Pagi ini saya sedang menerima kuliah yang disampaikan oleh “Agus Suwigno” dengan tema “Pendidikan Tinggi dan Goncangan Perubahan”. Beliau adalah seorang “master of arts” dalam bidang Pendidikan dari Universitas Amsterdam, Belanda. Beliau menjelaskan sebagaimana yang ia kutip dari Driyakara, Pendidikan bertujuan untuk hominisasi (manusia) dan humanisasi (manusiawi). Akan tetapi, sejak terjadinya “informasionalisasi” yang ditandai dengan merebaknya “teknoekonomi” yakni, temuan teknologi yang mendorong pertumbuhan ekonomi, lembaga pendidikan tinggi mendapatkan goncangan, paradigma pendidikan mulai bergeser dari “knowledge is power” menjadi “money is power”. Bergesernya paradigma perguruan tinggi adalah juga imbas dari pada dua arus tuntutan, masyarakat dan pasar kerja. Masyarakat, terutama orang tua, mengP-inginkan agar para mahasiswa setelah sarjana dapat lansung memperoleh pekerjaan, sementara dunia kerja berharap agar para sarjana memiliki kualifikasi seperti yang diinginkannya. Perguruan tinggi kemudian berlomba-lomba menjadikan calon sarjana seperti apa yang diharapkan oleh dua arus tuntutan di atas, menjadikan para lulusannya agar lekas “laku”. Atmosfer akademik kemudian dirombak mengikuti kualifiskasi dunia kerja yang terus berubah. Gairah berfikir kritis dosen dan mahasiswa diredam. Kampus menuntut agar sarjananya memiliki “skil” kerja sesuai keinginan pasar.


Dengan agak gemetar dan gugup, saya lalu mengacungkan tangan dan setelah dizinkan saya menyatakan: Mohon maaf Pak, setahu saya, kampus adalah seperti pendapat “J.A Perkins” dalam buku “Civitas Akademika” yang ditulis oleh Basri Amin dan SQB yang menyatakan: Universitas adalah perwujudan bersama atas hak manusia untuk mengetahui. Selaras dengan itu juga, dalam buku yang sama, Prof. Edward Shils menuturkan: universitas adalah wadah menemukan dan mengajarkan kebenaran-kebenaran tentang hal-hal serius dan penting. Dan salah satu “karakter warga kampus”, menurut Shils: energinya yang “aktif” untuk “memahami kenyataan, mencipta kenyataan baru, atau merubah kenyataan yang ada”. Penulis buku itu pun juga berpendapat: Universitas, adalah rumah yang mewah bagi pengetahuan dan kearifan yang terbentuk dari hasil belajar yang mendalam. Universitas sebagai lembaga Pendidikan Tinggi, bukan pendidikan dasar atau menengah. Kita datang ke kampus tidak sekadar datang dengan rutinitas, tapi hendaknya dihayati sebagai sebuah pangilan moral, bahkan dirasakan sebagai sebuah kehormatan dan keistimewaan. Prof. Heru Nugroho, SU., PhD. Dalam pidato pengukuhannya guru besar Sosiologi, Fisipol UGM bertajuk “Universitas dan Banalitas Intelektual: Sebuah Refleksi kritis dari dalam” mengatakan bahwa Universitas bukan semata-semata merujuk pada gedung-gedung yang megah yang berdiri di atas tanah berhektar-hektar, yang memiliki sistem administrasi dan birokrasi canggih dan didukung oleh peralatan canggih, tapi juga merujuk kepada organisasi manusia yang memiliki “aktivitas akademik”, Universitas merupakan tempat “bertemunya para sarjana” dalam rangka “mencari kebenaran akademik” melalui berbagai benuk riset, sekaligus sebagai lembaga untuk mengembangkan kapasitas diri melalui disiplin yang diyakini oleh masing-masing insan akademik, Universitas menjadi “meeting of minds” (pertemuan pemikiran) para akademisi.


