Tugas Komunikasi Gender

07 February 2020 16:19:33 Dibaca : 516

Analisis Perlindungan Hukum terhadap Perempuan dalam Perbuatan Zina Tanpa Ikatan Perkawinan

Pendahuluan

 

Zina adalah setiap persetubuhan yang terjadi bukan karena pernikahan yang sah, bukan karena syubhat, dan bukan pula karena pemilikan (budak). Secara garis besar pengertian ini telah disepakati oleh para ulama Islam, meskipun mereka masih berselisih pendapat tentang penerapan hukumannya.

 

Maraknya kasus perzinaan yang terjadi dan terus meningkat pada kalangan anak-anak muda, mahasiswa bahkan juga orang yang sudah menikah sangatlah meresahkan masyarakat. Karena hal itu dikhawatirkan akan merusak moral seseorang.

 

Di samping rusaknya moral sesorang, dengan terjadinya kasus perzinaan yang terus meningkat ditakutkan akan menimbukan beberapa penyakit diantaranya HIV, AIDS, Sipilis dan lain sebagainya. Dan jika hal itu sudah terjadi, tentunya saja orang yang merasa dirugikan bukan hanya si pelaku, namun orang disekitarnya pasti merasa dirugikan. Apalagi jika si pelaku tertangkap tangan dalam melakukan perzinaan ataupun terkena penyakit dari apa yang telah dia lakukan, pasti keluarga, daerah, bahkan kerabat-kerabatnya akan merasa malu dan terbebani atas apa yang telah dia lakukan. Belum lagi kalau dari apa yang telah dia lakukan bisa menimbulkan lahirnya seseorang, tentunya orang yang lahir dari hubungan perzinaan akan merasa malu dan tidak jelas nasib serta keturunannya.

 

Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia, yang merupakan peninggalan penjajah Belanda, mengatur mengenai perzinaan di Pasal 284 KUHP. Definisi perzinaan dalam Pasal 284 KUHP tersebut, terdapat perbedaan makna yang mendasar dengan pengertian perzinaan, menurut Hukum Islam dan Hukum adat yang hidup dan diyakini oleh sebagian besar masyarakat.

 

 

Pasal 284 KUHP menyatakan bahwa perzinaan adalah hubungan seksual diluar nikah yang dilakukan oleh sepasang manusia berbeda kelamin, yang keduanya telah dewasa dan salah satu atau keduanya terikat pernikahan dengan pihak lain, penuntutan hanya dapat dilakukan dengan didahului pengaduan oleh pihak suami atau istri yang merasa dirugikan .

 

Perbedaan perasaan hukum masyarakat dengan aturan hukum positif ini, dapat dipahami karena adanya perbedaan pandangan hidup, nilai dan norma yang dianut. Pemerintah Belanda sebagai pihak pembuat undang-undang, telah memaksakan nilai-nilai yang dianutnya. Dalam pandangan "Barat" yang individualistik-liberalistik, hak-hak dan kebebasan individu (termasuk bidang hukum seksual/moral) sangat menonjol dan dijunjung tinggi; bahwa hubungan seksual itu bersifat individual, bebas, dan tanpa paksaan (suka sama suka), hal demikian dipandang wajar dan tidak tercela. Oleh karena itu, wajar perzinaan dan lembaga perkawinan dipandang bersifat sangat pribadi. Konsekuensi logis selanjutnya, wajar pula perzinaan dipandang sebagai delik aduan.

 

Pasal tentang perzinahan dalam KUHP, belum efektif untuk mengatasi permasalahan zina yang terjadi di lingkungan masyarakat. Hal itu dapat terlihat dari kasus perzinahan dikalangan remaja maupun mahasiswa yang semakin marak. Pergeseran nilai kesusilaan dalam masyarakat tertentu pun telah terjadi, yang dapat dilihat dari perilaku sebagian pelaku zina yang semakin berani dan tidak tercermin rasa bersalah.

 

Dalam KUHP tidak ada penjelasan ataupun ancaman bagi pria maupun wanita yang belum terikat perkawinan yang melakukan perbuatan zina, oleh karena itu maraknya perbuatan zina diluar perkawinan sulit untuk diberikan sanksi. Hal tersebut dilakukan atas dasar suka sama suka dan tidak adanya unsur paksaan dari salah satu pihak.

 

Syarat lain yang perlu diperhatikan agar perbuatan melakukan hubungan kelamin antara seorang pria dengan seorang wanita yang salah satu atau keduanya telah kawin dapat disebut sebagai delik perzinahan menurut KUHP adalah bahwa tidak adanya persetujuan di antara suami isteri itu. Artinya jika ada persetujuan di antara suami dan isteri, misal suami yang bekerja sebagai mucikari dan isterinya menjadi pelacur bawahannya maka perbuatan semacam itu bukanlah termasuk perbuatan zina.

 

Pandangan masyarakat demikian ini tidak jauh berbeda dengan pandangan Sahetapy perbuatan bersetubuh yang tidak sah berarti persetubuhan yang bukan saja dilakukan oleh suami atau isteri di luar lembaga perkawinan, tetapi juga persetubuhan yang dilakukan oleh pria dan wanita di mana keduanya belum menikah, kendatipun sudah bertunangan. 

Kategori

  • Masih Kosong

Blogroll

  • Masih Kosong