makalah kanker serviks
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kanker Leher Rahim (Kanker Serviks) adalah tumor ganas yang tumbuh di dalam leher rahim/serviks (bagian terendah dari rahim yang menempel pada puncak vagina. Kanker serviks biasanya menyerang wanita berusia 35-55 tahun. 90% dari kanker serviks berasal dari sel skuamosa yang melapisi serviks dan 10% sisanya berasal dari sel kelenjar penghasil lendir pada saluran servikal yang menuju ke dalam rahim. Karsinoma serviks biasanya timbul pada zona transisional yang terletak antara epitel sel skuamosa dan epitel sel kolumnar.
Kanker serviks merupakan jenis kanker yang paling banyak nomor tiga di dunia. Kanker servik disebut juga "silent killer" karena perkembangan kanker ini sangat sulit dideteksi. Perjalanan dari infeksi virus menjadi kanker membutuhkan waktu cukup lama, sekitar 10-20 tahun. Proses ini seringkali tidak disadari hingga kemudian sampai pada tahap pra-kanker tanpa gejala. Badan Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan, saat ini penyakit kanker serviks menempati peringkat teratas di antara berbagai jenis kanker yang menyebabkan kematian pada perempuan di dunia. Di Indonesia, setiap tahun terdeteksi lebih dari 15.000 kasus kanker serviks dan setiap satu jam seorang wanita meninggal karena kanker ini
Sekitar 8000 kasus di antaranya berakhir dengan kematian. Menurut WHO, Indonesia merupakan negara dengan jumlah penderita kanker serviks yang tertinggi di dunia. Pasalnya, kanker serviks muncul seperti musuh dalam selimut. Sulit sekali dideteksi hingga penyakit telah mencapai stadium lanjut. Oleh karena itu pengertian kanker serviks mutlak dipahami oleh kaum wanita di Indonesia.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana Gambaran Umum Kanker leher rahim ( Kanker serviks)?
2. Bagaimana Epidemiologi Kanker leher rahim?
3. Bagaimana patofisologi Kanker leher rahim?
4. Bagaimana faktor resiko dari Kanker leher rahim?
5. Bagaimana Gejala Kanker leher rahim?
6. Bagaimana upaya pencegahan dan pengobatan penyakit kanker leher rahim?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui Gambaran Umum Kanker leher rahim ( Kanker serviks)
2. Mengetahui Epidemiologi Kanker leher rahim
3. Mengetahui patofisologi Kanker leher rahim
4. Mengetahui faktor resiko dari Kanker leher rahim
5. Mengetahui tanda dan Gejala Kanker leher rahim
6. Mengetahui upaya pencegahan dan pengobatan penyakit kanker leher rahim
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Gambaran Umum Kanker leher rahim ( Kanker Serviks)
Kanker leher rahim merupakan jenis keganasan yang paling sering di temukan dikalangan wanita indonesia. Kanker serviks mempunyai frekuensi relatif tertinggi (25,6%) di Indonesia. Menurut perkiraan Departemen kesehatan, terdapat sekitar 100 kasus per 100 ribu penduduk atau 200 ribu kasus setiap tahunnya. Biasanya tanpa gejala pada stadium dini, tetapi jika ditemukan pada stadium dini, kanker leher rahim dapat disembuhkan dengan baik. lebih dari 70% kasus yang datang ke rumah sakit ditemukan dalam keadaan stadium lanjut.
Memiliki perjalanan penyakit ini, hampir 90 % kasus berasal dari epitel permukaan (epitel skuamosa). Didapatkan suatu keadaan yang disebut pembangkal kanker atau prakanker. Keadaan tersebut dimulai dari yang bersifat ringan sampai menjadi karsinoma in situ yang semuanya dapat di diagnosis dengan scrining atau penapisan.
Dalam proses perkembangannya, dapat terjadi perubahan atau perpindahan dari satu tingkat ke tingkat yang lain. Untuk terjadinya perubahan tersebut diperlukan keadaan yang “cocok” sehingga untuk menjadi kanker diperlukn waktu 10-20 tahun. Namun jika sudah menjadi kanker stadium awal, penyakit ini dapat menyebar ke daerah di sekitar mulut rahim.
2.2. Epidemiologi Kanker leher rahim ( Kanker Serviks)
Kanker serviks atau kanker leher rahim atau disebut juga kanker mulut rahim merupakan salah satu penyakit keganasan dan penyakit kandungan yang masih menempati posisi tertinggi sebagai penyakit kanker yang menyerang kaum perempuan. Kanker serviks adalah kanker leher rahim / kanker mulut rahim yang di sebabkan oleh virus Human Papiloma Virus (HPV). Hanya beberapa saja dari ratusan varian HPV yang dapat menyebabkan kanker.
Penularan virus HPV yang dapat menyebabkan Kanker leher rahim ini dapat menular melalui seorang penderita kepada orang lain dan menginfeksi orang tersebut. Penularannya dapat melalui kontak langsung dan karena hubungan seks. Gejala yang mungkin timbul (Umumnya pada stadium lanjut) adalah perdarahan di luarmasa haid, jumlah darah haid tidak normal, perdarahan pada masa menopause(setelah berhenti haid), keputihan yang bercampur darah atau nanah serta berbau, perdarahan sesudah senggama, rasa nyeri dan sakit di panggul, gangguan buang air kecil sampai tidak bisa buang air kecil.
Berdasarkan hasil survey kesehatan oleh Word Health Organitation (WHO), (2010) dilaporkan kejadian kanker serviks sebesar 500.000 kasus baru di Dunia. Kejadian kanker servik di Indonesia, dilaporkan sebesar 20-248 kasus kanker serviks baru setiap harinya. Kejadian kanker servik di Bali dilaporkan telah menyerang sebesar 553.000 wanita usia subur pada tahun 2010 atau 43/100.000 penduduk WUS.
2.3 Patofisiologi Kanker leher rahim ( Kanker serviks)
Karsinoma serviks timbul dibatas antara epitel yang melapisi ektoserviks (parsial) dan endoserviks kanalik serviks yang disebut Squamo Columnar Junction (SCJ). Pada wanita muda SCJ ini berada di luar ostium uteri eksterneum, sedang wanita berumur > 35 tahun SCJ berada didalam kanalis serviks. Pada awal perkembangannya kanker serviks tak memberi tanda-tanda atau keluhan. Pada pemeriksaan dengan spekulum tampak sebagai porsio yang erosif (Metaplasia Skuamosa) yang fisiologi/patologik.
Tumor dapat tumbuh eksofitik mulai dari SCJ ke arah lumen vagina sebagai masa proliferasi mengalami infeksi sekunder dan nekrosis, endofitik mulai dari SCJ tumbuh ke dalam serviks dan cenderung utuh mengadakan infiltrasi menjadi ulkus, ulseratif cenderung merusak jarinan serviks dengan melibatkan awal farniase vagina menjadi ulkus yang luas.
Serviks yang normal, secara alami mengalami proses metaplasi (erasio) akibat saling desak mendesaknya kedua jenis epital yang melapisi. Dengan masuknya mutagen, porsio yang erosif (metaplasia skuamosa) yang semula faali/fisiologik dapat berubah menjadi patologik (displatik-diskariotik) melalui tingkatan NIS-I, II, III dan KIS untuk akhirnya menjadi karsinoma invasif. Sekali menjadi mikro invasif atau invasif, proses keganasan akan berjalan terus. Periode laten (dari NIS-I s/d KIS) tergantung dari daya tahan tubuh penderita. Umumnya fase prainvasif berkisar antara 3-10 tahun (rata-rata 5-10 tahun). Perubahan epitel displatik serviks secara kontinu yang masih memungkinkan terjadinya regresi spontan dengan pengobatan/tanpa diobati itu dikenal dengan unitarian concept dari Richart. Histopatologik sebagian terbesar (95-97%) berupa epidermoid atau squamous cell carcinoma, sisanya adenokarsinoma, clearcell carcinoma/mesonephroid carcinoma, dan yang paling jarang adalah sarkoma.
2.4 Faktor penyebab dan faktor resiko Kanker leher rahim
a. Faktor penyebab
HPV (Human Papiloma Virus) merupakan penyebab terbanyak. Sebagai tambahan perokok sigaret telah ditemukan sebagai penyebab juga. Wanita perokok mengandung konsentrat nikotin dan kotinin didalam serviks mereka yang merusak sel. Laki-laki perokok juga terdapat konsetrat bahan ini pada sekret genitalnya, dan dapat memenuhi servik selama intercourse.
Defisiensi beberapa nutrisional dapat juga menyebabkan servikal displasia.National Cancer Institute merekomendasikan bahwa wanita sebaiknya mengkonsumsi lima kali buah-buahan segar dan sayuran setiap hari. Jika anda tidak dapat melakukan ini, pertimbangkan konsumsi multivitamin dengan antioksidan seperti vitamin E atau beta karoten setiap hari.
b. Faktor Resiko
1). Pola hubungan seksual
Studi epidemiologi mengungkapkan bahwa resiko terjangkit kanker serviks meningkat seiring meningkatnya jumlah pasangan.aktifitas seksual yang dimulai pada usia dini, yaitu kurang dari 20 tahun,juga dapat dijadkan sebagai faktr resko terjadinya kanke servks. Hal ini diuga ada hubungannya dengan belum matannya derah transformas pada sia tesebut bila serin terekspos. Frekuensi hubungna seksual juga berpengaruh pada lebi tingginya resiko pada usia tersebut, yeyapitidak pada kelompok usia lebih tua.
2). Paritas
Kanker serviks sering dijumpai pada wanita yan sering melahirkan. Semakin sering melahirkan,maka semain besar resiko terjamgkit kanker serviks. Pemelitian di Amerika Latin menunjukkan hubungan antara resiko dengan multiparitas setelah dikontrol dengan infeksi HPV.
3). Merokok
Beberapa peneitian menunukan hubungan yang kuat antara merokok dengan kanker serviks, bahkan setelah dikontrol dengan variabel konfounding sepert pola hubungna seksual. Penemuan lain mempekhatkan ditemkanna nikotin paa cairan serviks wanita perokok bahan ini bersifata sebaai kokassnoen dan bersama-sma dengan kasinoge yan elah ada selanjutnya mendoron pertumbuhan ke arah kanker.
4). Kontrasepsi oral
Penelitian secara perspektif yang dilakukan oleh Vessey dkk tahun 1983 mendapatkan bahwa peningkatan insiden kanker serviks dipengaruhi oleh lama pemakaian kontrasepsi oral. Penelitian tersebut juga mendapatkan bahwa semua kejadian kanker serviks invasive terdapat pada pengguna kontrasepsi oral. Penelitian lain mendapatkan bahwa insiden kanker setelah 10 tahun pemakaian 4 kali lebih tinggi daripada bukan pengguna kontrasepsi oral. Namun penelitian serupa yang dilakukan oleh peritz dkk menyimpulkan bahwa aktifitas seksual merupakan confounding yang erat kaitannya dengan hal tersebut.
WHO mereview berbagai peneltian yang menghubungkan penggunaan kontrasepsi oral dengan risko terjadinya kanker serviks, menyimpulkan bahwa sulit untuk menginterpretasikan hubungan tersebut mengingat bahwa lama penggunaan kontraseps oral berinteraksi dengan factor lain khususnya pola kebiasaan seksual dalam mempengaruhi resiko kanker serviks.
Selain itu, adanya kemungkinan bahwa wanita yang menggunakan kontrasepsi oral lain lebih sering melakukan pemeriksaan smera serviks,sehingga displasia dan karsinoma in situ nampak lebih frekuen pada kelompok tersebut. Diperlukan kehati-hatian dalam menginterpretasikan asosiasi antara lama penggunaan kontrasepsi oral dengan resiko kanker serviks karena adanya bias dan faktor confounding.
5). Defisiensi gizi
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa defisiensi zat gizi tertentu seperti betakaroten dan vitamin A serta asam folat, berhubungan dengan peningkatan resiko terhadap displasia ringan dan sedang. Namun sampasaat ini tdak ada indikasi bahwa perbaikan defisensi gizi tersebut akan menurunkan resiko.
6). Sosial ekonomi
Studi secara deskrptif maupun analitik menunjukkan hubungan yang kuat antara kejadian kanker serviks dengan tingkat social ekonomi yang rendah. Hal ini juga diperkuat oleh penelitian yang menunjukkan bahwa infeksi HPV lebih prevalen pada wanita dengan tingkat pendidikan dan pendapatan rendah. Faktor defisiensi nutrisi, multilaritas dan kebersihan genitalia juga dduga berhubungan dengan masalah tersebut.
7). Pasangan seksual
Peranan pasangan seksual dari penderita kanker serviks mulai menjadi bahan yang menarik untuk diteliti. Penggunaan kondom yang frekuen ternyata memberi resiko yang rendah terhadap terjadinya kanker serviks. Rendahnya kebersihan genetalia yang dikaitkan dengan sirkumsisi juga menjadi pembahasan panjang terhadap kejadian kanker serviks. Jumlah pasangan ganda selain istri juga merupakan factor resiko yang lain.
2.5 Tanda dan Gejala Kanker leher rahim
Kanker leher rahim pada stadium dini sering tidak menunjukkan gejala atau tanda-tanda yang khas, bahkan kadang-kadang tidak ada gejala sama sekali.
Gejala yang mungkin timbul antara lain :
a. munculnya rasa sakit dan perdarahan saat berhubungan intim
b. Keluar keputihan atau cairan encer dari vagina
c. Pendarahan sesudah mati haid
d. Pada tahap lanjut dapat keluar cairan kakuning kuningan, berbau dan dapat bercampur dengan darah.
e. hambatan dalam berkemih, serta pembesaran ginjal
f. penurunan berat badan drastis.
Apabila gejala-gejala tersebut sudah muncul, biasanya kanker sudah dalam setadium lanjut. Untuk itu perlu segera diperiksakan ke dokter karena makin dini penyakit didiagnosis dan diobati, makin besar kemungkinan untuk disembuhkan.
2.6 Upaya pencegahan dan pengoabatan Kanker leher rahim
1. Upaya Pencegahan
a. Pemberian vaksin kanker serviks
Keganasan kanker serviks dapat menyerang wanita tanpa melihat kelompok umur. Vaksin dapat diberikan pada kelompok umur 11-26. Vaksin diberikan pada bulan 0,1 dan bulan ke 6. Adapula untuk anda yang memiliki riwayat terinfesi virus papiloma manusia dapat diberikan vaksinasi dengan efektifias yang kurang. Vaksinasi dapat dilakukan di dokter kandungan. Vaksinasi hanya dilakukan untuk pencegahan bukan untuk pengobatan.
Vaksin yang dimaksud adalah vaksin HPV untuk dapat mencegah human papiloma virus (HPV) yang dapat menyebabkan kanker serviks. Diharapakan vaksin ini akan mencegah sedikitnya 70% (7 dari 10) jenis kanker serviks (squamous cell) yang paling sering terjadi.
Vaksin diberikan melalui suntikan ke dalam otot (lengan atas atau paha). Penyuntikan vaksin sebanyak 3 (tiga) dosis yang terpisah. Setelah dosis pertama, dosis kedua kedua dan ketiga diberikan 2 bulan dan 6 bulan kemudian. Dari fakta bahwa HPV ditularkan melalui hubungan seks, maka vaksin ini paling efektif apabila di berikian kepada anak perempuan sebelum mereka mulai melakukan hubungan seks. Sementara ini diperkirakan bahwa vaksin akan di berikan pada perempuan berusia 11 tahun, karena semua jenis vaksin bekerja paling baik apabila diberikan pada anak-anak sebelum mencapai usia remaja.
b. Deteksi dengan Pap Smear
Pap smear atau tes papaniculou merupakan metode skrining untuk dapat mendeteksi kanker serviks. Test ini telah terbukti dapat mendeteksi dini terjadinya infeksi virus penyebab kanker serviks, sehingga mampu menurunkan resiko terkena kanker serviks dan memperbaiki prognosis. Adapun anjuran untuk anda yang ingin mencegah sejak dini dapat melakukan pap smear setahun sekali untuk wanita yang telah menginjak usia 35 tahun, wanita yang pernah menderita infeksi HPV, wanita pengguna pil kontrasepsi. Lakukan sesering mungkin jika hasil pap smear anda menunjukan tidak normal atau setelah pengobatan pre kanker.
Untuk anda yang akan melakukan pap smear perhatikan ketentuannya agar hasil akurat :
1. Melakukan pap smear pada dua minggu setelah hari pertama haid.
2. Sebelum pemeriksaan sebaiknya tidak menggunakan obat atau bahan herbal pencuci alat kewanitaan.
3. Penderita paska persalinan dianjurkan datang 6-8 minggu untuk melakukan pap smear.
4. Selama 24 jam sebelum pemeriksaan tidak dianjurkan untuk berhubungan seksual.
c. Hindari hubungan seks bebas
Human papiloma virus (HPV) yaitu virus penyebab kanker serviks dapat menular melalui hubungan seksual. Fakta menunjukan hubungan seksual dengan menggonta-ganti pasangan menjadi penyebab utama penularan HVS.
d. Hindari rokok
Banyak pesan dan peringatan yang menyatakan bahwa rokok sangat membahayakan dan memicu timbulnya penyakit ringan atau berbahaya akan tetapi untuk sebagian orang (perokok) masih menganggap remeh pesan itu. Untuk anda wanita, penderita kanker serviks diantaranya adalah 30 persen dari wanita perokok aktif. Penyebabnya adalah kandungan zat kimia yang terdapat di dalam rokok memicu infeksi virus penyebab kanker serviks.
e. Menghindari diet tidak seimbang
Diet sudah menjadi kebiasaan wanita yang bersifat penting untuk menjaga bentuk tubuh dan kesehatan. Jika anda sering melakukan diet dan menghindari asupan buah dan sayur , itu merupakan diet salah . Diet yang salah dapat memicu perkembangan virus penyebab kanker serviks. Kandungan yang terdapat dalam sayur dan buah justru dapat membantu untuk melindungi anda dari serangan kanker serviks. Perhatikan pula makanan dan minuman anda jangan sampai mengandung zat kimia berbahaya seperti pengawet , pewarna dan penyedao rasa.
f. Produk kimia berbahaya
Kehidupan modern yang bersifat instans justru memicu timbulnya kanker. Kandungan berbahaya yang terdapat di dalam pembungkus dan bahan plastik yang terkena panas memicu timbulnya kanker. Minimalisir penggunaan sterofom, bahan plastik yang dipanaskan atau terkena plastik.
