Etika & Filsafat Komunikasi (Part 2)
Tri Indah Sari - 291414031 - Ilmu Komunikasi (A) - "Etika & Filsafat Komunikasi"
4. HAKIKAT FILSAFAT
Filsafat adalah merupakan ilmu pengetahan yang menyelidiki hakikat segala sesuatu untuk memperoleh kebenaran. Filsafat adalah ilmu pengetahuan tentang hakikat. Ilmu pengetahuan tentang hakikat menanyakan tentang apa hakikat atau sari atau inti atau esensi segala sesuatu. Pada kenyataannya banyak sekali orang yang enggan untuk berfilsafat bahkan berfikir filsafati. Dahal dengan kita berfikir filsafatt, maka kita akan mengetahui kebenaran suatu hal yang sudah kita ketahui dengan kebenaran yang hakiki. Sehingga pengetahuan manusia akan suatu kebenaran tersebut terbatas dan tidak berkembang dengan pemikiran yang lain. Karna filsafat adalah suatu titik penemuan tentang hakikat kebenaran yang sudah ada namun ingin dikebangkan lebih mendalam tanpa adanya ujung dari kebenaran ayang ada karna penyelanyesaian masalah dalam filsafat itu bersifat mendalam dan universal.
Jika dibandingkan antara filsafat dengan pengetahuan tentang suatu ilmu atau pelajaran, maka berfikir filsafat adalah lebih unggul. Karena penarian kebenaran dari filsafat tidak ada habisnya sedangkan berfikir tentang pengetahuan suatu ilmu itu hanya berujung pada pengetahuan itu saja. Maka dari pada itu berfilsafat akan menjadikan kita terus dan terus berfikir tentang suatu hakekat kebenaran yang sudah kita ketahui.
Filsafat menurut arti kata, terdiri atas kata philein yang artinya cinta dan sophia yang artinya kebijaksanaan. Filsafat berarti cinta kebijaksanaan. Cinta artinya hasrat yang besar, atau yang berkobar-kobar, atau yang sungguh-sungguh. Kebijaksanaan artinya kebenaran sejati atau kenenaran yang sesungguhnya. Jadi filsafat artinya hasrat atau keinginan yang sungguh akan kebenaran sejati. Pengertian umum filsafat adalah ilmu pengetahan yang menyelidiki hakikat segala sesuatu untuk memperoleh kebenaran. Sedangkan berfilsafat sendiri adalah berfikir secara mendalam, menyeluruh, dan kritis inilah yang disebut berfilsafat. Kemudian, berfilsafat juga berarti berendah hati bahwa tidak semuanya akan pernah diketahui dalam kesemestaan yang seakan tidak terbatas ini. Berfilsafat berarti mengoreksi diri, semacam keberanian untuk beretrusterang, seberapa jauh sebenarnya kebenaran yang dicari telah dijangkau. Dengan kita berfilsafat maka kita akan lebih menggunakan akal dan fikiran kita untuk mencari suatu hakikat dari kebenaran yang ada dan yang sudah kita ketahui.
Selanjutnya, karakteristik berfikir filsafat sendiri adalah meliputi karakteristik yang bersifat menyeluruh, bersifat mendasar, dan bahkan bersifat spekulatif. Maksudnya adalah bahwa seseorang dalam mereka berfilsafat itu tidak hanya ingin tahu pada satu objek saja namun ingin mengetahui seluruh objek yang belum mereka ketahui secara filsafati. Lalu seseorang yang berfikir filsafat itu tidak mau hanya sekedar menerima pendapat dari satu objek, namun ia ingin mengkaji dengan sendirinya tentang hakikat kebenaran dari suatu objek kajian. Dan dalam mereka menemukan hakikat kebenaran yang sesungguhnya, mereka membutuhkan landasan atau patokan yang menguatkan mereka dan menjadi dasar bagi mereka atas kebenaran yang mereka peroleh dari suatu objek kajian.
Perspektif Pribadi :
Karena kehidupan yang kita jalani penuh kekerasan, maka dorongan untuk berfilsafat terus muncul dan bersemayam dalam kehidupan modern. Tapi waktu sekarang ini amat terbatas, sehingga untuk berfilsafat kita hanya mempunyai kesempatan untuk memikirkan sebagian masalah-masalah dengan mengajukan pertanyaan yang tidak menyeluruh, sehingga tidak bisa menyelesaikan permasalahan yang menjadi hajat hidup banyak orang.
Dari pengalaman saya pribadi selama belajar filsafat dibangku perkuliahan, Biasanya, hanya ada sedikit orang yang mengajukan pertanyaan :
Ø Adakah alam semesta ini suatu alam semesta dari pikiran atau hanya dari benda mati?
Ø Dapatkah ia masih menganut suatu pandangan keagamaan mengenai manusia?
Ø Adakah Tuhan itu?
Ø Dari apa benda tersebut?
Ø Apakah akal kita yang kini terpukau-pukau dan keheranan merupakan salah satu dari benda?
Ø Saya hidup. Apa itu hidup?
Ø Ada apa sesudah mati?
Ø Apa itu benar dan apa itu salah?
Ø Apakah pertanyaan ini bisa terjawab?
Ø Apa yang mejadi batas sebuah pengetahuan?
Ø Kita lihat bulan yang indah, mentari yang terbenam amat memukau, dan segala keindahan lain. Lalu, apakah tanpa mata keindahan ada? Apakah tanpa organ lain keindahan itu ada? Lalu, apa itu keindahan?
