budi Santoso, dkk, 2005)
Di Sulawesi Utara terdapat sekitar 262.930 hektar Areal Kelapa, dimana pohon-pohon kelapa tersebut ada yang sudah berusia di atas 80 tahun. Hal ini menyebabkan Produktifitas Kelapa itu Rendah. Rentang waktu yang cukup panjang itu menyimpan begitu banyak ingatan sosial tentang perkebunan dan orang-orang yang terlibat dengan Proses Pengelolahan. Umpamanya bagi buruh yang sudah turun-temurun bekerja di perkebunan kelapa. Cerita-cerita tentang keseharian mereka menyiasati hidup dari perkebunan adalah sebuah sejarah yang harus ditulis. Tak terhitung juga jumlah perlawanan yang mereka lakukan kepada pemerintah kolonial waktu itu untuk memperoleh hak atas pengelolahan perkebunan. Dokumentasi dan catatan tentang perlawanan dari para buruh kelapa di Lalow, semoga ikut menjadi bagian dari sejarah sulawesi utara yang tidak harus hanya tentang masa lalu dan demi masa kini kalangan elit penguasanya saja. (Budi Santoso, dkk, 2005)
Perkebunan kelapa yang berada di Desa Lalow, Kecamatan Lolak, Kabupaten Bolaang Mongondow memiliki luas 751,42 hektar. Perkebunan ini pertama kali dibuka pada tahun 1922. Buruh perkebunan ini didatangkan dari kepulauan Sangihe. Ketika didatangkan di Bolaang Mongondow, mereka disertai oleh Istri-istri dan anak-anak yang lambat laun, mereka mulai membentuk komunitas di areal perkebunan itu. Karena adanya perkebunan kelapa, komunitas buruh tani di lokalisir dalam satu tempat kemudian berkembang menjadi satu desa. Desa Lalow tidak memiliki daya dukung selain perkebunan kelapa. Dalam proses pengucilan dan peniadaan kehidupan, mereka berjuang mendapatkan kejelasan masa depan dan kehidupan kekinian mereka. Pada zaman kolonial tersebut, tugas utama darri pemerintah daerah berserta aparatnya adalah hanya mengutamakan dan memberikan perlindungan kepada pemilik modal perkebunan dari rongrongan pihak buruh. Polisi khusus perkebunan pada waktu itu dibentuk untuk membantu administrasi dalam mengawasi para buruh perkebunan. ((Budi Santoso, dkk, 2005)
Pada awal abad ke-20 kebutuhan kopra di eropa meningkat pesat sehingga pemerintah belanda di Sulawesi Bagian utara waktu itu terdorong mengambil langkah untuk memperbanyak Produksinya di Hindia Belanda (Indonesia). Salah satunya dengan membuka beberapa perkebunan di beberapa tempat di minahasa, di kolongan, dan Bolaang Mongondow. Di lokasi-lokasi tersebut, masa perkebunan swasta yang dikelolah orang Belanda di mulai sejak tahun 1922-1960. Pergeseran terhadap ekonomi Kopra menjadi jelas pada dekade itu, suatu masa ketika pemerintah kolonial turut mengembangkan tetapi tak mengontrol produksi dan ekspor Kopra. Pergeseran ini membawa pulau-pulau di Indonesia Timur sebagai tempat pengembangan pohon kelapa. Di Bolaang mongondow sendiri, Buruh yang didatangkan oleh Pemerintah Kolonial Belanda biasanya berasal dari Kepulauan Sangihe semenjak 1925. Kedatangan Buruh dari Pulau Sangihe dan para keluarganya terus berlangsung hingga tahun 1953.
Di Minahasa sendiri, pada tahun 1920-an sudah menjadi daerah pertanian kelapa. Di era ini, hampir setiap rumah tangga memiliki kurang lebih 50 pohon kelapa. Tonsea merupakan daerah yang paling subur untuk ditanami kelapa. Kelapa juga banyak ditanam di Manado, Amurang, Tondano, Ratahan dan Kawangkoan. Fenomena itu terjadi kurang lebih setengah abad ketika kelapa dibudiyakan secara massal pada tahun 1870-an.
