Festival Karawo
Festival Karawo Gorontalo, Karawo merupakan suatu kerajinan sulaman khas Gorontalo, akan digelar pada pada bulan Desember 2012.
Pemimpin Bank Indonesia (BI) Gorontalo Wahyu Purnama yang mensponsori acara itu, mengatakan, festival akbar yang pertama kalinya digelar itu, akan menampilkan sejumlah kegiatan dan atraksi.
"Akan ada parade menyulam karawo dan karnaval busana karawo, yang akan melibatkan ratusan, bahkan ribuan orang," katanya.
Dia mengatakan, melalui festival yang akan diupayakan digelar rutin setiap tahun itu, pihaknya ingin memperkenalkan produk seni sulam karawo itu, sebagai ciri khas Gorontalo.
Sejauh ini, usaha kerajinan karawo kian redup, kalah bersaing dengan produk lainnya yang bersifat massal, seperti batik.
Dia mengatakan, Festival Karawo ini akan melibatkan berbagai pihak, mulai Pemerintah Provinsi Gorontalo, pelajar, serta unsur masyarakat lainnya.
BI telah melakukan pemetaan awal terhadap potensi pasar kerajinan Karawo, dan hasilnya cukup menjanjikan.
Wahyu mengatakan, upaya dan pendekatan yang telah dilakukan antara lain dengan memberikan berbagai pelatihan, memfasilitasi studi banding perajin karawo ke sentra batik di Surakarta, Jawa tengah, serta memberikan pengobatan mata gratis pada 50 perajin karawo di wilayah itu.
Karawo yang artinya sulaman dengan tangan kini telah menjadi ikon industri kecil di Gorontalo.
Museum Pendaratan Pesawat Ampibi di Gorontalo
Sangat disayangkan jika tempat bersejarah tidak mendapatkan
perhatian dari pemerintah. Salah satunya bangunan kantor peninggalan tentara Belanda pada tahun 1936 yang terletak di Desa Iluta, Kecamatan Batudaa di Provinsi Gorontalo.
Dari depan, bangunan itu memang tampak bersih. Tetapi jika memasuki pekarangan belakang tampak pemandangan yang tak enak dilihat. Di sana banyak terdapat kotoran hewan dan botol-botol minuman yang dikemasi di dalam karung plastik. Karung-karung ini ditumpuk di belakang halaman gedung tempat wisata itu.
Dari papan nama, gedung itu bernama Museum Pendaratan Pesawat Ampibi. Mamin, penjaga tempat wisata itu mengisahkan, di tahun 1950, Presiden Soekarno pertama kali menginjakan kakinya di Gorontalo, sehingga tempat itu lebih dikenal dengan sebutan Rumah Soekarno.
"Soekarno beristirahat di gedung peninggalan Belanda itu sebelum bertolak ke balai kota Gorontalo. Dia beristirahat di sini,” ucapnya.
Salah seorang wisatawan lokal, Vita (22) seorang mahasiswi asal Bolang Mongondow, Sulawesi Utara, menyesalkan tidak terawatnya bangunan yang dijadikan obyek wisata ini. "Alangkah baiknya, gedung itu dijaga kebersihannya, agar terkesan baik oleh wisatawan asing," ujar Vita.
Karena tidak terawat, tak heran banyak kisah-kisah bernuansa mistis di tempat ini. Sehingga, kesan angker menyelimuti bangunan yang berjarak sekitar 10 kilometer sebelah barat kota Gorontalo ini.
Apalagi, menurut Mamin, awalnya bangunan ini pada tahun 1936 digunakan sebagai tempat Belanda menyekap tawanannya. Tak hanya itu, tawanan pun ditembak mati di tempat ini.
