masyarakat madani

31 October 2012 16:16:37 Dibaca : 1891

MASYARAKAT MADANI DAN KESEJAHTERAAN UMMAT

 

A. Konsep Masyarakat Madani
Masyarakat madani secara harfiah berarti masyarakat kota yang sudah tersentuh oleh peradaban maju atau disebut juga civil society (masyarakat sipil). Pada zaman Yunani terdapat negara-negara kota seperti Athena dan Sparta disebut Sivitas Dei, suatu kota Ilahi dengan peradaban yang tinggi. Masyarakat beradab lawan dari pada masyarakat komunitas yang masih liar.
Adapun masyarakat madani berasal dari bahasa Arab zaman Rasulullah saw. yang artinya juga sama dengan masyarakat kota yang sudah disentuh oleh peradaban baru (maju), lawan dari masyarakat madani adalah masyarakat atau komunitas yang masih mengembara yang disebut badawah atau pengembara (badui).
Ada yang menyamakan makna masyarakat madani sama saja dengan Civil Society, tentu saja ada persamaannya, tetapi juga ada perbedaan, keduanya sama jika dilihat dari sudut makna sivis, manusia beradab yang menjunjung tinggi azas persamaan setiap warga walaupun warga itu memiliki perbedaan dalam agama kepercayaan, bahasa dan kebudayaannya. Masyarakat madani zaman rasul dengan Sivil Society dalam zaman modern keduanya berbeda antara lain dari segi pandangan dunianya, seperti diperlihatkan sejarah perkembangannya dari Sivitas Dei (kota Ilahi) ke Sivil Society.
Dunia barat mengalami kegagalan dalam menghadapi pemecahan ketegangan antara pusat keagamaan (gereja) yang sarat dengan perbuatan magis religius, upacara-upacara ritual, takhyul dan lain-lainnya dengan kaisr yang penuh dengan martabat duniawi (kekuasaan) kekuatan dan benda-benda kehidupan sekuler, keduanya dengan Herarchi yang sentralistik (gereja dan kerajaan) dengan arus reformasi di sekitarnya berakhir pada jalan buntu (Teori Dua Pandang) pimpinan gereja dengan masalah kerohaniannya dan kaisar dengan urusan kekuasaan dunianya, kebuntuan ini melahirkan Sivil Society yang membebaskan diri dari kekuatan pengaruh gereja dan tidak merasa tertekan oleh kekuasaan kaisar (Monarki Obsulut). Mereka sebagai warga masyarakat sipil membangun solidaritas umum yang disepakati bersama dalam kehidupan bersama sebagai warga Civis. Jalan buntu itulah melahirkan Sivil Society. Di negeri barat sesudah Revolusi Prancis tahun 1784 yang bertumpu dan bertindak pada sekularisasi (seculerisme) yaitu penduniaan segala masalah kehidupan dan cita-cita kenasyarakatan dan bersandar pada etika Hedonisme yaitu kewajiban yang bersendi pada benda keduniaan semata-mata. Jadi secara jelas menunjukkan bahwa Civil Society di negara barat itu berinduk pada sekularisme dan sekulerisasi segala nilai-nilai kehidupan dalam masyarakat.
Sementara masyarakat Islam memiliki konsep (doktrin) yang konkrit untuk menciptakan kondisi masyarakat Islami. Islam bukan sekedar agama yang memiliki konsep ajaran spiritualis (individual) semata, letaknya kemajemukan agama Islam karena menyandang ajaran pada semua aspek kehidupan manusia baik vertikal maupun horizontal.