Namun, bukan berarti budidaya kelapa nanti pertama-tama terjadi tahun 1870-an itu. Tahun 1850-an, Nicolaus Graafland seorang penginjil yang bekerja pada NZG sudah melihat pohon-pohon kelapa yang ditanam sepanjang pantai Minahasa. Tahun 1885 Sidney J. Hickson, seorang naturalis berkebangsaan Inggris melakukan perjalanan ke Minahasa, Sangihe dan Talaud. Di Minahasa dia menyaksikan pohon kelapa yang banyak ditanam. Catatan perjalanan Hickson mulai tahun 1885 itu diterbikan dalam bukunya, A Naturalist In North Celebes. Buku ini diterbitkan di London tahun 1889. Hickson mencatat, di tahun kedatangannya, salah satu komoditi ekspor Minahasa adalah kopra. Lainnya adalah kopi, kakao, pala, vanili, dan beberapa rempah-rempah lainnya. Tanaman kelapa, menurut Hickson bagi masyarakat Minahasa pada masa itu adalah tanamana yang punya nilai berharga. Daun kelapa yang muda, biasanya digunakan untuk keperluan dekorasi pada bangsal pesta.
Sebuah buku berjudul Celebes, yang terbit di London pada tahun 1919 melaporkan, dibagian Utara Pulau Sulawesi, kelapa sudah banyak ditanam. Waktu itu, kopra dari Minahasa atau wilayah lain di pulau Celebes diekspor ke New York dan San Fransisco, Amerika. Di sana, kopra diproduksi antara lain menjadi margarine dan sabun. Sebelumnya pada tahun 1917, gudang-gudang di Manado dijejali dengan kopra. Harga kopra jatuh. Penyebabnya adalah kurangnya pengangkutan barang ke luar. Selain di pelabuhan Manado, kopra dari Minahasa juga diekspor dari pelabuhan Amurang dan Kema.
Pada tahun 1920, Hindia Belanda mensuplai 29 persen kebutuhan kopra dunia. Sekitar 1/3 di antaranya berasal dari keresiden Manado. Effendy Wahyono, yang melakukan penelitian sejarah kelapa di Minahasa untuk tesisnya di Universitas Indonesia, dengan judul,”Pembudidayaan dan Perdagangan Kopra di Minahasa (1870-1942)” menuliskan, alasan orang Minahasa tertarik memproduksi kopra adalah, pertama, adanya permintaan yang tinggi pasar kopra dunia. Kedua, pengelolaannya relatif praktis. Ketiga, tidak memerlukan tenaga kerja yang banyak.
Kehidupan sosial ekonomi masyarakat Sulawesi Utara banyak bergantug kepada Pertanian khususnya Kopra, Padi, dan Kopi yang umumnya lebih banyak di Produksi di Kotamobagu, Bolaang Mongondow. Masyarakat bertani seperti biasanya tekanan dari Pemerintah belanda tidak terlalu dirasakan hingga menjelang pendudukan jepang. Kegelisahaan para petani untuk beaktifitas mulai dirasakan ketika masa pendudukan jepang dan masa Pemerontakan Permesta pada tahun 1957.
Dampak Pemerontakan dalam Bidang Sosial masyarakat.
Kehidupan Sosial masyarakat Sulawesi Utara ketika terjadi pergolakan permesta sangat memprihatinkan. Aktifitas masyarakat banyak terbengkalai, dan hasil-hasil pertanian yang siap dipanen dibiarkan begitu saja karena petani takut beraktifitas keluar rumah. Pada awal 1958, ketika Permesta telah putus hubungan dengan pemerintah Pusat di Jakarta dan mendukung PRRI di Padang, orang-orang yang dituduh PKI ditangkap oleh Pasukan Permesta, dan di Karantina di Gorontalo. Hal ini adalah salah satu faktor kecemasan masyarakat karena Permesta setiap hari di desa-desa selalu naik turun rumah dan mengeledah serta mengintrogasi masyarakat. Bila dicurigai PKI atau Pro Pemerintah Pusat maka langsung akan ditangkap dan dibawah entah kemana, bahkan ada yang hingga saat ini tidak pernah ditemukan bahkan kuburannya tidak diketahui. (Phill M. Sulu, 2011).