2. Pengobatan
a. Stadium prakanker (stadium 1)
Stadium prakanker hingga stadium 1 awal biasanya diobati dengan histerektomi. Apabila pasien massih ingin memiliki anak biasanya dilakukan metode LEEP atau cone biopsy.
b. Stadium awal (stadium 1 dan II)
Apabila ukuran tumor kurang dari 4 cm biasanya dilakukan radikal histerektomi atau radioterapi dengan atau tampa kometerapi. Apabila ukuran tumor lebih dari 4 cm biasanya dilakukan radioterapi dan kemoterapi berbasis cisplatin, histerektomi, atau kemoterapi berbasis cisplatin yang dilanjutkan dengan histerektomi.
c. Stadium lanjut(stadium akhir II Akhir-IV awal)
Kanker serviks pada stadium ini dapat diobati dengan radioterapi dan kemoterapi berbasis cisplatin. Pada stadium sangat lanjut(stadium IV akhir),dokter dapat mempertimbangkan kometerapi dengan kombinasi obat, misalnya hycamtin dan cisplatin. Jika kesembuhan tidak dimungkinkan, tujuan pengobatan selanjutnya adalah mengangkat atau menganjurkan sebanyak mungkin sel-sel kanker. Biasanya dilakukan pengobatan yang bersifat paliatif-ditujukan untuk mengurangi gejala-gejala.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kanker serviks adalah kanker leher rahim / kanker mulut rahim yang di sebabkan oleh virus Human Papiloma Virus (HPV). Penularan virus HPV yang dapat menyebabkan Kanker leher rahim ini dapat menular melalui seorang penderita kepada orang lain dan menginfeksi orang tersebut. Penularannya dapat melalui kontak langsung dan karena hubungan seks.
Beberapa Faktor Resiko diantaranya Pola hubungan seksual, Paritas, Merokok, Kontrasepsi oral, Defisiensi gizi, Sosial ekonomi, dan Pasangan seksual. Kanker serviks memiliki tanda dan gejala berupa munculnya rasa sakit dan perdarahan saat berhubungan intim, Keluar keputihan atau cairan encer dari vagina, Pendarahan sesudah mati haid, Pada tahap lanjut dapat keluar cairan kakuning kuningan, berbau dan dapat bercampur dengan darah., juga hambatan dalam berkemih, serta pembesaran ginjal, penurunan berat badan drastis.
Beberapa Upaya Pencegahan yang dapat dilakukan yaitu Pemberian vaksin kanker serviks, Deteksi dengan Pap Smear, Hindari hubungan seks bebas Hindari rokok, Menghindari diet tidak seimbang, serta Produk kimia berbahaya.
3.2 Saran
Saran yang dapat penulis berikan adalah bagi wanita sebaiknya jangan melakukan hubungan seksual dengan usia < 16 tahun, jangan sering berganti-ganti pasangan. Dikarenakan kanker serviks dini tidak menimbulkan gejala oleh karena itu deteksi dini dapat melakukan pemeriksaan pap smear bagi wanita yang telah menikah setidaknya 6 bulan sekali. Dan bagi penderita kanker serviks jangan berputus asa, berusaha dan berdoa agar penyakitnya sembuh. Untuk mencegah jangan gonta-ganti pasangan, jangan menikah terlalu muda, jangan merokok. Lakukan aktivitas fisik serta makan-makanan yang bergizi dan seimbang, tetap positif thinking hindari pergaulan bebas, free sex, dan say no to drugs.
meilinda thaib_diabetes melitus
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Diabetes Mellitus (DM) merupakan salah satu masalah kesehatan yang berdampak pada produktivitas dan dapat menurunkan Sumber Daya Manusia. Penyakit ini tidak hanya berpengaruh secara individu, tetapi sistem kesehatan suatu negara. Walaupun belum ada survei nasional, sejalan dengan perubahan gaya hidup termasuk pola makan masyarakat Indonesia diperkirakan penderita DM ini semakin meningkat, terutama pada kelompok umur dewasa keatas pada seluruh status sosial ekonomi
Diabetes Melitus (DM) merupakan suatu penyakit kronis yang memerlukan terapi medis secara berkelanjutan. Penyakit ini semakin berkembang dalam jumlah kasus begitu pula dalam hal diagnosis dan terapi. Dikalangan masyarakat luas,penyakit ini lebih dikenal sebagai penyakit gula atau kencing manis. Dari berbagai penelitian, terjadi kecenderungan peningkatan prevalensi DM baik di dunia maupun di Indonesia.Diabetes Melitus (DM) atau disingkat diabetes adalah gangguan kesehatan yang berupa skumpulan gejala yang disebabkan oleh peningkatan kadar gula (glukosa) darah akibat kekurangan ataupun resistensi insulin. Penyakit ini sudah lama dikenal, terutama di kalangan keluarga, khususnya keluarga berbadan besar (kegemukan) bersama dengan gaya hidup “tinggi”. Kenyataannya kemudian, DM menjadi penyakit masyarakat umum, menjadi beban kesehatan masyarakat, meluas dan membawa banyak kematian.
Prevalensi DM sulit ditentukan karena standar penetapan diagnosisnya berbeda-beda. Berdasarkan kriteria American Diabetes Association tahun 2012 (ADA 2012), sekitar 10,2 juta orang di Amerika Serikat menderita DM. Sementara itu, di Indonesia prevalensi DM sebesar 1,5-2,3% penduduk usia >15 tahun, bahkan di daerah Manado prevalensi DM sebesar 6,1%.
Dalam jumlah prevalensi penduduk dunia dengan DM di perhitungkan mencapai 125 juta pertahun dengan DM, dengan prediksi berlipat ganda mencapai 250 juta dalam 10 tahun mendatang (tahun 2010). Peningkatan prevalensi akan lebih menonjol perkembangannya di negara berkembang dibandingkan dengan negara maju. Prevalensi DM di Indonesia besarnya 1,2% – 2,3% dari penduduk usia lebih 15 tahun.
Kecenderungan peningkatan prevalensi akan membuat perubahan posisi DM yang semakin merajalela, yang ditandai dengan perubahan atau kenaikan peringkatnya dikalangan 10 besar penyakit (leading desiases). Selain itu DM juga memberi kontribusi terhadap kematian.
Saat ini upaya penanggulangan penyakit Diabetes Mellitus belum menempati skala prioritas utama dalam pelayanan kesehatan, walaupun diketahui dampak negatif yang ditimbulkannya cukup besar antara lain komplikasi kronik pada penyakit jantung kronis, hipertensi, otak, sistem saraf, hati, mata dan ginjal
1.2. Rumusan Masalah
1. Bagaimana gambaran umum dari diabetes melitus?
2. Bagaimana epidemiologi dari diabetes melitus?
3. Bagaimana patofisiologi dari diabetes melitus?
4. Bagaimana faktor resiko dari diabetes melitus?
5. Bagaimana gejala dari diabetes melitus?
6. Bagaimana upaya pencegahan dari diabetes melitus?
7. Bagaimana pengobatan dari diabetes melitus?
1.3. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui bagaiamana gambaran umum dari diabetes melitus
2. Untuk mengetahui bagaimana epidemiologi dari diabetes melitus
3. Untuk mengetahui bagaimana patofisiologi dari diabetes melitus
4. Untuk mengetahui bagaimana faktor resiko dari diabetes melitus
5. Untuk mengetahui bagaimana gejala dari diabetes melitus
6. Untuk mengetahui bagaimana upaya pencegahan dari diabetes melitus
7. Untuk mengetahui bagaimana pengobatan dari diabetes melitus
BAB II
PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum
Penyakit Diabetes Mellitus (DM) atau dikenal juga di masyarakat sebagai penyakit kencing manis atau penyakit gula darah adalah golongan penyakit kronis yang ditandai dengan peningkatan kadar gula dalam darah sebagai akibat adanya gangguan sistem metabolisme dalam tubuh, dimana organ pankreas tidak mampu memproduksi hormon insulin sesuai kebutuhan tubuh.
Diabetes melitus (DM) adalah keadaan hiperglikemia (kadar gula darah tinggi) yang kronik disertai berbagai kelainan metabolik akibat gangguan hormonal. Akibat gangguan hormonal tersebut dapat menimbulkan komplikasi pada mata seperti katarak, ginjal (nefropati) ,saraf dan pembuluh darah. Insulin merupakan hormon yang dilepaskan oleh pankreas yang bertanggung jawab dalam mempertahankan kadar gula darah. Menurut kriteria diagnostik PERKENI (Perkumpulan Endokrinologi Indonesia) 2006, seseorang dikatakan menderita diabetes jika memiliki kadar gula darah puasa > 126 mg/dL dan pada saat tes > 200 mg/dL
Insulin adalah salah satu hormon yang diproduksi oleh pankreas yang bertanggung jawab untuk mengontrol jumlah/kadar gula dalam darah dan insulin dibutuhkan untuk merubah (memproses) karbohidrat, lemak, dan protein menjadi energi yang diperlukan tubuh manusia. Hormon insulin berfungsi menurunkan kadar gula dalam darah.
Diabetes terjadi jika tubuh tidak menghasilkan insulin yang cukup untuk mempertahankan kadar gula darah yang normal atau jika sel tidak memberikan respon yang tepat terhadap insulin.
Ada 2 tipe diabetes melitus, yaitu (Soegondo 2009) :
1. Diabetes melitustipe 1
Suatu keadaan dimana tubuh sudah sama sekali tidak dapat memproduksi hormon insulin. Sehingga penderita penyakit diabetes harus menggunakan suntikan insulin dalam mengatur gula darahnya. Sebagian besar penderita penyakit diabetes ini adalah anak-anak & remaja.
Karakteristik dari DM tipe 1 adalah insulin yang beredar di sirkulasi sangat rendah, kadar glukagon plasma yang meningkat, dan sel beta pankreas gagal berespons terhadap stimulus yang semestinya meningkatkan sekresi insulin.
DM tipe 1 sekarang banyak dianggap sebagai penyakit autoimun (respon kekebalan salah sasaran yang terjadi ketika sistem kekebalan tubuh kacau dan menyerang tubuh sendiri). Pemeriksaan histopatologi pankreas menunjukkan adanya infiltrasi leukosit dan destruksi sel Langerhans. Pada 85% pasien ditemukan antibodi sirkulasi yang menyerang glutamic-acid decarboxylase (GAD) di sel beta pankreas tersebut. Prevalensi DM tipe 1 meningkat pada pasien dengan penyakit autoimun lain, seperti penyakit Grave, tiroiditis Hashimoto atau myasthenia gravis. Sekitar 95% pasien memiliki Human Leukocyte Antigen (HLA) DR3 atau HLA DR4.
Kelainan autoimun ini diduga ada kaitannya dengan agen infeksius/lingkungan, di mana sistem imun pada orang dengan kecenderungan genetik tertentu, menyerang molekul sel beta pankreas yang ‘menyerupai’ protein virus sehingga terjadi destruksi sel beta dan defisiensi insulin. Faktor-faktor yang diduga berperan memicu serangan terhadap sel beta, antara lain virus (mumps, rubella, coxsackie), toksin kimia, sitotoksin, dan konsumsi susu sapi pada masa bayi.Selain akibat autoimun, sebagaian kecil DM tipe 1 terjadi akibat proses yang idiopatik (Latin idio (sendiri) dan patheia (kesakitan). Idiopatik berarti penyebabnya tidak diketahui. Setiap penyakit yang penyebabnya tidak pasti). Tidak ditemukan antibodi sel beta atau aktivitas HLA. DM tipe 1 yang bersifat idiopatik ini, sering terjadi akibat faktor keturunan, misalnya pada ras tertentu Afrika dan Asia.
2. Diabettes melitus tipe 2
Diabetes mellitus tipe II ini disebabkan insulin yang ada tidak dapat bekerja dengan baik, kadar insulin dapat normal, rendah atau bahkan meningkat tetapi fungsi insulin untuk metabolisme glukosa tidak ada / kurang. Akibatnya glukosa dalam darah tetap tinggi sehingga terjadi hiperglikemia. Tujuh puluh lima persen penderita DM tipe II adalah penderita obesitas atau sangat kegemukan dan biasanya diketahui DM setelah usia 30 tahun. Kegemukan atau obesitas salah satu faktor penyebab penyakit DM, dalam pengobatan penderita DM, selain obat-obatan anti diabetes, perlu ditunjang dengan terapi diit untuk menurunkan kadar gula darah serta mencegah komplikasi-komplikasi yang lain.
efek yang terjadi pada DM tipe 2 disebabkan oleh gaya hidup yang diabetogenik (asupan kalori yang berlebihan, aktivitas fisik yang rendah, obesitas) ditambah kecenderungan secara genetik. Nilai BMI yang dapat memicu terjadinya DM tipe 2 adalah berbeda-beda untuk setiap ras.
3. Diabetes Mellitus Tipe Lain
Diabetes tipe ini dapat disebabkan karena beberapa hal, antara lain : defek genetic fungsi sel beta, defek genetic kerja insulin penyakit eksokrin pankreas, endokrinopati, karena obat atau zat kimia, infeksi, sebab imunologi yang jarang dan sindrom genetik lain yang berkaitan dengan diabetes.
4. Diabetes Mellitus Kehamilan
Diabetes mellitus kehamilan atau sering disebut dengan istilah Diabetes Mellitus Gestasional (DMG) adalah suatu gangguan toleransi karbohidrat yang terjadi atau diketahui pertama kali pada saat kehamilan sedang berlangsung. Faktor risiko diabetes tipe ini antara lain obesitas, adanya riwayat DMG, gukosuria, adanya riwayat keluarga dengan diabetes, abortus berulang, adanya riwayat melahirkan bayi dengan berat > 4 kg, dan adanya riwayat preeklamsia. Penilaian adanya risiko diabetes melitus gestasional perlu dilakukan sejak kunjungan pertama untuk pemeriksaan kehamilannya.
B. EPIDEMIOLOGI
Pada tahun 2000 menurut WHO diperkirakan sedikitnya 171 orang diseluruh dunia menderita Diabetes Melitus, atau sekitar 2.8% dari total populasi, insidennya terus meningkat dengan cepat dan diperkirakan tahun 2030 angka ini menjadi 366 juta jiwa atau sekitar 4.4% dari populasi dunia,DM terdapat diseluruh dunia, 90% adalah jenis Diabetes Melitus tipe2 terjadi di negara berkembang, peningkatan prevalensi terbesar adalah di Asia dan di Afrika , ini akibat tren urbanisasi dan perubahan gaya hidup seperti pola makan yang tidak sehat, di Indonesia sendiri, berdasarkan hasil Riskesdas(2007) dari 24417 responden berusia > 15 tahun , 10,2% mengalami toleransi glukosa tergangggu (kadar glukosa 140-200 mgdl setelah puasa selama 4 jam diberikan beban glucosa sebanyak 75 gram),
DM lebih banyak ditemukan pada wanita dibanding dengan pria, lebih sering pada golongan tingkat pendidikan dan status sosial yang rendah, daerah dengan angka penderita DM yang tertinggi adalah Kalimantan Barat dan Maluku Utara, yaitu 11.1% sedangkan kelompok usia terbanyak DM adalah 55-64 tahunyaitu 13.5%, beberapa hal yang dihubungkan dengan faktor resiko DM adalah Obesitas, hipertensi, kurangnya aktivitas fisik dan rendahnya komsumsi sayur dan buah (Riskesdas, 2007).
Prevalensi nasional DM berdasarkan pemeriksaan gula darah pada penduduk usia >15 tahun diperkotaan 5,7%, prevalensi kurang makan buah dan sayur sebesar 93,6%, dan prevalensi kurang aktifitas fisik pada penduduk >10 tahun sebesar 48,2% disebutkan pula bahwa prevalensi merokok setiap hari pada penduduk >10 tahun sebesar 23,7% (Depkes,2008).
Hasil penelitian epidemiologi yang dilakukan pada tahun 1993 di Jakarta daerah urban membuktikan adanya peningkatan prevalensi DM dari 1.7% pada tahun 1982 menjadi 5.7% kemudian tahun 2001 di Depok dan didaerah Jakarta Selatan menjadi 12.8%, demikian juga di Ujung Pandang daerah urban meningkat dari 1.5% pada tahun 1981 menjadi 3,5% pada tahun1998, kemudian pada akhir 2005 menjadi 12.5%, di daerah rural yang dilakukan oleh Arifin di Jawa Barat 1,1% didaerah terpencil, di tanah Toraja didapatkan prevalensi DM hanya 0,8% dapat dijelaskan perbedaan prevalensi daerah urban dan rural (Soegondo dkk, 2009).
