AKSES MASYARAKAT TERHADAP DUNIA PENDIDIKAN
HUBUNGAN SEKOLAH DAN MASYARAKAT
“Akses Masyarakat Terhadap Dunia Pendidikan”
Dosen Pengampuh :
Muhammad Sarlin, S.Pd, M.Pd
DI SUSUN OLEH :
TRI ADELIAWATI LALU (151418155)
KELAS : 6 E
JURUSAN PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGRI GORONTALO
T.A 2020/2021
Akses pendidikan adalah kemudahan yang diberikan kepada setiap warga masyarakat untuk menggunakan kesempatannya untuk memasuki suatu program pendidikan. Akses tersebut dapat berupa sikap sosial yang nondiskriminatif, kebijakan politik dalam bentuk peraturan perundangundangan yang mendukung dan mencegah diskriminasi, tersedianya lingkungan fisik pendidikan yang aksesibel, tersedianya alat bantu belajar/mengajar yang sesuai, dan biaya pendidikan yang terjangkau, yang memungkinkan setiap warga masyarakat menggunakan kesempatannya untuk mengikuti proses belajar/mengajar di program pendidikan yang dipilihnya.
Oleh karena itu, kesempatan dan akses adalah dua hal yang saling terkait dan saling menentukan. Di dalam makalah ini akan dibahas bagaimana saling keterkaitan antara berbagai bentuk akses dengan terciptanya kesempatan pendidikan itu terjadi.
Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 mengamanatkan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan guna meningkatkan kualitas dan kesejahteraan hidupnya. Para pendiri bangsa meyakini bahwa peningkatan taraf pendidikan merupakan salah satu kunci utama mencapai tujuan negara yakni bukan saja mencerdaskan kehidupan bangsa, tetapi juga menciptakan kesejahteraan umum dan melaksanakan ketertiban dunia. Pendidikan mempunyai peranan penting dan strategis dalam pembangunan bangsa serta memberi kontribusi signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi dan transformasi sosial. Pendidikan akan menciptakan masyarakat terpelajar (educated people) yang menjadi prasyarat terbentuknya masyarakat yang maju, mandiri, demokratis, sejahtera, dan bebas dari kemiskinan.
Pendidikan merupakan salah satu pilar terpenting dalam meningkatkan kualitas manusia, bahkan kinerja pendidikan yaitu gabungan angka partisipasi kasar (APK) jenjang pendidikan dasar sampai dengan pendidikan tinggi dan angka melek aksara digunakan sebagai variabel dalam menghitung Indeks Pembangunan Manusia (IPM) bersama-sama dengan variabel kesehatan dan ekonomi. Oleh karena itu pembangunan pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global.
Kualitas pendidikan relatif masih rendah dan belum mampu memenuhi kebutuhan kompetensi peserta didik. Hal tersebut terutama disebabkan oleh (1) ketersediaan pendidik yang belum memadai baik secara kuantitas maupun kualitas, (2) kesejahteraan pendidik yang masih rendah, (3) fasilitas belajar belum tersedia secara mencukupi, dan (4) biaya operasional pendidikan belum disediakan secara memadai. Hasil survei pendidikan yang dilakukan Departemen Pendidikan Nasional tahun 2004 menunjukkan bahwa belum semua pendidik memiliki kualifikasi pendidikan seperti yang disyaratkan. Proporsi guru sekolah dasar (SD) termasuk sekolah dasar luar biasa (SDLB) dan madrasah ibtidaiyah (MI) yang berpendidikan Diploma-2 keatas adalah 61,4 persen dan proporsi guru sekolah menengah pertama (SMP) dan madrasah tsanawiyah (MTs) yang berpendidikan Diploma-3 keatas sebesar 75,1 persen. Kondisi tersebut tentu belum mencukupi untuk menyediakan pelayanan pendidikan yang berkualitas.
