Gitar Kecil Yang Selalu Menemani
Gitar Kecil Yang Selalu Menemani
Jalanan yang ramai, aspal hitam yang sedari tadi basah karena diguyur hujan, bias-bias cahaya kendaraan berlomba mencapai menerangi jalanan tersebut , jejeran kendaraan mulai memadati dan saling menunggu untuk dapat melalui perempatan itu. Dengan berbagai aktifitas dan kesibukan semuanya terlihat begitu nyata. Petik demi petik senar gitar mulai menemani para pengendara yang mulai bosan di malam itu, suara lirik lagupun mulai mengikuti, receh demi receh mulai berpindah tangan.
Hujan yang begitu deras dan hanya bermodalkan payung dan gitar kecil tidak menggoyahkan niat anak kecil itu. Rian namanya namun teman-temanya mengenal dirinya dengan sebutan ian. Ian adalah anak yang cukup sabar dan patuh terhadap orang tuanya, ia hidup di sebuah rumah kecil bersama ibunya yang sedang sakit,ayahnya sudah meninggal karena kanker dan nyawa ayahnya tidak tertolong karena faktor ekonomi yang tidak sanggup membiayai pengobatan. ian memutuskan sekolahnya dan menggantikan posisi ayahnya dengan mengamen demi mencari sesuap nasi dan obat-obatan untuk ibunya.
“Iaaaan ayo sudah mau lampu ijo.” teriak seorang memanggil memanggil temannya untuk segera menjauhi jalan yang sedang di padati kendaraan itu.
Seketika semua orang yang berlalu lalang di jalan itu menepi dan mulai kembali berjalan ke bawah lampu lalu lintas. Ianpun bersiap-siap untuk kembali mencari recehan dari para pengguna jalan. Sesekali Ian memanfaatkan payung yang ia bawa untuk dijadikan ojek payung.
Kaki kecil dengan pasir dan baju yang sudah mulai basah kuyup . Celana pendek sebatas lutut makin hari makin terlihat kucel dan hampir sama dengan warna pada telapak kakinya, baju coklat yang dikenakan pada perut kurusnya nampak sudah beberapa minggu tidak di ganti (nampaknya itu baju berwarna putih tetapi sudah berubah warna karna sudah lama ia tak mengganti bajunya). Dengan muka polos layaknya remaja seusianya dan rambut berwarna hitam kecokelatan dan poni rambut . Gitar coklat kayu itu bagaikan lantai dansa tempat jari-jari mungil ian menari dan mengeluarkan bunyi kocokan gitar yang has. Ukulele sebutannya, sebuah gitar mungil dengan empat senar, selalu menamani hampir setiap langkah Ian.
Dibanding pengamen lainnya di perempatan ini, Ian merupakan pengamen paling kecil dan paling gesit. Hampir tiap lampu merah remaja 12 tahun ini sering lalu lalang dan tidak mengenal lelah dalam mencari receh demi receh. Bahkan semua teman-temannya sering mengingatkan ia untuk istirahat sejenak.
“ian, jangan lama-lama dijalan, hujan semakin deras ayo kita pulang !” kata seorang sahabat dekatnnya". Ianpun mengikuti ajakan temanya itu.
Pagi beranjak siang dan matahari terus menerus menusuk permukaan kulit Ian. Recehan yang didapat tidak sampai 10ribu dari sejak pukul 6 pagi mengamen, perut Ian, mulai berbunyi dan semakin lemas. Dengan keadaan uang 10ribu saja dia tidak mungkin untuk membeli makan, rasa lapar terus menerus memaksa Ian untuk beristirahat mengamen.
Ian duduk di pinggir jalan dengan menahan rasa laparnya tiba-tiba seorang pria dengan badan yang cukup tinggi menghampirinya dan menawarkan sebungkus makanan kepada Ian, dengan ucapan terima kasih dan dengan sigapnya Ian mengambil makanan itu dan menyantapnya dengan lahap nasi putih dengan ayam goreng tepung dengan bungkus bergambar seorang kakek tua berkacamata sedang tertawa dengan latar berwarna merah.
“Setelah ini kamu pulang ya jangan ngamen lagi, kasihan ayah ibu mu menunggu dirumah.”
Seketika perasaan Ian mulai memikirkan kondisi ibunya yang sedang kurang sehat dirumah dan sedari tadi belum makan, Ian langsung menyisahkan sedikit makanan demi ibunya.
“Iya om, abis ini Ian pulang kok. Ian Janji.” saut Ian dan langsung lari menuju rumahnya.
Mata dan pandangannya tidak lagi melihat kanan kiri, kaki hitam tak beralas terus menghantam aspal dan jalan kerikil. Semua orang mulai kebingungan melihatnya, sahabat sekitar keheranan melihat keanehan saat Ian berlari tanpa henti. Ian sudah tidak lagi mempedulikan orang lain, hanya harapan untuk bertemu seorang wanita yang melahirkan dan sering mendoakannya.Tetes demi tetes air mata mulai membasahi pipinya, kantong matanya semakin penuh dengan air mata kesedihan saat seorang anak mengharapkan bertemu ibunya dan memikirkan ibunya yang sedang kelaparan.
Sudah tidak ada namanya malu atau lelah saat berlari, semua hilang dengan rasa sayang dan cinta kepada ibunya. Remaja ini terus menerus memeluk dan mengeluarkan air matanya, tangannya tak henti-henti menggenggam tangan ibunya dan mengeluarkan makanan yang ia bawa. Ian lebih mencintai ibunya daripada mencintai dirinya sendiri ia rela kepanasan dan kehujanan demi menafkahi hidup mereka berdua dan mengobati ibunya yang sedang sakit. Selain ibu yang Ian miliki, Ian juga mempunyai sahabat-sahabat yang senantiasa mengiburnya dikala Ian sedang putus asa dan bersedih.
Keesokan harinya aktifitas yang biasa Ian lakukan ia mulai lagi bersama sahabatnya ia berpamitan kepada ibunya untuk mencari nafkah, dengan hanya bermodalkan gitar kecil dan suara pas-pasan. Kehangatan yang Ian rasakan sangat terasa, persahabatan dijalan terus di uji ketika kamu dapat bertahan dengan sikap sahabat-sahabat yang perlahan akan menjadi keluarga baru. Jalan raya bagaikan rumah bagi mereka, tidak pernah ada orang yang boleh mengganggu keluarga mereka di jalan. Bagaimana pun juga, jalan raya akan terus menjadi tempat mereka bermain dan tinggal, tidak peduli seberapa keras kehidupan di jalan. Rasa malu sudah hilang dalam hati mereka, yang ada hanya rasa ingin menghibur para pengguna jalan lain.
Kategori
Arsip
Blogroll
- Masih Kosong