Agus Suwigno dengan roman wajah serius kembali menjelaskan, itulah kondisi ideal dari perguruan tinggi, namun dunia ini terus berkembang Nak, budaya kapitalisme telah menggurita, tidak hanya masyarakat awam yang dicengkram, sistem pendidikan kita pun telah digerogotinya. Dewasa ini, Universitas tak ubahnya “balai pelatihan” dan perusahaan “penyedia dan penyalur tenaga kerja”. Menurut Romo Drost, perubahan di dunia industri dan teknologi, telah mengubah cara pandang manusia atas manusia, menggoyahkan arah dasar universitas, dan mendesakkan paradigma baru penyelenggaan pendidikan sebagai “investasi ekonomi”. Dengan kata lain, ada tegangan filsafati dalam ketaksaan arah pendidikan tinggi, universitas khususnya saat ini.


Seorang kawan yang resah sedari tadi karena merasa rugi berstatus sebagai mahasiswa dan tak sabar menanti klimaks kuliah pagi ini bertanya dengan berang “Lantas apa solusi dari Bapak?”. “Baiklah” kata Agus Siwigno setelah menyeruput teh yang kami sediakan. Beliau kembali menjelaskan. Sederhana saja, kita harus menemukan kembali Pendidikan Tinggi. Dengan menemukan kembali Pendidikan Tinggi, saya bermaksud menunjuk upaya mengidentifikasi tuntutan-tuntutan pasar kerja tanpa sendiri kehilangan arah visionernya. Tujuan pengindentifikasian ini dua: pertama, untuk meletakkan dasar-dasar inti bagi pembentukan identitas. Kedua, menyediakan bagi para penyelenggara PT suatu rujukan untuk merumuskan kebijakan. Pada bagian ini saya mengusulkan “kualifikasi lulusan” dan “benchmark” sebagai dua hal yang perlu ditelusuri dan oleh siapapun yang peduli terhadap perkembangan PT. sembari mengajukan penalaran mengapa kualifikasi lulusan dan benchmark penting ditelusuri dan diolah, saya juga telah berupaya sebaik-baiknya agar setiap bagian penjelasan selalu disertai contoh-contoh yang relevan. Namun, sebelum saya menjelaskan kualifikasi lulusan dan benchmark, saya ingin kalian menriset sesuatu yang dapat menjadi solusi atas benturan pemikiran kita pada kuliah pagi ini.


Tiba-tiba diluar ruang kuliah ada panggilan, “ka Dilwan so makan?”


“Belum uwti,” jawabku.


“Makan dulu ka, napa ada nasi hangus sisa tadi malam dan ikan yang sudah digigit kucing”

Gerakan Mahasiswa untuk Indonesia

08 April 2016 18:34:02 Dibaca : 181

Gerakan mahasiswa telah lama dilakukan bahkan sejak Indonesia belum merdeka. Pasca kemerdekaan, orde baru, reformasi, dan hingga saat ini sebagai bentuk manifestasi perannya selaku agent of change mahasiswa selalu menjadi kreator dan eksekutor dalam melakukan gerakan perubahan. Beberapa kalangan menganggap, jika diukur dari krisis politik ekonomi yang melatarinya, luasnya berita pers baik domestik ataupun internasional, frekuensi gerakan, serta jumlah mahasiswa dan universitas yang terlibat. Reformasi 98 adalah gerakan paling berhasil yang pernah ditorehkan mahasiswa, yaitu ketika rezim orde baru (orba) berhasil ditumbangkan.