B. Karakteristik Masyarakat Madani
Secara umum masyarakat yang beradab berciri; kemanusiaan, saling menghargai sesama manusia, sebagai makhluk Ilahi dalam kehidupan bersama dalam masyarakat yang warga (civitasnya) pluralistik, memiliki berbagai perbedaan, akan tetapi mengembangkan kehidupan individu yang demokratis, pemimpin yang mengayomi warga, masyarakat merasa dilindungi oleh sesama warga karena penghargaan hak-hak dan kewajiban masing-masing.
Masyarakat ideal menurut Islam adalah masyarakat yang taat pada aturan Ilahi yang hidup dengan damai dan tenteram yang tercukupi kebutuhan hidupnya. Dalam Al-Qur’an kondisi masyarakat seperti itu digambarkan dengan “baldatun Tayyibatun Warabbun Gafur.” Negara yang baik, yang berada dalam lindungan ampunan-Nya. Realisasi dari masyarakat ideal tersebut pada masa Nabi Muhammad saw. dicontohkan pada masa kehidupan rasul di kota Madinah, dimana masyarakatnya memberikan kepercayaan dan mewujudkan ketaatan pada kepemimpinan Rasulullah saw. Hidup dalam kebersamaan dan Al-Qur’an sebagai landasan hidupnya.
Masyarakat madani dalam pandangan Islam adalah masyarakat yang beradab, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang maju dalam penguasaan iptek. Karena itu dalam sejarah filsafat, sejak filsafat Yunani sampai masa filsafat Islam dikenal istilah Madinah atau polis yang berarti kota yaitu masyarakat yang berperadaban. Masyarakat madani yang menjadi sentral idealisme yang diharapkan oleh masyarakat seperti yang tercantum dalam QS. Saba’/34:15. Masyarakat yang sejahtera, bahagia itulah yang oleh Allah dijadikan negara ideal bagi ummat Islam dimana pun dan yang hidup di abad mana pun, mempunyai cita-cita untuk hidup dalam negara yang baik dan sejahtera, bertaqwa kepada Allah swt.
Piagam Madinah sebagai rujukan pembinaan masyarakat madani, yang merupakan perjanjian antara Rasul beserta ummat Islam dengan penduduk Madinah yang beragama Yahudi dan kaum aus dan khazraj yang beragama watsani. Perjanjian Madinah ini berisi kesepakatan ketiga unsur masyarakat untuk saling tolong-menolong, menciptakan kedamaian dalam kehidupan sosial, menjadikan Al-Qur’an sebagai konstitusi, menjadikan rasul sebagai pemimpin dengan ketaatan penuh terhadap keputusannya dan memberi kebebasan bagi penduduk untuk memeluk agama sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya.
Masyarakat Madani sebagai masyarakat yang paling ideal memiliki identitas khusus yaitu; berTuhan, damai, tolong menolong, toleran, keseimbangan antara hak dan kewajiban sosial, berpandangan tinggi dan berakhlak mulia.

C. Peranan Ummat Islam dalam Mewujudkan Masyarakat Madani
Dalam kontek masyarakat Indonesia, di mana ummat Islam adalah mayoritas, peranan ummat Islam untuk mewujudkan masyarakat madani sangat besar. Kondisi masyarakat Indonesia sangat bergantung pada kontribusi yang diberikan oleh ummat Islam. Peranan ummat Islam itu dapat direalisasikan melalui jalur hukum, sosial-politik, ekonomi, dan yang lain. Sistem hukum, social-politik, ekonomi dan yang lain di Indonesia, memberikan ruang kepada ummat Islam untuk menyalurkan aspirasinya secara konstruktif bagi kepentingan bangsa secara keseluruhan. Permasalahan pokok yang masih menjadi kendala saat ini adalah kemampuan dan konsistensi ummat Islam Indonesia terhadap karakter dasarnya, untuk mengimplementasikan ajaran Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara melalui jalur-jalur yang ada. Sekalipun ummat Islam secara kuantitatif mayoritas, tetapi secara kualitatif masih rendah, sehingga perlu pemberdayaan secara sistematis. Sikap amar ma’ruf dan nahi munkar juga masih sangat lemah. Hal itu dapat dilihat dari fenomena-fenomena sosial yang bertentangan dengan ajaran Islam, seperti angka kriminalitas yang tinggi, korupsi yang terjadi di semua sektor, dan kurangnya rasa aman. Jika ummat Islam Indonesia benar-benar mencerminkan sikap hidup yang Islami, psti bangsa Indonesia bisa menjadi bangsa yang kuat dan sejahtera.

