Analisis pendekatan psikologi behavioristik
PERWATAKAN TOKOH IBU DALAM NOVEL IBU, DOA YANG HILANG KARYA BAGAS DWI BAWONO DAN IBUKU TAK MENYIMPAN SURGA DI TELAPAK KAKINYA KARYA TRIANI RTENO: SEBUAH PENDEKATAN PSIKOLOGI BEHAVIORISTIK
ANALISIS
Ditulis untuk Memenuhi Nilai Ujian Akhir Semester pada Mata Kuliah Membaca Sastra yang Diampu oleh Dr. Ellyana Hinta, M.hum.
Oleh
Debbi Sintia Rahim
NIM 311415053
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
FAKULTAS SASRTA DAN BUDAYA
JURUSAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
NOVEMBER 2016
PENDAHULUAN
Karya sastra lahir karena adanya daya imajinasi yang di dalamnya terdapat
ide, pikiran, dan perasaan seorang pengarang. Daya imajinasi inilah yang mampu membedakan antara karya sastra satu dengan karya sastra lain. Hal ini disebabkan masing-masing pengarang mempunyai kemampuan daya imajinasi dan kepandaian untuk mengungkapkan ide dalam bentuk tulisan yang berbeda. Menurut Pradopo (2003: 61) karya sastra merupakan gambaran hasil rekaan seseorang dan menghasilkan kehidupan yang diwarnai oleh sikap, latar belakang dan keyakinan pengarang. Karya sastra lahir di tengah-tengah masyarakat sebagai hasil imajinasi pengarang serta refleksinya terhadap gejala-gejala sosial yang ada di sekitarnya.
Dalam kaitannya dengan sastra, psikologi merupakan ilmu bantu yang relevan karena dari proses pemahaman karya sastra dapat diambil ajaran dan kaidah psikologi. Untuk menganalisis perwatakan yang terdapat dalam novel, penulis menggunakan pendekatan psikologi behavioristik. Dapat menemukan
Alasan penulis menggunakan pendekatan psikologi behavioristik ini agar dapat menemukan perbedaan dan persamaan penggambaran watak tokoh Ibu dari kedua novel yaitu Ibu Doa yang Hilang karya Bagas Dwi Bawono dan Ibuku Tak Menyimpan Surga di Telapak Kakinya karya Triani Retno
LANDASAN TEORI
1. Pengertian Psikologi Behavioristik
Menurut Endraswara (2008:56) Pendekatan psikologi behavioristik ialah pendekatan yang berpijak pada anggapan bahwa pribadi manusia adalah hasil bentukan lingkungan tempat ia berada dan perilaku manusia disikapi sebagai respons yang akan muncul kalau ada stimulus tertentu yang berupa lingkungan yang melatarinya”.
Pendekatan yang digunakan dalam analisi ini adalah pendekatan psikologi behavioristik. Pendekatan psikologi behavioristik digunakan untuk melihat perwatakan para tokoh dalam cerita dan menentukan dasar tindakan atau tingkah laku tokoh yang dapat diamati dari lingkungan tempatnya berada. Hal ini
2. Pengertian Tokoh
Istilah tokoh merujuk pada orangnya, pelaku cerita. Watak, perwatakan, dan karakteristik, menunjuk pada sifat dan sikap para tokoh seperti yang ditafsirkan oleh pembaca, lebih merujuk pada kualitas pribadi seorang tokoh. Tokoh dalam fiksi merupakan ciptaan pengarang, meskipun juga gambaran dari orang-orang yang hidup di alam nyata. Oleh karen itu, dalam sebuah fiksi tokoh hendaknya dihadirkan secara ilmiah. Dalam arti tokoh-tokoh itu memiliki kehidupan atau berciri hidup (Wiyatmi, 2006:30). Cara pengarang menampilkan tokoh atau pelaku itu disebut penokohan. Penokohan yang menunjuk pada penempatan tokoh-tokoh tertentu dengan watak tertentu dalam sebuah cerita.
3. Pengertian Perwatakan
Perwatakan adalah cara pengarang menggambarkan para tokoh di dalam cerita. Perwatakan terdiri atas tokoh cerita, yaitu orang-orang yang terlibat secara langsung sebagai pemeran sekaligus penggerak cerita dan orang-orang disertakan di dalam cerita. Cara pengarang menggambarkan para tokoh cerita ialah dengan secara langsung dijelaskan nama tokoh bserta gambaran fisik, kepribadian lingkungan , kehidupan, jalan pikiran, proses, berbahasa, dan lain-lain. Dapat juga dengan cara tidak langsung, yaitu melalui percakapan/dialog, di gambarkan oleh tokoh lainnya, reaksi tokoh lain, pengungkapan kebiasaan tokoh, jalan pikiran, atau tindakan saat menghadapi masalah.