Hakekat pergolakan di tingkat lokal itu bersumber pada akumulasi kekecewaan rakyat terhadap arah dan kecenderungan pembangunan dan eksploitatif dan memarijinalkan peran dan konstribusi rakyat lokal di dalamnya di satu pihak, serta mengabaikan rasa keadilan masyarakat di pihak lain. Inilah yang menjadi dasar permasalahan yang diangkat oleh Permesta karena adanya ketidak puasan mengenai kebijakan-kebijakan pemerintah pusat mengenai otonomi daerah.
Di Minahasa Selatan ketika terjadi pertempuran antara TNI dan Pasukan Permesta maka banyak kampung-kampung yang dibumi hanguskan oleh pasukan Permesta dan dibiarkan dalam keadaan Kosong. Penduduk umumnya telah mengungsi keperkebunan dan kedalam hutan. Keadaan yang terjadi disana sangat menyedihkan seperti yang di ungkafkan oleh Phill M. Sulu dalam bukunya Permesta dalam Romantika, Kemelut dan Misteri ketika dia mengunjungi kampung halamanya di Minahasa. Dalam tulisannya dia menjelaskan bahwa pembakaran rumah-rumah di sana sangat menyimpan kisah yang sangat tragis. Bahkan ada rumah yang dibakar bersama penghuninya. Tragedi ini menyimpan kisah duka yang dalam, karena dia melihat ada penduduk yang mati terpangang di dalam lubang perlindungan yang terletak di kolong rumahnya. Namun menurtnya pembakaran itu bukan dilakukan oleh pasukan Permesta atau Pasukan TNI melainkan pasukan Partisan anti Permesta. (Phill M. Sulu, 2011).
Awal 1960-an setelah setelah masa-masa pergolakan sedang berlangsung, bukan saja bangunan, seperti rumah-rumah Penduduk, Sekolah dan sarana-sarana lainnya yang hancur, melainkan juga dinamika struktur sosial politik dan ekonomi masyarakat yang ikut Lumpuh Total. Suasana indah yang damai, lenyap tak berbekas di hampir sebagian besar Desa-desa di Minahasa dan Bolaang Mongondow. Rumah-rumah Penduduk yang sederhana dan mungil, halamanya yang ditanami beraneka ragam kembang dahlia, mawar, anyelir, aster, hebras, gladiol, seruni, dan lainnya, lenyap semua. Keindahan taman bungga disetiap pekarangan penduduk telah menjelma menjadi semak belukar yang menyeramkan. Rumah-rumah tinggal menjadi Puing berserakan menjadi tumpukan arang abu. Rumah-rumah Penduduk menjadi ratah dan yang tersisa tinggal rumah Ibadah seperti Masjid dan Gereja yang masih tampak utuh.
Di Minahasa selatan banyak rumah yang dibakar pasukan Permesta ketika dalam keadaan kosong karena penduduk umumnya telah mengungsi dari situasi yang tidak kondusif bagi keamanan mereka. Ketika pasukan Permesta telah terdesak dengan pasukan TNI , sebelum angkat kaki dari kampung itu, bangunan yang ada biasanya dimusnahkan dengan Api. (Phill M. Sulu, 2011).