D. Etos Kerja Islami
Etos kerja adalah totalitas kepribadian diri dan cara mengekspresika, memandang, meyakini, dan memberikan makna tentang sesuatu pekerjaan yang mendorong dirinya untuk bertindak dan meraih amal yang optimal (Toto Tasmara: 20). Etos kerja juga berarti percaya, tekun, dan senang pada pekerjaan yang sedang dihadapi dengan tidak memandang apakah pekerjaan itu sebagai buruh kasar atau memimpin suatu perusahaan besar (M. Yunan Nasution: 147). Etos kerja mencerminkan nilai kerohanian yang membentuk kepribadian dan terekpresikan melalui sikap dan perilaku produktif. Bagi ummat Islam, sifat etos kerjanya adalah etos kerja Islami, yang dilandasi oleh ajaran al-Qur’an dan al-Sunnah.
Al-Qur’an menjelaskan bahwa ummat Islam adalah ummat yang terbaik, karena melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar serta beriman kepada Allah (QS. Ali-Imran: 110). Nilai kebaikan ummat Islam tersebut dapat terealisasi apabila keimanannya menghasilkan amal yang shalih. Oleh karena itu, Allah akan menilai, siapa yang paling baik amalnya (QS. Hud: 7; QS. Mulk: 2). Islam memotivasi ummatnya untuk berkompetisi dalam kebaikan, memiliki etos kerja yang baik, yang menentukan nilai hidup di dunia dan konsekuensi di akhirat (QS. al-Baqarah: 148). Hubungan etos kerja dengan masalah eskatologi, balasan di akhirat memberikan kestabilan (istiqamah) pada setiap pribadi akan kepastian hasil kebaikan dari amal baik yang dilakukan, yang tidak bergantung pada kerelativan manusia.
Menurut Toto Tasmara, etos kerja muslim memiliki cirri-ciri (1) mengahrgai waktu; (2) memiliki moralitas yang ikhlas; (3) memiliki kejujuran; (4) memiliki komitmen; (5) istiqamah, kuat pendirian; (6) disiplin; (7) konsekuen dan berani menghadapi tantangan; (8) memiliki sikap percaya diri; (9) kreatif; (10) bertanggung jawab; (11) bahagia karena melayani; (12) memiliki harga diri; (13) memiliki jiwa kepemimpinan; (14) berorientasi ke masa depan; (15) hidup hemat dan efisien; (16) meiliki jiwa wiraswasta; (17) memiliki instink berkompetisi; (18) mandiri; (19) berkemauan belajar dan mencari ilmu; (20) memiliki semangat perantauan; (21) memperhatikan kesehatan dan gizi; (22) tangguh dan pantang menyerah; (23) berorientasi pada produktivitas; (24) memperkaya jaringan silaturahmi; dan (25) memiliki semangat perubahan (Toto Tasmara; 73).

