Artikel Konsep Ketuhanan Dalam Islam

06 October 2022 20:34:07 Dibaca : 6485

 

NAMA : Fauziah Sungkar 

NIM : 421422010

PRODI/KELAS : Pendidikan Fisika/A

MATA KULIAH : Agama Islam

DOSEN PENGAMPUH : Prof. Dr. Novianty Djafri. S.Pd.I, M. Pd. I

TUGAS AGAMA : Konsep Ketuhanan Dalam Islam

 

 

1. Kata Allah Dalam Al-Qur’an

   Kata Allah dalam terminologi bahasa Arab pada awalnya berasal dari kata willah Yang berarti ketundukan, pengagungan, dan ungkapan penghambaan. Ada yang berpendapat bahwa Allah berasal dari kata “Al” dan “Illah” yang artinya Maha sembahan. Jadi, dapat diartikan dari kata ini, Allah adalah Sesembahan yang Tertinggi dari segala sesuatu, baik yang ada didalam dan bagi yang hidup, kehidupan dan penghidupan. Allah adalah yang patut dijadikan pengabdian dari segala makhluk atau sesuatu yang lain. Dalam pandangan Quraish Shihab kata Allah ini terulang dalam al-Quran sebanyak 2.698 kali. Ada yang berpendapat bahwa kata “Allah” disebutkan lebih dari 2679 kali dalam al-Quran. Sedangkan kata “Tuhan” dalam bahasa Arab adalah ilah yang di ulang sebanyak 111 kali dalam bentuk mufrad, ilahaini dalam bentuk tatsniyah 2 kali dan alihah dalam bentuk jama’ disebut ulang sebanyak 34 kali. Hal ini juga menjadi refleksi dari tauhid Uluhiyah dimana kita mengesakan Allah dengan ibadah, dimana tidak menjadi hamba bagi selain-Nya, tidak menyembah malaikat, nabi, wali,bapak-ibu, kita tidak menyembah kecuali Allah semata. Ibadah kepada Allah berpijak kepada dua hal, yaitu cinta dan pengagungan. Dengan kecintaan akan memunculkan keinginan untuk melaksanakan dan pengagungan akan timbul rasa takut dan khawatir akan dicampakkan, dihinakan dan disiksa-Nya. Inilah yang membedakan antara istilah “Tuhan (rabb)” dengan “Allah” dimana ada suatu pengakuan bahwa Allah-lah yang menjadi sesembahan kita satu-satunya dalam peribadatan, tidak ada yang lain, yang menjadi pembaharuan yang menggilas kejahiliaan kaum yang sombong dan merasa benar sendiri.

 

Filsafat Ketuhanan dalam Islam

   Perkataan ilah, yang diterjemahkan “Tuhan”, dalam Al-Quran dipakai untuk menyatakan berbagai obyek yang dibesarkan atau dipentingkan manusia, misalnya dalam QS 45 (Al-Jatsiiyah): 23, yaitu:

“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya….?”

Dalam QS 28 (Al-Qashash):38, perkataan ilah dipakai oleh Fir’aun untuk dirinya sendiri:

“Dan Fir’aun berkata: Wahai pembesar kaumku, aku tidak mengetahui tuhan bagimu selain aku.”

   Contoh ayat-ayat tersebut di atas menunjukkan bahwa perkataan ilah bisa mengandung arti berbagai benda, baik abstrak (nafsu atau keinginan pribadi maupun benda nyata (Fir’aun atau penguasa yang dipatuhi dan dipuja). Perkataan ilah dalam Al-Quran juga dipakai dalam bentuk tunggal (mufrad: ilaahun), ganda (mutsanna:ilaahaini), dan banyak (jama’: aalihatun). Bertuhan nol atau atheisme tidak mungkin. Untuk dapat mengerti dengan definisi Tuhan atau Ilah yang tepat, berdasarkan logika Al-Quran sebagai berikut:

   Tuhan (ilah) ialah sesuatu yang dipentingkan (dianggap penting) oleh manusia sedemikian rupa, sehingga manusia merelakan dirinya dikuasai oleh-Nya.