Ø Apa pula pertanyaan itu?
Pertanyaan-pertanyaan itu adalah pertanyaan yang menjijikan, ngeri, mengapa begitu bodoh terlintas di dalam kepala kita. Tetapi, justru itulah masalah-masalah Filsafat. Karena itulah Filsafat ada. Filsafat ada karena manusia bertanya tentang hidup, Filsafat ada karena adanya masalah-masalah tersebut.
Menurut beberapa referensi yang say abaca, Filsuf adalah pemburu kebenaran. Kebenaran yang diburunya adalah kebenaran hakiki tentang seluruh realitas dan setiap hal yang dapat dipersoalkan. Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa berfilsafat berarti memburu kebenaran tentang segala sesuatu.
Tentu saja kebenaran yang hendak digapai bukanlah kebenaran yang meragukan. Untuk memperoleh kebenaran yang sungguh-sungguh dapat dipertanggungjawabkan, setiap kebenaran yang telah diraih harus senantiasa terbuka untuk dipersoalkan kembali dan diuji demi meraih kebenaran yang lebih pasti. Demikian seterusnya.
Jelas terlihat bahwa kebenaran filsafat tidak pernah bersifat mutlak dan final, melainkan terus bergerak dari suatu kebenaran menuju kebenaran baru yang lebih pasti. Kebenaran yang baru ditemukan itu juga terbuka untuk dipersoalkan kembali demi menemukan kebenaran yang lebih meyakinkan.dengan demikian, terlihat bahwa salah satu sifat dasar filsafat ialah memburu kebenaran. Upaya memburu kebenaran itu adalah demi kebenaran itu sendiri, dan kebenaran yang diburu adalah kebenaran yang meyakinkan serta lebih pasti.
Semakin hari saya mulai sedikit demi sedikit memahami bahwa kemungkinan besar salah satu penyebab lahirnya filsafat ialah keraguan. Untuk menghilang¬kan keraaguan diperlukan kejelasan. Mengejar kejelasan berarti harus berjuang dengan gigih untuk mengelimi¬nasi segala sesuatu yang tidak jelas, yang kabur, dan yang gelap, bahkan juga yang serba rahasia dan berupa teka-teki. Tanpa kejelasan, filsafat pun akan menjadi sesuatu yang mistik, serba rahasia, kabur, gelap, dan tak mung¬kin dapat menggapai kebenaran.
Jelas terlihat bahwa berfilsafat sesungguhnya merupakan suatu perjuangan untuk mendapatkan kejelasan pengertian dan kejelasan seluruh realitas. Perjuangan mencari kejelasan itu adalah salah satu sifat dasar filsafat.
Menurut saya, kejelasan yang dicari oleh seorang anak manusia pun terkadang tidak selaras dengan logikanya, sehingga ia beruapaya untuk terus berfilsat atau terus berusaha untuk mencari sebuah kebenaran yang sedalam-dalamnya dan sejelas – jelasnya yang tentunya dapat diterima oleh akal sehatnya/ Tetapi tidak serta merta diterima begitu saja, melainkan harus benar-benar dapat dipertanggungjawabkan kejelasannya baik secara nurani maupun logika. Karena, Filsafat bukan hanya mengacu kepada bagian tertentu dari realitas, melainkan kepada keseluruhannya. Dalam memandang keseluruhan realitas, filsafat senantiasa berupaya mencari asas yang paling hakiki dari keseluruhan realitas. Seorang filsuf akan selalu berupaya untuk menemukan asas yang paling hakiki dari realitas.
Selain itu, saya pun pernah membaca tentang C.J. Ducasse yang mengatakan bahwa filsafat merupakan usaha untuk mencari pengetahuan, berupa fakta-fakta, yang disebut penilaian. Yang dibicarakan dalam penilaian ialah tentang yang baik dan buruk, yang susila dan asusila dan akhirnya filsafat sebagai suatu usaha untuk mempertahankan nilai. Maka selanjutnya, dibentuklah sistem nilai, sehingga lahirlah apa yang disebutnya sebagai nilai sosial, nilai keagamaan, nilai budaya, dan lainnya.
Sesuatu yang dicari itu pun pastinya adalah Sesuatu yang bernilai tentu di dalamnya penuh dengan arti. Agar para filosof dalam mengunkapkan ide-idenya sarat denga arti, para filosof harus dapat menciptakan kalimat-kalimat yang logis dan bahasa-bahasa yang tepat, semua itu berguna untuk menghindari adanya kesalahan/sesat piker.