C. PATOFISIOLOGI
Pada diabetes mellitus tipe 1, terdapat ketidakmampuan untuk menghasilkan insulin karena sel-sel β pankreas telah dihancurkan oleh proses autoimun. Glukosa yang berasal dari makanan tidak dapat disimpan dalam hati meskipun tetap berada dalam darah dan menimbulkan hiperglikemia postprandial (sesudah makan) yaitu Hiperglikemia postprandial merupakan kadar gula darah dua jam sesudah makan yang melebihi nilai normal..Jika konsentrasi glukosa dalam darah cukup tinggi, ginjal tidak dapat menyerap kembali semua glukosa yang tersaring keluar akibatnya glukosa tersebut diekskresikan dalam urin (glukosuria). Ekskresi ini akan disertai oleh pengeluaran cairan dan elektrolit yang berlebihan (diuresis osmotik). Pasien mengalami peningkatan dalam berkemih (poliuria) dan rasa haus (polidipsi) (Brunner & Suddarth 1997).
Pada diabetes mellitus tipe 2, terdapat dua masalah utama yang berhubungan dengan insulin, yaitu resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin. Pada kondisi normal, insulin akan terikat dengan reseptor khusus pada permukaan sel. Sebagai akibat terikatnya insulin dengan reseptor tersebut, terjadi suatu rangkaian reaksi dalam metabolisme glukosa di dalam sel. Resistensi insulin pada diabetes tipe 2 disertai dengan penurunan reaksi intrasel, dengan demikian insulin menjadi tidak efektif untuk menstimulasi pengambilan glukosa oleh jaringan.Untuk mengatasi resistensi insulin dan mencegah terbentuknya glukosa dalam darah harus terdapat peningkatan insulin yang disekresikan. Pada penderita toleransi glukosa, keadaan ini terjadi akibat sekresi insulin yang berlebihan dan kadar glukosa akan dipertahankan pada tingkat yang normal atau sedikit meningkat. Namun jika sel-sel β tidak mampu mengimbangi peningkatan kebutuhan akan insulin maka kadar glukosa akan meningkat dan terjadi diabetes mellitus tipe 2 .
Sebagian besar patologi diabetes melitus dapat dihubungkan dengan efek utama kekurangan insulin yaitu :
1) Pengurangan penggunaan glukosa oleh sel-sel tubuh, yang mengakibatkan peningkatan konsentrasi glukosa darah sampai setinggi 300 sampai 1200 mg per 100 ml.
2) Peningkatan mobilisasi lemak dan daerah penyimpanan lemak sehingga menyebabkan kelainan metabolisme lemak maupun pengendapan lipid pada dinding vaskuler.
3) Pengurangan protein dalam jaringan tubuh.
Keadaan patologi tersebut akan berdampak :
a) Hiperglikemia
Hiperglikemia didefinisikan sebagai kadar glukosa darah yang tinggi daripada rentang kadar puasa normal 80-90 mg/100 ml darah, atau rentang non puasa sekitar 140-160 mg/100 ml darah.
Dalam keadaan insulin normal asupan glukosa atau produksi glukosa dalam tubuh akan difasilitasi (oleh insulin) untuk masuk ke dalam sel tubuh. Glukosa itu kemudian diolah untuk menjadi bahan energi. Apabila bahan energi yang dibutuhkan masih ada sisa akan disimpan sebagai glikogen dalam sel-sel hati dan sel-sel otot (sebagai massa sel otot). Proses glikogenesis (pembentukan glikogen dari unsur glukosa ini dapat mencegah hiperglikemia). Pada penderita diabetes melitus proses ini tidak dapat berlangsung dengan baik sehingga glukosa banyak menumpuk di darah (hiperglikemia).
Secara rinci proses terjadinya hiperglikemia karena defisit insulin tergambar pada perubahan metabolik sebagai berikut :
1) Transport glukosa yang melintasi membran sel-sel berkurang.
2) Glukogenesis (pembentukan glikogen dari glukosa) berkurang dan tetap terdapat kelebihan glukosa dalam darah.
3) Glikolisis (pemecahan glukosa) meningkat, sehingga cadangan glikogen berkurang, dan glukosa “hati” dicurahkan dalam darah secara terus menerus melebihi kebutuhan.
4) Glukoneogenesis (pembentukan glukosa dari unsur non karbohidrat) meningkat dan lebih banyak lagi glukosa “hati” yang tercurah ke dalam darah hasil pemecahan asam amino dan lemak.
Hiperglikemia akan mengakibatkan pertumbuhan berbagai mikroorganisme dengan cepat seperti bakteri dan jamur. Karena mikroorganisme tersebut sangat cocok dengan daerah yang kaya glukosa. Setiap kali timbul peradangan maka akan terjadi mekanisme peningkatan darah pada jaringan yang cidera. Kondisi itulah yang membuat mikroorganisme mendapat peningkatan pasokan nutrisi. Kondisi itulah yang membuat mikroorganisme mendapat peningkatan pasokan nutrisi. Kondisi ini akan mengakibatkan penderita diabetes melitus mudah mengalami infeksi oleh bakteri dan jamur.
b) Hiperosmolaritas
Hiperosmolaritas adalah adanya kelebihan tekanan osmotik pada plasma sel karena adanya peningkatan konsentrasi zat. Sedangkan tekanan osmosis merupakan tekanan yang dihasilkan karena adanya peningkatan konsentrasi larutan pada zat cair. Pada penderita diabetes melitus terjadinya hiperosmolaritas karena peningkatan konsentrasi glukosa dalam darah (yang notabene komposisi terbanyak adalah zat cair). Peningkatan glukosa dalam darah akan berakibat terjadinya kelebihan ambang pada ginjal untuk memfiltrasi dan reabsorbsi glukosa (meningkat kurang lebih 225 mg/ menit). Kelebihan ini kemudian menimbulkan efek pembuangan glukosa melalui urin (glukosuria). Ekskresi molekul glukosa yang aktif secara osmosis menyebabkan kehilangan sejumlah besar air (diuresis osmotik) dan berakibat peningkatan volume air (poliuria).
Akibat volume urin yang sangaat besar dan keluarnya air yang menyebabkan dehidrasi ekstrasel. Dehidrasi intrasel mengikuti dehidrasi ekstrasel karena air intrasel akan berdifusi keluar sel mengikuti penurunan gradien konsentrasi ke plasma yang hipertonik (sangat pekat). Dehidrasi intrasel merangsang pengeluaran ADH dan menimbulkan rasa haus. (Corwin,2001, hlm.636).
Glukosuria dapat mencapai 5-10% dan osmolaritas serum lebih dan 370-380 mosmols/ dl dalam keadaan tidak terdapatnya keton darah. Kondisi ini dapat berakibat koma hiperglikemik hiperosmolar nonketotik (KHHN). (Sujono, 2008, hlm. 77).
c) Starvasi Selluler
Starvasi Selluler merupakan kondisi kelaparan yang dialami oleh sel karena glukosa sulit masuk padahal di sekeliling sel banyak sekali glukosa. Ada banyak bahan makanan tapi tidak bisa dibawa untuk diolah. Sulitnya glukosa masuk karena tidak ada yang memfasilitasi untuk masuk sel yaitu insulin.
Dampak dari starvasi selluler akan terjadi proses kompensasi selluler untuk tetap mempertahankan fungsi sel. Proses itu antara lain :
1) Defisiensi insulin gagal untuk melakukan asupan glukosa bagi jaringan-jaringan peripheral yang tergantung pada insulin (otot rangka dan jaringan lemak). Jika tidak terdapat glukosa, sel-sel otot memetabolisme cadangan glikogen yang mereka miliki untuk dibongkar menjadi glukosa dan energi mungkin juga akan menggunakan asam lemak bebas (keton). Kondisi ini berdampak pada penurunan massa otot, kelemahan otot, dan rasa mudah lelah.
2) Starvasi selluler juga akan mengakibatkan peningkatan metabolisme protein dan asam amino yang digunakan sebagai substrat yang diperlukan untuk glukoneogenesis dalam hati. Hasil dari glukoneogenesis akan dijadikan untuk proses aktivitas sel tubuh.
Protein dan asam amino yang melalui proses glukoneogenesis akan dirubah menjadi CO2 dan H2O serta glukosa. Perubahan ini berdampak juga pada penurunan sintesis protein.
Proses glukoneogenesis yang menggunakan asam amino menyebabkan penipisan simpanan protein tubuh karena unsur nitrogen (sebagai unsur pemecah protein) tidak digunakan kembali untuk semua bagian tetapi diubah menjadi urea dalam hepar dan dieksresikan dalam urine. Ekskresi nitrogen yang banyak akan berakibat pada keseimbangan negative nitrogen.
Depresi protein akan berakibat tubuh menjadi kurus, penurunan resistensi terhadap infeksi dan sulitnya pengembalian jaringan yang rusak (sulit sembuh kalau cidera).
3) Starvasi sel juga berdampak peningkatan mobilisasi dan metabolisme lemak (lipolisis) asam lemak bebas, trigliserida, dan gliserol yang akan meningkat bersirkulasi dan menyediakan substrat bagi hati untuk proses ketogenesis yang digunakan sel untuk melakukan aktivitas sel. Ketogenesis mengakibatkan peningkatan kadar asam organik (keton), sementara keton menggunakan cadangan alkali tubuh untuk buffer pH darah menurun. Pernafasan kusmaull dirangsang untuk mengkompensasi keadaan asidosis metabolik. Diuresis osmotik menjadi bertambah buruk dengan adanya ketoanemis dan dari katabolisme protein yang meningkatkan asupan protein ke ginjal sehingga tubuh banyak kehilangan protein.
Adanya starvasi selluler akan meningkatakan mekanisme penyesuaian tubuh untuk meningkatkan pemasukan dengan munculnya rasa ingin makan terus (polifagi). Starvasi selluler juga akan memunculkan gejala klinis kelemahan tubuh karena terjadi penurunan produksi energi. Dan kerusakan berbagai organ reproduksi yang salah satunya dapat timbul impotensi dan orggan tubuh yang lain seperti persarafan perifer dan mata (muncul rasa baal dan mata kabur).
Diabetes mellitus jangka panjang member dampak yang parah ke sistem kardiovaskular, terjadi kerusakan di mikro dan makrovaskular.
D. FAKTOR RESIKO
Faktor risiko diabetes mellitus umumnya di bagi menjadi 2 golongan besar yaitu :
1. Faktor yang tidak dapat dimodifikasi
a) Umur
Manusia mengalami penurunan fisiologis setelah umur 40tahun. Diabetes mellitus sering muncul setelah manusiamemasuki umur rawan tersebut. Semakin bertambahnya umur,maka risiko menderita diabetes mellitus akan meningkat terutama umur 45 tahun (kelompok risiko tinggi).
b) Jenis kelamin
Distribusi penderita diabetes mellitus menurut jenis kelamin sangat bervariasi. Di Amerika Serikat penderita diabetes mellitus lebih banyak terjadi pada perempuan daripada lakilaki. Namun, mekanisme yang menghubungkan jenis kelamin dengan kejadian diabetes mellitus belum jelas.
c) Bangsa dan etnik
Berdasarkan penelitian terakhir di 10 negara menunjukkan
bahwa bangsa Asia lebih berisiko terserang diabetes mellitus dibandingkan bangsa Barat. Hasil dari penelitian tersebut mengatakan bahwa secara keseluruhan bangsa Asia kurang berolahraga dibandingkan bangsa-bangsa di benua Barat. Selain itu, kelompok etnik tertentu juga berpengaruh terutama Cina, India, dan Melayu lebih berisiko terkena diabetes mellitus.
d) Faktor keturunan
Diabetes mellitus cenderung diturunkan, bukan ditularkan. Adanya riwayat diabetes mellitus dalam keluarga terutama orang tua dan saudara kandung memiliki risiko lebih besar terkena penyakit ini dibandingkan dengan anggota keluarga yang tidak menderita diabetes. Ahli menyebutkan bahwa diabetes mellitus merupakan penyakit yang terpaut kromosom seks atau kelamin. Umumnya laki-laki menjadi penderita sesungguhnya, sedangkan perempuan sebagai pihak yang membawa gen untuk diwariskan kepada anak-anaknya.
e) Riwayat menderita diabetes gestasional.
Diabetes gestasional dapat terjadi sekitar 2-5 % pada ibu hamil. Biasanya diabetes akan hilang setelah anak lahir.Namun, dapat pula terjadi diabetes di kemudian hari. Ibu hamilyang menderita diabetes akan melahirkan bayi besar denganberat badan lebih dari 4000 gram. Apabila hal ini terjadi, makakemungkinan besar si ibu akan mengidap diabetes tipe 2kelak.
f) Riwayat melahirkan bayi dengan berat badan lahir lebih dari 4000 gram.
2. Faktor yang dapat dimodifikasi
a) Obesitas
Berdasarkan beberapa teori menyebutkan bahwa obesitas merupakan faktor predisposisi terjadinya resistensi insulin. Semakin banyak jaringan lemak pada tubuh, maka tubuh semakin resisten terhadap kerja insulin, terutama bila lemak tubuh atau kelebihan berat badan terkumpul didaerah sentral atau perut (central obesity). Lemak dapat memblokir kerja insulin sehingga glukosa tidak dapat diangkut kedalam sel dan menumpuk dalam pembuluh darah, sehingga terjadi peningkatan kadar glukosa darah. Obesitas merupakan faktor risiko terjadinya diabetes mellitus tipe 2 dimana sekitar 80- 90% penderita mengalami obesitas.2,4,5,9
b) Aktifitas fisik yang kurang
Berdasarkan penelitian bahwa aktifitas fisik yang dilakukan secara teratur dapat menambah sensitifitas insulin. Prevalensi diabetes mellitus mencapai 2-4 kali lipat terjadi pada individu yang kurang aktif dibandingkan dengan individu yang aktif. Semakin kurang aktifitas fisik, maka semakin mudah seseorang terkena diabetes. Olahraga atau aktifitas fisik dapat membantu mengontrol berat badan. Glukosa dalam darah akan dibakar menjadi energi, sehingga sel-sel tubuh menjadi lebih sensitif terhadap insulin. Selain itu, aktifitas fisik yang teratur juga dapat melancarkan peredaran darah, dan menurunkan faktor risiko terjadinya diabetes mellitus.
c) Hipertensi
Hipertensi merupakan suatu keadaan dimana tekanan darah sistole 140 mmHg atau tekanan darah diastole 90 mmHg. Hipertensi dapat menimbulkan berbagai penyakit yaitu stroke, penyakit jantung koroner, gangguan fungsi ginjal, gangguan penglihatan. Namun, hipertensi juga dapat menimbulkan resistensi insulin dan merupakan salah satu faktor risiko terjadinya diabetes mellitus. Akan tetapi, mekanisme yang menghubungkan hipertensi dengan resistensi insulin masih belum jelas, meskipun sudah jelas bahwa resistensi insulin merupakan penyebab utama peningkatan kadar glukosa darah.
d) Stres
Kondisi stres kronik cenderung membuat seseorang mencari makanan yang manis-manis dan berlemak tinggi untuk meningkatkan kadar serotonin pada otak. Serotonin mempunyai efek penenang sementara untuk meredakan stresnya. Tetapi efek mengkonsumsi makanan yang manis-manis dan berlemak tinggi terlalu banyak berbahaya bagi mereka yang berisiko terkena diabetes mellitus.
e) Pola makan
Pola makan yang salah dapat mengakibatkan kurang gizi atau kelebihan berat badan. Kedua hal tersebut dapat meningkatkan risiko terkena diabetes. Kurang gizi (malnutrisi) dapat menganggu fungsi pankreas dan mengakibatkan gangguan sekresi insulin. Sedangkan kelebihan berat badan dapat mengakibatkan gangguan kerja insulin.
f) Penyakit pada pankreas : pankreatitis, neoplasma, fibrosis kistik Alkohol
g) Alkohol dapat menyebabkan terjadinya inflamasi kronis pada pankreas yang dikenal dengan istilah pankreatitis. Penyakit tersebut dapat menimbulkan gangguan produksi insulin dan akhirnya dapat menyebabkan diabetes mellitus.
E. GEJALA
Gejala pada penderita diabetes mellitus disebut juga dengan istilah 3 P, yaitu Polifagia (banyak makan), Polidipsia (banyak minum), dan Poliuria (banyak kencing). Bila keadaan ini tidak cepat diobati, dalam jangka waktu yang panjang gejala yang dirasakan bukan 3 P lagi, melainkan 2 P saja (Polidipsia dan Poliuria) dan beberapa keluhan lain seperti nafsu makan mulai berkurang, penurunan berat badan, cepat lelah, badan lemah, kesemutan, gatal, mata kabur, disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita. Di samping gejala diatas, ada juga gejala yang sering tampak setelah terjadi komplikasi kronis antara lain : kesemutan, kulit terasa panas (neuropati), kram, mata kabur, infeksi jamur pada alat reproduksi wanita, kemampuan seksualmenurun bahkan impotensi, luka lama sembuh, pada ibu hamil seringmengalami keguguran atau kematian janin dalam kandungan, ataumelahirkan dengan berat badan lahir bayi lebih dari 4000 gram.