   Perkataan dipentingkan hendaklah diartikan secara luas. Tercakup di dalamnya yang dipuja, dicintai, diagungkan, diharap-harapkan dapat memberikan kemaslahatan atau kegembiraan, dan termasuk pula sesuatu yang ditakuti akan mendatangkan bahaya atau kerugian.

Ibnu Taimiyah memberikan definisi al-ilah sebagai berikut:

Al-ilah ialah: yang dipuja dengan penuh kecintaan hati, tunduk kepada-Nya, merendahkan diri di hadapannya, takut, dan mengharapkannya, kepadanya tempat berpasrah ketika berada dalam kesulitan, berdoa, dan bertawakal kepadanya untuk kemaslahatan diri, meminta perlindungan dari padanya, dan menimbulkan ketenangan di saat mengingatnya dan terpaut cinta kepadanya.

   Atas dasar definisi ini, Tuhan itu bisa berbentuk apa saja, yang dipentingkan manusia. Yang pasti, manusia tidak mungkin ateis, tidak mungkin tidak ber-Tuhan. Berdasarkan logika Al-Quran, setiap manusia pasti ada sesuatu yang dipertuhankannya. Dengan begitu, orang-orang komunis pada hakikatnya ber-Tuhan juga. Adapun Tuhan mereka ialah ideologi atau angan-angan (utopia) mereka.

   Dalam ajaran Islam diajarkan kalimat “la ilaaha illa Allah”. Susunan kalimat tersebut dimulai dengan peniadaan, yaitu “tidak ada Tuhan”, kemudian baru diikuti dengan penegasan “melainkan Allah”. Hal itu berarti bahwa seorang muslim harus membersihkan diri dari segala macam Tuhan terlebih dahulu, sehingga yang ada dalam hatinya hanya ada satu Tuhan, yaitu Allah.

2. Pemikiran Umat Islam

   Pemikiran terhadap Tuhan yang melahirkan Ilmu Tauhid, Ilmu Kalam, atau Ilmu Ushuluddin di kalangan umat Islam, timbul sejak wafatnya Nabi Muhammad SAW. Secara garis besar, ada aliran yang bersifat liberal, tradisional, dan ada pula yang bersifat di antara keduanya. Sebab timbulnya aliran tersebut adalah karena adanya perbedaan metodologi dalam memahami Al-Quran dan Hadis dengan pendekatan kontekstual sehingga lahir aliran yang bersifat tradisional. Sedang sebagian umat Islam yang lain memahami dengan pendekatan antara kontektual dengan tektual sehingga lahir aliran yang bersifat antara liberal dengan tradisional. Ketiga corak pemikiran ini telah mewarnai sejarah pemikiran ilmu ketuhanan dalam Islam. Aliran tersebut yaitu:

A. Mu’tazilah yang merupakan kaum rasionalis di kalangan muslim, serta menekankan pemakaian akal pikiran dalam memahami semua ajaran dan keimanan dalam Islam. Orang islam yang berbuat dosa besar, tidak kafir dan tidak mukmin. Ia berada di antara posisi mukmin dan kafir (manzilah bainal manzilatain).

  Dalam menganalisis ketuhanan, mereka memakai bantuan ilmu logika Yunani, satu sistem teologi untuk mempertahankan kedudukan keimanan. Hasil dari paham Mu’tazilah yang bercorak rasional ialah muncul abad kemajuan ilmu pengetahuan dalam Islam. Namun kemajuan ilmu pengetahuan akhirnya menurun dengan kalahnya mereka dalam perselisihan dengan kaum Islam ortodoks. Mu’tazilah lahir sebagai pecahan dari kelompok Qadariah, sedang Qadariah adalah pecahan dari Khawarij.

B. Qodariah yang berpendapat bahwa manusia mempunyai kebebasan dalam berkehendak dan berbuat. Manusia sendiri yang menghendaki apakah ia akan kafir atau mukmin dan hal itu yang menyebabkan manusia harus bertanggung jawab atas perbuatannya.

C. Jabariah yang merupakan pecahan dari Murji’ah berteori bahwa manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam berkehendak dan berbuat. Semua tingkah laku manusia ditentukan dan dipaksa oleh Tuhan.