Kendati demikian, saya pun terkadang berfikir bahwa Pemikiran filsafat mempunyai kecenderungan sangat umum, dan tingkat keumumannya sangat tinggi. Karena pemikiran filsafat tidak bersangkutan dengan objek-objek khusus, akan tetapi bersangkutan dengan konsep-konsep yang sifatnya umum, misalnya tentang manusia, tentang keadilan, tentang kebebasan, dan lainnya. Karena, ada juga kebenaran yang tidak factual, Kata lain dari tidak faktual adalah spekulatif, yang artinya filsafat membuat dugaan-dugaan yang masuk akal mengenai sesuatu dengan tidak berdasarkan pada bukti. Hal ini sebagai sesuatu hal yang melampaui tapal batas dari fakta-fakta pengetahuan ilmiah. Jawaban yang didapat dari dugaan-dugaan tersebut sifatnya juga spekulatif. Hal ini bukan berarti bahwa pemikiran filsafat tidak ilmiah, akan tetapi pemikiran filsafat tidak termasuk dalam lingkup kewenangan ilmu khusus. Sebab, Menurut Clarence L. Lewis seorang ahli logika mengatakan bahwa filsafat itu sesungguhnya suatu proses refleksi dari bekerjanya akal. Sedangkan sisi yang terkandung dalam proses refleksi adalah berbagai kegiatan/problema kehidupan manusia. Tidak semua kegiatan atau berbagai problema kehidupan tersebut dikatakan sampai pada derajat pemikiran filsafat, tetapi dalam kegiatan atau problema yang terdapat beberapa ciri yang dapat mencapai derajat pemikiran filsafat
Akhirnya, saya pun menilai bahwasannya Filsafat merupakan sekumpulan sikap dan kepercayaan terhadap kehidupan alam dan biasanya diterima secara tidak kritis. Filsafat juga dianggap sebagai kreasi berpikir dengan menggunakan metode-metode ilmiah untuk memahami dunia. Filsafat bertujuan untuk memahami dunia dan memperpadukan hasil dan ilmu pengetahuan ke ilmu pengetahuan special agar menjadi suatu pandangan hidup yang seragam. Itu merupakan tujuan Filsafat dari jaman Thales (Bapak Filsafat) hingga jaman sekarang.
Di masa sekarang ini, manusia bercorak individualistis, humanistis, romantis, sehingga manusia cepat beralih pada kepentingan-kepentingan dekat dan “dunia” memiliki arti yang lain bagi manusia. Kondisi manusia yang hidup di perkotaan, dengan kendaraan, perumahan, dan segalanya yang ada di kota, membuat manusia semakin jauh dengan dunia astronomis. Disamping itu, Karena kehidupan yang kita jalani penuh kekerasan, maka dorongan untuk berfilsafat terus muncul dan bersemayam dalam kehidupan modern. Tapi waktu sekarang ini amat terbatas, sehingga untuk berfilsafat kita hanya mempunyai kesempatan untuk memikirkan sebagian masalah-masalah dengan mengajukan pertanyaan yang tidak menyeluruh, sehingga tidak bisa menyelesaikan permasalahan yang menjadi hajat hidup banyak orang. Sebab, untuk menyelesaikan permasalahan hidup sendiri pun seringkali masih susah. Sehingganya hakikat filsfat itu perlu, karena dengan berfilsfat orang akan semakin mencari tahu dan akhirnya mengetahui segala sesuatu tentang sebuah kebenaran.
5. TEMA POKOK – MANUSIA MAKHLUK SIMBOLIK
Manusia adalah makhluk sosial. Hal tersebut sudah menjadi kesepakatan masyarakat umum tentang definisi manusia. Manusia dikatakan sebagai makhluk sosial, karena tak ada satupun manusia yang mampu hidup sendiri tanpa bantuan orang lain atau bahkan bantuan makhluk hidup lainnya. Misalnya, anjing yang dapat membantu manusia untuk menjaga rumahnya. Oleh sebab itu, manusia dalam kehidupan sehari-harinya pasti melakukan interaksi dengan orang lain maupun makhluk hidup lainnya. Dalam interaksi tersebut, manusia memiliki sistem simbol dalam berkomunikasi, sehingga manusiapun tidak hanya dikatakan sebagai makhluk sosial, tetapi juga sebagai makhluk simbolik atau Homo Symbolicum.
Dalam komunikasi dikenal sebuah teori tentang interaksi manusia, yaitu teori interaksi simbolik. Interaksi simbolik merupakan suatu aktivitas yang menjadi ciri khas manusia, yaitu komunikasi dan pertukaran simbol yang diberi makna. Interaksi simbolik berasal dari pemikiran George Herbert Mead (1863-1931). Mead membuat pemikiran orisinal, yaitu “The Theoretical Perspective” yang merupakan cikal bakal Teori Interaksi Simbolik. Teori ini juga sering disebut dengan Mazhab Chicago, karena Mead tinggal di Chicago selama kurang lebih 37 tahun.
Perspektif interaksi simbolik berusaha memahami perilaku manusia dari sudut pandang subjek. Perspektif ini mengatakan bahwa perilaku manusia harus dilihat sebagai proses yang memungkinkan manusia membentuk dan mengatur perilaku mereka dengan mempertimbangkan ekspektasi orang lain yang menjadi mitra mereka. Teori interaksi simbolik ini memiliki tujuh prinsip sebagai berikut:
1) Manusia, tidak seperti hewan lebih rendah, diberkahi dengan kemampuan berpikir. Manusia dan hewan adalah makhluk hidup, tetapi manusia diberkahi dengan kemampuan berpikir, sedangkan hewan tidak. Oleh sebab itu, setiap manusia dapat berinteraksi dengan hal-hal di sekelilingnya dengan menggunakan aturan seperti saat seseorang melakukan kesalahan kepada orang lain, dia harus meminta maaf kepada orang tersebut. Akan tetapi, hewan tidak perlu meminta maaf kepada hewan lainnya ketika melakukan kesalahan, karena hewan tidak memiliki akal untuk berpikir bahwa mereka harus berinteraksi dengan hewan lainnya dengan menggunakan aturan.
2) Kemampuan berpikir dibentuk oleh interaksi sosial. Manusia memiliki kemampuan berpikir yang memang sudah diberikan oleh sang pencipta, tetapi kemampuan berpikir manusia tersebut dapat terbentuk dan semakin berkembang melalui interaksi sosial. Dalam berinteraksi, manusia menggunakan akal mereka untuk memahami hal-hal yang ada di sekeliling mereka dan melalui pemahaman tersebut kemampuan berpikir manusia terbentuk dan semakin berkembang.