Diabetes mellitus merupakan penyakit kronis yang membutuhkan pengobatan yang terkontrol. Tanpa didukung oleh pengelolaan yang tepat, diabetes dapat menyebabkan beberapa komplikasi (IDF, 2007). Komplikasi yang disebabkan dapat berupa:
1. Komplikasi Akut
a) Hipoglikemi
Hipoglikemi ditandai dengan menurunnya kadar glukosa darah hingga mencapai <60 mg/dL. Gejala hipoglikemia terdiri dari gejala adrenergik (berdebar, banyak keringat, gemetar, rasa lapar) dan gejala neuro-glikopenik (pusing, gelisah, kesadaran menurun sampai koma) (PERKENI, 2006).
b) Ketoasidosis diabetik
Keadaan ini berhubungan dengan defisiensi insulin, jumlah insulin yangterbatas dalam tubuh menyebabkan glukosa tidak dapat digunakan sebagaisumber energi, sehingga tubuh melakukan penyeimbangan dengan;. memetabolisme lemak. Hasil dari metabolisme ini adalah asam lemak bebasdan senyawa keton. Akumulasi keton dalam tubuh inilah yang menyebabkanterjadinya asidosis atau ketoasidosis (Gale, 2004).Gejala klinisnya dapat berupa kesadaran menurun, nafas cepat dan dalam(kussmaul) serta tanda-tanda dehidrasi.
c) Hiperosmolar non ketotik
Riwayat penyakitnya sama dengan ketoasidosis diabetik, biasanya berusia > 40 tahun. Terdapat hiperglikemia disertai osmolaritas darah yang tinggi >320.
2) Komplikasi Kronis (Menahun)
a) Makroangiopati: pembuluh darah jantung, pembuluh darah tepi, pembuluh darah otak
b) Mikroangiopati: pembuluh darah kapiler retina mata (retinopati diabetik) dan Pembuluh darah kapiler ginjal (nefropati diabetik)
c) Neuropatid : suatu kondisi yang mempengaruhi sistem saraf, di mana serat-serat saraf menjadi rusak sebagai akibat dari cedera atau penyakit
d) Komplikasi dengan mekanisme gabungan: rentan infeksi, contohnya tuberkolusis paru, infeksi saluran kemih,infeksi kulit dan infeksi kaki. dan disfungsi ereksi.
F. PENATALAKSANAAN
Tujuan utama terapi diabetes adalah menormalkan aktivitas insulin dan kadar glukosa darah sebagai upaya untuk mengurangi terjadinya komplikasi vaskuler serta neuropatik. Tujuan terapeutik pada setiap tipe diabetes melitus adalah mencapai kadar glukosa darah normal tanpa terjadinya hipoglikemia dan gangguan serius pada pola aktivitas pasien (Smeltzer & Bare, 2002).
Penatalaksanaan diabetes melitus dalam jangka pendek bertujuan untuk menghilangkan keluhan/gejala diabetes melitus, sedangkan tujuan jangka panjangnya adalah untuk mencegah komplikasi. Tujuan tersebut dilaksanakan dengan cara menormalkan kadar glukosa, lipid, dan insulin. Untuk mempermudah tercapainya tujuan tersebut, kegiatan dilaksanakan dalam bentuk pengelolaan pasien secara holistik dan mengajarkan kegiatan mandiri (Mansjoer dkk, 2007).
Terdapat lima komponen dalam penatalaksanaan diabetes melitus yaitu diet, latihan, pemantauan, terapi (jika diperlukan), dan pendidikan. Penanganan di sepanjang perjalanan penyakit diabetes melitus akan bervariasi mengikuti kemajuan dalam metode terapi yang dihasilkan dari riset, perubahan pada gaya hidup, keadaan fisik, dan mental daripenderita diabetes melitus sendiri. Para diabetisi diharapkan dapat mengontrol kadar glukosa darahnya secara rutin agar dapat dilakukan tindakan pencegahan sedini mungkin (Smeltzer & Bare, 2002).
a. Pencegahan Diabetes Melitus
1) Diet
Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes hampir sama dengan anjuran makan untuk masyarakat umum yaitumakanan yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori danzat gizi masing-masing individu. Pada penyandang diabetes perluditekankan pentingnya keteraturan makan dalam hal jadwalmakan, jenis dan jumlah makanan, terutama pada mereka yangmenggunakan obat penurun glukosa darah atau insulin.
Standar yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yangseimbang dalam hal karbohidrat 60-70%, lemak 20-25% danprotein 10-15%. Untuk menentukan status gizi, dihitung denganBMI (Body Mass Indeks). Indeks Massa Tubuh (IMT) atauBodyMass Index (BMI) merupupakan alat atau cara yang sederhanauntuk memantau status gizi orang dewasa, khususnya yangberkaitan dengan kekurangan dan kelebihan berat badan.
2) Pendidikan Kesehatan
Pendidikan kesehatan sangat penting dalam pengelolaan Dmuntuk mendapatkan hasil yang optimal. Pendidikan kesehatan pada pasien DM sebaiknya dilakukan oleh semua pihak yangterkait dalam pengelolaan DM, seperti dokter, perawat, ahli gizi.Pendidikan kesehatan pencegahan primer harus diberikan kepadakelompok masyarakat resiko tinggi. Pendidikan kesehatansekunder diberikan kepada kelompok pasien DM. Sedangkanpendidikan kesehatan untuk pencegahan tersier diberikan kepadapasien yang sudah mengidap DM dengan penyulit menahun.
3) Exercise (latihan fisik/olah raga)
Dianjurkan latihan secara teratur (3-4 kali seminggu) selamakurang lebih 30 menit, yang sifatnya sesuai dengan CRIPE(Continous, Rhythmical, Interval, Progresive, EnduranceTraining) sesuai dengan kemampuan pasien. Sebagai contohadalah olah raga ringan jalan kaki biasa selama 30 menit.Hindarkan kebiasaan hidup yang kurang gerak ataubermalas-malasan.
4) Pemeriksaan tekanan darah secara teratur.
Sekitar 73 persen orang dewasa dengan diabetes ternyata juga menderita tekanan darah tinggi.
5) Berperanaktifdalam proses pengobatan
Melakukan pemeriksaan kesehatan ,Setiap orang yang berusia diatas 45 tahun harus memiliki jadwal rutin pemeriksaan kadar gula darah setiap 3 tahun sekali. Namun, jika seseorang termasuk kelompok dengan faktor risiko tinggi, pemeriksaan rutin harus dimulai pada usia lebih dini.
6) MinumobatsesuaidengananjuranDokter
7) Periksakadarguladarahsecarateratur
8) Perhatikan kaki Anda
Salah satu komplikasi yang sering terjadi pada pasien diabetes melitus adalah masalah kaki. Misalnya luka pada kaki yang tidak kunjung sembuh, infeksi bakteri atau jamur, dan yang paling parah adalahpembusukan jaringan sehingga perlu dilakukan amputasi. Masalah pada kaki penderita DM disebabkan oleh dua hal, yakni:
a) Aliran darah yang buruk. Hal ini terjadi karena kerusakan pembuluh darah yang disebabkan oleh kadar gula darah yang tinggi dalam waktu lama. Aliran darah yang terganggu menyebabkan kaki tidak mendapatkan nutrisi yang cukup, sehingga kulit kaki menjadi lemah, mudah luka dan sukar sembuh jika terjadi luka.
b) Kerusakan saraf. Hal ini juga terjadi karena kadar gula darah yang tinggi dalam waktu lama. Kerusakan saraf menyebabkan kepekaan seorang pasien DM terhadap rasa nyeri menjadi berkurang, sehingga pasien tidak sadar saat kakinya terluka.
Perawatan harian yang dapat dilakukan adalah mencuci kaki dengan sabun dan air hangat. Setelah itu,kaki harus dikeringkan dengan benar sampai ke sela-sela jari agar tidak terinfeksi jamur. Oleskan pelembab untuk mencegah kulit kering, tetapi jangan oleskan pelembab pada sela-sela jari. Jangan merendam kaki Anda, karena akan membuat kulit rusak, sehingga mudah terkena infeksi.
b. Pengobatan Diabetes Melitus
Penderita diabetes tipe 1 umumnya menjalani pengobatan therapi insulin (Lantus/Levemir, Humalog, Novolog atau Apidra) yang berkesinambungan, selain itu adalah dengan berolahraga secukupnya serta melakukan pengontrolan menu makanan (diet).
Pada penderita diabetes mellitus tipe 2, penatalaksanaan pengobatan dan penanganan difokuskan pada gaya hidup dan aktivitas fisik. Pengontrolan nilai kadar gula dalam darah adalah menjadi kunci program pengobatan, yaitu dengan mengurangi berat badan, diet, dan berolahraga. Jika hal ini tidak mencapai hasil yang diharapkan, maka pemberian obat tablet akan diperlukan. Bahkan pemberian suntikan insulin turut diperlukan bila tablet tidak mengatasi pengontrolan kadar gula darah.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Diabetes Melitus merupakan penyakit kronis yang perlu mendapatkan perhatian bagi pasien dan dokter. Kejadian DM makin hari makin meningkat kasusnya yang disebabkan oleh karena faktor kegemukan, pola makan yang tidak baik, autoimun, penyakit penyerta dan idiopatik.. Menurut etiologi DM dapat diklasifikasikan menjadi 4 jenis yaitu DM tipe 1, DM tipe 2, DM dalam kehamilan dan DM tipe lain.
DM lebih banyak ditemukan pada wanita dibanding dengan pria, lebih sering pada golongan tingkat pendidikan dan status sosial yang rendah. Sebagian besar patologi diabetes melitus dapat dihubungkan dengan efek utama kekurangan insulin. Banyaksekalifaktor yang menyebabkanseseorangmenderitapenyakit Diabetes Militus.Seperticonohnya, Obesitas(beratbadanberlebih),faktorgenetis, polahidup yang tidaksehat (jarangberolah raga),
B. SARAN
Adapun saran bagipembacadarimakalahiniadalahsebagaiberikut:
1) Selaluberhati – hatilahdalammenjagapolahidup. Seringberolah raga danistirahat yang cukup
2) Jagapolamakananda. Janganterlaluseringmengkonsumsimakananatauminuman yang terlalumanis. Karenaitudapatmenyebabkankadargulamelonjaktinggi.
DAFTAR PUSTAKA
Ambarwati,Winarsih.2011.Konseling Pencegahan Dan Penatalaksanaan Penderita Diabetes Mellitus.Sumatera Utara:universitas sumatera utara.
Awad,Nadyah.2011. Gambaran faktor resiko pasien diabetes melitus tipe Ii di poliklinik endokrin bagian/smf fk-unsrat rsu prof.Dr. R.d kandou manado periode mei 2011 - oktober 2011.Manado:UNSTRAT.dalam http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/ebiomedik/article/viewFile/1160/936
Rachmawati, Dkk.2012.Hasil Diagnostik diabetes melitus.Makasar: Lembaga Pendidikan UniversitasHasanudin. Dalam http://library.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2011-1-00613-mtif%202.pdf
utjahjo, A., Tjokroprawiro, A., Murtiwi, S., Wibisono, S., 2006.Konsensus pengelolaan dan pencegahan dan pencegahandiabetes melitus tipe 2 di Indonesia tahun 2006.Jakarta:Rineka cipta.
Dalam http://www.kedokteran.info.
surveilance penyakit hipertensi
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di seluruh dunia, Hipertensi merupakan masalah yang besar dan serius. Di samping karena prevalensinya yang tinggi dan cenderung meningkat di masa yang akan datang, juga karena tingkat keganasan penyakit yang diakibatkan sangat tinggi seperti penyakit jantung, stroke, gagal ginjal dan lain-lain, juga menimbulkan kecacatan permanen dan kematian mendadak. Kehadiran hipertensi pada kelompok dewasa muda, sangat membebani perekonomian keluarga, karena biaya pengobatan yang mahal dan membutuhkan waktu yang panjang, bahkan seumur hidup.
Hipertensi merupakan masalah kesehatan global yang membutuhkan perhatian karena dapat menyebabkan kematian utama di Negara-negara maju maupun Negara berkembang. Menurut survey yang dilakukan oleh Word Health Organization (WHO) pada tahun 2000, jumlah penduduk dunia yang menderita hipertensi untuk pria sekitar 26,6% dan wanita sekitar 26,1% dan diperkirakan pada tahun 2025 jumlahnya akan meningkat menjadi 29,2% .
Berdasarkan Survei Kesehatan Nasional Tahun 2001, angka kesakitan Hipertensi pada dewasa sebanyak 6-15% dan kasusnya cenderung meningkat menurut peningkatan usia. Beberapa penyakit tidak menular yang ada tersebut,penyakit kardiovaskular mempunyai kontribusi cukup besar terhadap tingginya angka kesakitan, kecacatan dan kematian akibat PTM.
Di Indonesia sendiri hipertensi merupakan penyebab kematian nomor 3 setelah stroke dan tuberkulosis, Prevalensi penderita hipertensi di Indonesia terus terjadi peningkatan. Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) pada tahun 2000 sebesar 21% menjadi 26,4% dan 27,5% pada tahun 2001 dan 2004. Selanjutnya, diperkirakan meningkat lagi menjadi 37% pada tahun 2015 dan menjadi 42% pada tahun 2025. Menurut data Kementrian Kesehatan RI tahun 2009 menunjukkan bahwa prevalensi hipertensi sebesar 29,6% dan meningkat menjadi 34,1% tahun 2010. Data Dinas Kesehatan kota Semarang tahun 2009 menyebutkan prevalensi hipertensi sebesar 12,85 % dengan jumlah kasus sebanyak 2063.
Beberapa penelitian lain yang telah dilakukan tenyata prevalensi hipertensi meningkat dengan bertambahnya usia. Dari berbagai penelitian epidemiologis yang dilakukan di Indonesia menunjukan 1,8 – 28,6 % penduduk yang berusia diatas 20 tahun adalah penderita hipertensi.
Berdasarkan data dari Profil Kesehatan Kota Gorontalo Tahun 2013, angka penderita hipertensi dari tahun 2011 hingga 2013 sebagai berikut. Pada tahun 2011 sebesar 123990 jiwa, terjadi peningkatan pada tahun 2011 sebesar 130683 jiwa. Selanjutnya pada tahun 2011 dan 2012 mengalami penurunan, pada tahun 2011 sebesar 113537 jiwa dan pada tahun 2012 sebesar 107839 jiwa. Namun, pada tahun 2013 terjadi peningkatan yaitu sebesar 128594 jiwa.
Diharapkan dengan dibuatnya laporan survailans epidemiologi penyakit Hipertensi ini dapat mengurangi angka kesakitan serta kematian karena hipertensi dalam masyarakat..
B. Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi permasalahan dalam perumusan penyakit Hipertensi yaitu :
1. Bagaimana gambaran surveilans epidemiologi penyakit hipertensi di Puskesmas Limboto Barat tahun 2011?
2. Bagaimana gambaran surveilans epidemiologi penyakit hipertensi di Puskesmas Limboto Barat tahun 2012?
3. Belum diketahuianya gambaran surveilans epidemiologi penyakit hipertensi Puskesmas Limboto Barat tahun 2013?
C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Yaitu Untuk mendapatkan gambaran survailans tentang epidemiologi penyakit Hipertensi pada kawasan wilayah kerja puskesmas Limboto Barat Tahun 2011-2013
2. Tujuan Khusus
1. Di peroleh gambaran survailans penyakit Hipertensi berdasarkan kelompok umur
2. Di peroleh gambaran survailans penyakit Hipertensi berdasarkan jenis kelamin
3. Di peroleh gambaran survailans penyakit Hipertensi berdasarkan Tempat (Place)
4. Di peroleh gambaran survailans penyakit Hipertensi berdasarkan waktu kejadian (Time)
3. Manfaat
1) Untuk menambah wawasan terhadap masyarakat tentang penyakit Hipertensi dan bagaimana cara pencegahan dan pengobatannya.
2) Untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat Kecamatan Limboto Barat pada wilayah kerja Puskesmas Limboto Barat dalam hal pencegahan dan pengobatan penyakit Hipertensi.
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Teori Survailans
Istilah surveilans berasal dari bahasa Prancis, yaitu “surveillance”, yang berarti “mengamati tentang sesuatu”. Menurut Last (2001) survailans adalah proses pengumpulan pengolahan analisis dan interpretasi data secara sistimatik dan terus-menerus serta diseminasi (penyebarluasan) informasi secara tepat waktu kepada unit yang membutuhkan untu3k dapat diambil tindakan yang tepat.
Surveilans kesehatan masyarakat adalah pengumpulan, analisis, dan analisis data secara terus menerus dan sistematis yang kemudian didiseminasikan (disebarluaskan) kepada pihak-pihak yang bertanggungjawab dalam pencegahan penyakit dan masalah kesehatan lainnya (DCP2, 2008).
Surveilans memantau terus-menerus kejadian dan kecenderungan penyakit, mendeteksi dan memprediksi outbreak pada populasi, mengamati faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian penyakit, seperti perubahan-perubahan biologis pada agen, vektor, dan reservoir, Selanjutnya surveilans menghubungkan informasi tersebut kepada pembuat keputusan agar dapat dilakukan langkah-langkah pencegahan dan pengendalian penyakit (Last, 2001), Kadang digunakan istilah surveilans epidemiologi, Baik surveilans kesehatan masyarakat maupun surveilans epidemiologi hakikatnya sama saja, sebab menggunakan metode yang sama, dan tujuan epidemiologi adalah untuk mengendalikan masalah kesehatan masyarakat, sehingga epidemiologi dikenal sebagai sains inti kesehatan masyarakat (core science of public health).