Cukup berat derita yang dialami oleh pendududuk ketika pergolakan dan kerusuhan akibat perang saudara ini. Bukan saja berat memikul beban hidup dalam kondisi ekonomi yang parah, melainkan juga karena berbagai peristiwa tragis yang dialami. Banyak keluarga yang kehilangan angota keluarganya, baik yang gugur dalam pertempuran karena berani mengambil resiko dengan mempertaruhkan jiwa raganya dalam perjuangan, maupun yang menjadi korban sia-sia, mati konyol dibantai begitu saja dengan tuduhan sebagai mata-mata musuh, oleh pasukan kedua belah pihak yang sedang bertikai. (Phill M. Sulu, 2011).
Keadaan gentig terjadi ketika Pasukan Permesta menjadi saling dendam dengan pasukan Pieter Tumurang yang telah membelot ke pihak lawan. Pieter Tumurang sebelumnya adalah Komandan Kompi Lokon dari sektor III KDM SUT. Sektor III ini meliputi kota tomohon dan sekitarnya, yang dipimpin oleh seorang komandan Sektor, Mayor Edi Mongdong yang membelot kepada TNI pada tanggal 16 Agustus 1958. Membelotnya pasukan Edi Mongdong memuluskan gerak oprasi TNI untuk membebaskan Kota Tomohon dari Kekuasaan Permesta, tanpa perlawanan. Karena merasa di hianati, pasukan Permesta sangat memusuhi pasukan Pieter Tumurang , hingga sering terjadi Pertempuras sengit antara kedua pasukan. Padahal angota dari kedua pasukan ini masih banyak yang terikat keluarga, paling tidak mereka sudah saling mengenal karena berasal dari satu kampung. (Phill M. Sulu, 2011).
Permusuhan yang sengit antara kedua Pasukan ini menyebabkan rakyat yang tak berdosa menderita sengsara, karena terjepit antara perang saudara. Tak tahan memikul penderitaan berat ini penduduk terpaksa mengungsi. Contohnya desa Kakaskasen di Minahasa Selatan yang ditingalkan kosong. Sebagian penduduk mengungsi ke Desa tetangga di seblah Utara, yakni kampung Kinilow. Sebagian lagi ke seblah selatan, ke negeri Talete di bandar kota Tomohon. Tapi tidak sedikit juga yang mengungsi lebih jauh, pindah ke kota manado.
Keadaan sosial yang telah dijelaskan di atas hanya beberapa dari sekian banyak peristiwa yang terjadi ketika pergolakan sedang berkecamuk. Korban banyak berjatuhan baik di pihak TNI, Permesta, bahkan penduduk yang tidak berdosa. Itulah beberapa Peristiwa yang bisa diceritakan dalam pembahasan ini.
Kehidupan Ekonomi masyarakat Pasca Pergolakan
Ketika pergolakan sedang berlangsung, pertempuran antara pihak Pasukan Permesta dqan TNI berakibat pada berkurangnya aktifitas para petani untuk melakukan pekerjaan rutinitasnya di kebun. Tentu hali ini berpengaruh terhadap sumber ekonomi masyarakat yang ada kerena sebagian besar ekonomi waktu itu hanya diharapkan dari sektor pertanian, khususnya hasil Kopra, cengkih, dan beras. Menjelang oprasi militer TNI, maka setiap pemuda di kampung-kampung daerah Minahasa, dan Bolaang Mongondow di rekrut oleh Permesta untuk dijadikan pasukan mereka. Jika ada yang menolak maka akan dicurigai sebagai PKI atau Pro Pusat, sehingga langsung dibawah di tengah perkebunan yang jauh dari pemukiman penduduk untuk di eksekusi. Dengan berkurangnya tenaga pemuda di desa-desa maka tenaga kerja untuk mengelolah lahan, perkebunan, sawah, dan lain sebagainya menjadi terhambat.