3) Dalam interaksi sosial, manusia mempelajari makna dan simbol yang memungkinkan mereka menerapkan kemampuan khas mereka sebagai manusia, yaitu berpikir. Manusia berpikir untuk menginterpretasi makna dari simbol-simbol yang mereka temukan dalam kehidupan mereka.
4) Makna dan simbol memungkinkan manusia melanjutkan tindakan dan interaksi yang khas manusia. Makna dan simbol yang telah diinterpretasi melalui berpikir oleh manusia kemudian dilanjutkan dengan tindakan dan interaksi-interaksi selanjutnya yang kemudian menjadi kebiasaan manusia dalam sehari-harinya.
5) Manusia mampu memodifikasi atau mengubah makna dan simbol yang mereka gunakan dalam tindakan dan interaksi berdasarkan interpretasi mereka atas situasi. Dengan berpikir pula, manusia kemudian tidak hanya menginterpretasi makna dan simbol dalam kehidupan mereka, tetapi juga memodifikasi atau mengubah makna dan simbol tersebut, atau bahkan menciptakan simbol-simbol mengenai hal-hal yang ada di sekeliling mereka.
6) Manusia mampu melakukan modifikasi dan perubahan ini karena kemampuan mereka berinteraksi dengan diri sendiri, yang memungkinkan mereka memeriksa tahapan-tahapan tindakan, menilai keuntungan dan kerugian relatif, dan kemudian memilih salah satunya.
7) Pola-pola tindakan dan interaksi yang berkelanjutan ini membentuk kelompok dan masyarakat. Kelompok masyarakat ini lalu membuat kesepakatan atas hal-hal yang ada di sekeliling mereka mengenai simbol-simbol dan maknanya yang kemudian mereka gunakan dalam kehidupan sehari-hari sebagai makhluk simbolik.
Perspektif Pribadi :
Setelah membaca buku Pengantar Ilmu Komunikasi karya Prof. Deddy Mulyana, saya mulai memahami bahwasannya Simbolik merupakan hal-hal yang mengandung simbol-simbol. Jadi, dapat dikatakan bahwa makhluk simbolik merupakan makhluk yang menggunakan hal-hal yang simbolik atau mengandung simbol-simbol. Simbol-simbol yang dimaksud disini bukan sekedar simbol-simbol tak bermakna, tetapi hal-hal tersebut memiliki makna masing-masing dan tidak satupun simbol yang tercipta tanpa memiliki makna tersendiri. Misalnya, warna merah dan warna putih pada bendera Indonesia, warna merah pada bendera tersebut dianggap sebagai simbol keberanian dan warna putih dianggap sebagai simbol kesucian. Ada juga symbol ungu yang sebagian besar orang mengatakan bahwa warna ungu merupakan symbol ‘janda’
Menurut riset yang saya lakukan di internet, Simbol merupakan salah satu bagian dari semiotika, yaitu ilmu yang mempelajari tentang tanda. Semiotika ini pertama kali diprkenalkan oleh dua filsuf bahasa yaitu Ferdinand de Saussure dan Charles Sanders Pierce. Menurut Saussure, setiap tanda itu terbagi atas dua bagian, yaitu signifier (penanda) dan signified (petanda). Saya pun sepakat dengan pendapatnya, yakni tanda merupakan kesatuan dari suatu bentuk penanda (signifier) dengan sebuah ide atau petanda (signified). Sedangkan menurut Pierce, semiotika terbagi atas tiga bagian yaitu ikon, indeks, dan simbol. Sementara, Ikon merupakan hubungan antara tanda dan acuannya yang berupa hubungan kemiripan, seperti sebuah foto dan orangnya. Indeks merupakan hubungan antara tanda dengan acuannya yang timbul karena adanya kedekatan eksistensi, seperti sebuah tiang penunjuk jalan dan sebuah gambar panah penunjuk arah. Indeks juga dapat menunjukkan adanya hubungan alamiah antara tanda dan penanda yanf bersifat kausal atau hubungan sebab akibat, atau tanda yang langsung mengacu pada kenyataan, misalnya adanya asap karena ada api. Simbol merupakan hubungan yang berbentuk konvensional, yaitu suatu tanda merupakan suatu hasil kesepakatan masyarakat.
Menurut beberapa sumber yang saya baca, Manusia dikatakan sebagai makhluk simbolik karena dalam kehidupan sehari-hari, mereka sering menggunakan simbol-simbol. Salah satu contoh penggunaan simbol dalam kehidupan sehari-hari adalah simbol-simbol pada peraturan lalu lintas, misalnya lampu lalu lintas atau lebih sering disebut lampu merah oleh masyarakat luas yang terdiri dari tiga warna yaitu merah, kuning, dan hijau. Warna-warna tersebut masing-masing memiliki makna tersendiri yakni warna merah yang memerintahkan para pengguna jalan untuk berhenti, warna kuning yang memerintahkan untuk berhati-hati, dan lampu hijau yang memerintahkan untuk kendaraan jalan.