PEMBAHASAN
1. Hasil Analisis
Berdasarkan teori di atas maka saya menemukan hasil analisis saya berupa kpsikologi tokoh Ibu yang berada dalam novel Ibu, Doa yang Hilang karya Bagas Dwi Bawono dan Ibuku tak Menyimpan Surga Ditelapak Kakinya karya Triani Retno. Berikut adalah gambaran karaketer tokoh Ibu pada ke dua novel tersebut.
A. Tokoh Ibu dalam Novel Ibu, Doa yang Hilang Karya Bagas Dwi Bawono
Ibu merupakan tokoh sampingan sekaligus tokoh protagonis dalam cerita, Ibu adalah seorang penjahit yang tinggal di Bojonegoro. tokoh ibu digambarkan sebagai seorang yang berperan ganda menjadi sosok ayah pengganti. Ditengah himpitan ekonomi yang pelik, tapi sang ibu terus berjuang mengkais rejeki. Demi memastikan kebutuhan anaknya terpenuhi. Dari menjahit baju, membuka kursus menjahit, perias pengantin, sampai berjualan permen sirsak. Siang malam ibu bekerja tiada henti. Hal ini dapat dibuktikan pada kutipan berikut.
Data 1
“Ibu ngajar rias pengantin juga to sekarang?” aku bertanya
“iya le, Kan sebentra lagi kamu kuliah, jadi ibu harus punya banyak tabungan..”
Aku terdiam. “tapi, bukannya ibu sudah lama sekali ikutan kursus rias pengantinnya?”
“itulah le, makanya, sebelum ibu lupa, maka ibu ajarkan kepada murid-murid ibu”. “ilmu itu, kalau tidak diamalkan, akan jadi sia-sia le” ibu tertawa lebar
Aku tahu, ibu bercanda.
Aku tahu, ibu sedang khawatir. Khawatir bila ibu tak bisa menyekolahkan kami hingga lulus sarjana, sebab kondisi keuangna ibu saat itu memang sangat memprihatinkan.
Saat itu aku baru menyadari, jika aku mempunyai seorang ibu yang luar biasa. Yang mau dan mampu melakukan apa saj demi anak-anaknya. Ibu mengajar TK, ibu menjahit, menjual baju-baju konveksi, ibu memberi kursus menjahit dan sekarang merias pengantin.
“kamu harus bisa melakukan pekerjaan apapun le, selama kamu melakukan hal-hal yang baik dan bertanggung jawab, jangan malu dan jangan pernah berkecil hati. Sebenarnya tak ada ujian dan cobaan yang terlalu berat bagi manusia, justru dengan terus bekerja, harkat kemanusiaanmu akan naik.”
Ibu memang sangat kreatif, ada saja yang dilakukannya untuk memenuhi kebutuhan anak-anaknya. (IDYH, 2014: 185-186)
Data 2
“Ayo le sarapan dulu” Ibu menarik satu kursi untukku.
Lalu aku bergabung dengan mereka berdua dan mulai makan, sambil terus berpikir.
“Kenapa omlet buat ibu tadi pagi kok di makan istriku” tanyaku dalam hati.
Sedangkan ibu malahan asyik makan masakan si mbak, pembantu yang datang tiap pagi dan pulang siang, untuk memasak dan mengurusi cucian.
Ketika selesai mkana, ibu angkat bicara.
“istrimu dapat surprise, seneng tuh, ulang tahun perkawinan dapat kado sarapan dari kamu”
Deg...! aku kaget. Memang selama ini kami berdua tidak pernah ingat, apalagi merayakan ulang tahun perkawinan kami. Selama ini kami hanya merayakan ulang tahun kami saja. Aku tertegun. Perasaanku campur aduk.
Setelah saling mengucapkan selamat, aku pamit berangkat kantor.
Rupanya ibu sangat paham semua detail peristiwa di antara kami. Mulai dari ulang tahun, weton atau hari kelahiran menurut penanggalan jawa, hobi, hingga kebiasaanku di rumah setiap harinya. Dan hebatnya ibu bisa memanfaatkan momen-momen itu untuk menjadikannya lebih memiliki arti, baik bagi kami sendiri, maupun bagi anak-anak kami. (IDYH, 2014: 3-4)
Dari kutipan di atas, tokoh ibu digambarakan sebagai orang tua yang selalu menginginkan kehidupan rumah tangga anaknya bahagia. Ibu selalu berusaha agar masalah-masalah kecil dalam rumah tangga anaknya tidak terjadi, tetapi bukan berarti sang ibu mencampuri urusan rumah tangga anaknya.
