Kebebasan Berserikat dan Berpendapat

22 February 2013 16:05:37 Dibaca : 1138

Kebebasan Berserikat dan Berpendapat

Dalam polity berazaskan humanism dan jalan kapitalisme, berbagai institusi masyarakat seperti partai politik, lembaga swadaya, dan pers, hanya dapat berfungsi atas dasar adanya kebebasan berserikat dan berpendapat. Kebebasan ini disatu pihak adalah ruang gerak (eksternal), dan dipihak lain adanya dinamika otonom (internal). Artinya kebebasan institusi masyarakat merupakan kondisi bersifat ekstrnal dan internal. Kondisi eksternal adalah sejauh mana Negara dan masyarakat memberi ruang gerak bagi suatu institusi menjalankan fungsinya. Kondisi internal adalah sejauh mana system didalam organisasi bergerak dalam otonominya untuk menjalankan etos kebebasan, untuk dapat memenuhi fungsi sosialnya.

Kondisi eksternal dan internal ini memperjelas makna kebebasan dan otonomi. Kedua hal ini menjadi basis bagi keberadaan institusi masyarakat. Jalan ekonomi kapitalisme modern mungkin” memaksa” jalan politik berdasarkan libertarianisme. Tetapi tadak ada jaminan bahwa kapitalisme dapat mengubah paradigma kolektivisme Negara dan otoritarianisme kearah sebaliknya. Banyak sudah uraian tentang polity dengan kolekrivisme Negara, otoritarianisme dan komunisme, sekaligus menggambarkan kekuasaan birokrasi Negara dan tingkat keterkendalian masyarakatnya. Tetapi tidak banyak yang mengungkapkan jaan kapitalisme yang diberlakukan daam polity semacam ini. Berbeda dari polity yang menjalankan komunisme, rezim pendukung kapitalisme di dalam seting kolektivisme Negara dan otoritarianisme, dapat dilihat sebagai faktor bagi kebebasan masyarakat. Setidaknya kebebasan berserikat dan berpendapat dari dua sisi pertama, kondisi yang diberikan oleh kekuasaan (birokrasi) Negara kepada masyarakat, atau kedua, kodisi yang menjadi prasyarat dalam kehidupan polity.

Kondisi pertama, yang diberikan kekuasaan bersifat pragmatis, bertolak dari orientasi teknis dari penyelenggaraan birokrasi negara; atau bahkan bertolak dari kecenderungan individual jika penyelenggaraan birokrasi adalah perluasan (ekstended) dari ranah personal pejabat Negara. Kondisi bersifat subyektif ini sepenuhnya dibaca dari pernyataan, imbauan bahkan dugaan atas itikad dari pejabat Negara. Pernyataan-pernyataan penguasa Negara biasa dijadikan acuan untuk batas kebebasan dan otonomi. Dengan demikian ruang kebebasan dan otonomi ini mengembang dan mengempis sesuai dengan selera dan kepentingan pragmatis dari penguasa negara.

Kondisi kedua, jika birokrasi dan masyarakat menggunakan acuan nilai yang sama tetntang batas kekuasaan birokrasi di satu pihak dan batas kebebasan masyarakat. Acuan nilai selalu bersifat normative, dan bunyi ideal, seperti dalam konstitusi. Tetapi normative konstitusional masih harus diwujudkan secara empiris, sehingga menjadi nilai sosial. Setiap keputusan birokrasi negara di atu pihak,dan respon masyarakat di pihak lain, merupakan penafsiran atas nilai. Proses diharapkan bersifat konsisten, sehingga nilai sosial dari kebebasan masyarakat dapat semakin terwujud secara empiris sebagai nilai sosial.

Tuntutan untuk kejelasan platform ini terutama datang dari institusi ekonomi.institusi yang menjadi tulang punggung kapitalisme, dapat menuntut konsesi yang lebih jelas dan transparan, sehingga setiap regulasi dapat diarahkan kepada kapastian bagi gerak institusi bisnis. Jalan kapitalisme memang harus menggunakan platform yang dapat diterima dalam azas resiprokal (bertimbal balik), baik oleh institusi birokrasi Negara. Institusi bisnis merupakan suatu ranah (domain) yang bersifat mondial dengan menggunakan ukuran-ukuran yang berlaku antara Negara.

Jalan kapitalisme tidak membawa signifikasi yang berarti kepada institusi masyarakat lainnya. Dengan kata lain, kapitalisme pada dasarnya tidak memerlukan institusi masyarakat baik politik maupun budaya. Institusi bisnis sebagai pelaku jalan kapitalisme, cukup memerlukan dukungan institusi birokrasi Negara. Bagi institusi Negara, kecuali institusi ekonomi, perilaku birokrasi Negara bagaikan kotak hitam yang tidak dapat diketahui secara persis muatannya. Kotak hitam itu merupakan rantang antara kolektivisme Negara dengan kapitalisme. Disebut sebagai kotak hitam, karena tidak dapat sepenuhnya sebagai otoritarianisme. Dalam mendukung kapitalisme, birokrasi Negara adakalanya menjlankan otoritarianisme dengan menekan pelaku bisnis untuk kepentingan masyarakat.

Ditarik ke konteks Indonesia, keberadaan institusi masyarakat dapat dilihat sebagai wahana bagi kegiatan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pikiran, disebutkan dalam pasal 28 UUD1945. Institusi semacam ini diantaranya adalah partai poltik, lembaga-lembaga penampungan kelompok penekan, pers, dan sebagainya. Institusi pers dipinjam namannya untuk menggambarkan kebebasan dan otonomi institusi masyarakat, dengan sebutan kebebasan pers. Dengan kata lain, kebebasan pers pada hakekatnya dapat dinyatakan sebagai ujung tombak untuk menjelaskan hak masyarakat untuk berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pikiran. Ini perlu untuk mengingat bahwaUUD 1945 tidak ada secara eksplisit menyebut partai politik dan institusi sosial lainnya. Dengan kebebasan pers, yaitu hak masyarakat melalui institusinya menyampaikan dan memperoleh informasi baik lisan maupun tulisan. Istilah lisan dan tulisan dapat dijadikan payung bagi seluruh media masa. Karenanya istilah lisan dan tulisan yang tersurat dalam pasal 28 UUD 1945 hebdaknya tidak diartikan secara harafiah, sehingga segala teknologi media yang muncul setelah tahun 1945 dianggap tidak dicakup dalam undang-undang. Cara berpikir formalitas, sering menjadikan media masa dilihat dari bentuknya, bukan dari karakter dan fungsinya dalam masyarakat.

Kategori

  • Masih Kosong

Blogroll