E. Filantropi Islam: Zakat dan Wakaf
1. Zakat

Zakat merupakan dasar prinsipiil untuk menegakkan struktur social Islam. Zakat bukanlah derma atau sedekah biasa, ia adalah sedekah wajib. Dengan terlaksananya lembaga zakat dengan baik dan benar, diharapkan kesulitan dan penderitaan fakir miskin dapat berkurang. Di samping tu, dengan pengelolaan zakat yang professional, berbagai permasalahan yang terjadi dalam masyarakat yang ada hubungannya dengan mustahiq juga dapat dipecahkan.
Zakat ada dua macam, yaitu zakat mal dan zakat fitrah. Zakat mal adalah bagian dari harta kekayaan seseorang atau badan hukum yang wajib diberikan kepada orang-orang tertentu setelah mencapai jumlah minimal tertentu dan setelah dimiliki selama jangka waktu tertentu pula. Sedangkan zakat fitrah adalah zakat yang diwajibkan pada akhir puasa Ramadhan. Hukum zakat fitrah wajib atas setiap orang Islam, kecil atau dewasa, laki-laki atau perempuan, budak atau merdeka (Yusuf al-Qardhawi; 162).
Zakat adalah salah satu bentuk distribusi kekayaan di kalangan ummat Islam sendiri, dari golongan ummat yang kaya kepada golongan ummat yang msikin, agar tidak terjadi jurang pemisah antara golongan kaya dan golongan miskin, serta untuk menghindari penumpukan kekayaan pada golongan kaya saja. Untuk melaksanakan lembaga zakat itu dengan baik dan sesuai dengan fungsi dan tujuannya, tentu harus ada aturan-aturan yang harus dilakukan dalam pengelolannya. Pengelolaan zakat yang berdasar pada prinsip-prinsip pengaturan yang baik dan jelas, akan meningkatkan manfaatnya yang nyata bagi kesejahteraan masyarakat. Sehubungan dengan pengelolaan zakat yang kurang optimal, pada tanggal 23 Setember 1999 Presiden RI, B.J. Habibie mengesahkan Undang-Undang Nomor 38 Thun 1999 tentang Pengelolaan Zakat. Untuk melaksanakan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang zakat tersebut, Menteri Agama RI menetapkan Keputusan Menteri Agama RI Nomor 581 Tahun 1999.
Berhasilnya pengelolaan zakat tidak hanya tergantung pada banyaknya zakat yang terkumpul, tetapi sangat tergantung pada dampak dari pengelolaan zakat tersebut dalam masyarakat. Zakat baru dapat dikatakan berhasil dalam pengelolaannya, apabila zakat tersebut benar-benar dapat mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial dalam masyarakat. Keadaan yang demikian sangat tergantung dari manajemen yang diterapkan oleh ‘amil zakat dan political will dari pemerintah.