Sejarah Benteng Otanaha
Benteng Otanaha merupakan objek wisata yang terletak di atas bukit di Kelurahan Dembe I, Kecamatan Kota Barat, Kota Gorontalo. Benteng ini dibangun sekitar tahun 1522. Benteng Otanaha terletak di atas sebuah bukit, dan memiliki 4 buah tempat persinggahan dan 348 buah anak tangga ke puncak sampai ke lokasi benteng. Jumlah anak tangga tidak sama untuk setiap persinggahan. Dari dasar ke tempat persinggahan I terdapat 52 anak tangga, ke persinggahan II terdapat 83 anak tangga, ke persinggahan III terdapat 53 anak tangga, dan ke persinggahan IV memiliki 89 anak tangga. Sementara ke area benteng terdapat 71 anak tangga, sehingga jumlah keseluruhan anak tangga yaitu 348.
Sejarah pembangunan Benteng
Sekitar abad ke-15,dugaan orang bahwa sebagian besar daratan Gorontalo adalah air laut. Ketika itu, Kerajaan Gorontalo di bawah Pemerintahan Raja Ilato, atau Matolodulakiki bersama permaisurinya Tilangohula (1505–1585). Mereka memilik tiga keturunan, yakni Ndoba (wanita), Tiliaya (wanita), dan Naha (pria).Waktu usia remaja,Naha melanglang buana ke negeri seberang, sedangkan Ndoba dan Tiliaya tinggal di wilayah kerajaan. Suatu ketika sebuah kapal layar Portugal singgah di Pelabuhan Gorontalo Karena kehabisan bahan makanan, pengaruh cuaca buruk, dan gangguan bajak laut. Mereka menghadap kepada Raja Ilato. Pertemuan tersebut menghasilkan sebuah kesepakatan, bahwa untuk memperkuat pertahanan dan keamanan negeri, akan dibangun atau didirikan tiga buah benteng di atas perbukitan Kelurahan Dembe, Kecamatan Kota Barat yang sekarang ini, yakni pada tahun 1525. Ternyata, para nakhoda Portugis hanya memperalat Pasukan Ndoba dan Tiliaya ketika akan mengusir bajak laut yang sering menggangu nelayan di pantai.Seluruh rakyat dan pasukan Ndoba dan Tiliaya yang diperkuat empat Apitalau, bangkit dan mendesak bangsa Portugis untuk segera meninggalkan daratan Gorontalo.Para nakhkoda Portugis langsung meninggalkan Pelabuhan Gorontalo. Ndoba dan Tiliaya tampil sebagai dua tokoh wanita pejuang waktu itu langsung mempersiapkan penduduk sekitar untuk menangkis serangan musuh dan kemungkinan perang yang akan terjadi.Pasukan Ndoba dan Tiliaya,diperkuat lagi dengan angkatan laut yang dipimpin oleh para Apitalau atau ‘kapten laut’, yakni Apitalau Lakoro, Pitalau Lagona, Apitalau Lakadjo, dan Apitalau Djailani. Sekitar tahun 1585, Naha menemukan kembali ketiga benteng tersebut. Ia memperistri seorang wanita bernama Ohihiya.Dari pasangan suami istri ini lahirlah dua putra, yakni Paha (Pahu) dan Limonu.Pada waktu itu terjadi perang melawan Hemuto atau pemimpin golongan transmigran melalui jalur utara. Naha dan Paha gugur melawan Hemuto. Limonu menuntut balas atas kematian ayah dan kakaknya. Naha, Ohihiya, Paha, dan Limonu telah memanfaatkan ketiga benteng tersebut sebagai pusat kekuatan pertahanan. Dengan latar belakang peristiwa di atas,maka ketiga benteng dimaksud telah diabadikan dengan nama sebagai berikut. Pertama, Otanaha. Ota artinya benteng. Naha adalah orang yang menemukan benteng tersebut. Otanaha berarti benteng yang ditemukan oleh Naha. Kedua,Otahiya. Ota artinya benteng. Hiya akronim dari kata Ohihiya, istri Naha Otahiya, berarti benteng milik Ohihiya. Ketiga Ulupahu.Ulu akronim dari kata Uwole,artinya milik dari Pahu adalah putera Naha.Ulupahu berarti benteng milik Pahu Putra Naha. Benteng Otanaha, Otahiya, dan Ulupahu dibangun sekitar tahun1522 atas prakarsa Raja Ilato dan para nakhoda Portugal.