''CERITA PETUALANGAN DIDUSUN PUWODA'A''
CERITA PETUALANGAN DI DUSUN PUWO DA’A
Tanggal 9 februari 2013 tepatnya pada hari sabtu. Petualanganku dan teman-teman Himpunan Mahasiswa Indonesia Boliyohuto Grup (HMIB) dimulai, sekitar jam setengah sembilan kami berangkat menuju dusun PUWO DA’A melewati desa-desa dikecamatan asparaga, awal perjalanan aku dan teman-teman tersesat karena tidak mengetahui jalan tapi kami pantang menyerah kami terus melanjutkan perjalanan, jalan yang sangat menantang dengan lumpur-lumpur dijalan pedesaan, sesekali mobil kami terjebak dalam genangan-genangan lumpur sehingga memaksa teman-teman laki-laki harus turun dan mendorong mobil bersama-sama, diperjalanan kami pun terkesima dengan gunung-gunung yang menjulang tinggi dan hijaunya hamparan tanaman jagung yang semakin memperindah pemandangan dan menambah asri alam indonesia, setelah selesai dengan kesibukan kampus dan sejenak meninggalkan hiruk pikuk kota yang penuh dengan polusi, kami berniat melaksanakan kemping ilmiah sekaligus mengunjungi masyarakat yang ada diidusun puwodaa, sekitar jam 2 kami sampai didesa No’oti, kamipun harus turun melanjutkan perjalan dengan berjalan kaki karena medan yang akan kami lewati tidak bisa dilalui kendaraan, kami melewati hutan-hutan, dan sebanyak 12 sungai, dengan perjalanan yang cukup jauh dan melelahkan. Sekitar 4 km perjalanan yang ditempuh, menyamai terkurasnya tenagaku dan rombonganku. sampailah kami didusun puwo da’a pada jam 5 sore, setelah sampai kami disambut oleh masyarakat didusun tersebut dan masyarakat luar yang akan membuka lahan didusun tersebut. Setelah istirahat dan mengisi kampung tengah kami membuat tenda untuk tempat beristirahat, pada malam hari kami membuat api unggun untuk menghangatkan badan, sekitar pukul 19.00 wita kami HMIB membagi kelompok menjadi 3 untuk mendiskusikan tentang keadaan masyarakat, mahasiswa, dan pemerintah digorontalo. Setelah melakukan diskusi kami menyempatkan diri untuk mengajak bermain bersuka ria anak-anak yang ada disana, tak lupa pula kami membagi-bagikan sedikit bingkisan yang kami bawa, setelah itu kami pun beristirahat sejenak mengumpulkan tenaga untuk melanjutkan perjalanan besok, pada malam dan pagi hari suasana didusun puwoda’a terasa begitu dingin mungkin kerena dusun tersebut berada dikaki gunung dan didekat sungai dan masih terjaga keasriannya, sebelum melanjutkan perjalanan saya masih menyempatkan diri untuk membantu anak-anak dan ibu cici memetik sayur dan memasak untuk sarapan kami, melihat tanaman-tanaman disana saya semakin takjub karna tanaman-tanaman disana sangat subur walaupun tidak diberi pupuk, jagung dan sayur mayur tumbuh subur dan berbuah lebat, bahkan tanaman padi tingginya hampir mencapai leher teman saya, sambil mambantu ibu cici memasak sesekali saya bertanya dan mewawancarai ibu untuk mencari tau keadaan didusun tersebut.