Luapan tuntutan reformasi bermula pada tahun 1998, ketika terjadi krisis finansial Asia yang menyebabkan perekonomian Indonesia melemah. Ketika itu, nilai tukar Dollar Amerika terhadap Rupiah ($1 mencapai Rp 17.000), akibatkan naiknya harga barang-barang. Derita rakyat terus bertambah dengan ketidakpuasan terhadap terpilihnya kembali Presiden Soeharto untuk masa jabatan yang ketujuh kali. Dominasi partai politik tertentu dan terlalu kuatnya eksekutif yang didukung angkatan bersejata menjadi kekuatan sinergis untuk membendung kran demokrasi di Republik ini. Pemasungan kebebasan berpendapat dan berbagai pelanggaran HAM, telah menjadi fenomena gunung es yang menyimpan bara konflik dalam kehidupan bermasyarakat. Tingginya kesenjangan sosial antara si kaya dan si miskin, konflik terpendam antar etnis dan antar agama telah menjadi bom waktu yang setiap saat dapat meledak. Kegagalan pemerintahan Sooeharto dalam mengawal keamanan perekonomian nasional menjadi pemicu ketidakpuasan dan kemarahan masyarakat terhadap pemerintah.


Mei 1998, gerakan mahasiswa berulang-ulang menjadi berita hangat media di tanah air, ribuan mahasiswa dari berbagai universitas, dengan jaket almamaternya masing-masing, bergabung menjadi satu, Berbagai aksi keprihatinan berulang-ulang digelar, mulai dari Lampung, Jakarta, Bandung, Yogyakarta, sampai ke Ujungpandang. Berbagai universitas negeri terkemuka terlibat, seperti UI, ITB, UGM, UNHAS, ditambah beberapa universitas swasta lainnya. Slogan yang dikumandangkan pun beragam, namun seputar reformasi ekonomi dan politik.


Hampir disetiap dialog kemahasiswaan, baik pada masa ospek maupun perkaderan lainnya, pengulasan sejarah peristiwa 98 yang penuh heroik, dilakoni berbagai kalangan masyarakat dan mahasiswa, dengan meninggalkan catatan berdarah, betapa hidup telah mereka wakafkan kepada cita-cita luhur yang mengandung kebenaran dan keadilan adalah tema pembahasan paling digandrungi. Istilah tak ada gading yang tak retak merupakan kiasan pantas untuk menggambarkan betapa kekuasaan sebesar dan sehebat bagaimanapun ia pasti mampu digulingkan.


Adalah menarik untuk kembali mengkaji gerakan mahasiswa 98 yang saat ini tengah kita nikmati hasilnya. Bulan mei mendatang bangsa ini akan kembali menikmati jerih payah perjuangan reformasi yang ke 18 tahun. Tidak bermaksud nostalgia kejayaan tetapi sebagai bahan pembelajaran sekaligus pembanding gerakan kekinian yang dianggap oleh segelintir golongan hanya sebagai gerakan pencitraan dan pengguguran kewajiban yang dilakukan tanpa memiliki esensi spirit perjuangan. Layak kiranya jika gerakan kekinian disebut sebagai gerakan aktivis aksesoris, sekadar pembuktian eksistensi bahwa mahasiswa masih “ada”. Penelaahan gerakan yang pernah dilakukan oleh mahasiswa 98 mempertemukan kita dengan beberapa faktor penyebab keberhasilan gerakan tersebut.


Pertama, bersatunya organisasi baik kepemudaan maupun yang dilakukan oleh kelompok-kelompok masyarakat ketika itu, meskipun pergerakannya beragam, namun mereka sama-sama merasakan adanya satu keadaan ketertindasan dan ketidak bebasan mereka dalam kehidupannya. Sehingga, perlawanan yang dilakukan oleh satu organisasi bak sebatang lidi yang tidak mampu membunuh seekor lalat. Keseragaman gerakan yang berhasil terhimpun dalam satu barisan menjadi kemestian untuk menciptakan satu kekuatan besar dalam meruntuhkan rezim orba.


Sejarah mencatat, kekoperatifan yang dilakukan organisasi-organisasi baik organisasi intra kampus maupun ekstra kampus dan organisasi kemasyarakatan dengan suka rela menanggalkan egosentrisme kelompok, mampu membentuk satu-kesatuan utuh, memiliki kekuatan besar untuk melakukan perlawan dalam mewujudkan perubahan. Gerakan mahasiswa 1998 tampaknya telah belajar dari kesalahan gerakan mahasiswa sebelumnya, seperti gerakan mahasiswa 1974 dan 1978, bahwa kekuatan gerakan mahasiswa tak akan bisa diperoleh jika terjebak dengan pendekatan eksklusif atau berjuang sendirian tanpa melibatkan rakyat. Gerakan mahasiswa baru akan efektif jika betul-betul secara konkret didukung bahkan kalau perlu melibatkan komponen-komponen rakyat.