Program Surveilans adalah program pengamaan dan pemantauan penyakit di lapangan yang memiliki tugas dan fungsi mengumpulkan dan mengolah data, menganalisis dan menginterpretasi data, menyebarluaskan hasil analisis serta mengevaluasi hasil cakupan. Di lapangan, survelans penyakit dilaksanakan untuk mengetahui besar kecilnya kejadian penyakit dan indikasi-indikasi penularan/meluasnya kasus melalui kajian-kajian tertentu.
Setiap instansi kesehatan pemerintah, instansi kesehatan propinsi, instansi kesehatan kabupaten/kota dan lembaga kesehatan masyarakat dan swasta diwajibkan untuk menyelenggarakan surveilans epidemiologi. Kegiatan dari unit surveilans ini adalah melakukan pengumpulan, pencatatan, dan pelaporan data baik secara aktif maupun pasif (kompilasi dan analisis data) serta penentuan tindak lanjut/cara penanggulangan masalah.
Surveilans berbeda dengan pemantauan (monitoring) biasa. Surveilans dilakukan secara terus menerus tanpa terputus (kontinu), sedang pemantauan dilakukan intermiten atau episodik. Dengan mengamati secara terus-menerus dan sistematis maka perubahan-perubahan kecenderungan penyakit dan faktor yang mempengaruhinya dapat diamati atau diantisipasi, sehingga dapat dilakukan langkah-langkah investigasi dan pengendalian penyakit dengan tepat.
Untuk menggambarkan tingkat prevalensi penyakit di wilayah kerja Puskesmas Limboto Barat maka disusun laporan tentang penyakit hipertensi disekitar wilayah kerja Puskesmas Limboto Barat. Penyakit Hipertensi tersebut merupakan suatu pola penyakit yang ada pada kunjungan pasien ke Puskesmas Limboto Barat yang dapat digunakan sebagai acuan dalam perencanaan upaya-upaya pencegahan berbagai penyakit.
Dalam melakukan surveilans penyakit terdapat beberapa komponen surveilans didalamnya. Di antaranya :
1. Pengumpulan data
Data diperoleh melalui laporan dari Puskesmas Pembantu, Puskesmas, dan pelayanan kesehatan swasta seperti klinik, DPS/BPS Pengambilan data dilakukan secara manual atau menggunakan data sekunder, yaitu dengan cara merekap data yang ada di puskesmas Limboto Barat. Selanjutnya data mentah tersebut di input kedalam program-program yang sudah ada agar dapat dengan mudah untuk memilah-milahnya sesuai dengan yang kita perlukan
2. Pengolahan data
Dilakukan kompilasi terhadap data yang telah terkumpul untuk kemudian dianalisis dan disajikan dalam bentuk tabel, grafik maupun peta yang dirinci berdasarkan golongan umur, jenis kelamin, waktu, tempat, dan lain-lain.
Pengolahan data yang dilakukan sebelumnya adalah dengan merekap data yang diperoleh dari puskesmas Limboto barat menggunakan cara manual. Selanjutnya data yang telah terurut berdasarkan orang, tempat, dan waktu tersebut di input kedalam program pengloah SPSS untuk lebih memudahkan kita dalam menganalisis data.
3. Analisis Dan Interpretasi Data
Analisis data yang kami lakukan yaitu menggunakan anilisis Bivariat dengan membuat Tabel (menghitung proporsi), Grafik (analisis kecenderungan) dan Peta (analisis tempat dan waktu). Hasil analisis dan interpretasi data berupa informasi Epidemiologi. Oleh karena belum adanya sistem pencatatan yang lebih rinci maka analisis data menjadi tidak maksimal terutama analisa terhadap tempat atau daerah yang cenderung memiliki jumlah kasus yang tinggi.
Survailans epidemiologi adalah kegiatan analisis secara sistematik dan terus-menerus terhadap masalah kesehatan dan kondisi yang mempengaruhi terjadinya peningkatan dan penularan penyakit atau masalah kesehatan tersebut agar dapat melakukan tindakan penanggulangan secara efektif dan efisien melalui proses pengumpulan data, pengolahan, dan penyebaran informasi epidemiologi kepada penyelenggara program kesehatan.
4. Penyebaran data
Kesimpulan yang telah diambil disebarkan kepada pihak-pihak yang berkepentingan.
Tujuan survailans epidemiologi adalah :
a. Memprediksi dan mendeteksi dini epidemic ( out break )
b. Memonitor, mengevaluasi, dan memperbaiki program pencegahan dan pengendalian penyakit.
c. Memasok informasi untuk penentuan prioritas, pengambilan kebijakan, perencanaan, implementasi, dan alokasi sumber daya kesehatan.
d. Monitoring kecenderungan penyakit endemis dan mengestimasi dampak penyakit dimasa mendatang.
e. Mengindentifikasi kebutuhan riset dan investigasi lebih lanjut.
Syarat-syarat sistem surveilans yang baik hendaknya memenuhi karakteristik sebagai berikut (Romaguera, 2000) :
a. Kesederhanaan (Simplicity)
Kesederhanaan sistem surveilans menyangkut struktur dan pengorganisasian sistem. Besar dan jenis informasi yang diperlukan untuk menunjang diagnosis, sumber pelapor, cara pengiriman data, organisasi yang menerima laporan, kebutuhan pelatihan staf, pengolahan dan analisa data perlu dirancang agar tidak membutuhkan sumber daya yang terlalu besar dan prosedur yang terlalu rumit.
b. Fleksibilitas (Flexibility)
Sistem surveilans yang fleksibel dapat menyesuaikan diri dalam mengatasi perubahan-perubahan informasi yang dibutuhkan atau kondisi operasional tanpa memerlukan peningkatan yang berarti akan kebutuhan biaya, waktu dan tenaga.
c. Dapat diterima (Acceptability).
Penerimaan terhadap sistem surveilans tercermin dari tingkat partisipasi individu, organisasi dan lembaga kesehatan. lnteraksi sistem dengan mereka yang terlibat, temasuk pasien atau kasus yang terdeteksi dan petugas yang melakukan diagnosis dan pelaporan sangat berpengaruh terhadap keberhasilan sistem tesebut. Beberapa indikator penerimaan terhadap sistem surveilans adalah jumlah proporsi para pelapor, kelengkapan pengisian formulir pelaporan dan ketepatan waktu pelaporan. Tingkat partisipasi dalam sistem surveilans dipengaruhi oleh pentingnya kejadian kesehatan yang dipantau, pengakuan atas kontribusi mereka yang terlibat dalam sistem, tanggapan sistem terhadap saran atau komentar, beban sumber daya yang tersedia, adanya peraturan dan perundangan yang dijalankan dengan tepat.
d. Sensitivitas (Sensitivity).
Sensitivitas suatu surveilans dapat dinilai dari kemampuan mendeteksi kejadian kasus-kasus penyakit atau kondisi kesehatan yang dipantau dan kemampuan mengidentifikasi adanya KLB. Faktor-faktor yang berpengaruh adalah :
1) Proporsi penderita yang berobat ke pelayanan kesehatan.
2) Kemampuan mendiagnosa secara benar dan kemungkinan kasus yang terdiagnosa akan dilaporkan.
3) Keakuratan data yang dilaporkan
e. Nilai Prediktif Positif (Positive predictive value)
Nilai Prediktif Positif adalah proporsi dari yang diidentifikasi sebagai kasus, yang kenyataannya memang menderita penyakit atau kondisi sasaran surveilans. Nilai Prediktif Positif menggambarkan sensitivitas dan spesifisitas serta prevalensi/ insidensi penyakit atau masalah kesehatan di masyarakat.
f. Representatif (Representative).
Sistem surveilans yang representatif mampu mendeskripsikan secara akurat distribusi kejadian penyakit menurut karakteristik orang, waktu dan tempat. Kualitas data merupakan karakteristik sistem surveilans yang representatif. Data surveilans tidak sekedar pemecahan kasus-kasus tetapi juga diskripsi atau ciri-ciri demografik dan infomasi mengenai faktor resiko yang penting.
g. Tepat Waktu.
Ketepatan waktu suatu sistem surveilans dipengaruhi oleh ketepatan dan kecepatan mulai dari proses pengumpulan data, pengolahan analisis dan interpretasi data serta penyebarluasan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Pelaporan penyakit-penyakit tertentu perlu dilakukan dengan tepat dan cepat agar dapat dikendalikan secara efektif atau tidak meluas sehingga membahayakan masyarakat. Ketepatan waktu dalam sistem surveilans dapat dinilai berdasarakan ketersediaan infomasi untuk pengendalian penyakit baik yang sifatnya segera maupun untuk perencanaan program dalam jangka panjang.Tekhnologi komputer dapat sebagai faktor pendukung sistem surveilans dalam ketepatan waktu penyediaan informasi.
B. Epidemiologi penyakit Hipertensi
1. Defenisi Penyakit Hipertensi
Hipertensi yang di derita seseorang erat kaitannya dengan tekanan sistolik dan diastolik atau keduanya secara terus menerus. Tekana sistolik berkaitan dengan tingginya tekanan pada arteri bila jantung berkontraksi, sedangkan tekanan diastolik berkaitan dengan tekanan arteri pada saat jantung relaksasi di antara dua denyut jantung. Dari hasil penelitian tekanan sistolik memiliki nilai yang lebih besar dari tekanan diastolik .
Menurut WHO tekanan darah dianggap normal bila kurang dari 135/85 mmHg sedangkan dikatakan hipertensi bila lebih dari 140/90 mmHg. Angka yang lebih tinggi menunjukkan fase darah yang sedang dipompa jantung (sistolik) sedangkan nilai yang lebih rendah menunjukkan fase darah yang kembali ke dalam jantung (diastolik). Penyakit hipertensi sering disebut sebagai the silent disease. Umumnya penderita tidak mengetahui dirinya mengidap hipertensi sebelum memeriksakan tekanan darahnya. Penyakit ini dikenal juga sebagai heterogeneous group of disease karena dapat menyerang siapa saja dari berbagai kelompok umur sosial dan ekonomi. Kecenderungan berubahnya gaya hidup akibat urbanisasi, modernisasi dan globalisasi memunculkan berbagai faktor risiko yang dapat meningkatkan angka kesakitan hipertensi.
Tekanan darah adalah desakan darah terhadap dindingdinding arteri ketika darah tersebut dipompa dari jantung ke jaringan. Tekanan darah merupakan gaya yang diberikan darah pada dinding pembuluh darah. Tekanan ini bervariasi sesuai pembuluh darah terkait dan denyut jantung. Tekanan darah pada arteri besar bervariasi menurut denyutan jantung. Tekanan ini paling tinggi ketika ventrikel berkontraksi (tekanan sistolik) dan paling rendah ketika ventrikel berelaksasi (tekanan diastolik). Ketika jantung memompa darah melewati arteri, darah menekan dinding pembuluh darah. Mereka yang menderita hipertensi mempunyai tinggi tekanan darah yang tidak normal.
Hipertensi didefinisikan sebagai tekanan darah yang lebih tinggi dari 140/90 mmHg dapat di klasifisikan sesuai derajat keparahannya, mempunyai rentang dari tekanan darah normal tinggi sampai hipertensi maligna. Keadaan ini di kategorikan sebagai primer atau esensial dan hipertensi sekunder, terjadi sebagai akibat kondisi patologi yang dapat di kenali, sering kali dapat di perbaiki.
Hipertensi adalah suatu keadaan tanpa gejala, di mana tekanan yang abnormal tinggi di dalam arteri menyebabkan meningkatnya resiko terhadap stroke, gagal jantung, serangan jantung, dan kerusakan ginjal.
Hipertensi adalah keadaan dimana tekanan arteri rata-rata lebih tinggi dari pada batas atas yang di anggap normal yaitu 140/90 mmHg. Hipertensi dapat di definisikan sebagai peningkatan tekanan darah sistolik sedikitnya 140 mmHg atau tekanan diastolik sedikitnya 90 mmHg.
Dari definisi –definisi di atas dapat di peroleh kesimpulan bahwa hipertensi adalah suatu keadaan di mana tekanan darah sistolik dan tekanan darah diastolik lebih dari 140/90 mmHg, di mana sudah di lakukan pengukuran tekanan darah minimal dua kali untuk memastikan keadaan tersebut dan hipertensi dapat menimbulkan resiko terhadap penyakit stroke, gagal jantung, serangan jantung, dan kerusakan ginjal.
2. Anatomi dan Fisiologi Hipertensi
a) Anatomi
1) Jantung
Berukuran sekitar satu kepalan tangan dan terletak di dalam dada, batas kanannya terdapat pada sternum kanan dan apeksnya pada ruang intercosta kelima kiri pada linea midclavikula.
Hubungan jantung adalah:
atas: pembuluh darah besar
bawah: diafragma
setiap sisi: paru-paru
belakang: aorta dessendens, oesopagus, columna vertebralis
2) Arteri
Adalah tabung yang dilalui darah yang dialirkan pada jaringan dan organ. Arteri terdiri dari lapisan dalam: lapisan yang licin, lapisan tengah jaringan elastin/otot: aorta dan cabang-cabangnya besar memiliki lapisan tengah yang terdiri dari jaringan elastin (untuk menghantarkan darah untuk organ), arteri yang lebih kecil memiliki lapisan tengah otot (mengatur jumlah darah yang disampaikan pada suatu organ).
Meningkatnya tekanan darah di dalam arteri bisa terjadi melalui beberapa cara:
a. Jantung memompa lebih kuat sehingga mengalirkan lebih banyak cairan pada setiap detiknya
b. Arteri besar kehilangan kelenturannya dan menjadi kaku, sehingga mereka tidak dapat mengembang pada saat jantung memompa darah melalui arteri tersebut. Karena itu darah pada setiap denyut jantung dipaksa untuk melalui pembuluh yang sempit daripada biasanya dan menyebabkan naiknya tekanan. Inilah yang terjadi pada usia lanjut, dimana dinding arterinya telah menebal dan kaku karena arterosklerosis. Dengan cara yang sama, tekanan darah juga meningkat pada saat terjadi “vasokonstriksi”, yaitu jika arteri kecil (arteriola) untuk sementara waktu mengkerut karena perangsangan saraf atau hormon di dalam darah.
c. Bertambahnya cairan dalam sirkulasi bisa menyebabkan meningkatnya tekanan darah. Hal ini terjadi jika terdapat kelainan fungsi ginjal sehingga tidak mampu membuang sejumlah garam dan air dari dalam tubuh. Volume darah dalam tubuh meningkat, sehingga tekanan darah juga meningkat, Sebaliknya, jika:
a) Aktivitas memompa jantung berkurang
b) arteri mengalami pelebaran
c) banyak cairan keluar dari sirkulasi.
Maka tekanan darah akan menurun atau menjadi lebih kecil.
Penyesuaian terhadap faktor-faktor tersebut dilaksanakan oleh perubahan di dalam fungsi ginjal dan sistem saraf otonom (bagian dari sistem saraf yang mengatur berbagai fungsi tubuh secara otomatis).
3) Perubahan fungsi ginjal
Ginjal mengendalikan tekanan darah melalui beberapa cara:
a. Jika tekanan darah meningkat, ginjal akan menambah pengeluaran garam dan air, yang akan menyebabkan berkurangnya volume darah dan mengembalikan tekanan darah ke normal.
b. Jika tekanan darah menurun, ginjal akan mengurangi pembuangan garam dan air, sehingga volume darah bertambah dan tekanan darah kembali ke normal
c. Ginjal juga bisa meningkatkan tekanan darah dengan menghasilkan enzim yang disebut renin, yang memicu pembentukan hormon angiotensin, yang selanjutnya akan memicu pelepasan hormon aldosteron.
Ginjal merupakan organ penting dalam mengendalikan tekanan darah, karena itu berbagai penyakit dan kelainan pada ginjal bisa menyebabkan terjadinya tekanan darah tinggi. Misalnya penyempitan arteri yang menuju ke salah satu ginjal (stenosis arteri renalis) bisa menyebabkan hipertensi. Peradangan dan cedera pada salah satu atau kedua ginjal juga bisa menyebabkan naiknya tekanan darah.
4) Arteriol
Adalah pembuluh darah dengan dinding otot polos yang relatif tebal. Otot dinding arteriol dapat berkontraksi. Kontraksi menyebabkan kontriksi diameter pembuluh darah. Bila kontriksi bersifat lokal, suplai darah pada jaringan/organ berkurang. Bila terdapat kontriksi umum, tekanan darah akan meningkat.
5) Pembuluh darah utama dan kapiler
Pembuluh darah utama adalah pembuluh berdinding tipis yang berjalan langsung dari arteriol ke venul. Kapiler adalah jaringan pembuluh darah kecil yang membuka pembuluh darah utama
6) Sinusoid
Terdapat limpa, hepar, sumsum tulang dan kelenjar endokrin. Sinusoid tiga sampai empat kali lebih besar dari pada kapiler dan sebagian dilapisi dengan sel sistem retikulo-endotelial. Pada tempat adanya sinusoid, darah mengalami kontak langsung dengan sel-sel dan pertukaran tidak terjadi melalui ruang jaringan
7) Vena dan venul
Venul adalah vena kecil yang dibentuk gabungan kapiler. Vena dibentuk oleh gabungan venul. Vena memiliki tiga dinding yang tidak berbatasan secara sempurna satu sama lain.
b) Fisiologi
Jantung mempunyai fungsi sebagai pemompa darah yang mengandung oksigen dalam sistem arteri, yang dibawa ke sel dan seluruh tubuh untuk mengumpulkan darah deoksigenasi (darah yang kadar oksigennya kurang) dari sistem vena yang dikirim ke dalam paru-paru untuk reoksigenasi (Black, 2010).
