Risauku
Bagaimana pun juga perkara baik maka hakikatnya akan baik, begitu pula perkara tidak baik maka hakikatnya juga tidak baik. Keadaan yang telah sangat berubah sekarang adalah pandangan baik pada hal-hal yang buruk dan pandangan buruk pada hal-hal yang baik. Yup, ini adalah janji Iblis la’natullah ‘alaih kepada Allah SWT. ketika akan dikeluarkan dari Surga atas Nabi Adam alaihissalam. Orang-orang yang mengajak kepada yang ma’ruf dan mencegah hal-hal kemungkaran dipandang sebagai orang yang sempit dalam beragama dan orang yang melakukan hal-hal yang tidak baik atau bahkan yang lebih buruk dari itu dipandang orang yang baik.
Salah satu contoh adalah apabila ada orang yang mengajak orang lain untuk Sholat, maka pada umat Islam pada umumnya berpendirian bahwa “Sholat itu kan ibadah, ibadah itukan antara Tuhan dan hamba-Nya, berarti itu privasi saya.” (na’uzdubillahi minzdaalik). Padahal dalam ajakan itu terdapat sebuah maksud dan tujuan yang begitu mulia. Bahwa orang yang mengajak mempunyai sifat mahabbah (cinta) yang begitu besar kepada saudara seiman-nya, bagaimana bukan hanya dia saja yang mendapatkan fadhila atau kebaikan atas beramal. Lebih lagi, Rosulullah SAW bersabda yang kurang lebih berbunyi, “Sholat itu tiangnya agama, barang siapa melaksanakannya maka dia berarti mendirikan agama dan barang siapa meninggalkannya berarti dia meruntuhkan agama.” Dan pada hadist yang lain, yang kurang lebih berbunyi, “Tiada Islam tanpa Sholat”. Seorang ulama berkata bahwa sekarang pada umumnya umat Islam tidak pada Sholat dengan alas an sibuk atas pekerjaan atau rutinitas hariannya. Padahal amalan ini yang akan dihisab pertama pada hari akhir perhitungan nanti, yang apabila amalan Sholatnya baik maka semua amalan akan menjadi baik dan apabila Sholatnya buruk maka semua amalan akan menjadi buruk.
Suatu ketika Sayyidina Ali bin Abi Thalib r.a., sedang membangun rumahnya. Satu persatu batu bata beliau susun, tapi ketika tinggal satu batu bata yang akan mebuat rumah itu menjadi sempurna, tiba-tiba terdengarlah adzan berkumandang. Maka badan beliau langsung gemetar, wajah beliau berubah menjadi pucat pasi, beliau langsung menjatuhkan batu bata tersebut keatas tanah dan bergegas ke masjid. Peristiwa ini membuat sahabat-sahabat radiallhu ‘anhum menjadi bingung. Setelah selesai Sholat, salah seorang dari mereka bertanya kepada Sayyidinna Ali r.a., “Ali, mengapa kamu berbuat demikian? Padahal kamu tinggal menempatkan sebuah batu bata untuk melengkapi pembangunan rumahmu”, Sayyidina Ali r.a., menjawab, “Sungguuh aku takut jikalau batu bata itu lebih besar dari Dzat Allah Yang Maha Besar”
Subhanallah, begitu tinggi keimanan yang dimiliki oleh beliau. Bagaimanakah denga kita yang ketika adzan berkumandang masih tetap fakus pada apa-apa yang kita kerjakan. Ulama mengatakan bahwa zdahir-nya itu panggilan dari mu’adzin tetpi pada hakikatnya itu adalah panggilan Allah Al-Haq Azza wa Jalla. Bagaimanakah jadinya apabila seorang dosen ketika memanggil kita? Atau seorang presiden yang mengundang kita ke rumanya? Atau seorang raja suatu negeri yang mengundang kita secara langsung kita tuk datang ke kerajaanya? Sudah tentu dengan perasaan tawadhu (sungguh-sungguh) kita kan memenuhi atau mendiri undangan itu. Maka bagaimana jika Dzat yang menciptakan dosen, presiden, raja dan seluruh alam jagat raya ini memanggil kita? Maka dengan perasaan yang lebih dari itu, kita mesti menghadap pada-Nya.
Insya Allah kita kan menjadi hamba-Nya yang ridho dan diridhoi oleh-Nya. Amiin Allahumma Amiin.
Sungguh bila ada kekurangan, itu berasal dari diri yang dhoif ini, dan yang benarnya semata-mata datang dari Sang Maha Rahiim.
Subhanallah wabihamdi subhanakallahumma wa bihamdika asyhaduallailaaha illa anta astaghfiruka wa ‘atubuilaik.