Kedua, Ikhtiar kerjasama dengan terjadinya penggabungan beberapa organisasi tidak serta-merta berlangsung begitu saja tanpa ada pilar yang menyokongnya. Hal mendasar mereka berkomitmen untuk bersatu yaitu, kesamaan isu. Kesamaan isu yang dimaksudkan adalah suatu masalah yang dihadapi organisasi. Permasalahan yang mereka rasakan tidak hanya dialami oleh organisasi mereka saja, melainkan banyak organisasi yang juga mendera masalah tersebut. Kesamaan masalah inilah yang menggugah mereka berkomitmen untuk melontarkan satu isu sentral yang pantas diperjuangkan, yaitu menuntut perubahan sistem politik dan ekonomi secara substansial. Kumandang tuntutan haruslah tetap fokus pada isu, yaitu isu yang menjadi anak zamannya, dengan isu tersebut, seandainya pun tidak berhasil, gerakan mahasiswa saat itu akan tetap dikenang sebagai hati nurani zamannya.


Ketiga, kesamaan visi. Gerakan-gerakan mahasiswa era 98 sebenarnya berbeda-beda orientasinya. Begitupun dengan ormas-ormas lainnya, memiliki pandangan berbeda pula terhadap apa yang dicitakan. Meminjam istilah Karl Marx “kondisi menciptakan kesadaran manusia”, kondisi tirani orbalah yang membuat satu kesadaran holistis pada mahasiswa sehingga membentuk satu simpul kesepahaman mengakhiri rezim jendral 32 tahun. Keterpasungan kebebasan dan ketakutan rakyat selama masa kekuasaan Soeharto telah menyadarkan dan membuat pemuda dan mahasiswa untuk tampil sebagai barisan pemberani untuk menggelorakan perubahan besar guna mewujudkan kebebasan seluruh rakyat Indonesia.


Tarakhir, gerakan mahasiswa dan pemuda 98 merupakan suatu gerakan matang yang pada mulanya embrio gerakan ini dimulai dari sekelompok orang yang saling berbagi derita dan luka, kemudian membengkak dan semakin terorganisir. Gerakan mahasiswa 98 merupakan kekuatan yang tersusun rapih dan terorganisir, memiliki visi perjuangan yang konkret. Pergerakan yang mereka lakukan bukanlah gerakan buta tanpa arah melainkan bangunan gerakan yang berdiri di atas kepetingan bersama. Proses transformasi pilu ketertindasan berubah menjadi diskusi kritis, dikaji tuntas oleh berbagai kalangan gerakan dengan waktu yang panjang, dari hari ke minggu bahkan ke tahun. Dilakukan pengkajian secara luas untuk menyolidkan struktur isu serta tuntutan tanpa kelemahan. Sampailah pengkajian masalah itu pada solusi yang mampu melahirkan kekuatan untuk melepaskan Indonesia dari tirani 32 tahun dan bukan malah seperti gerakan saat ini, sangat instan, pengkajiannya dari detik hingga 1 sampai 2 jam saja, data berasal dari opini umum atau yang berseliweran di dunia maya, tidak akurat dan matang.