3. Klasifikasi
1. Berdasarkan Etiologi
a. Hipertensi Primer (Hipertensi Esensial)
Hipertensi primer atau hipertensi esensial adalah suatu peningkatan persisten tekanan arteri yang dihasilkan oleh ketidakteraturan mekanisme kontrol homeostatik normal tanpa penyebab sekunder yang jelas. Hipertensi esensial meliputi lebih kurang 95% dari seluruh penderita hipertensi dan 5% sisanya disebabkan oleh hipertensi sekunder.
b. Hipertensi Sekunder ( Hipertensi Non Esensial )
Hipertensi sekunder atau hipertensi non esensial adalah hipertensi yang dapat di ketahui penyebabnya. Hipertensi sekunder meliputi kurang lebih 5% dari total penderita hipertensi. Timbulnya penyakit hipertensi sekunder sebagai akibat dari suatu penyakit, kondisi atau kebiasaan seseorang.
Contoh kelainan yang menyebabkan hipertensi sekunder adalah sebagai hasil dari salah satu atau kombinasi dari hal-hal berikut :
1) Akibat stres yang parah,
2) Penyakit atau gangguan ginjal,
3) Kehamilan atau pemakaian hormon pencegah kehamilan,
4) Pemakaian obat-obatan seperti heroin, kokain, dan sebagainya,
5) Cidera di kepala atau pendarahan di otak yang berat,
6) Tumor atau sebagai reaksi dari pembedahan.25
2. Berdasarkan Tinggi Rendahnya TDS dan TDD
Berdasarkan tingginya tekanan sistolik, The Seven Of The Joint National Comitte on Prevention, Detection, Evaluation and Treatment of High Blood Pressure ( JNC 7) tahun 2003, membagi hipertensi sebagai berikut :
Klasifikasi tekanan darah menurut JNC 7 (2003) dapat dilihat pada tabel berikut:
Klasifikasi Tekanan Sistolik (mmHg) Tekanan Diastolik (mmHg)
Normal <120 <80
Prehipertensi 120-139 80-89
Hipertensi stage I 140-150 90-99
Hipertensi stage II >150 >100
Klasifikasi Tekanan Darah menurut WHO:
Kategori Sistol (mmHg) Diastol (mmHg)
Optimal <120 <80
Normal <130 <85
Tingkat I (hipertensi ringan) 140-159 90-99
Sub group: Perbatasan 140-149 90-94
Tingkat 2 (Hipertensi Sedang) 160-179 100-109
Tingkat 3 (Hipertensi Berat) >180 >110
Hipertensi Sistol terisolasi >140 <90
Sub group: Perbatasan 140-149 <90
Klasifikasi Hipertensi Hasil Konsensus Perhimpunan Hipertensi Indonesia
Kategori Sistol (mmHg) Dan/Atau Diastol (mmHg)
Normal <120 Dan <180
Pre Hipertensi 120-139 Atau 80-89
Hipertensi Tahap I
140-159 Atau 90-99
Hipertensi Tahap II ≥160 Atau ≥100
Hipertensi Sistol Terisolasi ≥140 Dan <90
3. Berdasarkan Gejala-gejala Klinik
a. Hipertensi Benigna
Pada hipertensi benigna, tekanan darah sistolik maupun diastolik belum begitu meningkat, bersifat ringan atau sedang dan belum tampak kelainan atau kerusakan dari target organ seperti mata, otak, jantung dan ginjal. Juga belum nampak kelainan fungsi dari alat-alat tersebut yang sifatnya berbahaya.
b. Hipertensi Maligna
Disebut juga accelarated hypertension, adalah hipertensi berat yang disertai kelainan khas pada retina, ginjal, dan kelainan serebral. Pada retina terjadi kerusakan sel endotelial yang akan menimbulkan obliterasi atau robeknya retina.
Apabila diagnosis hipertensi maligna di tegakkan, pengobatan harus segera dilakukan. Di upayakan tekanan darah sistolik mencapai 120 – 139 mmHg. Hal ini perlu dilakukan karena insidensi terjadinya pendarahan otak atau payah jantung pada hipertensi maligna sangat besar.
c. Hipertensi Ensafalopati
Merupakan komplikasi hipertensi maligna yang ditandai dengan gangguan pada otak. Secara klinis hipertensi ensafalopati bermanifestasi dengan sakit kepala yang hebat, nausea, dan muntah. Tanda gangguan serebral seperti kejang ataupun koma, dapat terjadi apabila tekanan darah tidak segera diturunkan. Keadaan ini biasanya timbul apabila tekanan diastolik melebihi 140 mmHg. Hipertensi berat yang diikuti tanda-tanda payah jantung, pendarahan otak, pendarahan pasca operasi merupakan keadaan kedaruratan hipertensi yang memerlukan penanganan secara seksama.
5. Gejala Penyakit Hipertensi
Secara umum gejala yang dikeluhkan oleh penderita hipertensi yaitu sakit kepala, rasa pegal dan tidak nyaman pada tengkuk, perasaan berputar serasa ingin jatuh, berdebar atau detak jantung terasa cepat, dan telinga berdengung.
Pada survei hipertensi di Indonesia oleh Sugiri,dkk (1995), tercatat gejala-gejala sebagai berikut : pusing, mudah marah, telinga berdengung, sesak nafas, rasa berat di tengkuk, mudah lelah dan mata berkunang-kunang serta sukar tidur merupakan gejala yang banyak dijumpai. Gejala lain akibat komplikasi hipertensi seperti gangguan penglihatan, gangguan saraf, gejala gagal jantung, dan gejala lain akibat gangguan fungsi ginjal sering di jumpai. Gagal jantung dan gangguan penglihatan banyak dijumpai pada hipertensi maligna, yang umumnya disertai pula dengan gangguan pada ginjal bahkan sampai gagal ginjal. Gangguan cerebral akibat hipertensi dapat merupakan kejang atau gejala-gejala akibat pendarahan pembuluh darah otak yang mengakibatkan kelumpuhan, gangguan kesadaran bahkan sampai koma
Keluhan tersebut tidak selalu akan dialami oleh seorang penderita hipertensi. Sering juga seseorang dengan keluhan sakit belakang kepala, mudah tersinggung dan sukar tidur, ketika diukur tekanan darahnya menunjukkan angka tekanan darah yang normal. Satu-satunya cara untuk mengetahui ada tidaknya hipertensi hanya dengan mengukur tekanan darah.
6. Pencegahan Penyakit
Hipertensi esensial tidak dapat diobati tetapi dapat diberikan pengobatan untuk mencegah terjadinya komplikasi.
Langkah awal biasanya adalah merubah pola hidup penderita:
1) Penderita hipertensi yang mengalami kelebihan berat badan dianjurkan untuk menurunkan berat badannya sampai batas ideal.
2) Merubah pola makan pada penderita diabetes, kegemukan atau kadar kolesterol darah tinggi.
3) Mengurangi pemakaian garam sampai kurang dari 2,3 gram natrium atau 6 gram natrium klorida setiap harinya (disertai dengan asupan kalsium, magnesium dan kalium yang cukup) dan mengurangi alkohol.
4) Olah raga aerobik yang tidak terlalu berat.
5) Penderita hipertensi esensial tidak perlu membatasi aktivitasnya selama tekanan darahnya terkendali.
6) Berhenti merokok.
7. Pengobatan Penyakit
Tujuan penatalaksanaan penderita hipertensi adalah menurunkan faktor risiko yang menyebabkan aterosklerosis untuk menghindari komplikasi seperti stroke, penyakit jantung dan lain-lain, olahraga dan aktifitas fisik, perubahan pola makan dan menghilangkan stres serta pemberian obat antihipertensi secara adekuat.
Sasaran pengobatan hipertensi untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas kardiovaskuler dan ginjal. Dengan menurunkan tekanan darah kurang dari 140/90 mmHg, diharapkan komplikasi akibat hipertensi berkurang. Klasifikasi prehipertensi bukan suatu penyakit, tetapi hanya dimaksudkan akan risiko terjadinya hipertensi. Terapi non farmakologi antara lain mengurangi asupan garam. Olah raga, menghentikan rokok dan mengurangi berat badan, dapat dimulai sebelum atau bersama-sama obat farmakologi.
a) Diauretik
1) Diuretik thiazide biasanya merupakan obat pertama yang diberikan untuk mengobati hipertensi.
2) Diuretik membantu ginjal membuang garam dan air, yang akan mengurangi volume cairan di seluruh tubuh sehingga menurunkan tekanan darah.
3) Diuretik juga menyebabkan pelebaran pembuluh darah.
4) Diuretik menyebabkan hilangnya kalium melalui air kemih, sehingga kadang diberikan tambahan kalium atau obat penahan kalium.
5) Diuretik sangat efektif pada: orang kulit hitam,lanjut usia, kegemukan, penderita gagal jantung atau penyakit ginjal menahun.
b) Penghambat adrenergik
Merupakan sekelompok obat yang terdiri dari alfa-blocker, betablocker dan alfa-beta-blocker labetalol, yang menghambat efek sistem saraf simpatis.Sistem saraf simpatis adalah sistem saraf yang dengan segera akan memberikan respon terhadap stres, dengan cara meningkatkan tekanan darah.
Yang paling sering digunakan adalah beta-blocker, yang efektif diberikan kepada: penderita usia muda,penderita yang pernah mengalami serangan jantung, penderita dengan denyut jantung yang cepat, angina pektoris (nyeri dada), sakit kepala migren.
c) Angiotensin Converting Enzyme
Merupakan inhibitor (ACE-inhibitor) yang menyebabkan penurunan tekanan darah dengan cara melebarkan arteri.Obat ini efektif diberikan kepada:orang kulit putih,usia muda, penderita gagal jantung, penderita dengan protein dalam air kemihnya yang disebabkan oleh penyakit ginjal menahun atau penyakit ginjal diabetik, pria yang menderita impotensi sebagai efek samping dari obat yang lain.
d) Angiotensin-II-bloker
menyebabkan penurunan tekanan darah dengan suatu mekanisme yang mirip dengan ACE-inhibitor.
e) Antagonis kalsium
menyebabkan melebarnya pembuluh darah dengan mekanisme yangbenar-benar berbeda.
8. Faktor Risiko Hipertensi
a. Faktor yang tidak dapat diubah/dikontrol
1) Umur
Hipertensi erat kaitannya dengan umur, semakin tua seseorang semakin besar risiko terserang hipertensi. Umur lebih dari 40 tahun mempunyai risiko terkena hipertensi.
Dengan bertambahnya umur, risiko terkena hipertensi lebih besar sehingga prevalensi hipertensi dikalangan usia lanjut cukup tinggi yaitu sekitar 40 % dengan kematian sekitar 50 % diatas umur 60 tahun. Arteri kehilangan elastisitasnyaatau kelenturannya dan tekanan darah seiring bertambahnya usia, kebanyakan orang hipertensinya meningkat ketika
berumur lima puluhan dan enampuluhan.Dengan bertambahnya umur, risiko terjadinya hipertensi meningkat. Meskipun hipertensi bisa terjadi pada segala
usia, namun paling sering dijumpai pada orang berusia 35 tahun atau lebih. Sebenarnya wajar bila tekanan darahsedikit meningkat dengan bertambahnya umur. Hal ini disebabkan oleh perubahan alami pada jantung, pembuluh darah dan hormon. Tetapi bila perubahan tersebut disertai
faktor-faktor lain maka bisa memicu terjadinya hipertensi.
2) Jenis Kelamin
Bila ditinjau perbandingan antara wanita dan pria, ternyata terdapat angka yang cukup bervariasi Ahli lain mengatakan pria lebih banyak menderita hipertensi dibandingkan wanita dengan rasio sekitar 2,29 mmHg untuk peningkatan darah sistolik.Sedangkan menurut Arif Mansjoer, dkk, pria dan wanita menapouse mempunyai pengaruh yang sama untuk terjadinya hipertensi.
3) Riwayat Keluarga
Riwayat keluarga dekat yang menderita hipertensi (faktor keturunan) juga mempertinggi risiko terkena hipertensi terutama pada hipertensi primer. Keluarga yang memiliki hipertensi dan penyakit jantung meningkatkan risiko hipertensi 2-5 kali lipat. hipertensi cenderung merupakan penyakit keturunan.
Jika seorang dari orang tua kita mempunyai hipertensi maka sepanjang hidup kita mempunyai 25% kemungkinan mendapatkannya pula. Jika kedua orang tua kita mempunyai hipertensi, kemungkunan kita mendapatkan penyakit tersebut 60%.34
4) Genetik
Peran faktor genetik terhadap timbulnya hipertensi terbukti dengan ditemukannya kejadian bahwa hipertensi lebih banyak pada kembar monozigot (satu sel telur) daripada heterozigot (berbeda sel telur). Seorang penderita yang mempunyai sifat genetik hipertensi primer (esensial) apabila dibiarkan secara alamiah tanpa intervensi terapi, bersama lingkungannya akan menyebabkan hipertensinya berkembang dan dalam waktu sekitar 30-50 tahun akan
timbul tanda dan gejala.
b. Faktor yang dapat diubah/dikontrol
1. Kebiasaan Merokok
Rokok juga dihubungkan dengan hipertensi. Hubungan antara rokok dengan peningkatan risiko kardiovaskuler telah banyak dibuktikan.6 Selain dari lamanya, risiko merokok terbesar tergantung pada jumlah rokok yang dihisap perhari. Seseoramg lebih dari satu pak rokok sehari menjadi 2 kali lebih rentan hipertensi dari pada mereka yang tidak merokok. Zat-zat kimia beracun, seperti nikotin dan karbon monoksida yang diisap melalui rokok, yang masuk kedalam aliran darah dapat merusak lapisan endotel pembuluh darah arteri dan mengakibatkan proses aterosklerosis dan hipertensi.
Nikotin dalam tembakau merupakan penyebab meningkatnya tekanan darah segara setelah isapan pertama. Seperti zat-zat kimia lain dalam asap rokok, nikotin diserap oleh pembuluh-pembuluh darah amat kecil didalam paru-paru dan diedarkan ke aliran darah. Hanya dalam beberapa detik nikotin sudah mencapai otak. Otak bereaksi terhadap nikotin dengan memberi sinyal pada kelenjar adrenal untuk melepas epinefrin (adrenalin). Hormon yang kuat ini akan menyempitkan pembuluh darah dan memaksa jantung untuk bekerja lebih berat karena tekanan yang lebih tinggi.
2. Konsumsi Asin/Garam
Garam merupakan hal yang sangat penting pada mekanisme timbulnya hipertensi. Pengaruh asupan garam terhadap hipertensi melalui peningkatan volume plasma (cairan tubuh) dan tekanan darah. Keadaan ini akan diikuti oleh peningkatan ekskresi kelebihan garam sehingga kembali pada keadaan hemodinamik (sistem pendarahan) yang normal. Pada hipertensi esensial mekanisme ini terganggu, di samping ada faktor lain yang berpengaruh. Reaksi orang terhadap natrium berbeda-beda. Pada beberapa orang, baik yang sehat maupun yang mempunyai hipertensi, walaupun mereka mengkonsumsi natrium tanpa batas, pengaruhnya terhadap tekanan darah sedikit sekali atau bahkan tidak ada. Pada kelompok lain, terlalu banyak natrium menyebabkan kenaikan darah yang juga memicu terjadinya hipertensi.
3. Konsumsi Lemak Jenuh
Kebiasaan konsumsi lemak jenuh erat kaitannya dengan peningkatan berat badan yang berisiko terjadinya hipertensi. Konsumsi lemak jenuh juga meningkatkan risiko aterosklerosis yang berkaitan dengan kenaikan tekanan darah. Penurunan konsumsi lemak jenuh, terutama lemak dalam makanan yang bersumber dari hewan dan peningkatan konsumsi lemak tidak jenuh secukupnya yang berasal dari minyak sayuran, biji-bijian dan makanan lain yang bersumber dari tanaman dapat menurunkan tekanan darah.
4. Kebiasaan Konsumsi Minum Minuman Beralkohol
Alkohol juga dihubungkan dengan hipertensi. Peminum alkohol berat cenderung hipertensi meskipun mekanisme timbulnya hipertensi belum diketahui secara pasti Orang-orang yang minum alkohol terlalu sering atau yang terlalu banyak memiliki tekanan yang lebih tinggi dari pada individu yang tidak minum atau minum sedikit. Mengkonsumsi tiga gelas atau lebih minuman berakohol per hari meningkatkan risiko mendapat hipertensi sebesar dua kali. Bagaimana dan mengapa alkohol meningkatkan tekanan darah belum diketahui dengan jelas. Namun sudah menjadi kenyataan bahwa dalam jangka panjang, minum-minuman beralkohol berlebihan akan merusak jantung dan organ-organ lain.
5. Obesitas
Obesitas merupakan ciri dari populasi penderita hipertensi. Curah jantung dan sirkulasi volume darah penderita hipertensi yang obesitas lebih tinggi dari penderita hipertensi yang tidak obesitas. Pada obesitas tahanan perifer berkurang atau normal, sedangkan aktivitas saraf simpatis meninggi dengan aktivitas renin plasma yang rendah. Olah raga ternyata juga dihubungkan dengan pengobatan terhadap hipertensi.