Lampu lalu lintas ini diciptakan oleh penemunya Garrett Augustus Morgan setelah ia melihat tabrakan antara mobil dan kereta kuda pada suatu hari yang kemudian membuatnya berpikir untuk membuat sesuatu yang dapat mengatur lalu lintas yang lebih aman dan efektif. Sebenarnya pada saat itu, telah ada suatu sistem pengaturan lalu lintas dengan sinyal stop and go. Sinyal lampu ini pernah digunakan di London pada tahun 1863. Namun, pada penggunaannya sinyal lampu ini tiba-tiba meledak, sehingga tidak dipergunakan lagi. Berdasarkan pengalamannya tersebut Morgan kemudian menciptakan suatu pengatur lalu lintas yang terdiri dari tiga jenis warna, yaitu merah, kuning, dan hijau.
Tidak hanya itu, Simbol-simbol dalam kehidupan manusia juga erat kaitannya dengan budaya. Dalam suatu kebudayaan, masyarakat dalam kebudayaan tersebut sering menggunakan simbol-simbol dalam melambangkan sesuatu. Misalnya, dalam budaya islam yakni mengenai akikah, pada acara tersebut ada persyaratan yang harus dipenuhi, yakni dua ekor kambing bagi anak laki – laki dan satu ekor kambing untuk anak perempuan. Hal ini sudah menjadi hal yang umum dalam masyarakat islam dan telah dilaksanakan secara turun-temurun oleh masyarakat pemeluk agama islam di Indonesia, khususnya di Gorontalo dalam kehidupan sehari-hari.
Berdasarkan contoh di atas, dapat dikatakan bahwa manusia dalam menggunakan atau menciptakan simbol-simbol yang mereka gunakan dalam kehidupan sehari-hari mereka berasal dari pengalaman hidup mereka. Seperti Garrett Augustus Morgan yang menciptakan lampu lalu lintas setelah melihat kecelakaan lalu lintas. Maka dari itu, manusia dikatakan sebagai makhluk simbolik.
Pernyataan manusia sebagai makhluk simbolik membuat salah satu sarjana feminis Luce Irigaray menempatkan dunia simbolik dalam kehidupan manusia pada lapis puncak piramida dalam abstraksi piramidal yang dibuatnya. Abstraksi piramidal tersebut terdiri atas dunia biologis pada lapis pertama, kemudian dunia sosial dan budaya pada lapis tengah.
Dunia biologis ditempatkan pada lapis pertama, karena menurut Irrigaray jika dilihat dari sisi biologis semua manusia memiliki kesetaraan, dan hal tersebut tidak menimbulkan konflik dalam diri manusia sehingga perbedaan biologis dalam diri manusia adalah sesuatu yang bersifat statis. Perempuan dan laki-laki telah memiliki perannya masing-masing.
Kemudian dunia sosial dan budaya ditempatkan pada lapis kedua. Menurut Irigaray, dalam dunia sosial dan budaya manusia mulai menemukan konflik di dalamnya. Perempuan dan laki-laki dalam konteks sosial dan budaya sering kali menampakkan diri mereka dengan cara yang berbeda. Pendapat masyarakat umumpun mengenai posisi perempuan dan laki-laki dalam konteks sosial dan budaya berbeda. Misalnya, pada acara adat dalam masyarakat Bugis. Perempuan dan laki-laki pasti menempatkan diri mereka masing-masing dan pekerjaan-pekerjaan yang dilakukannya pasti berbeda. Sehingga dalam konteks sosial dan budaya, perbedaan jender dalam diri manusia mulai ditampakkan yang dapat menyebabkan adanya konflik dalam diri manusia. Konflik tersebut dapat saja muncul ketika salah satu dari mereka ada yang menempatkan diri di tempat yang tidak seharusnya. Contohnya, seorang laki-laki yang mengambil alih tugas perempuan.
Selanjutnya, dalam dunia simbolik yang ditempatkan oleh Irigaray pada lapis puncak piramida, posisi perempuan dal laki-laki semakin nampak perbedaannya. Dalam dunia simbolik, Irigaray mengatakan bahwa tubuh lelaki dipersepsi dan diekspresikan sebagai tubuh yang mewakili kualitas Tuhan (the Authority Principle of God) dan tubuh perempuan dianggap mewakili kualitas pemberontakan setan (the Rebellious Principle of Satan). .oleh sebab itu, Irigaray menempatkan dunia simbolik ini pada puncak abstraksi piramidal yang dibuatnya. Melalui hal ini, Irigaray juga menunjukkan bahwa hal tersebutlah yang menjadi penyebab timbulnya kekerasan terhadap perempuan. Selain itu, dalam beberapa kebudayaan, simbol-simbol akan kebutuhan laki-laki diekspresikan melalui tubuh perempuan.
Melalui abstraksi piramidal ini, Irigaray ingin menunjukkan bahwa manusia sebagai makhluk biologis memiliki kesetaraan dan perempuan dan laki-laki sudah memiliki peran mereka masing-masing. Sehingga, perempuan dan laki-laki tidak perlu bersaing dan menimbulkan konflik di antara mereka. Kemudian, manusia sebagai makhluk sosial dalam konteks sosial dan budaya harus melakukan interaksi dengan orang lain dalam kehidupan sehari-harinya. Akan tetapi, dalam konteks tersebut, manusia biasanya menemui konflik dengan sesamanya karena adanya perbedaan pendapat di antara mereka dalam interaksinya. Lalu, manusia sebagai makhluk simbolik merupakan puncak dari adanya konflik-konflik antar manusia, terutana antar perempuan dan laki-laki yang dapat menyebabkan adanya kekerasan terhadap perempuan.
Sehingganya, sebagai manusia pastinya akan selalu berkomunikasi secara simbolis. Karena komunikasi secara langsung itu tidak afdol apabila tidak dibarengi dengan komunikasi verbal dan komunikasi non-verbal.