Data 3
Mataku masih kriyip-kriyip, ketika aku mendengar suara agak gaduh ruang tengah. Sepulang sekolah memang badanku agak demam. Maka setelah makan aku minum obat, lalu tidur.
Aku beranjak keluar. Kakiku menyeret sandal. Ada beberapa ibu-ibu tetanggaku. Mereka duduk di ruang tengah. “braaak...” tiba-tiba ibu menggebrak meja. Dan semua ibu-ibu itu tiba-tiba senyap, tak ada yang berani bersuara.
Aku semakin penasaran, ada apa ini. Aku berdiri penyekat kamarku, menguping “saya Cuma mau tanya ke Bu Tatik, siapa yang pertama kali menyebar cerita fitnah itu...” ruangan berdengung, ibu-ibu itu mulai sibuk menyalahkan.
Braaaak...!
“Semua diam, kecuali Bu Tatik...., Hayo jawab!
“ss...sss...sa...yy...ya, cu....Cuma d..denger.... k...kk...kabar dari bu Alus”
“sekarang jawab, Bu Alus dapat kabar dari mana.....?!” “aku di ceritain sama dia nih....” Ia menunjuk Bu Kasan. Bu Kasan gelagapan.
Ruangan jadi hening, hingga akhirnya didapatkan satu kesimpulan, bahwa cerita bohong tentang ibu itu berasal dari mantan penjahit yang dulu pernah membantu ibu. Dia ini dipecat karena memakai uang titipan dari pelanggan yang seharusnya diserahkan kepada ibu.
Ketika permasalahan sudah clear, mereka semua bersalaman, dan minum teh bersama-sama. “sebuah masalah, tak akan pernah menjadi masalah jika kita bisa menaganinya dengan tepat” ibu membuka pembicaraan, seakan ibu tahu bahwa sedari tadi aku menguping dari balik dinding penyekat yang memisahkan ruang tidur dengan ruang tengah.
“bicara, itu kuncinya. Sesekali memang dibutuhkan ketegasan. Bila perlu menggrebek meja, sebab, kalau tak begitu. Kita ini selalu diremehkan.” (IDYH, 2014: 130-131)
Berdasarkan kutipan di atas, tokoh ibu digambarkan sebagai seorang yang tegar dalam menghadapai celaan-celaan dari tetangga sekitar rumah mereka, karena status yang di sandang seorang ibu sekarang adalah single parent pada masa itu hidup menjadi seorang janda adalah hal yang sangat sulit karena tidak bisa salah sedikit langsung di celah dan dinilai masyrakat tidak baik, bukan hanya itu jika seorang janda tinggal di lingkungan yang rumahnya padat dan ramai akan menjadi bulan-bulanan dan sasaran empuk gosip murahan para tetangga. Tokoh Ibu juga sangat pintar mengendalikan emosi dan mencairkan suasana ketika menghadapi permasalahan.
Data 4
Tokoh Ibu yang digambarkan oleh pengarang adalah sosok yang sangat disiplin dan keras terhadap mendidik anak-anaknya. hal itu dapat di buktikan dalam kutipan berikut ini.
“Ibu tak mau mendengar alasan dan penjelasan apapun....! berkelahi adalah salah....! berkelahi bukan cara manusia terhormat menyelesaikan masalah, itu cara bintang. Sudah, ibu tak mau dengar apa-apa lagi. Titik!” (IDYH, 2014:139)
Tokoh ibu dalam novel ini adalah sosok wanita yang sangat terbebani karena sudah di tinggal pergi oleh suaminya, sementara harus membesarkan kedua anaknya yang masih kecil. Hal tersebut dapat kita lihat dalam kutipan berikut.
“Jika ibu sedang menanggung beban pikiran yang sangat berat, biasanya penyakit ini muncul. Kami berkesimpulan, bahwa penyakit ini muncul karena ibu selalu menyimpan perasaan dalam-dalam, sehingga menjadi beban tak teruangkap yang sangat berat. Begitu beratnya beban ini, sehingga bisa mempengaruhi kesadaran beliau” (IDYH, 2014:137)
Data 5
Tokoh Ibu dalam novel Ibu Doa yang Hilang karya Bagas Dwi Bawono ini adalah seoarang wanita yang sangat menyangi anak-anaknya. Hal tersebut dapat dibuktikan pada kutipan berikut.
“Pagi itu sebelum aku berangkat kantor, ibu pamit. Sebelum bernjak maniki bajaj, ibu menyelipkan sebuah amplop di sakuku.”kamu lebih membutuhkan ini daripada ibu” lalu keningku dicium seperi biasa.
“Di kantor, aku membuka amplop itu, sebuah kertas bergaris dengan tulisan tangan ibu. Dibalik kertas itu ada uang limaratus ribu. Aku terpaku.