Empat faktor di ataslah yang mendasari mengapa gerakan 98 dianggap berhasil. Coba kita tengok gerakan mahasiswa saat ini, khususnya yang berada di Gorontalo. Apakah gerakan-gerakan mahasiswa selama ini telah berhasil atau tidak? Untuk menjawabnya tentu lebih dahulu kita memahami bentuk gerakan mahasiswa. Pergerakan mahasiswa terbagi atas gerakan intelektual dan gerakan aksi. Gerakan intelektual dilakukan dalam bentuk dialektika ilmiah seperti seminar, diskusi, dan dialog. Pergerakan aksi mengandung arti, gerakan yang dilakukan dengan cara: pemboikotan, unjuk rasa, dan gerakan parlemen jalanan lainnya. Kerangka dasar gerakan inilah yang mengantarkan pada kepatutan mempertanyakan pergerakan yang dilakukan mahasiswa hari ini. Apa yang mahasiswa tuntut hari ini? Kalau ada, apa tujuannya? Apa yang melatar belakanginya? Mengapa gerakannya tak se arah? Mengapa benderanya banyak dan berwarna-warni namun peserta aksinya hanya belasan dari puluhan ribu?


Deretan pertanyaan di atas, menunjukkan gerakan mahasiswa yang tidak sesimpul, terkotak-kotak ego, sekat di mana-mana. Saatnyalah kini gerakan harus berlandaskan nasionalisme, rasa cinta tanah air dalam kebhineka tunggal ikaan, berbeda tapi tetap satu isu sentral, sevisi untuk Indonesia adil makmur, diperjuangkan setelah tuntas kajiannya.


Referensi:


Ali, Denny Januar. 2006. Jatuhnya Soeharto Dan Transisi Demokrasi Indonesia. Yogyakarta: LKIS Yogyakarta. Cetakan I


Hasibuan, M.U.S. 2010. Gerakan Politik Mahasiswa. Skripsi. Universitas Indonesia


Syam, Nur. 2010. Jejak Reformasi Dalam Lintasan Sosio-Historis. Makalah ini didiskusikan dalam rangka kerjasama antara DPD RI dalam rangka mencermati tentang Rencana Amandemen ke 5 dan Otonomi Daerah. Diskusi diselenggarakan di IAIN Sunan Ampel, tanggal 30 Juni 2010

Pesona Wanita Berjilbab Merah-Catatan 23 November 2015

08 April 2016 18:32:01 Dibaca : 81

Meski air sudah membasuh badan, kantuk kembali merindu kasur, kuliah jam delapan mengharuskanku melawan kemalasan pagi. Demi Ilmu semua ritangan aku ladeni. Setiba di kampus, perutku terserang mulas. Angin yang mencengkram perut berontak minta keluar. Kamar mandi yang berada di belakang sebelah timur dari ruang perkuliahan kusambangi. Pintunya terkunci dari dalam, tanda seseorang tengah menggunakannya. Kucari alternatif. Kaki terus melangkah melewati ruang kamar mandi hendak ke kamar mandi Fakultas. Pada ruangan sebelah nampak seorang mahasiswi tengah menggaruk betis putihnya sembari kakinya diangkat menginjak dudukan kursi panjang. Kecantikannya sirna tergaruk tangannya. Tidak ada yang salah dengan menggaruk, hanya lebih baik hal demikian tidak dilakukan di tempat umum. Cantik boleh relatif tapi mulas perutku mutlak adanya.


Hari ini rencananya akan UTS, padahal aku belum belajar dan meskipun belajar tetap saja aku tak paham. Mempelajari matakuliah yang satu ini ibarat mendobrak tembok setebal lima meter yang pondasinya sedalam 6 meter. Sudah ku dobrak sejak MTS, hingga semester sembilan di kampus, tembok itu tak kunjung roboh. Tembok yang membuatku belum bertoga. Tembok absurd gelapi kehidupanku. Tembok itu bernama Matematika. Pendapatku tentu tidak disepakati dengan mahasiswa Matematika. Beruntung, dosen pengampu yang sementara hamil akibat ulah halal siganteng dosen muda kembali absen. Alhamdulillah, perjuangan melawan pagi hanya sedikit sia-sia.


Bertahan di kampus pasti membosankan karena tidak adalagi kawan seangkatan. Sebenarnya mereka ada, hanya saja sudah sibuk dengan urusan penelitian dan ujian skripsinya masing-masing. Dahulu ke kampus untuk kuliah bersama, namun sekarang untuk wisuda sendiri-sendiri. Lebih baik pulang ke kontrakan dan menggilas sisa-sisa ngantuk di atas pembaringan.


