KEBEBASAN BERPENDAPAT DAN KEBEBASAN PERS

22 February 2013 16:05:07 Dibaca : 1274

KEBEBASAN BERPENDAPAT DAN

KEBEBASAN PERS

Undang-Undang Dasar 1945 tidak secara eksplisit mengatur kebebasan berpendapat bahkan tidak ada menyebutkan kebebasan pers. Kebebasan berpendapat berkaitan erat dengan kebebasan pers. Istitusi pers hanya salah satu diantara sekian banyak kegiatan berpola dalam masyarakat, sebagai sarana masyarakat dalam menggunakan haknya untuk terlibat dalam forum intelektual. Haka masyarakat ini biasa disebut sebagai hak untuk menyatakan pendapat. Dalam istilah lain dapat dilihat sebagai hak untuk menyampaikan informasi di satu pihak, dan memperoleh informasi di pihak lain. Dengan kata lain, kebebasan pers dapat diartikan sebagai adanya jaminan terhadap hak warga masyarakat untuk menyampaikan infirmasi dan memperoleh informasi, sebagai dua dari sisi mata koin sifat institusional pers.

Para pendiri republik kita, pada masa pra kemerdekaan, tidak secara eksplisit memasukkan hak warga Negara untuk menyampaikan dan memperoleh informasi. Dapat dibaca dalam Undang-Undang Dasar 1945. Sering dikutip dari UUD ini, pasal 28 untuk dilihat dan diinterpretasikan sebagai jaminan bagi kebebasan pers. Tetapi perlu diingat bahwa, ketentuan perundang-undangan ini menyatakan kemrdekaan menyatakan pikiran dengan kemerdekaan berserikat an berkumpul seperti disebutkan ini:

Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mnegeluarkan pkiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya, ditetapkan dengan Undang-Undang.

Sementara keterangan untuk ketentuan ini (didalam penjelasan pasal 28, 29, ayat 1, 34), dinyatakan:

Pasal ini menganai kedudukan penduduk.

Pasal-pasal ini, baik yang hanya mengenai warga Negara maupun mengenai seluruh penduduk memuat hasrat bangsa Indonesia untuk membangunkan Negara yang bersifat demokratis dan hendak menyelenggarakan keadilan sosial dan perikemanusiaan.

Ada hal yang cukup penting, tetapi biasanya terlupakan, bahwa pasal 28 tidaklah member jaminan, sebagaimana “hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan” (pasal 27 ayat 1); atau “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaan itu” (pasal 29 ayat 2); dan lainnya. Pasal 28 hanya menyebutkan “…ditetapkan dengan undang-undang”.

Dengan begitu ketetntuan pasal 28 UUD 1945 hanya memiliki makna jika sudah ada undang-undang yang mengatur kemerdekaan berserikat dan berkumpul, dan mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya. Begitu pula penjelasan yang menyebutkan “membangunkan kemerdekaan yang bersifat demokratis”, karena berada dalam himpunan penjelasan yang mencakup pula untuk pasal 34 (“fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh Negara”), perlu dicermati lebih jauh.

Makna kebebasan dan kekuasaan pada dasarnya bersifat imperative, sesuai dengan paradigm yang mendasari sistem social. Makna ini dilihat dari kehidupan empiris, bukan ari nilai-nilai normative, apalagi dari dunia alam pikiran yang dibunyikan secara verbal. Secara sederhana makna imperative ini dapat disebut sebagai kebudayaan, sebagai acuan dalam seluruh tindakan individu maupun gerak institusional.

Kategori

  • Masih Kosong

Blogroll