Ya Allah, genap lima bulan aku kirimkan uang buat ibu, dan sekarang uang itu seluruhnya diberikannya lagi kepadaku. Aku percaya, sebesar apapun cintaku kepada ibu, tak akan bisa menandingi kasihnya kepadaku (IDYH, 2014: 78-81)
Selain itu Ibu adalah guru terbaik untuk anaknya karena Ibu mampu memberi nasehat yang dapat memotivasi semua orang yang membaca novel tersebut. Hal itu dapat dibuktikan melalui kutipan dibawah ini.
”kalau dulu, ibu berjuang keras demi sekolah kamu dan masmu, maka sekarang berjuanglah demi sekolah anak-anakmu. Berjuanglah untuk pendidikan anak-anaknya pegawai-pegawaimu. Ingatkan mereka semua, pendidikan adalah nomer satu. Harus diperjuangkan, ingat-ingat ya le. Hanya pendidikan yang akan menyelamatkan masa depan anak-anak”
“Hidup itu harus membawa manfaat. Yang pertama, manfaat buat kamu sendiri, itu saat kamu sekolah dulu..., mencari ilmu, manfaat yang kedua, untuk keluargamu..., kamu sudah bekerja keras untuk itu le, ibu tahu. Jika keluargamu sudah tercukupi, maka yang ketiga, manfaatkan hidupmu itu untuk sesama, untuk orang-orang disekitarmu, lakukanlah hal-hal yang baik dan bisa membawa kebaikan” (IDYH, 2014:232)
B. Tokoh Ibu dalam Novel Ibuku Tak Menyimpan Surga di Telapak Kakinya Karya Triani Retno
Ibu merupakan tokoh sampingan sekaligus tokoh antagonis, dalam novel ini pengarang menggambarkan sosok ibu yang jauh berbeda dengan ekspektasi-ekspektasi kita yang mengaggap ibu itu adalh tempat kita untuk berlindung. Tokoh ibu dalam novel Ibuku Tak Menyimpan Surga di Telapak Kakinya ini adalah sosok wanita yang malas untuk bekerja banting tulang demi menghidupi anaknya, yang ada hanya meminta gaji bulanan anaknya, untuk mengisi perut mereka sehari-hari, karena anaknya sekarang sudah bekerja sambil kuliah. Pernyataan di atas dapat di buktikan melalui kutipan berikut.
Data 1
“Emangnya beli air bersih kagak pakai duit, mel ? Sergah Ibu. “Duit, Mel...! Duit....” Amelia terdiam lagi. Mengingat-ingat tanggal hari ini. Baru tanggal empat belas. Baru tengah bulan. Seharusnya masih banyak. “nanti, Amel tinggalin uang buat beli air,” Ia enggan bertanya tentang ke mana perginya uang yang tiap awal bulan ia berikan kepada Ibu” (ITMSDTK, 2012: 74)
Data 2
Dalam novel Ibuku Tak Menyimpan Surga di Telapak Kakinya ini penulis menggambarkan tokoh ibu sebagi wanita yang tak berperasaan, Ibu rela mnejual anaknya hanya demi kesenangannya sendiri, hanya demi harta, hanya demi ingin hidup enak, kaya raya. Dan sosok Ibu yang tidak pernah puas dengan apa yang sudah dimilkinya sekarang. Pernyataan di atas dapat dibuktikan pada kutipan di bawah ini.
“Bu Wati mau ngejodohin si Harun itu sama Amel, Pak,” Kata Bu Amir. “Amel mau?”. Bu Amir berdecak kesal. “Bapak gimana, sih? Udah tau Amel kagak ada di rumah. Mana gue tau si Amel mau apa kagak!” Pak Amir tak menggubris omongan istrinya itu.
“Kalo kata gue sih, kita terima aja tawaran Bu Wati, Pak, Asyik kan kalo punya mantu kaya seperti si Harun itu,” kata Bu Amir.
Bu Amir bersandar di dinding dengan bibir menyungging senyum. “Hidup kita bakal enak, Pak. Si Amel tiap bulan ngasih uang satu juta buat kita. Nah, kalo si Harun udah jadi lakinya, pasti ngasih uang bulanan juga dong, buat kita. Ya... kalo si Harun segen ngasih langsung ke kita, dia kan bisa ngasih ke Amel dulu. Jadi, yang dikasih si Amel buat kita bakal banyak. Paling enggak... dua huta, dah tiap bulannya. Masih ditambah lagi dengan uang pensiun bapak. Yah... uang pensiunnya kecil siiiih... tapi lumayanlah buat bayar-bayar arisan ,” Celoteh Bu Amir.