Begitulah Tuhan yang selalu tak kehabisan cara untuk menguji hambanya. Di perjalanan, aku dipertemukan tanpa saling tegur dan sapa dengan seorang wanita. Kecantikannya tidak hanya outher beauty, tetapi juga inner beauty. Kulit putihnya yang bersih tertutup pakain muslimah berwarna hitam pekat berpadu lebar tudung merahnya yang menjulur menutupi kepala hingga pingganggnya. Wajahnya dibiarkan nampak tanpa cadar ala budaya masyarakat Islam padang pasir. Jilbabnya begitu mencolok di bawah terpaan sinar mentari pagi Gorontalo. Ia menundukkan pandangannya sewaktu kami kian dekat. Kala berpas-pasan seolah waktu berjalan lambat, slow motion. Setiap detik yang berlalu kunikmati dengan memandang wajahnya yang terus merunduk teduh. Hati jujur merasa, pesona kecantikan dalam kebungkamannya terpancar menembus relung material perasaan, tersimpan, tumbuh, lalu bermekar keindahan. Saying, di tangannya tergenggam tiga buku tebal. Pada sampul buku teratas tertera kata KALKULUS. Rupanya ia anak matakuliah yang kubenci.

Kenyataan pahit yang perlu kita cerna, bahwa saat ini gerakan perubahan atau gerakan perlawanan yang dibangun oleh mahasiswa di Provinsi Gorontalo terhadap ketidak berpihakan pemerintah dalam mensejahterakan rakyat, begitu lemas dan sungguh rapuh. Bukan berarti gerakan mahasiswa yang selama ini dibangun tidak kuat, hanya saja kekuatan yang ada belum mampu memberikan efek besar terhadap apa-apa yang diperjuangkan.


Ada sekitar puluhan ribu mahasiswa yang energinya hanya banyak tersimpan di kos-kosan, terkuras di tempat-tempat yang membuat diri semakain apatis. Ada sekitar 20-an lebih jumlah paguyubanyang notabenenya juga adalah mahasiswa dan pelajar. Apabila ditambahkan dengan Bemfak maupun senat-senat mahasiswa diperguruan tinggi negeri ataupun swasta, ada berapa jumlahnya? Sungguh banyak. Apa jadinya, ketika item-item kekuatan yang sedang tidur ini bangun dengan kesadaran penuh lalu teralirkan dengan baik untuk menjadi martil perubahan. Maka tidak ada lagi yang mampu membendung kekuatannya, kecuali Tuhan.


Ketika terkucur kebijakan pro kemiskinan, seperti kenaikan harga BBM. Kekuatan yang muncul dari kampus hanyalah diwakili oleh BEM perguruan tinggi, itupun tidak semua BEM di Gorontalo ini melakukan hal itu. Adapun kekuatan yang di Bangun oleh BEM, hanya dimotori oleh segelintir orang, massa aksinya hanya puluhan dari ribuan.


Belum pernah kita menyaksikan adanya Senat-senat Mahasiswa/Bem-Fak, bersama-sama dengan HMJ dan HMPS-nya, membentuk semacam aliansi kemudian membangun satu simpul pergerakan bersama BEM dalam rangka merobohkan sebuah tirani kezaliman. Begitu pula dengan paguyuban-paguyuban yang ada, masih sedikit yang sadar. Salah satu indikator keberhasilan pergerakan mahasiswa dalam melengserkan Suharto adalah berhimpunnya kekuatan seluruh komponen pergerakan mahasiswa.


Jokowi sang 01 RI akan segera melabuhkan kakinya ke Bumi Serambi Madinah. Dialah yang telah mengeluarkan kebijakan anti kesejahteraan, pro kemiskinan. Akankah kita membiarkannya begitu saja? Sementara kawan-kawan mahasiswa di daerah lain melawan mati-matian kebijakan pro kesengsaraan itu, bahkan nyawa mereka pertaruhkan. Atau munkin, kita telah lupa akan fungsi dan peran mahasiswa, sehingga kita hanya menjadi mahasiswa yang apatis lagi pragmatis.


