Mengungkap Kehidupan para Waria (Wanita Pria)

17 June 2015 12:47:21 Dibaca : 2635

            Waria atau wanita pria yang lebih kita kenal dalam kehidupan sehari-hari “banci”mungkin sudah tak asing lagi. Bagi sebagian besar masyarakat yang sering melihat perilaku laki-laki yang menyerupai wanita ini mungkin menganggap hal ini lumrah. Namun, banyak orang yang menganggap menjadi seorang waria adalah hal yang salah dan menjadi salah satu bentuk penyimpangan sosial dalam masyarakat.


           Istilah ini awalnya muncul dari masyarakat Jawa Timur yang merupakan akronim dari “wanita tapi pria” pada tahun 1983-an panduan dari kata wanita dan pria. Pendapat lain mengenai waria adalah kecendrungan seseorang yang tertarik dan mencintai sesama jenis. Sedangkan menurut pendapat lain menjelaskan bahwa waria adalah individu-individu yang ikut serta dalam sebuah komunitas khusus yang para anggotanya memahami bahwa jenis kelamin sendiri itulah yang merupakan objek seksual paling menggairahkan (Koeswinarno,1996).


       Secara fisiologis waria itu sebenarnya adalah pria. Namun pria (waria) ini mengidentifikasikan dirinya menjadi seorang wanita. Baik dalam tingkah dan lakunya. Misalnya dalam penampilan atau dandanannya ia mengenakan busana dan aksesori seperti wanita. Begitu juga dalam perilaku sehari-hari, ia juga merasa dirinya sebagai seorang wanita yang memiliki sifat lemah lembut (Koeswinarno,1996)


             Mereka melakukan aktivitas sehari-hari yang normal, umumnya mereka berprofesi di bidang-bidang yang memerlukan keterampilan yang biasa dilakukan wanita. Seperti salon, butik atau di bidang kesenian, meskipun ada juga yang kerja kantoran. Mereka sering tampil apa adanya artinya tidak menutup-nutupi ciri kewariaan mereka.
Biarpun berpakaian laki-laki tetapi gaya bicara dan tingkah laku mereka punya kekhasan seperti wanita. Jika mereka berpakaian wanita, lengkap dengan pernak-perniknya. Dulu mereka cenderung tertutup dan malu-malu namun kini mereka lebih berperan dan terbuka (Harahap,W,1999).


              Tak bisa dipungkiri bahwa Tuhan menciptakan manusia dengan dua gender yaitu Wanita dan Pria. Namun dalam hal ini para waria seolah lupa akan kodratnya masing-masing. Mereka memilih menjadi waria dan bekerja disalon-salon kecantikan hingga menjadi PSK (Pekerja Seks Komersial). Di Gorontalo khususnya, banyak ditemui dibeberapa salon kecantikan, dari yang besar hingga kecil hampir semua karyawannya adalah seorang waria. Dari beberapa penelitian menyebutkan bahwa berperilaku menjadi waria memiliki banyak resiko.


                  Waria dihadapkan pada berbagai masalah: penolakan keluarga, kurang diterima atau bahkan tidak diterima secara sosial, dianggap lelucon, hingga kekerasan baik verbal maupun non verbal. Penolakan terhadap waria tersebut terutama dilakukan oleh masyarakat strata sosial atas. Oetomo (2000) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa masyarakat strata sosial atas ternyata lebih sulit memahami eksistensi waria, mereka memiliki pandangan negatif terhadap waria dan enggan bergaul dengan waria dibanding masyarakat strata sosial bawah yang lebih toleran.
                 Karena belum diterimanya waria dalam kehidupan masyarakat, maka kehidupan waria menjadi terbatas terutama pada kehidupan hiburan seperti ngamen, ludruk, atau pada dunia kecantikan dan kosmetik dan tidak menutup kemungkinan sesuai realita yang ada, beberapa waria menjadi pelacur untuk memenuhi kebutuhan materiel maupun biologis.