Tersedianya alat akses bagi para penyandang cacat ini terutama penting bila kita hendak mewujudkan sistem pendidikan inklusif, satu sistem yang memadukan peserta didik cacat dan non-cacat di dalam kelas yang sama. Untuk mengakomodasi kebutuhan individual para siswa dan untuk memberikan kesempatan kepada mereka untuk menguasai materi belajar, para pendidik dapat mengadaptasikan atau memodifikasi buku-buku ajar atau tes. Bentuk akomodasi yang sudah biasa diberikan adalah Braille atau rekaman audio bagi siswa-siswa tunanetra, gambar dengan teks bagi siswa-siswa tunarungu, dan teks dengan bahasa yang lebih sederhana bagi siswa-siswa tunagrahita. Perkembangan teknologi asistif telah memungkinkan para peserta didik penyandang cacat ini memperoleh akses ke kurikulum yang sama. Di Amerika Serikat, diterapkannya teknologi asistif itu dijamin oleh undang-undang. Section 508 dari Americans with Disabilities Act mengharuskan semua teknologi informasi dan elektronik pemerintah federal dapat dipergunakan oleh para penyandang cacat, kecuali jika hal itu menimbulkan beban yang terlalu berat (Williams, 2000).
Keharusan ini berlaku pula bagi semua kontraktor federal yang membangun peralatan teknologi informasi atau mengakses sumber informasi pemerintah dan berinteraksi dengan instansi-instansi pemerintah. Instansi-instansi pemerintah federal harus mematuhi standar aksesibilitas untuk semua teknologi informasi dan elektronik ini mulai tanggal 7 Agustus 2000. Sebuah sistem teknologi informasi dipandang aksesibel bila sistem itu dapat dipergunakan dalam berbagai cara yang tidak bergantung pada satu indera atau kemampuan. Misalnya, satu sistem yang memberikan output hanya dalam format audio tidak akan aksesibel bagi orang-orang tunarungu, dan sistem yang menuntut penggunaan mouse untuk navigasinya tidak akan aksesibel bagi orang-orang yang tunanetra. Oleh karena itu individu-individu penyandang cacat ini membutuhkan software khusus atau alat tambahan.
Akan tetapi, penyediaan akses itu lebih dari sekedar menyediakan buku ajar dan komputer bagi setiap siswa. Guru harus menjamin bahwa para siswa itu secara aktif terlibat dalam kegiatan belajar; artinya, bahan pengajaran harus memberikan tantangan kognitif, tanpa memandang tingkat perkembangan siswasiswanya.
Aspek-aspek terpenting dari desain universal untuk pembelajaran itu telah dirumuskan oleh the Center for Applied Special Technology (CAST) ke dalam tiga prinsip:
1. Kurikulum harus dapat disajikan dengan berbagai cara (multiple means of representation). Materi pelajaran dapat disajikan dengan cara-cara alternatif bagi siswa-siswa yang mempunyai kemampuan belajar lebih baik melalui penglihatan atau pendengaran, atau bagi mereka yang memerlukan tingkat kompleksitas yang berbeda.
2. Kurikulum harus memungkinkan para siswa mengekspresikan dirinya dengan berbagai cara (multiple means of expression) sehingga mereka dapat memberikan respon dengan cara yang lebih disukainya.
3. Kurikulum harus memungkinkan berbagai bentuk kegiatan belajar (multiple means of engagement).
Minat belajar siswa harus disesuaikan dengan cara penyajian materi pelajaran dan cara ekspresi yang disukai siswa. Siswa akan lebih termotivasi bila mereka terlibat aktif dalam apa yang dipelajarinya. Keterlibatan ini hanya mungkin terjadi bila siswa memiliki akses.
Sumber :
http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PEND._LUAR_BIASA/195106011979031-DIDI_TARSIDI/Makalah%26Artikel_Tarsidi_PLB/AKSES_%26_KESEMPATAN_PENDIDIKAN.pdf
https://www.bappenas.go.id/files/6713/4986/1921/bab-26---pendidikan__20090129020400__36.pdf
https://www.bappenas.go.id/files/8113/5229/9463/bab-27-peningkatan-akses-masyarakat-terhadap-pendidikan-yang-berkualitas.pdf