Tugas orang terdidik adalah membebaskan rakyat, bukan membebaskan diri sendiri. Sudah saatnya kita kembali sadar, bahwa kita adalah manusia terdidik, merdeka dan bukan budak. Pemerintah akan selalu lupa mengurus rakyat ketika tidak ada golongan yang mengingatkannya.


Sekarang, bukan lagi waktunya untuk berdiam diri dan menjadi penonton untuk memberikan ruang meskipun sedikit kepada mereka yang akan menyengsarakan rakyat. Karena mereka hanya akan semakin predator dan diktator. Ingat! Sesungguhnya, kebenaran hari ini sangat merindukan bersatunya seluruh elemen kekuatan kemahasiswaan, baik intra maupun ekstra kampus. sehingga, akan membuat permadani-permadani kemunafikan gemetar dan tergulung, sebab menyaksikan sebuah kekuatan raksasa yang begitu solid dan berani.

ORGANISASI BUNGKAM, BUBARKAN SAJA!

08 April 2016 18:26:11 Dibaca : 286

 

Megaphone kini pengangguran, tidak ada lagi yang berteriak melaluinya. Aspal jalan rindu sentakan sepatu dan bakar bannya mahasiswa. Mulut mahasiswa kini lebih doyan koprol sana-sini. Lebih suka memanjakan kaki sembari ngumpul, ngumpat, dan ngompolin pemerintah di warung kopi. “Kalau sekadar bicara burung beo juga bisa” guman Iwan Fals yang resah. Apa lagi yang mau diharapkan dari generasi retorika namun bungkam dihadapan ancaman? Berbicara memang adalah manifestasi dari berpikir. Namun, jangan sampai kita seperti burung dalam sangkar, yang kicauan pemikiran perubahan hanya sampai di pintu sekretariat.


Budiman Sujatmiko berkata, sebenarnya negeri ini hanya segelintir saja yang menjadi penjahat, yang banyak itu orang yang pengecut. Mungkin kita (mahasiswa) termasuk dalam kategori “pengecut” itu. Atau barangkali kita seperti para filsuf sebagaimana yang digambarkan oleh Soekarno, orang yang menutup dirinya di dalam kamar menghadapi buku, jikalau ia pun keluar dari kamar malam-malam memandang bintang di langit, lantas berfalsafah. Tapi, para filsuf masihlah lebih baik, mereka tetap membaca buku ketimbang kita yang hanya sibuk di dunia imaji gadget. Padahal, Negara-negara maju ditandai dengan masyarakat yang gemar membaca; orang-orang hebat juga gemar membaca. Bahkan Soekarno adalah orang yang rajin membaca, tetapi dia tidak hilang terbenam di dalam debunya. Bagi Soekarno, buku adalah a guide to action, satu pimpinan untuk beraksi. Buku adalah gudang ilmu dan membaca adalah kuncinya. Membaca merupakan titik kisar tumbuh-kembangnya suatu peradaban. UNG, Kampus peradaban, kampus yang mahasiswa dan dosennya gemar membaca. Begitukah?


Kawan-kawan
Kampus berdri bukan sekadar untuk melahirkan sarjana. Kampus diselengarakan bukan untuk kegiatan kuliah semata. Sedari awal kampus adalah taman pengetahuan dan gerakan. Melalui kampus mahasiswa delatih bukan untuk tertib dan takut. Mahasiswa dimatangkan oleh gagasan dan polemik. Kelas kuliah bukanlah tempat untuk belajar saja melainkan juga medan berlaga.