D. Asy’ariyah dan Maturidiyah yang pendapatnya berada di antara Qadariah dan Jabariah 

  Semua aliran itu mewarnai kehidupan pemikiran ketuhanan dalam kalangan umat islam periode masa lalu. Pada prinsipnya aliran-aliran tersebut di atas tidak bertentangan dengan ajaran dasar Islam. Oleh karena itu umat Islam yang memilih aliran mana saja diantara aliran-aliran tersebut sebagai teologi mana yang dianutnya, tidak menyebabkan ia keluar dari islam. Menghadapi situasi dan perkembangan ilmu pengetahuan sekarang ini, umat Islam perlu mengadakan koreksi ilmu berlandaskan al-Quran dan Sunnah Rasul, tanpa dipengaruhi oleh kepentingan politik tertentu. Di antara aliran tersebut yang nampaknya lebih dapat menunjang perkembangan ilmu pengetahuan dan meningkatkan etos kerja adalah aliran Mu’tazilah dan Qadariah.

3. Tuhan Menurut Wahyu Allah SWT 

   Pengkajian manusia tentang Tuhan, yang hanya didasarkan atas pengamatan dan pengalaman serta pemikiran manusia, tidak akan pernah benar. Sebab Tuhan merupakan sesuatu yang ghaib, sehingga informasi tentang Tuhan yang hanya berasal dari manusia biarpun dinyatakan sebagai hasil renungan maupun pemikiran rasional, tidak akan benar.

Informasi tentang asal-usul kepercayaan terhadap Tuhan antara lain tertera dalam:

1. QS 21 (Al-Anbiya): 92, “Sesungguhnya agama yang diturunkan Allah adalah satu, yaitu agama Tauhid. Oleh karena itu seharusnya manusia menganut satu agama, tetapi mereka telah berpecah belah. Mereka akan kembali kepada Allah dan Allah akan menghakimi mereka.

   Ayat tersebut di atas memberi petunjuk kepada manusia bahwa sebenarnya tidak ada perbedaan konsep tentang ajaran ketuhanan sejak zaman dahulu hingga sekarang. Melalui Rasul-rasul-Nya, Allah memperkenalkan dirinya melalui ajaran-Nya, yang dibawa para Rasul, Adam sebagai Rasul pertama dan Muhammad sebagai terakhir.

   Jika terjadi perbedaan-perbedaan ajaran tentang ketuhanan di antara agama-agama adalah karena perbuatan manusia. Ajaran yang tidak sama dengan konsep ajaran aslinya, merupakan manipulasi dan kebohongan manusia yang teramat besar.

2. QS 5 (Al-Maidah):72, “Al-Masih berkata: “Hai Bani Israil sembahlah Allah Tuhaku dan Tuhanmu. Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti mengharamkan kepadanya syurga, dan tempat mereka adalah neraka.

3. QS 112 (Al-Ikhlas): 1-4, “Katakanlah, Dia-lah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung pada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia.”

   Dari ungkapan ayat-ayat tersebut, jelas bahwa Tuhan adalah Allah. Kata Allah adalah nama isim jumid atau personal name. Merupakan suatu pendapat yang keliru, jika nama Allah diterjemahkan dengan kata “Tuhan”, karena dianggap sebagai isim musytaq.

   Tuhan yang haq dalam konsep al-Quran adalah Allah. Hal ini dinyatakan antara lain dalam surat Ali Imran ayat 62, surat Shad 35 dan 65, surat Muhammad ayat 19. Dalam al-quran diberitahukan pula bahwa ajaran tentang Tuhan yang diberikan kepada Nabi sebelum Muhammad adalah Tuhan Allah juga. Perhatikan antara lain surat Hud ayat 84 dan surat al-Maidah ayat 72. Tuhan Allah adalah esa sebagaimana dinyatakan dalam surat al-Ankabut ayat 46, Thaha ayat 98, dan Shad ayat 4.