Bu Amir tersenyum girang. Lembar-lembar uang menari-nari dalam pandangan matanya.” (ITMSDTK, 2012: 151-153)
Dalam novel karya Triani Retno ini pengarang menggambarkan Tokoh Ibu sebagai seorang yang serakah Sikap Ibu Amir mencerminkan, kalau dalam hidup ini ada ibu yang tidak bisa menghargai dan mensyukuri hasil kerja keras anaknya sendiri padahal seorang ibu harus bersyukur bila anak bisa meringankan bebannya. Hal itu dapat di buktikan pada kutipan berikut ini.
“Ibu meludah ke lantai. Cuma delapan ratus ribu sebulan. Mana cukup buat gue sama bapak lu hidup? Memangnya, gue harus jadi pengemis di pingir jalan?”
“Amel kan pernah kirim dua juta. Buat modal”. “Enak aja lu ngomong! Lu mau nyuruh gue jadi tukan jualan? Iye? Dasar anak durhaka lu! Utang lu sama gue aja belum lunas malah nyuruh gue kerja jadi tukang jualan!” Maki Bu Amir (ITMSDTK, 2012: 301)
Data 3
Dalam novel ini pengarang menggambarkan perilaku atau watak dari seoarang ibu yang sangat membenci anaknya bahkan ingin membunuh anak kandungnya sendiri karena sang anak tak pulang ke rumah. Hal itu dapat dibuktikan pada kutipan di bawah ini.
”Dasar anak kagak tau diri, tuh, si Amel. Susah-susah gue urus dia dari kecil. Bela-belain gue keluarin duit banyak buat nyekolahin dia, gedenya jadi gini. Tau bakal gini, mending dulu gue cekik aja sekalian biar mampus” (ITMSDTK, 2012: 197)
Data 4
Dalam novel ini pengarang menggambarkan perwatakan seorang ibu yang sangat tidak terpelajar, semua kata-kata yang keluar dari mulutnya tidak pernah ia fikir lagi, apakah kata itu dapat melukai hati orang lain atau tidak, seorang ibu yang suka memaki dan menghina anaknya sendiri sampai-sampai menyumpahi anaknya. Pendapat di atas dapat dibuktikan pada kutipan berikut ini.
“jadi lu lebih suka jadi perek? Daripada kawin? Tanya Bu Amir.
“Perek? Tanya Amelia dengan suara lirih. Hatinya semakin sakit mendengar satu kata itu. Entah sudah berapa kali satu kata itu terucap dari mulut ibunya dalam waktu tak sampai satu jam ini. Tak adakah kata lain yang bisa diucapkan oleh ibu? (ITMSDTK, 2012: 230)
“kalau lu kagak mau kawin sama dia, lu bener-bener anak durhaka. Sampai aja lu kagak mau kawin sama dia, gue sumpahin lu kagak masuk surga” (ITMSDTK, 2012:239)
“Naik ke kamar lu san!” Kata Bu Amir. “Muak gue ngeliatin muka lu yang kayak taik kucing itu!” (ITMSDTK, 2012: 204)
2. Perbedaan Psikologi Tokoh Ibu dalam Novel Ibu, Doa yang Hilang Karya Bagas Dwi Bawono dan Ibuku Tak Menyimpan Surga di Telapak Kakinya Karya Triani Retno
Berdasarkan data-data di atas dan berdasrkan hasil analisis saya terhadap kedua novel ini maka saya menemukan perbedaan yang sangat terlihat. Berikut adalah penjelasannya.
Baru melihat judul yang disajikan pada sampul novel Ibuku Tak Menyimpan Surga di Telapak Kakinya ini kita pasti sudah berfikir bahwa tokoh Ibu yang ada dalam novel ini sangatlah jauh dari julukan ibu yang selama ini kita sebut sebagai pahlawan tanpa tanda jasa, malaikat tak bersayap dan semacamnya. Berbeda dengan judul yang disajikan pada novel yang kedua yaitu, Doa Ibu yang Hilang.
Dalam Novel karya Triani Retno ini di gambarkan secara jelas bahwa seorang ibu yang tak menginginkan anaknya sukses dalam dunia pendidikan, seorang ibu yang malas banting tulang bekerja demi sekolah anaknya. Ibu hanya sekedar membiayayi sekolah anaknya sampai SMA tanpa memperdulikan keinginan anaknya yang masih mau untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Hal itu dapat diperkuat melalui kutipan berikut.
“Ya udah. Karena sekarang lu udah lulus SMA, berarti tugas gue udah selesai. Gue mau berhenti kerja. Capek gue kerja terus sejak lu masih kecil, Mel..”