Pasca Pergolakan Permesta di Sulawesi Utara Areal Persawahan maupun perladangan penduduk, suasana semua tampak sangat menyedihkan. Semua lahan sumber penghidupan penduduk tampak terlantar tak digarap. Persawahan sebagian besar telah berubah menjadi daerah rawa. Tak lagi ada tanaman padi yang tumbuh disawah, melainkan tumbuhan liar seperti nokano dan enceng gondok. Disana sini masih tampak sisa-sisa bambu runciny yang dipancang sebagai ranjau oleh pihak Permesta. Ranjau ini untuk menangkal kemungkinan penerjunan tentara TNI waktu lalu. Padahal pada masa sebelum pergolakan terjadi sawah ini bisa menghasilkan padi sampai tiga kali panen dalam setahun. (Phill M. Sulu, 2011).
Keadaan Perladangan sama saja, semuanya sudah menjadi hutan belukar. Maklum tak ada penduduk yang berani mempertaruhak nyawanya pergi mengerap lahan pertanian yang sering menjadi ajang Pertempuran. Jangankan ke Kebun untuk bekerja, sekedar menjenguk saja resikonya cukup Berat. Selain ancaman keselamatan jiwa, bisa juga dituduh sebagai mata-mata dari kedua pihak. Bukan itu saja faktor penyebab terlantarnya kegiatan pertanian penduduk. Seperti yang dijelaskan di atas bahwa tenaga kerja Tani memang tingal sedikit. Yang ada tinggal tenaga kerja wanita, dan pria yang sudah lanjut Usia. Tenaga kerja Pria yang Produktif semuanya sudah terkuras untuk memangul senjata. Hal ini tentu berpengaruh langsung pada keadaan perekonomian rakyat yang banyak bergantung dari hasil pertanian.
Di kala itu penduduk sipil berada dalam posisi yang berada dalam posisi yang sulit dan serbah salah. Tidak gampang menempatkan diri berpihak ke salah satu. Sikap itu tak terkecuali bagi penduduk yang berdiam di wilayah yang dikuasai Permesta. Begitupun Penduduk yang tingal di wilayah pendudukan TNI, sebab yang tinggal dikota tetap berkepentingan dengan angota keluarganya yang terlibat dengan Permesta. Semua kebutuha terpenuhi lewat penduduk yang datang dari Kota, termasuk kebutuhan informasi yang sangat penting bagi kelanjutan Perjuangan. Apalagi praktis wilayah yang diduduki Permesta lebih luas dari wilayah yang diduduki TNI. Pasukan TNI hanya menguasai kota-kota strategis, sedangkan daerah pedalaman termasuk sebagian besar pedesaan dikuasai pasukan Permesta. Kecuali kampung-kampung yang terletak di jalan raya yang menghubungkan kota-kota pendudukan TNI lazimnya merupakan daerah tak bertuan. Kampung-kampung seperti inilah yang biasanya menjadi daerah patroli TNI, atau menjadi daerah penghadangan Permesta.
Kehidupa ekonomi penduduk sangat memperihatinkan pada masa pergolakan Permesta. Dalam keadaan demikian terkadang ada sebagian penduduk yang bersimpati kepada Permesta. Dalam keadaan tenang, lazimnya pasukan pasukan tempur Permesta, mereka mendapatkan bahan pangan berupa beras dan lauk yang dikumpul dari rakyat. Bahan pangan ini dimasak sendiri di dapur umum masing-masing pasukan. Kecuali dalam keadaan darurat, dimana situasi tidak memungkinkan pasukan menyelengarakan dapur umum, jatah pangan disediakan oleh rakyat dalam bentuk makanan masak. Jadi penduduk pada waktu itu, ketika krisis pangan dan ekonomi menimpa mereka dalam keadaan perang, masyarakat juga harus menyediakan kebutuhan yang ditetapkan oleh pasukan Permesta. Jika tidak maka mereka akan menjadi sasaran serta tuduhan sebagai pihak pendukung Pemerintah sehingga banyak juga penduduk yang menjadi korban eksekusi Pasukan Permesta. (Phill M. Sulu, 2011).