Obesitas erat kaitannya dengan kegemaran mengkonsumsi makanan yang mengandung tinggi lemak. Obesitas meningkatkan risiko terjadinya hipertensi karena beberapa sebab. Makin besar massa tubuh, makin banyak darah yang dibutuhkan untuk memasok oksigen dan makanan ke jaringan tubuh. Ini berarti volume darah yang beredar melalui pembuluh darah menjadi meningkat sehingga memberi tekanan lebih besar pada dinding arteri. Kelebihan berat badan juga meningkatkan frekuensi denyut jantung dan kadar insulin dalam darah. Peningkatan insulin menyebabkan tubuh menahan natrium dan air.
6. Olahraga
Olahraga banyak dihubungkan dengan pengelolaan hipertensi, karena olahraga isotonik dan teratur dapat menurunkan tahanan perifer yang akan menurunkan tekanan darah. Olahraga juga dikaitkan dengan peran obesitas pada hipertensi. Kurang melakukan olahraga akan meningkatkan kemungkinan timbulnya obesitas dan jika asupan garam juga bertambah akan memudahkan timbulnya hipertensi. Kurangnya aktifitas fisik meningkatkan risiko menderita hipertensi karena meningkatkan risiko kelebihan berat badan. Orang yang tidak aktif juga cenderung mempunyai frekuensi denyut jantung yang lebih tinggi sehingga otot jantungnya harus bekerja lebih keras pada setiap kontraksi. Makin keras dan sering otot jantung harus memompa, makin besar tekanan yang dibebankan pada arteri.
7. Stres
Hubungan antara stres dengan hipertensi diduga melalui aktivitas saraf simpatis, yang dapat meningkatkan tekanan darah secara bertahap. Apabila stress menjadi berkepanjangan dapat berakibat tekanan darah menjadi tetap tinggi. Hal ini secara pasti belum terbukti, akan tetapi pada binatang percobaan yang diberikan pemaparantehadap stress ternyata membuat binatang tersebut menjadi
hipertensi.
Stres adalah yang kita rasakan saat tuntutan emosi, fisik atau lingkungan tak mudah diatasi atau melebihi daya dan kemampuan kita untuk mengatasinya dengan efektif. Namun harus dipahami bahwa stres bukanlah pengaruh-pengaruh
yang datang dari luar itu. Stres adalah respon kita terhadap pengaruh-pengaruh dari luar itu. Stres atau ketegangan jiwa (rasa tertekan, murung, bingung, cemas, berdebar-debar, rasa marah, dendam, rasa takut, rasa bersalah) dapat merangsang kelenjar anak ginjal melepaskan hormon adrenalin dan memacu jantung berdenyut lebih cepat serta lebih kuat, sehingga tekanan darah akan meningkat. Jika stres berlangsung cukup lama, tubuh berusaha mengadakan penyesuaian sehingga timbul kelainan organis atau perubahan patologis. Gejala yang muncul dapat berupa hipertensi atau penyakit maag.
8. Penggunaan Estrogen
Estrogen meningkatkan risiko hipertensi tetapi secara epidemiologi belum ada data apakah peningkatan tekanan darah tersebut disebabkan karena estrogen dari dalam tubuh atau dari penggunaan kontrasepsi hormonal estrogen.
Distribusi epidemiologi penyakit Hipertensi pada wilayah keja Puskesmas limboto barat Tahun 2011-2013.
a. Berdasarkan Orang (Person)
Penyakit hipertensi atau tekanan darah tinggi adalah penyakit yang umum timbul di dalam masyarakat yang ditandai dengan peningkatan tekanan darah. Hipertensi tidak menunjukkan gejala spesifik,Sehingga pada tahap awal, orang masih merasa nyaman dengan kondisi tubuhnya dan tidak merasa perlu memeriksakan diri. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya hipertensi dibagi dalam dua kelompok besar yaitu faktor yang melekat atau tidak dapat diubah seperti jenis kelamin, umur, genetik dan faktor yang dapat diubah seperti pola makan, kebiasaan olah raga dan lain-lain
Penyakit Hipertensi ini dapat menyerang siapa saja dari berbagai kelompok umur sosial dan ekonomi. Begitupun dengan jenis kelamin penyakit Hipertensi ini tidak mengenal perempuan atau laki-laki. Kecenderungan berubahnya gaya hidup akibat urbanisasi, modernisasi dan globalisasi memunculkan berbagai faktor risiko yang dapat meningkatkan angka kesakitan hipertensi. Dengan bertambahnya umur, maka tekanan darah juga akan meningkat.Dengan bertambahnya umur juga, risiko terkena hipertensi lebih besar sehingga prevalensi hipertensi di kalangan usia lanjut cukup tinggi.
b. Tempat (Place)
Prevalensi hipertensi ditiap daerah berbeda-beda tergantung pada pola kehidupan masyarakat.Berdasarkan tempat, Distribusi epidemiologi penyakit hipertensi dapat di pengaruhi oleh kondisi lingkungan atau tempat tinggal. Hal ini di akibatkan oleh pembawaan sikap dan perilaku dari lingkungannya sekitarnya, yang akan dapat mempengaruhi kebiasaan individu. Misalnya terdapat suatu kelompok dengan kebiasaan merokok, mengkonsumsi alkohol atau Kurangnya olahraga serta tidak menjaga pola makan akan dapat berpengaruh terhadap masyarakat lain di sekitar. Sehingga sikap tersebut akan menjadi suatu kebiasaan bagi suatu kelompok.
c. Berdasarkan Waktu (Time)
Distribusi epidemiologi berrdasarkan waktu digunakan untuk menentukan masa inkubasi penyakit, dan penyebaran penyakit. Penyakit hipertensi dapat muncul kapan saja tergantung dari pengendalian sikap atau kontrol terhadap kesehatan termasuk pola makan, gaya hidup serta kebiasaan
BAB III
GAMBARAN UMUM WILAYAH
A. Gambaran Georafis
Gambar : Puskesmas Limboto Barat Tahun 2010 Tampak dari Depan
Gambar : puskesmas Limboto Barat tahun 2013
Kegiatan survailans biasanya dilakukan di Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas). Puskesmas merupakan ujung tombak pelayanan kesehatan masyarakat dan merupakan sarana kesehatan yang penting dalam meningkatkan derajat kesehatan. Sesuai fungsinya petugas puskesmas melaksanakan pemberdayaan kepada masyarakat untuk mencegah penyakit dan meningkatkan kesehatan setiap individu, keluarga dan lingkungannya secara mandiri dan mengembangkan upaya kesehatan bersumberdaya masyarakat.
Seperti halnya pada puskesmas di limboto barat, Puskesmas Limboto Barat terletak di Kecamatan Limboto Barat yang merupakan salah satu wilayah administrative di Kabupaten Gorontalo di gambarkan sebagai berikut:
B. Gambaran Geografis
Puskesmas Limboto Barat merupakan salah satu Puskesmas Yang ada di Kabupaten Gorontalo dengan Batas wilayah daerah adalah sebagai berikut:
a. SebelahTimur berbatasan dengan Kec.Limboto
b. Sebelah Barat berbatasan dengan Kec.Tibawa
c. Sebelah Utara berbatasan dengan Kec.Kwandang
d. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kec.Batudaa
Puskesmas Limboto Barat ini memiliki Luas wilayah 154,95 KM2 dengan wilayah kerja sebanyak 8 desa kemudian diakhir tahun 2007 dimekarkan menjadi 10 desa dengan jumlah penduduk 23.717 jiwa.
Puskesmas ini tak jauh beda dari Puskesmas-puskesmas lainnya, karena Puskesmas ini memliki beberapa fasilitas misalnya 1 buah mobil puskesmas keliling dan 1 buah motor sebagai kenderaan Operasional Pegawai Puskesmas. Program Promosi Kesehatan yang sementara di jalankan di puskesmas ini disamping Posyandu, Perilaku Hidup Sehat dan Desa siaga.
C. Sarana dan Fasilitas Puskesmas Limboto Barat
Poliklinik Umum
Poliklinik Gigi
Pemeriksaan EKG
Laboratorium
D. Tenaga Kesehatan Puskesmas Limboto Barat
Jumlah Tenaga : 51 orang
Dokter Umum : 2 orang
Dokter Gigi :1 orang
Bidan : 8 orang
Perawat : 16 orang
Perawat Gigi : 2 orang
SKM : 4 orang
Sanitasi : 3 orang
Gizi : 2 orang
Perkarya : 2 orang
SMA : 1 orang
Tenaga Magang : 4 orang
CS : 2 orang
Tenaga Abdi : 4 orang
E. Keadaan Penduduk
Jumlah penduduk di wilayah kerja puskesmas Limboto Barat 23.717 jiwa dengan luas wilayah 154,95 KM2 . Desa yang termasuk wilayah kerja puskesmas Limboto Barat ada 10 desa diantaranya: Desa Daenaa, Ombulo, Yosonegoro, Padengo, Tunggulo, Pone, Huidu, Hutabohu, Haya-haya, dan Huidu Utara.
Situasi di puskesmas limboto barat setiap minggunya selalu mendapat kunjungan baik yang melakukan pemeriksaan maupun pengobatan. Ada juga mereka yang lebih menyukai pengobatan tradisional karena berhubungan erat dengan dasar hidup mereka. Maka cara baru itu akan dipergunakan secara sangat terbatas, atau untuk kasus-kasus tertentu saja.
Tabel 3.1
Data 10 Penyakit Menonjol Tahun 2013
No Jenis Penyakit Jumlah
1 ISPA 2540
2 Dermatitis 785
3 HPT 752
4 Dispepsia 708
5 Pneunomia 666
6 Diare 601
7 Abses Kulit 560
8 TB 519
9 Influenza Virus 457
10 DM Tipe II 341
Sumber : Data Sekunder Puskesmas Limboto Barat Tahun 2013
BAB IV
HASIL & PEMBAHASAN
Dalam kegiatan survailans epidemiologi penyakit hipertensi ,Pengambilan data pertama kali dilakukan pada tanggal 1 maret 2014 , meminta izin dalam hal pengambilan data terkait gambaran survailans di puskesmas tersebut. Pengumpulan data dilakukan dengan cara mencatat jumlah pasien yang berkunjung di puskesmas tersebut dan mencatat berdasarkan penyakit diambil, adapun yang terkait dalam pencatatan yang kami lakukan adalah tahun kunjungan, bulan kunjungan, umur, jenis kelamin dan tempat tinggal dari pasien tersebut.
Dalam kunjungan kami ke 2 terdapat Beberapa kendala yang kami alami yakni data yang tersedia tidak diperkenankan untuk di pinjamkan alasannya data ditahun kemarin akan hilang. Kendala kedua data yang seharusnya kami ambil melingkupi register UMUM, ASKES, JAMKESDA dan JAMKESMAS tahun 2011,2012 dan 2013. Namun, sayangnya dari semua data yang lengkap hanya register umum tahun 2011(september-desember)register umum 2012 dan 2013. Kami memutuskan mengambil data hanya register umum tiga tahun teakhir.
Buku register pasien, tidak hanya mencatat penyakit hipertensi melainkan untuk seluruh diagnosa. Dalam register tersebut mencakup nomor urut atau kode penyakit, tanggal registrasi, nama pasien, umur, jenis kelamin, dan diagnosa serta keterangan kunjungan. Buku register tersebut tidak mencantumkan faktor risiko dan klasifikasi penderita.
Di wilayah kerja puskesmas Limboto barat pada tahun 2013 terdapat beberapa penyakit yang paling menonjol yaitu : penyakit ISPA, Dermatitis, Hipertensi, Dispepsia, Pneumonia, Diare, Abses kulit, TB BTA, Influenza Viruz,DM tipe II.
A. Hasil Dan Analisis
1. Distribusi penderita Hipertensi berdasarkan karakteristik Orang
a. Distribusi penderita Hipertensi menurut umur.
Penderita Hipertensi menurut umur di Puskesmas Limboto Barat dapat dilihat pada tabel dan diagram dibawah ini :
Tabel 4.1
Distribusi Penyakit Hipertensi Berdasarkan Umur
Di Wilayah Kerja Puskesmas Limboto Barat
Tahun 2011-2013
Kelompok Umur Tahun Jumlah
( Tahun ) 2011 2012 2013
n % n % n % n %
25-29 1 1,2 2 1,0 2 1,4 5 1,1
30-34 4 4,7 5 2,5 4 2,7 13 3,0
35-39 5 5,9 6 3,0 6 4,1 17 3,9
40-44 3 3,5 7 3,5 6 4,1 16 3,7
45-49 12 14,1 12 5,9 5 3,4 29 6,7
50-54 7 8,2 11 5,4 26 17,7 44 10,1
55-59 15 17,6 36 17,8 25 17,0 76 17,5
60-64 11 12,9 26 12,9 30 20,4 67 15,4
65-69 11 12,9 48 23,8 16 10,9 75 17,2
70-74 8 9,4 26 12,9 14 9,5 48 11,0
75-79 6 7,1 15 7,4 10 6,8 31 7,1
80-84 2 2,4 4 2,0 2 1,4 9 2,1
85+ 0 0,0 4 2,0 1 0,7 5 1,1
JUMLAH 85 19,5 202 46,4 147 33,8 435 100,0
Sumber : Data Sekunder Buku Register puskesmas Limboto Barat Tahun 2011-2013
Sumber : Data Sekunder Buku Register puskesmas Limboto Barat Tahun
2012-2013
Gambar 4.1: Distribusi Penderita Hipertensi Berdasarkan Umur Di Wilayah Kerja Puskesmas Limboto Barat Tahun 2011-2013
Berdasarkan Tabel dan Gambar 4.1,Dapat di lihat bahwa Distribusi Penderita Hipertensi Berdasarkan Kelompok Umur ( Tahun ) Diwilayah Kerja Puskesmas Limboto Barat ini ternyata Mengalami Peningkatan Penderitanya Pada Umur 55-59 Tahun Bahwa Pada Tahun 2011 meningkat Sebanyak 15 Orang (17%), kemudian Pada Tahun 2012 semakin meningkat berbeda dengan tahun 2011 yaitu sebanyak 48 orang (23 %) pada umur 65-69 tahun. Serta pada Tahun 2013 sebanyak 30 orang (20 %) terdapat pada umur 60-64 Tahun.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa Distribusi penderita Hipertensi yang tertinggi pada Tahun 2011-2013 di wilayah kerja puskesmas Limboto Barat terdapat pada kelompok usia lanjut (orang tua) yaitu kelompok umur 50 tahun keatas dan distribusi penderita Hipertensi yang terendah adalah terdapat pada kelompok usia remaja/ dewasa yaitu kelompok umur 25 -29 Tahun. Hal ini menunjukan bahwa Dengan bertambahnya umur, risiko terkena hipertensi lebih besar sehingga prevalensi hipertensi di kalangan usia lanjut cukup tinggi.
b. Distribusi penderita penyakit Hipertensi menurut Jenis Kelamin.
Tabel 4.2
Distribusi Penderita Hipertensi Berdasarkan Jenis Kelamin
Di Wilayah Kerja Puskesmas Limboto Barat
Tahun 2011-2013
JENIS KELAMIN Tahun Jumlah
2011 2012 2013
n % n % n % n %
LAKI-LAKI 42 49,4 87 43,1 61 41,5 190 43,8
PEREMPUAN 43 50,6 115 56,9 86 58,5 244 56,2
JUMLAH 85 19,6 202 46,5 147 33,9 434 100,0
Sumber : Data Sekunder di wilayah kerja puskesmas Limboto Barat tahun 2011-2013
Sumber : Data Sekunder Buku Register puskesmas Limboto Barat Tahun 2011-2013
Gambar 4.2: Distribusi Penderita Hipertensi Berdasarkan Jenis Kelamin Di wilayah kerja Puskesmas Limboto Barat Tahun 2011-2013.