Karena sampai kapanpun peran manusia sebagai makhluk simbolis tidak akan pernah hilang dan akan terus melekat pada diri setiap manusia.
6. MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK SOSIAL (BLUMER & MEAD)
Sejarah sistematisasi teori interaksionisme simbolik tak dapat dilepaskan dari pemikiran George Herbert Mead (1863- 1931). Semasa hidupnya, Mead memainkan peranan penting dalam membangun perspektif dari Mazhab Chicago, sebuah mazhab yang memfokuskan dalam memahami suatu interaksi perilaku sosial.
Mead tertarik pada interaksi, dimana isyarat non- verbal dan makna dari suatu pesan verbal akan mempengaruhi pikiran orang yang sedang berinteraksi. Dalam terminologi yang dipikirkan Mead, setiap isyarat non- verbal (seperti body language, gerak fisik, pakaian, status, dsb.) dan pesan verbal memiliki makna yang disepakati secara bersama- sama oleh semua pihak yang terlibat interaksi.
Mead tertarik mengkaji interaksi sosial, dimana individu- individu berpotensi mengeluarkan simbol. Perilaku seseorang dipengaruho oleh simbol yang diberikan oleh orang lain. Melalui pemberian isyarat berupa simbol maka kita dapat mengutarakan perasaan,pikiran, maksud, dan sebaliknya dengan cara membaca simbol yang ditampilkan oleh orang lain.
Generasi setelah Mead merupakan awal perkembangan interaksi simbolik, yang mana ketika itu dasar pemikiran Mead terpecah menjadi dua mazhab yang berbeda dalam hal metodologi. Kedua mazhab itu ialah Mazhab Chicago(1969) yang dipelopori oleh Herbert Blumer dan Mazhab Iowa yang dipelopori oleh Manfred Kuhn bersama dengan Kimball Young.
Layaknya sebuah bangunan yang terdiri atas sejumlah komponen, interaksionisme simbolik pun memiliki tiga elemen.
1) Sifat- sifat
Teori interaksionisme simbolik dikonstruksikan atas sejumlah ide- ide dasar yang mengacu kepada beberapa masalah kelompok manusia. Berikut uraiannya secara singkat.
a. Sifat masyarakat
Secara mendasar, masyarakat atau kelompok manusia berada dalam tindakan dan harus dilihat dari segi tindakan pula. Prinsip utama dari interaksi simbolik adalah apapun yang berorientasi secara empiris masyarakat, dan darimana pun sumbernya, haruslah mengingat kenyataan bahwa masyarakat merupakan sekumpulan manusia yang tengah bersama- sama dalam sebuah aksi sosial.
b. sifat interaksi sosial
Masyarakat merupakan bentukan dari interasksi antar individu. Teori interaksionisme ini melihat pentingnya interaksi sosial sebagai sebuah sarana ataupun sebagai sebuah musabbab ekspresi atau tingkah laku manusia.
c. ciri- ciri obyek
Posisi teori interaksionisme simbolik adalah bahwa dunia- dunia yang ada untuk manusia dan kelompok mereka merupakan kumpulan dari obyek sebagai hasil dari interaksi simbolis. Obyek adalah sesuatu hal[3](yang dapat diindikasikan atau ditunjukkan). Obyek yang sama mempunyai arti yang berbeda untuk tiap individu. Dari proses indikasi timbal balik, obyek- obyek umum bermunculan. Obyek- obyek umum inilah yang akan dipandang secara universal. Blumer menyebutkan bahwa sesuatu obyek memiliki tiga macam bentuk yaitu benda fisik (things), benda sosial (social things), dan ide (abstract things).
d. manusia sebagai makhluk bertindak
Teori interaksionisme simbolis memandang manusia sebagai makhluk sosial dalam pengertian yang mendalam. Maksudnya ialah manusia merupakan makhluk yang ikut serta dalam interaksi sosial dengan dirinya sendiri dengan membuat sejumlah indikasi sendiri, serta memberikan respon pada indikasi. Manusia bukanlah makhluk yang sekedar berinteraksi lalu merespon, tetapi juga makhluk yang melakukan serangkaian aksi yang didasarkan pada perhitungan yang matang.
e. sifat aksi manusia
Manusia individual adalah manusia yang mengartikan dirinya dalam dunia ini agar bertindak. Tindakan atau aksi bagi manusia terdiri atas penghitungan berbagai hal yang ia perhatikan dan kenampakan sejumlah tindakan berdasarkan pada bagaimana ia menginterpretasikannya. Dalam berbagai hal tersebut, seseorang harus masuk ke dalam proses pengenalan dari pelakunya agar mengerti tindakan atau aksinya. Pandangan ini juga berlaku untuk aksi kolektif dimana sejumlah individu ikut diperhitungkan.
f. pertalian aksi
Aksi bersama dari situasi baru muncul dalam sebuah masyarakat yang bermasalah. Proses sosial dalam kehidupan kelompok lah yang menciptakan dan menegakkan kehidupan kelompok. Aksi bersama mengacu kepada aksi- aksi yang merubah sangat banyak kehidupan kelompok manusia, dan tidak hanya menyajikan pertalian horizontal tetapi juga tali vertikal dengan aksi sebelumnya.
g. Orientasi Metodologis
Menurut Blumer teori interaksionisme simbolik telah diamati dengan menggunakan dua pendekatan utama yaitu eksplorasi dan inspeksi [4].