Diakui juga bahwa terkadang beberapa penduduk di Minahasa juga rata-rata memiliki sanak keluarga yang terlibat pasukan Permesta.mereka umumnya tergabung dalam pasukan gerilya yang bersarang di lereng Gunung Lokon dan Mahawu. Malahan kadang-kadang markas pasukan permesta hanya berada di perkebunan penduduk, tak Jauh dari kampung. Tak heran bahwa terjadi kontak sejata sewaktu-waktu antara pasukan Permesta dan TNI yang tentu menyebabkan juga rusaknya sebagian tanaman pertanian penduduk yang ditanam beberapa waktu sebelum terjadi pergolakan. Tanaman-tanaman tersebut seperti Jagung, Singkong, pohon Kelapa yang masih baru ditanam, ada juga tanaman lain yang sudah siap panen tapi akhirnya terbakar terkena granat tentara kedua belah pihak. Suasana yang terjadi diatas tentu saja membuat keamanan dan keselamatan setiap saat terancam.
Dalam kondisi keamanan dan ekonomi yang tidak menentu, masyarakat banyak yang lari ke hutan dan perkebunan kemudian menggali lubang untuk tempat persembunyai mereka. Adapun untuk kebutuhan makanan, makanan yang dikonsumsi oleh masyarakat biasanya pisang yang ditanam di kebun mereka. Tapi terkadang pisang-pisang para petani dikebun tersebut juga telah ditebang dan dibawa lari oleh pasukan Permesta disaat mereka mulai krisis persediaan makanan. Hasil pertanian penduduk yang siap panen terpaksa belum bisa dipanen kembali, hal ini karena untuk pengelolahaannya sangat beresiko bagi petani. Bahkan ada petani yang sedang mencari pisang untuk kebutuhan keluarganya tewas ketika dikebun ditembak oleh orang yang tidak dikenal entah itu TNI atau pasukan Permesta. Dalam suasana yang demikian penderitaan dan ekonomi sosial rakyat makin lama tersus memprihatinkan.
Penutup
Begitu banyak permasalahan sosial ekonomi yang terjadi ketika pergolakan Permesta sedang berlangsung. Ketentraman, keamanan, dan kesejahteraan masyarakat yang harus dikorbankan dalam kondisi yang seperti ini. Dari segi sosial misalnya suatu konflik vertikal antara pemerintah dan kelompok masyarakat tertentu menjadi sangat sulit untuk menempatkan diri dalam kondisi tersebut. Itulah yang terjadi pada masa pergolakan.
Biasanya antara pasukan-pasukan didalam tubuh Permesta dan TNI, antara kedua pihak yang bermusuhan tersebut terdapat orang-orang yang terikat dalam suatu tali persaudaraan. Misalnya, seorang adik berada dipihak pasukan Permesta, tapi sang kakak adalah seorang angota TNI. Tak heran jika keadaan ini menimbulkan berbagai cerita yang agak unik dan lucu ditengah perperangan. Konon, satu waktu terjadi kontak senjata antara patroli TNI dengan pasukan Permesta. Ditengah berlangsungya baku tembak anntara kedua belah pihak, terdengar teriakan dari arah pasukan TNI, “Andi... bapelaka bae-bae ngana, jangan kena kita p bren... dari arah pasukan Permesta, tiba-tiba terdengar teriakan balasan. “Io Alo... ngana lei, jaga bae-bae ngana pe testa kita pe Pe Lor Bar nyanda ada mata.
Dalam suasana pergolakan yang terjadi di Sulawesi utara, masyarakat biasa yang paling banyak merasakan imbasnya. Keamanan tidak terjamin, kebutuhan pokok sulit ditemukan, sementara hasil-hasil pertanian seperti jagung dan singkong untuk di makan banyak yang rusak terkena granat tentara. Hal ini menambah penderitaan dan beban masyarakat. Banyak juga masyarakat yang mati kelaparan di tempat persembunyian-persembunyiaannya di hutan, di kebun, ada juga di dalam lubang-lubang persembunyian yang sengaja di buat untuk tempat persembunyian sewaktu-waktu jika tiba-tiba ada kontak senjata antara Permesta dan TNI.