   Dengan mengemukakan alasan-alasan tersebut di atas, maka menurut informasi al-Quran, sebutan yang benar bagi Tuhan yang benar-benar Tuhan adalah sebutan “Allah”, dan kemahaesaan Allah tidak melalui teori evolusi melainkan melalui wahyu yang datang dari Allah. Hal ini berarti konsep tauhid telah ada sejak datangnya Rasul Adam di muka bumi. Esa menurut al-Quran adalah esa yang sebenar-benarnya esa, yang tidak berasal dari bagian-bagiandan tidak pula dapat dibagi menjadi bagian-bagian.

 

4. Konsep Ketuhanan dalam Islam

   Istilah Tuhan dalam sebutan Al-Quran digunakan kata ilaahun, yaitu setiap yang menjadi penggerak atau motivator, sehingga dikagumi dan dipatuhi oleh manusia. Orang yang mematuhinya di sebut abdun (hamba). Kata ilaah (tuhan) di dalam Al-Quran konotasinya ada dua kemungkinan, yaitu  Allah, dan selain Allah. Subjektif (hawa nafsu) dapat menjadi ilah (tuhan). Benda-benda seperti : patung, pohon, binatang, dan lain-lain dapat pula berperan sebagai ilah. Demikianlah seperti dikemukakan pada surat Al-Baqarah (2)

 "Diantara manusia ada yang bertuhan kepada selain Allah, sebagai tandingan terhadap Allah. Mereka mencintai tuhannya itu sebagaimana mencintai Allah." 

   Sebelum turun Al-Quran dikalangan masyarakat Arab telah menganut konsep tauhid (monoteisme). Allah sebagai Tuhan mereka. Hal ini diketahui dari ungkapan-ungkapan yang mereka cetuskan, baik dalam do’a maupun acara-acara ritual. Abu Thalib, ketika memberikan khutbah nikah Nabi Muhammad dengan Khadijah (sekitar 15 tahun sebelum turunya Al-Quran) ia mengungkapkan kata-kata Alhamdulillah. Adanya nama Abdullah (hamba Allah) telah lazim dipakai di kalangan masyarakat Arab sebelum turunnya Al-Quran. Keyakinan akan adanya Allah, kemaha besaran Allah, kekuasaan Allah dan lain-lain, telah mantap. Dari kenyataan tersebut timbul pertanyaan apakah konsep ketuhanan yang dibawakan Nabi Muhammad? Pertanyaan ini muncul karena Nabi Muhammad dalam mendakwahkan konsep ilahiyah mendapat tantangan keras dari kalangan masyarakat. Jika konsep ketuhanan yang dibawa Muhammad sama dengan konsep ketuhanan yang mereka yakini tentu tidak demikian kejadiannya.

   Pengakuan mereka bahwa Allah sebagai pencipta semesta alam dikemukakan dalam Al-Quran surat Al-Ankabut (29) ayat 61 sebagai berikut;

"Jika kepada mereka ditanyakan, “Siapa yang menciptakan lagit dan bumi, dan menundukkan matahari dan bulan?” Mereka pasti akan menjawab Allah." 

  Dengan demikian seseorang yang mempercayai adanya Allah, belum tentu berarti orang itu beriman dan bertaqwa kepada-Nya. Seseorang baru lah dinyatakan bertuhan kepada Allah jika ia telah memenuhi segala yang dimaui oleh Allah. Atas dasar itu inti konsep ketuhanan Yang Maha Esa dalam Islam adalah memerankan ajaran Allah yaitu Al-Quran dalam kehidupan sehari-hari. Tuhan berperan bukan sekedar Pencipta, melainkan juga pengatur alam semesta.

   Pernyataan lugas dan sederhana cermin manusia bertuhan Allah sebagaimana dinyatakan dalam surat Al-Ikhlas. Kalimat syahadat adalah pernyataan lain sebagai jawaban atas perintah yang dijaukan pada surat Al-Ikhlas tersebut. Ringkasnya jika Allah yang harus terbayang dalam kesadaran manusia yang bertuhan Allah adalah disamping Allah sebagai Zat, juga Al-Quran sebagai ajaran serta Rasullullah sebagai Uswah hasanah.

Kategori

  • Masih Kosong

Blogroll

  • Masih Kosong