“Tapi, Amel masih ingin sekolah, Bu
“sekolah apa lagi/ kan lu udah lulus sekolah.”. “Amel ingin kuliah. “Kuliah? Memangnya, kalau kuliah kagak perlu bayar?” “Ya bayar”, “Bayar? Itu sih, namanya enak di elu kagak enak di gue! Pokoknya, gue kagak mau tau. Karena sekolah lu udah selesai, gue mau berhenti kerja. Capek gue. Dari lu kecil gue jadi pembantu, nyariin duit buat lu. Sekarang, giliran lu yang nyariin duti buat gue!
Berbeda dengan sosok Ibu yang di gambarkan dalam novel karya Bagas Dwi Bawono, seorang Ibu yang rela kerja apa saja, rela banting tulang agar anaknya bisa sekolah sampai lulus sarjana, sosok Ibu yang sangat kreatif, mengasihi anaknya, pekerja keras dan berperilaku layaknya guru yang bisa menjadi panutan untuk anak-anaknya. Hal itu dapat dibuktikan dalam kutipan berikut ini.
“Le, sebelum meninggal, ayahmu berpesan. Beliau tidak biasa meninggalkan warisan, karena kita memang orang gak punya, le. Ayahmu bilang, bahwa beliau hanya bisa meninggalkan sebuah amanah, bahwa apapun yang terjadi, sesusah apapun hidup kita, bahakna harus tidak makan sekalipun, anak-anak ayah dan ibu semuanya harus sarjana. Semuanya” (DIYH, 2014:29)
3. Persamaan Psikologi Tokoh Ibu dalam Novel Ibu, Doa yang Hilang Karya Bagas Dwi Bawono dan Ibuku Tak Menyimpan Surga di Telapak Kakinya Karya Triani Retno
Walaupun dari segi perwatakan seorang Ibu kita sangat melihat perbedaannya, tetapi ada hal yang sama antara kedua sosok Ibu dalam novel Doa, Ibu yang Hilang Karya Bagas Dwi Bawono dan Ibuku Tak Menyimpan Surga di Telapak Kakinya Karya Triani Retno yaitu sama-sama mengahatirkan anaknya.
Dalam novel karya Triani Retno tokoh Ibu sangat gelisah karena sudah berapa hari anaknya tidak pulang ke rumah, walau ia benci terhadap anaknya tetapi sesungguhnya dalam hatinya ia sangat khawatir bila ia tak melihat wajah anaknya sehari saja. Pendapat tersebut dapat dibuktikan pada kutipan berikut.
“Katanya kerja , katanya kuliah... tapi dua hari kagak pulang-pulang. Ini udah hari ketiga” (ITMSDTK, 2012: 197)
Hal serupa juga digambarkan oleh pengarang pada tokoh Ibu dalam novel Ibu, Doa yang Hilang ketika anaknya sakit ibunya sangat khawatir. Walau dirinya dalam keadaan lemah tak berdaya masih saja mengingatkan anaknya untuk minum obat agar sakitnya lekas sembuh. Sungguh Ibu yang sangat menyayangi anaknya. Hal itu dapat di buktikan pada kutipan berikut.
“Kamu kenapa Le...? sakit perut?
“Emmm, Anu. Gak papa Bu “aku berusaha menutupi rasa mules diperut.
“Ambilin tas plastik kecil warna putih itu di dalamnya ada obat namanya Buscovan kamu minum. Biar reda itu mulesmu” aku masih tidak percaya bahwa dalam kondisi lemah dan lemas seperti itu, ibu bisa tahu dengan tepat keluhanku, bahkan beliau menyarankan obat yang efektif.” (DIYH, 2014:231)
SIMPULAN
Berikut adalah ulasan singkat saya mengenai secara keseluruhan novel Ibu Doa yang Hilang Karya Bagas Dwi Bawono
Ibu, Doa yang Hilang adalah sebuah kumpulan kisah nyata yang dialami oleh penulisnya tentang bagaimana ibunya, seorang single mother yang telah menjadi janda di usia 37, saat penulis masih berusia 8 tahun berjuang membesarkan kedua anaknya dalam kesendirian.
Buku ini memuat 29 kisah inspiratif tentang keseharian yang dialami penulis dengan ibu tercinta beserta keluarganya mulai dari kenangan paling awal ketika keluarga penulis masih lengkap, meninggalnya sang ayah, perjuangan tanpa lelah dan suka duka seorang ibu yang membesarkan kedua anaknya hingga dewasa, hingga kisah bagaimana akhirnya sang ibu berpulang ke haribaan-Nya beserta kenangan-kenangan manis dan teladan yang ditinggalkannya.