Dalam buku (H. Rosihan Anwar, hal 138-139), dijelaskan secara umum beberapa pengalaman selama pemerontakan Permesta di Sulawesi Utara antara lain:
1. Proklamasi Republik Persatuan Indonesia di Bulan Februari 1960 telah membawa perpecahan dan disentegrasi dikalangan Permesta.
2. Sebagai akibat pembunuhan terhadap wakil Perdana menteri J. Warouw di salah satu tempat di Minahasa Selatan, maka timbulah dua golongan yakni “golongan Selatan” dibawah Ventje Sumual yang menjadi KASAD Revolusioner dan “golongan utara” dibawah Somba.
3. Pada tanggal 1 November 1960 Alex Kawilarang mengambil alih seluruh komando perang didaerah Permesta.
4. Pada bulan Maret 1961 Ventje Sumual dipecat lalu diadakan reorganisasi dalam angkatan perang Revolusioner.
5. Sejak permulaan tahun 1960 diadakan pendekatan dari Jakarta terhadap pimpinan Permesta dan diusahakan adanya penyelesaian damai.
6. Perundingan berjalan setahun lamanya dan pada akhir triwulan pertama tahun 1961 terdapat penyesuaian pikiran.
7. Pada tanggal 4 april 1961 berlangsung peristiwa penandatanganan pernyataan dan naskah penyelesaian masalah Permesta antara Somba dan Pangdam Kodam XIII/Merdeka yang dikenal sebagai peristiwa Malenos; (dekat Amurang). Kemudian tanggal 14 April diadakan Inpeksi oleh Deputy MKN Hidayat di Woloan (Dekat Tomohan) terhadap pasukan Permesta dan tanggal 12 Mei 1961 oleh MKN Nasution di Papakelan (dekat Tondano).
8. Permesta telah mengambil Jalan tersendiri terpisah dari republik Persatuan Indonesia (RPI) di Sumatera Karena sudah lama tak ada hubungan dan Koordinasi.
9. Permesta telah bertahan tiga tahun dengan 30 batalyon infantri dalam daerah yang lebar 30 Km dan panjang 90 Km. Diantaranya 15 batalyon adalah tentara reguler.
Karena perpecahan Interen, maka hanya sepuluh persen senjata Permesta yang ditujukan untuk terhadap lawan dan kekurangan mesiu kemudian menyebabkan kedudukan Permesta Menjadi Sulit.
DAFTAR PUSTAKA
Boyd R. Compton, 1993. Kemelut Demokrasi Liberal, Jakarta: Penerbit LP3ES.
Budi Santoso, dkk, 2005. Ingatan Hikmat Indonesia Masa Kini, Hikmah Masa Lalu, Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Budi Santoso, dkk, 2007. Masihkah Indonesia, Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
H. Rosihan Anwar, 2006. Sukarno-Tentara-PKI: Segitiga Kekuasaan Sebelum Prahara Politik 1961-1965. Jakarta. Yayasan Obor Indonesia.
Nugroho Notosusanto, dkk, 1992. Sejarah Nasional Indonesia 3 Untuk SMA, Jakarta: Depdikbud.
Phill M. Sulu, 2011. Permesta dalam Romantika, Kemelut & Misteri. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Umum.
Sri Bintang Pamungkas, 2014. Ganti Rezim Ganti Sistem – Pergulatan Menguasai Nusantara. Jakarta: El Bisma.
Syamsudin Haris, dkk, 2007. Desentralisasi & Otonomi Daerah: Desentralisasi, Demokratisasi, dan Akuntabilitas Pemerintah Daerah, Jakarta: LIPI Press.
Van den End & J. Weitjens, 2008. Ragi Cerita: Sejarah Gereja di Indonesia 1860an – Sekarang, Jakarta : PT. BPK Gunung Mulia.
Http://id.wikipedia.org/wiki/Perdjuangan Semesta; Diakses Tanggal 20/12/2014: 14.00 PM