2. Wakaf
Sebagai salah satu lembaga sosial Islam, wakaf erat kaitannya dengan sosial ekonomi masyarakat. Walaupun wakaf merupakan lembaga Islam yang hukumnya sunnah, namun lembaga ini dapat berkembang dengan baik beberapa Negara misalnya Mesir, Yordania, Saudi Arabia dan Bangladesh. Hal ini barangkali karena lembaga wakaf ini dikelola dengan manajemen yang baik, sehingga manfaatnya sangat dirasakan bagi pihak-pihak yang memerlukannya.
Di Indonesia sedikit sekali tanah wakaf yang dikelola secara produktif dalam bentuk suatu usaha, yang hasilnya dapat dimanfaatkan bagi pihak-pihak yang memerlukan termasuk fakir miskin. Pemanfaatan tersebut dilihat dari segi sosial khususnya untuk kepentingan keagamaan memang efektif, tetapi dampaknya kurang berpengaruh positif dalam kehidupan ekonomi masyarakat. Apabila peruntukan wakaf hanya terbatas pada hal-hal di atas tanpa diimbangi dengan wakaf yang dapat dikelola secara produktif, naka wakaf sebagai salah satu sarana untuk wewujudkan kesejahtraan sosial ekonomi masyarakat, tidak akan dapat terealisasi secara optimal.
Agar wakaf di Indonesia dapat memberdayakan ekonomi ummat, maka perlu dilakukan paradigma baru dalam pengelolaan wakaf. Wakaf yang selama ini hanya dikelola secara konsumtif dan tradisional, sudah saatnya kini wakaf dikelola secara produktif.
Di beberapa negara seperti Mesir, Yordania, Saudi Arabia, Turki, dan Bangladesh, wakaf selain berupa sarana dan prasarana ibadah dan pendidikan, juga berupa tanah pertanian, perkebunan, flat, uang saham, real estate dan lain-lain yang semuanya dikelola secara produktif. Dengan demikian hasilnya benar-benar dapat dipergunakan untuk mewujudkan kesejahteraan ummat.
Wakaf uang dan wakaf produktif penting sekali untuk dikembangkan di Indonesia di saat kondisi perekonomian yang kian memburuk. Wakaf tunai mempunyai peluang yang unik bagi terciptanya investasi di bidang keagamaan, pendidikan, dan pelayanan sosial. Sebagaimana sudah kita ketahui bersama bahwa lembaga wakaf sebagai salah satu pilar ekonomi Islam sangat erat kaitannya dengan masalah sosial ekonomi nasyarakat. Cukup banyak negara yang wakafnya sudah berkembang, menyelesaikan masalah sosial ekonomi mereka dengan wakaf. Sayangnya pemahaman ummat Islam di Indonesia terhadap wakaf selama berabad-abad sangat terbatas pada wakaf benda tidak bergerak khususnya wakaf berupa tanah. Bahkan sebelum tanggal 27 Oktober 2004, benda wakaf yang diatur dalam peraturan perundang-undangan hanyalah tanah nilik, yaitu diatur dalam Peraturan pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik. Wakaf benda bergerak khususnya uang baru dibicarakan oleh ummat Islam di Indonesia sekitar akhir tahun 2001. Alhamdulillah pada tanggal 1 Mei 2002, Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia telah menetapkan fatwa tentang wakaf uang, yang isinya adalah sebagai berikut :
a. Wakaf uang (Cash Wakaf/Waqf al-Nuqud) adalah wakaf yang dilakukan seseorang, kelompok orang, lembaga, atau badan hukum dalam bentuk uang tunai.
b. Termasuk ke dalam pengertian uang adalah surat-surat berharga.
c. Wakaf uang hukumnya jawaz (boleh).
d. Wakaf uang hanya boleh disalurkan dan digunakan untuk hal-hal yang dibolehkan secara syar’i.
e. Nilai pokok wakaf uang harus dijamin kelestariannya, tidak boleh dijual, dihibahkan, dan atau diwariskan.
Dengan dikeluarkannya fatwa MUI tersebut, maka penerapan wakaf uang di Indonesia sudah tidak bermasalah lag, apabila dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf uang sudah diatur tersendiri. Yang menjadi masalah bagaimanakah penerapan wakaf khususnya wakaf uang di Indonesia, karena wakaf uang ini penting sekali untuk dikembangkan di Indonesia di saat kondisi perekonomian yang kian memburuk. Wakaf uang dapat dipergunakan untuk menyelesaikan masalah-masalah sosial dan ekonomi yang terjadi di Indonesia.
Begitu pentingnya wakaf untuk memberdayakan masyarakat, maka Undang-undang wakaf yang mendukung pengelolaan wakaf secara produktif sangat diperlukan. Oleh karena itu, sudah selayaknya ummat Islam menyambut baik lahirnya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf. Dalam Undang-undang wakaf tersebut sudah dimasukkan rumusan konsepsi fikih wakaf baru di Indonesia yang antara lain meliputi benda yang diwakafkan (mauquf bih); peruntukan wakaf (mauquf ‘alaih); sighat wakaf baik untuk benda tidak bergerak maupun benda bergerak seperti uang dan saham; kewajiban dan hak nadzir wakaf; dan lain-lain yang menunjang pengelolaan wakaf produktif. Benda wakaf (mauquf bih) yang diatur dalam Undang-undang Tentang Wakaf itu tidak dibatasi benda tidak bergerak saja, tetapi juga benda-benda bergerak lainnya yang tidak bertentangan dengan syari’at Islam. Dalam rangka pengelolaan dan pengembangan wakaf inilah perlunya pembinaan nadzir. Untuk itu di dalam Undang-undang 41 Tahun 2004 tentang Wakaf diamantkan perlunya dibentuk Badan Wakaf Indonesia. Salah satu tugas dan wewenang Badan Wakaf Indonesia adalah melkukan pembinaan terhadap nadzir dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf.

 

 

 

Kategori

  • Masih Kosong

Blogroll

  • Masih Kosong