Berdasarkan Tabel dan Gambar 4.2, Distribusi Penderita Hipertensi Berdasarkan Jenis Kelamin Diwilayah Kerja Puskesmas Limboto Barat Bahwa penderita hipertensi Lebih Banyak di derita oleh perempuan Dibadingkan Laki-laki, akan tetapi persentase penderita hipertensi perempuan dan laki-laki hanya berbanding sedikit. dapat dilihat bahwa perempuan pada tahun 2011 sebanyak 43 orang (51 %), kemudian pada tahun 2012 sebanyak 115 orang (57%) serta pada tahun 2013 sebanyak 86 orang atau sebesar (59%) sedangkan penderita hipertensi laki-laki pada tahun 2011 sebanyak 42 orang (49%),kemudian pada tahun 2012 sebanyak 87 orang (43%) dan pada tahun 2013 sebanyak 61orang ( 41%).
c. Distribusi Penderita Hipertensi Menurut Tempat ( Place)
Tabel 4.3
Distribusi Penderita Hipertensi Berdasarkan Tempat
Di wilayah kerja Puskesmas Limboto Barat
Tahun 2011-2013
Tempat Tinggal
(Desa) Tahun Jumlah
2011 2012 2013
N % n % n % n %
Daenaa 2 2,4 8 4,0 15 10,2 25 16,5
Haya-haya 11 12,9 31 15,3 7 4,8 49 33,0
Huidu 4 4,7 6 3,0 11 7,5 21 15,2
Hutabohu 11 12,9 17 8,4 19 12,9 47 34,3
Ombulo 22 25,9 33 16,3 29 19,7 84 61,9
Padengo 11 12,9 20 9,9 19 12,9 50 35,8
Pone 2 2,4 15 7,4 7 4,8 24 14,5
Tunggulo 13 15,3 50 24,8 25 17,0 88 57,1
Yosonegoro 9 10,6 22 10,9 15 10,2 46 31,7
JUMLAH 85 19,6 202 46,5 147 33,9 434 100,0
Sumber : Data Sekunder Buku Register puskesmas Limboto Barat Tahun 2012-2013
Sumber : Data Sekunder Buku Register puskesmas Limboto Barat Tahun 2012-2013
Sumber : Data Sekunder Buku Register puskesmas Limboto Barat Tahun 2012-2013
Sumber : Data Sekunder Buku Register puskesmas Limboto Barat Tahun 2012-2013
Gambar 4.3 : Distribusi Penderita Hipertensi Berdasarkan Tempat Di wilayah kerja Puskesmas Limboto Barat Tahun 2011-2013
Berdasarkan Tabel Dan Gambar 4.3 dapat dilihat bahwa penyakit Hipertensi di wilayah kerja Puskesmas Limboto Barat pada tahun 2011 lebih banyak diderita oleh masyarakat yang bertempat tinggal di desa Ombulo yaitu 22 orang (25,9 %) dan yang paling rendah tedapat di 2 desa yaitu di desa Daenaa dan desa Pone , yang masing-masing mempunyai jumlah penderita penyakit Hipertensi yang sama yaitu 2 orang penderita (2,4%). Kemudian pada tahun 2012 penderita Hipertensi banyak di derita oleh masyarakat yang bertempat tinggal di desa Tunggulo dengan jumlah penderita sebanyak 50 orang (24,8 %) dan yang paling terendah terdapat pada 2 desa juga yaitu desa Daenaa dan desa Huidu di mana masing-masing penderita berturut-turut sebanyak 8 orang (4,0%) terdapat pada desa Daenaa dan penderita sebanyak 6 orang (3,0%) terdapat pada desa Huidu. Sedagkan pada tahun 2013 penderita hipertensi terbanyak terdapat pada desa Ombulo yaitu sebanyak 29 orang atau (19,7%) dan yang paling terendah penderita hipertensinya terdapat pada desa haya-haya dan pone denga jumlah penderita dan persentase yang sama yaitu sebanyak 7 orang (4,8%).
d. Distribusi penderita penyakit Hipertensi menurut Waktu Kejadian
Tabel 4.4
Distribusi Penderita Hipertensi Berdasarkan Waktu Kejadian
Di wilayah kerja Puskesmas Limboto Barat
Tahun2011-2013
Waktu Tahun Jumlah
( Bulan ) 2011 2012 2013
n % n % n % n %
Januari 0 0,0 16 7,9 15 10,2 31 18,1
Februari 0 0,0 15 7,4 5 3,4 20 10,8
Maret 0 0,0 25 12,4 11 7,5 36 19,9
April 0 0,0 18 8,9 12 8,2 30 17,1
Mei 0 0,0 16 7,9 11 7,5 27 15,4
Juni 0 0,0 12 5,9 11 7,5 23 13,4
Juli 0 0,0 13 6,4 10 6,8 23 13,2
Agustus 0 0,0 14 6,9 16 10,9 30 17,8
September 0 0,0 25 12,4 9 6,1 34 18,5
Oktober 34 61,8 15 7,4 6 4,1 55 73,3
November 25 48,1 19 9,4 8 5,4 52 62,9
Desember 26 35,6 14 6,9 33 22,4 73 65,0
Jumlah 85 19,6 202 46,5 147 33,9 434 100,0
Sumber : Data Sekunder Buku Register puskesmas Limboto Barat Tahun 2012-2013
Sumber : Data Sekunder Buku Register puskesmas Limboto Barat Tahun 2012 -2013
Gambar 4.4: Distribusi Penderita Hipertensi Berdasarkan Waktu Kunjungan Di wilayah kerja Puskesmas Limboto Barat Tahun 2011-2013.
Berdasarkan Tabel dan Gambar 4.4 , Distribusi Penderita Hipertensi Berdasarkan Waktu ( Bulan Kunjungan ) Diwilayah Kerja Puskesmas Limboto Barat Bahwa yang paling banyak penderita Hipertensi tersebut terdapat pada tahun 2011 yaitu pada bulan oktober sebanyak 34 orang (40%) , kemudian pada tahun 2012 terdapat 2 bulan kunjungan yang tebanyak dan jumlah penderitanya sama yaitu pada bulan maret sebanyak 25 orang (12,4 %) dan pada bulan september sebanyak 25 orang (12,4 %) dan pada tahun 2013 terdapat pada akhir bulan yaitu desember sebanyak 33 orang atau (22,4 %) .
B. Pembahasan
Dari pemaparan hasil yang disampaikan sebelumnya, diperoleh informasi bahwa diwilayah kerja puskesmas Limboto Barat pada tahun 2011 jumlah penderita hipertensi sebanyak 94 orang dan pada tahun 2012 sebanyak 202 orang serta pada tahun 2013 sebanyak 147 orang. Ini terlihat bahwa penderita hipertensi di wilayah puskesmas Limboto Barat bila di bandingkan dari tahun ke tahun itu mengalami penurunan yang bearti upaya pencegahan dan pengobatan yang telah di promosikan oleh petugas kesehatan di wilayah puskesmas Limboto Barat telah berhasil. Sehingga dapat menurunkan angka kesakitan dari penyakit Hipertensi.
Dalam pembahasan ini sulit membandingkan apakah penderita penyakti ini berkurang atau mengalami peningkatan, hal ini disebabkan karena data yang kurang lengkap. Maka yang diamati dalam penyususunan laporan terutama dalam hasil dan pembahasan adalah tingkat persentase tertinggi dari distribusi epidemiologi berdasarkan orang, waktu, dan tempat dari penderita Hipertensi..
Distribusi epidemiologi penderita Hipertensi pada tahun 2011-2013
1. Distribusi Penderita Hipertensi Berdasarkan Karakteristik Orang
a) Umur
Berdasarkan Tabel dan Gambar 4.1,Dapat di lihat bahwa Distribusi Penderita Hipertensi Berdasarkan Kelompok Umur ( Tahun ) Diwilayah Kerja Puskesmas Limboto Barat ini ternyata Mengalami Peningkatan Penderitanya Pada Umur 55-59 Tahun Bahwa Pada Tahun 2011 meningkat Sebanyak 15 Orang (18%), kemudian Pada Tahun 2012 semakin meningkat berbeda dengan tahun 2011 yaitu sebanyak 48 orang (24 %) pada umur 65-69 tahun. Serta pada Tahun 2013 sebanyak 30 orang (20 %) terdapat pada umur 60-64 Tahun.
Berdasarkan data tersebut kasus hipertensi lebih banyak terjadi pada kelompok umur 50 tahun keatas . Oleh sebab itu, kemungkinan salah satu faktor risiko terjadinya penyakit hipertensi di wilayah kerja Puskesmas Limboto Barat adalah karena faktor umur. Dengan bertambahnya umur, risiko terkena hipertensi lebih besar sehingga prevalensi hipertensi di kalangan usia lanjut cukup tinggi.
Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang saya lakukan bahwa prevalensi hipertensi makin meningkat seiring dengan bertambahnya umur hal ini disebabkan oleh perubahan struktur pada pembuluh darah besar, sehingga lumen menjadi lebih sempit dan dinding pembuluh darah menjadi kaku, sebagai akibat adalah meningkatnya tekanan darah sistolik.
b) Jenis Kelamin
Berdasarkan Tabel dan Gambar 4.2, Distribusi Penderita Hipertensi Berdasarkan Jenis Kelamin Diwilayah Kerja Puskesmas Limboto Barat Bahwa penderita hipertensi Lebih Banyak di derita oleh perempuan Dibadingkan Laki-laki, akan tetapi persentase penderita hipertensi perempuan dan laki-laki hanya berbanding sedikit. dapat dilihat bahwa perempuan pada tahun 2011 sebanyak 43 orang (51 %), kemudian pada tahun 2012 sebanyak 115 orang (57%) serta pada tahun 2013 sebanyak 86 orang atau sebesar (59%) sedangkan penderita hipertensi laki-laki pada tahun 2011 sebanyak 42 orang (49%),kemudian pada tahun 2012 sebanyak 87 orang (43%) dan pada tahun 2013 sebanyak 61orang
( 41%). Secara teoritis penyakit hipertensi cendrung lebih tinggi pada jenis kelamin perempuan dari pada dengan laki-laki. Hal ini disebabkan karena resiko hipertensi pada perempuan meningkat seiring dengan bertambahnya usia, beban tugas sebagai ibu rumah tangga , apalagi bagi ibu rumah tangga yang bekerja dengan tingkat stress yang tinggi. Sebelum menopause, perempuan relative terlindungi dari penyakit kardiovaskuler oleh hormone estrogen. Sedangkan pada perempuan masa memopause cnderung memililki tekanan darah lebih tinggi dari pada laki-laki penyebabnya adalah penurunnan kadar hormone estrogen setelah menopause.
2. Distribusi Penderita Hipertensi Berdasarkan Tempat
Prevalensi hipertensi ditiap daerah berbeda-beda tergantung pada pola kehidupan masyarakat. Penduduk yang tinggal di daerah pesisir lebih rentan terhadap penyakit hipertensi karena tingkat mengonsumsi garam lebih tinggi dibandingkan daerah pegunungan yang lebih banyak mengonsumsi sayuran dan buah-buahan.
Berdasarkan tabel dan Gambar 4.3 dapat dilihat bahwa penyakit Hipertensi di wilayah kerja Puskesmas Limboto Barat pada tahun 2011 lebih banyak diderita oleh masyarakat yang bertempat tinggal di desa Ombulo yaitu 22 orang (26 %) dan yang paling rendah tedapat di 2 desa yaitu di desa Daenaa dan desa Pone , yang masing-masing mempunyai jumlah penderita penyakit Hipertensi yang sama yaitu 2 orang penderita (2%). Kemudian pada tahun 2012 penderita Hipertensi banyak di derita oleh masyarakat yang bertempat tinggal di desa Tunggulo dengan jumlah penderita sebanyak 50 orang (25 %) dan yang paling terendah terdapat pada 2 desa juga yaitu desa Daenaa dan desa Huidu di mana masing-masing penderita berturut-turut sebanyak 8 orang (4%) terdapat pada desa Daenaa dan penderita sebanyak 6 orang (3%) terdapat pada desa Huidu. Sedagkan pada tahun 2013 penderita hipertensi terbanyak terdapat pada desa Ombulo yaitu sebanyak 29 orang atau (20%) dan yang paling terendah penderita hipertensinya terdapat pada desa haya-haya dan pone denga jumlah penderita dan persentase yang sama yaitu sebanyak 7 orang (5%).
3. Distribusi Penderita Hipertensi Berdasarkan Waktu
Penderita Hipertensi berdasarkan waktu berbeda-beda setiap tahunnya kemungkinan hal ini di karenakan oleh pola makan dari masyarakat itu sendiri.
Berdasarkan Tabel dan Gambar 4.4 , Distribusi Penderita Hipertensi Berdasarkan Waktu ( Bulan Kunjungan ) Diwilayah Kerja Puskesmas Limboto Barat Bahwa yang paling banyak penderita Hipertensi tersebut terdapat pada tahun 2011 yaitu pada bulan oktober sebanyak 34 orang (40%) , kemudian pada tahun 2012 terdapat 2 bulan kunjungan yang tebanyak dan jumlah penderitanya sama yaitu pada bulan maret sebanyak 25 orang (13 %) dan pada bulan september sebanyak 25 orang (13 %) dan pada tahun 2013 terdapat pada akhir bulan yaitu desember sebanyak 33 orang atau (22 %) .
C. Sistem Surveilans Puskesmas Limboto Barat
1. Kesederhanaan (Simlicity)
Dalam arti sistem sureveilans berkaitan dengan kesederhanaan sistem, tidak membutuhkan biaya yang mahal serta sumber daya yang tidak terlalu rumit.
Sesuai dengan apa yang telah kami survei serta analisis dapat di katakana bahwa sistem surveilans di Puskesmas Limboto Barat mempunyai Kriteria sederhana, dengan hanya satu orang petugas dan hanya dengan buku album yang panjang serta polpen tinta berwarna hitam yang di gunakan untuk register diagnosa para pasien.
2. Fleksibilitas (Flexibility)
Fleksibilitas merupakan salah satu kriteria sistem surveilans yang baik, fleksibilitas ini dimaksudkan sistem surveilans dapat menyesuaikan diri dalam mengatasi perubahan-perubahan informasi yang di butuhkan.
Berkaitan dengan sistem surveilans yang ada di puskesmas Limboto Barat, belum dapat menyesuaikan dengan perubahan-perubahan informasi yang ada. Dapat dilihat pada buku pengisian formulir kelengkapan (Buku Register) pada tahun 2011, 2012 dan 2013 tidak mempunyai variable pengisian kelengkapan pelaporan. Misalnya variabel Pekerjaan si penderita penyakit tersebut, jika di analis secara mendalam bahwa variabel tersebut sangat penting dalam melakukan suatu monitoring pencegahan terhadap penyakit. akan tetapi system surveilans yang ada di Puskesmas Limboto Barat tidak memakai variable tersebut selama pada tahun 2011, 2012 sampai 2013.
3. Dapat diterima (Acceptability)
Dalam arti sistem surveilans dapat diterima, dilihat dari beberapa indikator yakni ialah kelengkapan pengisian formulir dan kelengkapan pelaporan diagnosa penyakit . sehingga dapat di simpulkan bahwa sistem surveilans di Puskesmas Limboto Barat sudah memenuhi kriteria Dapat diterima (Acceptability).
4. Sensivitas (Sensivity)
Dalam arti dengan adanya sistem surveilans dapat mendeteksi kejadian-kejadian penyakit baru dan mengidentifikasi adanya kejadian Luar Biasa (KLB).
Dapat di lihat bahwa sistem surveilans di puskesmas Limboto Barat sudah memenuhi kriteria sensivitas, karena dilihat dari formulir kelengkapan pelaporan (register pasien ) sudah di isi dengan baik dan benar sehingga memudahkan kami untuk menganalisis dan menginterpretasi data tersebut .
5. Nilai Prediktif Positif (Positive predictive positif)
Nilai Prediktif Positif adalah proporsi dari yang diidentifikasi sebagai kasus, serta menggambarkan sensivitas dan spesifitas serta prevalensi penyakit.
Sistem surveilans di Puskesmas Limboto Barat sudah memenuhi criteria Nilai prediktif positif. setelah data diolah dan analisis secara manual pada buku kelengkapan formulir terlihat bahwa data tersebut sama dengan hasil analisis yang kami buat.
6. Representatif (Representatif)
Representative ialah suatu kriteria sistem surveilans yang baik, representative
sangat berhubungan dengan keakuratan data distribusi penyakit menurut karesteristik orang , tempat dan waktu. berdasarkan hal tersebut dapat di simpulkan bahwa sistem surveilans di Puskesmas Limboto Barat sudah memenuhi criteria Representatif ini terbukti dari kelengkapan dari buku register pasien tersebut.
7. Tepat waktu (Timeliness)
Ketepatan waktu dalam sistem surveilans dapat dinilai berdasarakan ketersediaan infomasi untuk pengendalian penyakit baik yang sifatnya segera maupun untuk perencanaan program dalam jangka panjang.
Dapat dikatakan system surveilans yang ada di Puskesmas Limboto Barat di katgorikan tepat waktu dalam hal pengisian data register pasien.
BAB V
PENUTUP
A. SIMPULAN
1. Distribusi Penderita Hipertensi Berdasarkan Kelompok Umur ( Tahun ) Diwilayah Kerja Puskesmas Limboto Barat ini tertinggi pada tahun 2012 yaitu sebanyak 48 orang (24 %) terdapat pada umur 65-69 tahun. Dan yang terendah terdapat Pada Tahun 2011 Sebanyak 15 Orang (18%) Pada Umur 55-59 Tahun .
2. Distribusi Penderita Hipertensi Berdasarkan Jenis Kelamin Diwilayah Kerja Puskesmas Limboto Barat Bahwa penderita hipertensi Lebih Banyak di derita oleh perempuan Dibadingkan Laki-laki, ini terbukti pada tahun 2012 sebanyak115 orang (57%) dan yang paling terendah pada tahun 2011 sebanyak 43 orang (51 %), sedangkan penderita hipertensi laki-laki tertinggi pada tahun 2012 sebanyak 87 orang (43%) dan yang terendah pada tahun 2011 sebanyak 42 orang (49%).
3. Distribusi penderita Hipertensi di wilayah kerja Puskesmas Limboto Barat pada tahun 2012 lebih banyak diderita oleh masyarakat yang bertempat tinggal di desa Tunggulo dengan jumlah penderita sebanyak 50 orang ( 57%) sedang
maafkan
Aku tahu ini semua salahku
aku tahu ini sudah terjadi
mau bilang apa akupun tak tahu
sandiwara apa yang tlah ku lakukan
alasannya sering kali ku dengar..
alasannya sering kali kau ucap
kau dengannya seakan ku tak tau
air mata ini tak mau menetes
jujurlah sayang aku tak mengapa
biar semua jelas tlah berbeda....
jika nanti aku yang harus pergi
ku terima walau sakit hati