Kampus dan dosen dengan dogma “datang-patuh-pulang” seakan mengkhianati berdirinya kampus itu sendiri. Padahal tak semua manusia sukses, lahir dari IPK yang tinggi dan tanpa DO. Steve Joobs berhenti kuliah, Bill Gates lebih suka mendirikan bisnis, bahkan Mark Zuckerberg keluar dari kampus. Mereka buktikan bahwa penemuan penting dan mempengaruhi perubahan sosial, tak hanya datang dari IPK tinggi dan lulus cepat. Dalam konteks Indonesia, tokoh bangsa melakukan perubahan sosial tanpa pusing berpikir soal IPK dan DO; Tjokroaminoto, Hatta, Syahrir, Agus Salim, Tan Malaka, Pramoedya Ananta Toer, Wiji Thukul hingga Soe Hok Gie.


Gerakan mahasiswa mesti kembali tumbuh dan berkembang; hal yang kini mati. Ia mesti gerak dan mengerakkan. Ia mesti menghadirkan kembali api intelektual progresif dimana jiwa jalanan direbut kembali. Sebagaimana esensi posisi mahasiswa, konsisten menyatakan perlawanan dari berbagai sektor. Agar ruang kuliah tak hanya menjadi panggung dogma pembunuh kemerdekaan berpikir yang seringkali “diancam” dengan DO, nilai kecil, tak bisa ikut UAS-UTS. Agar pungutan-pungutan siluman bertopeng aturan tanpa rasionalisasi segera lenyap. Tidak ada lagi mahasiswa yang diperas oleh yang terhormat dosen-dosen pemangku kepentingan.


Kawan-kawan
Saat kita resmi menjadi mahasiswa, saat itu juga sebenarnya kita sedang menggunakan toga yang talinya masih di kiri. Hanya saja saya heran, kenapa kucir (tali) toga pada saat wisuda, harus dipindahkan dari kiri ke kanan, kenapa bukan dari kanan-kiri? Setelah saya riset, Akhirnya saya temukan jawabannya di Wc, ketika cebok. Cebok cenderung megunakan tangan kiri, cebok artinya membersihkan, dan kiri menurut Jacob bermakna radikal (berdasar, kritis, dan menanduk). Jadi kalau ada birokrasi kampus atau pemerintah yang berkelakuan busuk macam t.a.i. Mereka harus kita cebok.
Organisasi yang masih bungkam dan takut melawan, bubarkan saja!

Referensi: 

Sujatmiko, Budiman. 2013. Anak-anak Revolusi. Jakarta, Gramedia Pustaka Utama.


Pidato Soekarno. Ketika menerima gelar Doctor Honoris causa dalam Ilmu Hukum dan Pengetahuan Kemasyarakatan khusus di bidang Ilmu Politik Hubungan Antar Negara Universitas Hasanudin.


Pidato Presiden (Rektor) Universitas Hasanuddin, Arnold Mononutu. Ketika memberikan gelar Doctor Honoris causa kepada Soekrno dalam Ilmu Hukum dan Pengetahuan Kemasyarakatan khusus di bidang Ilmu Politik Hubungan Antar Negara Universitas Hasanudin.


2014. Pengkhianatan Kampus Dalam Film Senyap. Harian Indoprogress. Dapat diakses pada: http://indoprogress.com/2014/12/pengkhianatan-kampus-dalam-film-senyap/


____.2015. Apa Kabar Mahasiswa. Harian Indoprogress. Dapat diakses pada: http://indoprogress.com/2015/11/apa-kabar-mahasiswa/


Menteri Koordinator dan Kebijakan Eksternal BEM KM UGM.2015. review Buku "Bangkitlah Gerakan Mahasiswa" karya Eko Prasetyo (Resist Book, Yogyakarta). Diakses di: http://kotakkataotak.blogspot.co.id/2015/03/bangkitlah-gerakan-mahasiswa.html


Ibid.


Prof. Dr. T. Jacob. Lahir pada 6 desember 1929. Pernah Menjadi Gurubesar tamu Diego State University, California, Museum d’Historie Naturelle, dan college de France, Paris. Beliau juga adalah mantan Sekeretaris dan Dekan Fakultas Kedokteran UGM, Rektor UGM, dan mantan Anggota MPR. Lihat. Jacob.1995. Beginilah Kondisi Manusia.Jakarta, Balai Pustaka.

Kategori

  • Masih Kosong

Blogroll