Setelah banyak saya bertanya ternyata ibu cici kurang lebih sudah 4 tahun tinggal disana, untuk mata pencaharian warga sekitar hanya mengandalkan keberuntungan mendulang emas disekitar sungai puwoda’a, lalu saya menanyakan mengapa tidak mengandalkan hasil kebun saja..? padahal tanah disana sangat subur sehingga bisa dipastikan hasil dari tanaman-tanamannya pun akan berlimpah, tapi mereka menjawab “sebenarnya kami ingin mata pencaharian utama kami yakni dengan berkebun, tapi setelah panen kami bingung untuk memasarkannya, jalan satu-satunya dengan menjualnya kepasar itupun kami harus memikulnya sampai keperbatasan dusun dengan menempuh jarak sepanjang 4 km dan menempuh waktu 2 sampai 3 jam. Tidak hanya itu kami juga harus menyewa kendaraan untuk mengangkut hasil panen kami yang bisa memakan waktu 1 jam untuk sampai kepasar, setelah kami rinci harga perkarung jagung misalnya, itu hanya sekitar Rp. 200.000 sedangkan kendaraan meminta ongkos bisa sampai 150 sampai 300 ribu, kami bingung bukannya untung yang kami dapat tapi malah rugi, jadi kami memutuskan bergantung pada emas yang ada disungai sekitar rumah kami”
Pendapatan warga pun tidak menentu, jika beruntung ibu cici dan warga sekitar bisa mendapatkan emas sebanyak 1 gram yang harganya sekitar Rp. 400.000 tapi jika belum beruntung ibu cici hanya bisa mendapatkan setengah gram atau tidak sama sekali, untuk lauk sehari-haripun ibu cici hanya mengandalkan sayur-sayur yang ditanam sendiri dan ikan-ikan yang ada disungai dekat tempat tinggalnya. Dan tidak hanya itu yang paling menyedihkan yaitu demi mempertahankan tempat tinggal mereka yaitu dusun puwoda’a mereka harus merelakan barang-barang mereka untuk dibakar oleh orang-orang tidak bertanggung jawab yang ingin menguasai kawasan tersebut, nasi dan makanan mereka injak-injak, tidak hanya itu pernah seorang perempuan dipukul sampai tanggal giginya bahkan yang lebih mencengangkan pada saat bulan ramadhan, bulan yang umat islam khususnya beribadah, memperbanyak amal, bersedekah, dan berlomba-lomba mencari kebaikan, tapi tidak dengan orang-orang yang tidak bertanggung jawab ini mereka dengan teganya mengusir warga dan sajadah tempat dari suami ibu cici beribadah tak luput dari pembakaran, sungguh sangat miris sekali keadaan warga disana, kami begitu sedih mendengar cerita ibu cici, padahal negara kita sudah merdeka dari penjajahan tapi kenapa masih saja ada hal-hal seperti itu, harusnya mereka itu malu telah menjajah kaum dinegaranya sendiri, sayapun bertanya bagaimana dengan kebutuhan pokok warga seperti makanan, sabun, dan yang lainnya jika mereka kehabisan..? mereka bilang untuk mendapatkan barang dan bahan-bahan tersebut mereka harus turun kedesa untuk membeli, ya...dengan berjalan melewati hutan dan 12 sungai yang memakan waktu 2-3 jam, mendengar jawaban dari ibu cici hati saya begitu sedih ternyata masih banyak orang yang mengalami kesusahan dibanding saya, saya jadi teringat dirumah untuk membeli keperluan saya saja diwarung yang hanya berjarak beberapa meter dari rumah saya begitu malas, tapi masyarakat disana berjalan begitu jauh tidak mengeluh, saya takjub dengan semangat dan kegigihan mereka. Tapi tidak hanya itu, hal yang membuat kami sangat sedih yaitu tidak adanya fasilitas pendidikan dan kesehatan. Padahal anak-anak disana dikatakan sudah cukup umur untuk mengenyam pendidikan dan mendapatkan layanan kesehatan tapi kembali lagi pada keadaan dusun serta transportasi yang tidak memadai, satu hal lagi yang sangat disayangkan yaitu tentang penambang yang sering mencari nafkah dikawasan tersebut, mereka