Berangkat dari kedua pemikiran diatas, muncul beberapa implikasi metodologis para ahli interaksi simbolik terhadap kehidupan kelompok dan aksi sosial yang dapat kita amati pada empat hal, yaitu individu, kolektivitas manusia, tindakan- tindakan sosial, serta tindakan yang memiliki pertalian kompleks.
h. Prinsip Metodologis
Interaksionisme simbolik meliputi serangkaian prinsip metodologis yang memiliki perbedaan khas antara aliran Chicago dan aliran Iowa. Blumer berargumen bahwa metodologi yang khas untuk meneliti perilaku manusia merupakan metode yang biasa digeneralisasi. Sebaliknya, Manford Kuhn menekankan kesatuan metode ilmiah, semua medan ilmiah, termasuk sosiologi harus bertujuan pada generalisasi dan kesatuan hukum. Mereka tak bisa sepakat mengenai bagaimana suatu hal harus diteliti. Blumer cenderung menggunakan interspeksi simpatik yang bertujuan untuk dapat masuk ke dalam dunia cakrawala pelaku dan memandangnya sebagaimana sudut pandang si pelaku. Para sosiolog, menurutnya, harus menggunakan intuisinya untuk bisa mengambil sudut pandang para pelaku yang sedang mereka teliti, bahkan bila diperlukan, juga menggunakan kategori yang sesuai dengan apa yang ada di benak pelaku.
Sedangkan Kuhn lebih tertarik dengan fenomena empiris yang sama, namun dia mendorong para sosiolog untuk mengabaikan teknik- teknik tak ilmiah. Dan menggantinya dengan indikator- indokator yang tampak, seperti tingkah laku, untuk mengetahui apa yang sedang berlangsung dalam benak pelaku.
Perspektif Pribadi :
Menurut saya interaksi simbolik adalah teori yang menyatakan bahwa hubungan antar manusia dapat diketahui melalui simbol yang di bangun oleh setiap individu. Dan pengaruh dari penilaian kita melalui simbol yang diberikan kepada orang lain bisa berpengaruh positif dan negatif tergantung dari interpretasi individu masing-masing.
Saya sependapat dengan John Dewey yang menyatakan bahwa manusia tidak secara pasif menerima begitu saja pengetahuannya dari luar, karena pengetahuan individu di dapatkan dari pengalaman yang di alami oleh individu tersebut. Artinya, jika dilihat dari sudut pandang filsafat, maka seseorang yang menerima informasi tidak akan mudah percaya sebelum informasi yang diterimanya sesuai dengan kebenaran, sehingganya orang tersebut bisa dipastikan telah melalui proses ‘berfilsafat’ dalam menerima informasi ataupun pengetahuan.
Menurut Cooley individu dan masyarakat merupakan dua sisi dari realitas yang sama. Keduannya ibarat dua sisi dari satu mata uang. Cooley mengacu pada gagasan wiliam james tentang konsep “diri sosial”. Konsep “diri” seseorang dipahami sebagai bayangan yang menurut dirinya dimiliki oleh orang lain (tentang dirinya tersebut). Sehingga bisa dikatakan bahwa seseorang melihat dirinya melalui mata orang lain. Menurut saya, hal ini cenderung terjadi kepada siapa saja selaku manusia yang hidup dibumi. Sebab, saya percaya bahwa setiap orang berhak untuk menginterpretasikan orang lain, tetapi seseorang tersebut bukan berarti berhak untuk menginterpensi orang-orang lain yang diinterpretasikannya.
Disamping itu, Mead juga memperkenalkan dialektika hubungan antara manusia dengan manusia dan manusia dengan alam. Bagi Mead, individu merupaka makhluk yang sensitif dan aktif. Keberadaan sosialnya sangat mempengaruhi bentuk lingkungannya (secara sosial maupun dirinya sendiri). Secara efektif, sebagaimana lingkungan mempengaruhi kondisi sensivitas dan aktifitasnya. Mead menekankan bahwa individu itu bukanlah merupakan “budak masyarakat”. Dia membentuk masyarakat sebagaimana masyarakat membentuknya. Bagi Mead tertib masyarakat akan terjadi manakala ada komunikasi yang dipraktikan melalui simbol-simbol.
Begitu juga dengan Blumer yang banyak mengembangkan pemikiran-pemikiran Mead. Bahwasanya teori interaksionisme simbolis bertumpu pada tiga premis:
•Manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna-makna yang ada pada sesuatu itu bagi mereka.
•Makna itu diperoleh dari hasil interaksi sosial yang dilakukan dengan orang lain.
•Makna-makna tersebut disempurnakan disaat proses interaksi sosial sedang berlangsung.