             Pakar kesehatan masyarakat dan pemerhati waria, Gultom (2002) setuju dengan pendapat seorang waria yang bernama Yuli, bahwa waria merupakan kaum yang paling marginal. Penolakan terhadap waria tidak terbatas rasa “jijik”, mereka juga ditolak untuk mengisi ruang-ruang aktivitas: dari pegawai negeri, karyawan swasta, atau berbagai profesi lain. Bahkan dalam mengurus KTP, persoalan waria juga mengundang penolakan dan permasalahan, maka sebagian besar akhirnya turun dijalanan untuk mencari kebebasan (Kompas, 7 April 2002).


                      Beberapa pertanyaanpun bermunculan seiring dengan bertambahnya jumlah waria di Indonesia. Berikut beberapa pertanyaan yang menjadi perbincangan besar dikalangan masyarakat : 1.Mengapa seorang pria berperilaku sebagai wanita atau menjadi waria ? 2.Mengapa sebagian besar waria memilih bekerja sebagai karyawan salon dan bahkan menjadi PSK ? 3. Apakah nyaman menjadi seorang waria ?
Dari beberapa pertanyaan diatas munculah berbagai macam jawaban dari beberapa artikel penelitan dan hasil wawancara, yakni ada 7 faktor yang menyebabkan seseorang menjadi waria, yaitu :
1. Terjebak dalam raga yang salah
Banyak waria yang akhirnya mengkambinghitamkan penepmpatan raga. Beberapa waria beralasan bahwa sebenarnya mereka adalah perempuan tetapi dilahirkan dalam bentuk tubuh laki-laki. Para waria pun kebanyakan mengaku bahwa naluri dalam dirinya murni (100 persen) perempuan.2. Adanya mutasi gen
Secara medis, ada hormon yang menyebabkan pria berperilaku seperti wanita dan merasa lebih nyaman dengan tingkah seperti itu. Mutasi gen ini akan menyebabkan kelainan gen pada pria bersangkutan, misalnya model gen XXY, gen wanita (X) lebih dominan. Maka, pria tersebut akan mengalami kelainan yang mencolok pada bagian tubuhnya. Misalnya, tumbuh payudara seperti perempuan.
3. Tuntutan ekonomi
Tuntutan ekonomi boleh dikatakan sebagai alasan paling kuat dan paling konkret yang menyebabkan seseorang menjadi waria. Dalam kasus sperti ini, menjadi waria hanya bersifat kepura-puraan demi mendapatkan uang. Namun, kepura-puraan ini pun bisa menjerat waria ke dalam kebiasaan hingga akhirnya kebablasan.
4. Terpengaruh budaya barat
Di era globalisasi atau era pasar bebas ini, manusia rentan terpengaruh oleh budaya-budaya luar yang mayoritas tidak sesuai dengan kebudayaan Indonesia. Salah satunya adalah pilihan menjadi waria. Di beberapa negara, pernikahan sejenis memang sudah dilegalkan oleh negara, termasuk pilihan seseorang untuk menjadi waria.
Bahkan, negara-negara tersebut sering mengadakan kontes-kontes kecantikan yang pesertanya dari kalangan waria. Hal inilah yang turut ditiru oleh masyrakat Indonesia. Mereka mengadopsi budaya lsuar tanpa penyesuaian hingga akhirnya menimbulkan penyimpangan.
5. Trauma
Faktor traumatis memang bisa menjadi pemicu seorang pria memutuskan untuk menjadi waria. Boleh jadi, pria tersebut pernah mendapatkan perlakuan tidak senonoh sehingga ia merasa nyaman dengan keadaanya sebagai waria. Bisa pula karena ia sempat disakiti wanita sehingga memutuskan untuk menyukai sesama jenis dengan jalan mengubah tampilan menjadi waria.
6. Pengaruh lingkungan
Tidak dapat dipungkiri, lingkungan merupakan faktor pendukung terbesar yang menentukan masa depan seseorang. Termasuk menentukan waria atau tidaknya seorang pria. Pria yang sejak kecil bergaul dengan wanita, cenderung tumbuh menjadi sosok seperti wanita. Contoh lain, pria yang bekerja di salon cenderung memiliki sifat gemulai seperti wanita karena yang mereka layani setiap hari adalah wanita.
7. Dalam agama Islam, telah disebutkan bahwa salah satu tanda-tanda kiamat atau akhir zaman adalah banyaknya pria yang berperilaku dan berpenampilan layaknya wanita. Begitupun sebaliknya. Wanita berperilaku dan berpenampilan layaknya pria. Melihat kondisi saat ini, tampaknya hari kiamat semakin dekat seiring menjamurnya para waria.