Karena ditulis oleh orang yang mengalami langsung dan ditulis dalam kalimat-kalimat yang sederhana tentang kisah-kisah keseharian yang mungkin pernah kita alami juga maka seluruh kisah dalam buku ini terasa dekat dan begitu kuat menyentuh hati pembacanya. Selain itu, seluruh kisah dalam buku ini juga sarat dengan contoh keteladanan figur seorang ibu yang bisa menginspirasi kita semua untuk berjuang tanpa lelah demi anak-anak kita, selain itu. Masing-masing kisah dalam buku ini juga ditulis dengan tidak terlalu panjang sehingga diperlukan waktu yang tidak terlalu lama untuk membaca seluruh kisah inspiratif yang ada dalam buku ini. Sayangnya ke 29 kisah dalam buku ini tidak ditulis secara kronologis waktu sehingga terkesan melompat-lompat, maju-mundur dari satu kisah ke kisah yang lainnya. Yang terasa agak mengganggu adalah di kisah-kisah akhir yang menceritakan masa-masa akhir hidup sang ibunda. Setelah dikisahkan sang ibu telah meninggal tiba-tiba di kisah berikutnya sang ibu diceritakan masih ada. Mungkin akan lebih baik jika kisah-kisahnya disusun berdasarkan kronologis waktu.
Namun terlepas dari hal itu buku ini saya rasa sangat baik untuk dibaca dan dimaknai oleh kita semua baik itu para ibu maupun kita yang adalah anak-anak yang dilahirkan dari rahim seorang ibu. Melalui buku ini kita akan disadarkan akan arti ketulusan cinta suci dan keteladanan dari seorang ibu hingga akhir hayatnya. Selain itu di buku ini ada banyak kutipan-kutipan inspiratif yang juga dituliskan kembali di lembar khusus di setiap akhir kisahnya, hal ini tentunya akan memudahkan kita untuk menemukan dan membaca kembali kutipan-kutipan inspiratif yang ada di tiap kisahnya.
Bagi para orang tua, khususnya para single mother buku ini tentunya sangat mengisnpirasi dan dapat menjadi sebuah penyemangat sekaligus menyadarkan bahwa dalam kondisi sesulit apapun mendidik anak-anak haruslah menjadi prioritas utama dan tugas mulia yang harus terus dilakukan dan diperjuangkan hingga akhir hayat.
Berikut adalah ulasan singkat saya mengenai secara keseluruhan novel Ibuku Tak Menyimpan Surga di Telpak Kakinya Karya Triani Retno
Sosok ibu sebagai orang yang telah melahirkan anak-anaknya seharusnya dan sepantasnya untuk dihormati. Segala titah yang diberikan wajib ditunaikan sebagai bentuk penghormatan dan pengabdian kepada orangtua. Tak heran, jika dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa, orang pertama yang wajib dihormati adalah seorang ibu. Bahkan, juga dikatakan surga itu ada di telapak kaki ibu.
Siapa pun, sebagai seorang anak tentu tidak ada yang mau menjadi anak durhaka yang selalu membangkang dan membantah apa yang dikatakan seorang ibu. Tapi, haruskah seorang anak patuh pada seorang ibu yang berusaha menjerumuskan anaknya pada jalan yang salah? Seorang ibu yang selalu menyakiti fisik dan batin anak-anaknya? Masihkah sosok ibu seperti itu menyimpan surga di telapak kakinya?
Dalam novel Ibuku Tak Menyimpan Surga di Telapak Kakinya Triani Retno A. berusaha menguak sisi gelap seorang ibu. Seorang perempuan yang tak sepenuhnya menyayangi buah hatinya. Jangankan menyayangi, sosok ibu yang diceritakan penulis kerap melakukan penyiksaan secara fisik pada anaknya. Bahkan, sosok ibu itu tampil sebagai seorang perempuan yang kasar, culas dan tak menyimpan sedikit pun rasa cinta dan kasih sayang pada anaknya.
Adalah Amelia Citra, seorang gadis yang sejak kecil diperlakukan tidak baik oleh ibu kandungnya sendiri. Ibunya yang menikah di usia belia itu selalu menyiksa dan memukuli Amelia dengan benda-benda yang meninggalkan bekas pada tubuh gadis malang itu. Entah, Amelia juga tidak bisa menerka seperti apa isi hati dan pikiran ibu yang memperlakukannya seperti binatang (ITMSDTK, 2012: 287)
Penyiksaan dan lontaran sumpah serapah yang diterima Amelia menjadikannya sosok yang tangguh. Dia sudah terbiasa dengan perlakuan kasar ibunya. Sementara itu, Bapak Amelia, yang diharapkan Amelia menjadi pembela dan pelindungnya ketika mendapat perlakuan kasar hanya bergeming. Bapak seolah-olah acuh dengan sikap yang dilakukan ibunya.