Berdasarkan teori Teori interaksionisme simbolik dikonstruksikan atas sejumlah ide-ide dasar. Ide dasar ini mengacu pada masalah-masalah kelompok manusia atau masyarakat, interaksi sosial, obyek, manusia sebagai pelaku, tindakan manusia dan interkoneksi dari saluran-saluran tindakan. Secara bersama-sama, ide-ide mendasar ini mepresentasikan cara dimana teori interaksonalisme simbolik ini memandang masyarakat mereka memberikan perangkat kerja pada ilmu sekaligus menganalisisnya. Secara singkat kerangka-kerangka itu diantaranya adalah sifat masyarakat, sifat interaksi social, ciri-ciri obyek,manusia sebagai makhluk bertindak, sifat aksi manusia dan pertalian aksi. Beberapa implikasi metodologis para ahli teori interaksionisme simbolis terhadap kehidupan kelompok dan aksi sosial dapat diketahui pada empat hal, yang pertama individu, kedua kolektifitas manusia, ketiga tindakan sosial secara sendiri-sendiri atau bersama, keempat tindakan-tindakan pertalian komplek. Yang selanjutnya mengenai Prinsip-prinsip dasar teori interaksi smbolik yang pertama: tak seperti binatang, manusia dibekali kemampuan untuk berpikir. Kedua: Kemampuan berpikir dibentuk oleh interaksi sosial. Ketiga Dalam interaksi sosial manusia mempelajari arti dan simbol yang memungkinkan mereka menggunakan kemampuan berpikir mereka yang khusus itu. Keempat: Makna dan simbol memungkinkan manusia melanjutkan tindakan khusus dan berinteraksi. Kelima: Manusia mampu mengubah arti dan simbol yang mereka gunakan dalam tindakan dan interaksi berdasarkan penafsiran mereka terhadap situasi. Keenam: Manusia mampu membuat kebijakan modifikasi dan perubahan, sebagian karena kemampuan mereka berinteraksi dengan diri mereka sendiri, yang memungkinkan mereka menguji serangkaian peluang tindakan, menilai keuntungan dan kerugian relative mereka, dan kemudian memilih satu di antara serangkaian peluang tindakan itu. Ketujuh: Pola tindakan dan interaksi yang saling berkaitan akan membentuk kelompok dan masyarakat.
Tidak hanya itu, saya juga sepakat dengan Mead yang mendalami filsafat dan penerapannya pada psikologi sosial. Tokoh yang selanjutnya yakni Herbert Blumer yang banyak mengembangkan pemikiran-pemikiran George Herbert Mead. Bagi Blumer manusia bertindak bukan hanya faktor eksternal (fungsionalisme struktural) dan internal (reduksionis psikologis) saja, namun individu juga mampu melakukan self indication atau memberi arti, menilai, memutuskan untuk bertindak berdasarkan referensi yang mengelilinginya itu. Pada dasarnya tindakan manusia itu terdiri dari pertimbangan atas berbagai hal. Metode empiris Blumer lewat pengamatan (inquiry), penjelajahan (exploration), dan pemeriksaan (inspection). Blumer menekankan pada aspek kemanusiaan (humanis) yang unik dan berbeda satu sama lain, memiliki cita, rasa, karsa, serta multi variat. Selain itu, Blumer mengatakan bahwa individu bukan di kelilingi oleh lingkungan obyek-obyek potensial yang mempermainkannya dan memebentuk perilakunya. Gambaran yang benar ialah ia membentuk obyek-obyek itu.
Dalam pada itu, maka individu sebenarnya sedang merancang obyek-obyek yang berbeda, memberinya arti, menilai kesesuaiannya dengan tindakan dan mengambil keputusan berdasarkan penilaian tersebut. Inilah yang dimaksud dengan penafsiran atau bertindak berdasarkan simbol-simbol.
Dengan begitu, manusia merupakan aktor yang sadar dan reflektif, yang menyatukan obyek-obyek yang di ketahuinya melalui apa yang disebut Blumer sebagi self indication. Self indication adalah proses komunikasi yang sedang berjalan dimana individu mengetahui sesuatu, menilainya, memberinya makna dan memutuskan untuk bertindak berdasarkan makna itu. Proses self indication ini terjadi dalam konteks sosial dimana individu mencoba “mengantisipasi” tindakan-tindakan orang lain dan menyesuaikan tindakannya sebagaimana dia menafsirkan tindakan itu
Berdasarkan teori-teori yang telah saya tuliskan diatas, maka saya pun mencoba untuk membuat sebuah kesimpulan bahwasannya mengapa manusia dikatakan sebagai makhluk sosial ialah dikarenakan setiap manusia tidak bisa hidup sendiri atau tidak bisa hidup tanpa bantuan orang lain. Begitu pun dengan diri saya, saya sebagai seorang manusia dan merasa sebagai makhluk sosial tentunya saya pun tidak bisa hidup tanpa bantuan orang lain, tetapi bukan berarti saya menggantungkan hidup saya sepenuhnya kepada orang lain, sehingganya disamping melaksanakan peran saya sebagai makhluk sosial, maka saya pun mencoba untuk hidup secara mandiri, yakni dengan melakukan sendiri sesuatu yang bisa saya lakukan, karena saya meyakini bahwasanya saya tidak akan pernah tahu apabila saya tidak pernah mencoba.
REFERENSI
http://perkuliahan-perkuliahan.blogspot.com/2009/03/materi-kuliah-pengantar-filsafat-02.html
http://catatan-anakfikom.blogspot.com/2012/03/filsafat-komunikasi-dan-ilmu-komunikasi.html
http://bangdodz.blogspot.com/2012/10/filsafat-komunikasi.html
http://vhicca.blogspot.com/2013/05/v-behaviorurldefaultvmlo_2806.html
http://ahmadmukhlasinalkasuba.blogspot.com/2012/09/teori-tentang-kebenaran-korespondensi.html
http://hendymanajaerpendidikan.blogspot.com/2013/05/hakikat-pengetahuan-filsafat.html
https://van88.wordpress.com/teori-teori-kebenaran-filsafat/
http://filsafat.kompasiana.com/2010/08/17/mahluk-simbolik-229756.html
https://Soeprapto, Riyadi. 2001. Interaksionisme Simbolik perspektif sosiologi modern. Malang: Averroes Press
Kategori
- Masih Kosong
Arsip
Blogroll
- Masih Kosong