                Begitu banyak alasan seseorang memilih menjadi waria karena mutasi gen maupun profesi. Namun, alasan apapun tidaklah bisa dijadikan pembenaran karena agama Islam terang-terangan melarang seseorang menjadi waria. Apalagi jika pengingkaran kodrat itu disertai dengan opeasi ganti kelamin atau melakukan suntik silikon untuk menumbuhkan payudara.
Namun disini para waria dan homo seksual tidak bisa di salahkan karena memang mereka sejak kecil bahkan sejak lahir mempunyai perasaan dan jiwa wanita. Memang ada sebagian dari mereka yang salah asuh orang tua, anak laki- laki di beri mainan perempuan seperti bunga, boneka, dan lain sebagainya. Atau anak laki- laki di biarkan untuk berteman dan bergabung dengan teman- temanya wanita semua . itu berkemungkinan besar mengubah jiwa laki- laki menjadi perempuan. Tetapi untuk mereka yang memang sejak lahir ditaksirkan mempunyai jiwa dan perasaan seperti perempaun, siapa yang mau di salahkan?
                Kehidupan waria dan homo seksual ternyata sangat tertekan. Karena mereka harus menghadapi tanggapan dari masyarakat di sekitarnya dan keluarganya. Jika orang- orang di sekitarnya mau menerima keadaanya dengan baik tidak masalah, namun banyak dari mereka yang tidak bisa menerima (kontra) dengan adanya waria. Terlebih lagi keluarganya yang tentu tidak menerima saudaranya menjadi waria. Para waria harus mampu menghadapi orang yang kontra terutama keluarganya agar mereka tidak kecewa, namun waria juga butuh kebebasan untuk mengekspresikan keinginannya. Misalkan waria yang sering keuyuran malam (melacur), mereka terus mencari cara bagaimana agar anggota keluarganya tidak tahu kalau dia melacur, tapi dia bisa mengekspresikan keinginannya untuk menjadi seorang wanita dan mendapatkan pasangan pria. Mungkin dia harus menyewa suatu tempat untuk ganti pakaian wanita dan ber make- up. Dari rumah tetap berpakaian pria dan ganti di suatu tempat. Hal seperti itu merupakan usaha para waria untuk menjaga perasaan keluarganya dan bisa mengekspresikan keinginanya.
                Dari hasil wawancara yang penulis (saya) dapatkan, ditemui di salah satu salon ternama di kecamatan Tilamuta, beberapa waria mengemukakan bahwa menjadi seorang waria itu lumayan susah. “Ada susah senangnya, susahnya sih kalo di bicarakan orang apalagi sampai membuka aib, itu adalah hal yang memalukan. Namun menjadi waria dan bekerja di salon menurut saya sudah sepantasnya, apalagi dengan gaji yang cukup dan bisa dibilang ini halal” ungkap Susi. Intinya berprofesi sebagai waria tidaklah mudah apalagi jika dicela banyak orang.
Diharapkan kepada semua masyarakat untuk menyadari keadaan para waria dengan baik. Terutama pada waria yang kehidupanya layak, dalam arti tidak menempuh jalan negatif seperti melacur. Karena banyak juga para waria atau homo seksual yang keseharianya menempuh jalan positif seperti berdagang. Orang-orang seperti ini tidak perlu di marginalkan. Karena pada hakikatnya mereka semua sama seperti kita hanya saja fisik dan jiwanya tidak sejalan. Mereka saja bisa menerima dan mensyukuri keadaanya kenapa kita mempermasalahkan?