Selepas SMA, tuntutan demi tuntutan kerap ibu lancarkan pada Amelia. Ibu ingin Amelia mengganti semua biaya hidup yang dikeluarkannya sejak Amelia kecil hingga lulus SMA. Mau tidak mau Amelia pun harus bekerja sambil kuliah. Demi mewujudkan cita-cita dan memenuhi tuntutan ibunya, Amelia harus membagi waktu antara bekerja dan kuliah. Amelia mengambil kuliah kelas eksekutif yang dilaksanakan pada malam hari (ITMSDTK, 2012: 50)
Namun, ibu Amelia tidak pernah berusaha memahami posisi anaknya. Dia lebih terpengaruh gunjingan tetangga ketimbang memahami anaknya yang bekerja di siang hari dan kuliah di malam hari. Karena sering pulang malam, para tetangga mengguncing Amelia sebagai perempuan yang “tidak benar”. Penjelasan yang diberikan Amelia tidak membuat ibunya paham. Sebaliknya, ibunya selalu marah-marah tidak keruan. Padahal, biaya hidup sehari-hari keluarga kecil itu sudah Amelia yang menanggung dari hasil kerjanya sebagai tenaga administrasi di sebuah pabrik daging (ITMSDTK, 2012: 113)
Sementara di tempat kerja, Amelia juga tidak bisa hidup tenang. Bu Rini, atasannya yang merasa tersaingi dengan kehadirannya selalu berbuat ulah. Amelia difitnah dekat dengan manajernya, Pak Yos. Bahkan, ada seseorang yang menyebarkan foto vulgar hasil rekayasa yang menampakkan wajah Amelia (ITMSDTK, 2012: 120)
Amelia masih bersyukur dalam hidupnya mempunyai seorang sahabat yang tulus dan selalu mendengarkan keluh-kesahnya. Santi, teman kuliahnya yang ternyata adalah perempuan malang yang waktu kecil dibuang di tempat sampah dan diasuh di sebuah panti asuhan itu, yang membuat Amelia selalu bersabar dan mensyukuri hidup. Meskipun dia tidak pernah mengerti dengan sikap ibunya yang selalu berbuat kasar, tidak hanya pada fisik tapi juga hatinya.
Novel ini adalah potret buram seorang ibu yang tidak seharusnya menjadi contoh. Sosok ibu seperti Bu Amir, ibu Amelia Citra, adalah potret seorang ibu yang selama ini mungkin juga hadir dalam kehidupan nyata. Tidak sedikit media yang mengungkap kasus penyiksaan anak yang dilakukan oleh ibu kandungnya sendiri. Semua perlu ditelisik dan dikaji, ada apa dengan psikis mereka sehingga bersikap tak ubahnya binatang yang dengan tega menyirami anaknya dengan air panas, memukuli mereka dengan kayu rotan, atau, seorang ayah yang memperkosa anak gadisnya dengan keji.
Dalam novel keluarga setebal 336 ini penulis menyuguhkan kisah yang tidak biasa. Konflik yang dibangun penuh dengan ketegangan yang membuat pembaca penasaran ingin menuntaskan episode demi episode yang ada di dalamnya. Membaca novel ini pembaca akan mengetahui bagaimana orangtua seharusnya bersikap terhadap anak-anaknya. Sekaligus menyadari bahwa sejahat apa pun orangtua, mereka tetap orangtua yang wajib dihormati. Sebagai seorang anak, kita hanya berusaha mendoakan orangtua agar senantiasa tetap di jalan yang benar. Sedikit catatan, pada beberapa bab dalam novel ini tidak cocok dibaca oleh anak-anak atau remaja karena menampilkan kata-kata kasar yang diucapkan beberapa tokoh antagonis seperti Bu Amir atau Bu Rini.
Dalam ending novel ini, penulis juga menjawab rasa penasaran pembaca tentang sosok seorang ibu yang sedemikian jahatnya pada anak kandungnya sendiri. Apa yang menyebabkan seorang ibu kandung tega berbuat kasar, bahkan, berani menjual darah dagingnya sendiri? Adakah trauma masa lalu yang menyebabkan sosok perempuan penyimpan surga di telapak kakinya itu berbuat nista terhadap anak-anaknya?
DAFTAR PUSTAKA
Bawono, Bagas D. 2014. Ibu Doa yang Hilang. Jakarta Timur: Zettu
Endraswara, Suwardi. 2013. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Buku Seru
Hayati, A dan Masnur, Muslich. 2013. Latihan Apresiasi Sastra. Surabaya: Triani Media
Retno, Triani. 2012. Ibuku Tak Menyimpan Surga di Telapak Kakinya. Yogyakarta: Diva Press
Stanton, Robert. 2012. Teori Fiksi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar