Keberadaan Pers di Indonesia
Keberadaan Pers di Indonesia
Keberadaan pers di Indonesia sering dibicarakan secara normatif. Artinya pers Indonesia harus menjalankan fungsi dan perannya sebagai pers Pancasila, sesuai dengan tuntutan normative pihak lain. Berkaitan dnegan pers Pancasila, tuntutan normatif itu pada dasarnya bersifat poltis, yaitu birokrasi kekuasaan Negara yang menggariskan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh institusi pers.
Tuntutan normatif ini terjadi dalam system berdasarkan korporatisme Negara yang menjadikan setiao institusi kemasyarakatan tidak boleh memiliki otonomi. Institusi pers, sebagaimana institus sosial lainnya sebagai asosiasi profesi, partai politik, bahkan lembaga keagamaan dan ekonomi, terkooptasi oleh birokrasi negara, dan hanya boleh menjalankan fungsi imperative yang berasal dari birokrasi negara. Dalam negara korporatif, keberhasilan aparat birokrasi poltik dilihat seberapa luas institusi sosial yang berada di bawah kendalinya. Tetapi upaya untuk mengkooptasi institusi kemasayarakatan ini biasanya sulit dijalankan terhadap institutsi ekonomi, terutama dalam era global sekarang. Istitusi ekonomi yang memiliki jaringan global pada dasrnya tidak terikat kepada satu Negara, karenanya kekuasaan birokrasi Negara tertentu, sulit untuk mengkooptasinya.
Institusi pers sebenarnya berwajah ganda, yaitu sisi poltik dan ekonomi. Sebagai institusi politik, informasi pers dinilai dalam ukuran normatif secara plitis. Untuk mewujudkan fungsi dan perannya semacam ini, negara menciptakan regulasi, mulai dari izin terbit atau usaha penerbitan, sampai haatzaai artikelen. Sebagai institusi ekonomi pers dapat menjalankan fungsi dan perannya sepenuhnya menggunakan norma ekonomi.. dengan formula industry yaitu informasi sebagai produk yang dipasarkan sesuai dengan kecenderungan sosiografis dan psikografis dari konsumen. Massa dilihat sebagai konsumen, karenanya keberadaan media bertolak dari azas komodifikasi pers.
Diantar kedua fungsi politik dan ekonomi yang bersifat imperatif, sering pula institusi pers dituntut sebagai institusi budaya. Sebagai mana institusi budaya lainnya, seperti lembaga agama dan sekolah, pers dituntut untuk juga mendidik masyarakat, membangun budi pekerti dan sebagainya. Fungsi imperatif semacam ini hanya bersifat moral, sangat bebrbeda kekuatanya disbanding dengan fungsi imperatif poltis dan ekonomis yang bersifat empiris. Tidak ada konsekuensi apapun jika pers tidak memenuhi tuntutan ini, berbeda dengan tekanan imperatif poltik atu tekanan ekonomi.
Dalam melihat keberadaan pers Pancasila agaknya lebih tepat menumpukkan perhatian kepada faktor-faktor imperatif yang melingkupinya. Tidak mungkin bertolak dari nilai normatif yang hanya dijalankan oleh institusio pers sendiri. Dengan kata lain, pers Pancasila hanya bias dilihat dari inter-relasi pers dengan institusi lain, sabab format institusi pers pada dasarnya dibangunkan oleh faktor-faktor imperatif dari institusi lain.
Tutntutan terhadap fungsi pers untuk mengubah dan mendidik masyarakat ini pada dasarnya bertolak dari asumsi tentang daya pengaruh informasi media. Kepercayaan ini sekaligus menjadi ancaman bagi media pers, menyebabkan setiap penguasa negara berusaha mengendalikan media pers. Ini dapat dilihat pada masa lalu di Indonesia, pad awal abad 20. Setelah redanya penentang fisik melalui pemberontakan kalangan bangsawanndan petani, pemerintah Hindia Belanda menghadapi penetang secara intelektual. Sebagai hasil samping politik etis, bertumbuh kalangan pribumi terdidik secara moderen di Hindia Belanda.
Karenanya pada abad le 20, gerakan penentang umumnya dilakukan oleh kalangan intelektual modern, dan format gerakannya dengan sendirinya menggunakan perangkat modern, seperti partai politik dan pers. Tekanan penguasa kolonial bebeda pula formatnya, tidak lagi bertumpu pada marsose, tetapi melalui pengendalian polisional sipil. Disini sangat berperan polisi yang menjalankn fungsi intel politik.
Pada puncak tekanan penjajahan di abad 20, birokrasi negara menjelankan ketentuan-ketentuan hokum yang semakin keras dan telanjang, bahkan ahli hokum belanda sendiri tidak dapat menrimanya. Di antaranya adalah kekuasaan Gubernur Jendral untuk menggunakan hak eksorbitan, dan pelarangan terbit Koran atau yang popular disebut sebagi persbreidel ordonnantie. kedua kewenangan yang bersifat preventif ini banyak mengambil korban para pejuang nasional yang dibuang ke Digul dan daerah-daerah lain, serta Koran-koran yang berhenti terbit. Selain itu tindakan represif juga dijalankan pula dengan menerapkan ketentuan yang terdapat dalam Hukum Pidana terutama haatzaai artikelen yang biasa disebut sebagai pasal-pasal “karet”, karena sangat longgar dalam pengiterpretasiannya. Pembuktian hukum untuk pasal pidana ini tidak melalui pengujian material perbuatan pelaku maupun efek empirisnya, tetapi melalui ucapan atau tulisan yang diinterpretasikan secara semantis oleh penuntut yang mewakili kekuasaan negara. Penginterpretasian atas dasar kekuasaan negara ini terus menerus berhadapan dengan upaya membangun otonomi lembaga peradilan di Hindia Belanda.
Ketentuan haatzaai artikelen sebagai produk hukum kolonial, tidak terdapat dalam hukum pidana Belanda yang menjadi acuan dari hukum pidana Hindia Bekanda. Haatzaai artikelen masih dipertahankan dalam hukum pidana RI. Kendati sudah merdeka, masih menggunakan ketentuan kolonial, karenanya kehidupan pers di Indonesia masih berada dalam setting hukum kolonial.
Penarapan hukum ini terhadap penyampaian informasi dapat dijadikan indicator sejauh mana kehidupan pers berhadapan dengan penguasa negara. Dengan mencatat penerapan hukum ini terhadap pers khususnya dan intelektual umumnya, dapat dilihat karakteristik dari format kehidupan pers dan kebebasan menyatakan pendapat, misalnya dengan membandingkan secara empiris frekuensi pada masa Hindia Belanda, masa perang kemerdekaan, masa liberal, masa Orde Lama, dan era Orde Baru sekarang.
Catatan sejarah tentang tekanan penguasa negara tehadap wartawan dan intelektual, menggambarkan perjalanan institusi pers dan forum intelektual Indonesia. Pada masa belakangan ini penerapan haatzaai artikelen menunjukkan frekuensi lebih tinggi disbanding dengan era sebelumnya. Karenanya sulit membayakan bahwa pers Pancasila itu semakin menemukan formatnya, yaitu ruang bagi kebebasan dan otonomi yang lebih pasti dan terjamin bagi masyarakat dalam menyatakan pendapat.
Institusi pers sebagai wahana bagi masyarakat dalam menyampaikan dan memperoleh informasi sekarang perlu dilihat sebagai bagian dari hukum penawaran dan permintaan, bukan sebagai praksis dari suatu idiologi. Sebagai institusi yang berada di dua ranah, yaitu ranah ekonomi dan ranah politik, pers harus hadir berlandaskan hukum-hukum ekonomi, sementara dalam ranah poltik, bukan dari peran politik yang dapat dijalankan, tetapi dalam posisinya menghadapi birokrasi negara. Keberadaan media pers di Indonesia pada dasarnya tidak lebih ditentukan hubungan antara birokrasi negara, melalui lisensi terbit yang dikeluarkan birokrasi negara untuk terbitnya pers. Lisensi ini dapat bernama izin usaha atau izin terbit. Prinsipnya adalah hak masyarakat untuk menerbitkan pers ditentukan oleh perjabat birokrasi atau tata usaha negara.
Dalam menyikapi kedua macam lisensi ini dapat dilihat perbedaan antara Surat Izin Usaha Pernerbitan Pers (SIUPP) dengan Surat Izin Terbit (SIT). SIT sepenuhnya bersifat politis, sebagai perangkat pengendalian kekuasaan negara terhadap media pers, melalui muatan/isi jurnalistik dari suatu media pers. Belum pernah pencabutan SIT diberlakukan berdasarkan pelanggaran dari muatan iklan komersial, atau pelanggaran keperusahaan. Dari sejarahnya dapat disimpulkan bahwa ukuran yang digunakan adalah penialaian terhadap isi kredaksinya berupa karya jurnalistik. Sedangkan SIUPP bertolak dari ketentuan yang mengatur perusahaan. Ciri terpenting dalamm persyaratan untuk mendapatkan SIUPP dititikberatkan pada aspek perusahaan, termasuk yang paling menentukan adalah permodalan.