berbondong-bondong ikut mengais rezeki dengan memanfaatkan kekayaan alam indonesia dengan menambang, sudah puluhan mesin dan ratusan penambang yang sering datang kedusun puwoda’a, untuk soal penambang-penambang yang sering datang ibu cici dan masyarakat sekitar bisa memaklumi karena sama-sama mencari nafkah untuk keluarga tapi satu hal yang sangat disesalkan oleh ibu cici dan masyarakat sekitar adalah para penambang membuang racun kesungai sehingga air sungai tercemar dan membuat ikan-ikan jadi mati, setelah lama saya berbincang-bincang tiba saatnya saya dan teman-teman melanjutkan perjalanan pulang, sebelum pulang kami menyempatkan diri untuk berfoto bersama ibu-ibu dan anak-anak yang berada disana sebagai kenang-kenangan, insya Allah jika masih diizinkan kami ingin kembali berkunjung kedusun puwoda’a, sekitar pukul 10 kami memulai perjalanan dengan melewati hutan belukar sekaligus membuka jalan, para sukarelawan dan mahasiswa yang membawa peralatan seperti parang, sensor dan lain sebagainya sangat antusias menebangi pohon-pohon dan semak belukar yang menghalangi jalan kami, sejauh 2 km perjalanan kami masih mulus tapi sewaktu kami menemui pertigaan kami sudah tidak tau arah jalan yang sebenarnya, itu disebabkan kami terpisah jauh dari penunjuk jalan, kamipun kebingungan karna kami berada ditengah-tengah hutan, ketua HMIB kami, kakak-kakak senior dan teman-teman kami tidak tinggal diam mereka mensurvei jalan-jalan yang berjurang sampai pukul 13.00 wita kami tetap berputar-putar ditengah hutan, akhirnya kami memutuskan untuk turun mencari sungai dan mengikuti kemana arah sungai berjalan karna hanya dengan cara itu kita bisa mendapatkan jalan keluar, setelah berunding beberapa saat kami turun kebawah untuk turun pun tidak mudah kami harus melewati jurang-jurang terjal dan jalan yang licin tapi kami saling membantu sehingga semuanya terasa mudah untuk dilewati kami terus mengikuti arah sungai berjalan-dan terus berjalan, hal yang paling menakutkan adalah ketika 3 dari teman kami dihinggapi hewan penghisap darah yang mirip dengan lintah, begitu menakutkan akhirnya sekitar pukul 14.00 wita kami sampai di sungai yang besar tapi setelah kami amati sungai dan hutan yang ini adalah hutan yang kami singgahi kemarin, serentak kami keheranan dan tertawa lucu sekali setelah berjam-jam kami bersusah payah mendaki gunung melewati jurang, sungai ternyata kami tetap pulang didusun puwodaa. Kamipun tetap melanjutkan perjalan sampai pukul 16.00 kami sampai di perumahan warga, tidak sampai disitu saat kami akan pulang ternyata ban mobil kami kehabisan angin, mana ada bengkel ditengah-tengah hutan seperti ini, tapi kami sebagai mahasiswa tidak kehabisan akal kami bersama-sama mendongkrak mobil dan menganti ban mobil dengan ban cadangan, setelah itu kami pulang. Seperti itulah kisah petualangan kami didusun puwodaa, selain senang, gembira, sedih, kami juga mendapat pengalaman yang begitu banyak, pengalaman tentang kenyataan ternyata masih ada penduduk yang masih dijajah oleh orang – orang yang tidak bertanggung jawab, sudah berpuluh-puluh tahun indonesia merdeka tapi jika dilihat kenyataan yang terjadi hanya orang-orang kaya saja yang merdeka, kami hanya bisa berharap dan berdoa semoga Allah membuka pintu hati dan mata para pejabat tinggi kita agar mau melihat masyarakat didaerah terpencil dan membantu kesulitan yang mereka hadapi, dan kami memohon berantas para pejabat-pejabat yang koruptor agar uang yang harusnya digunakan untuk membantu untuk membantu masyarakat yang kurang mampu tidak disalahgunakan hanya untuk kepentingan pribadi .