Gerakan Mahasiswa untuk Indonesia
Gerakan mahasiswa telah lama dilakukan bahkan sejak Indonesia belum merdeka. Pasca kemerdekaan, orde baru, reformasi, dan hingga saat ini sebagai bentuk manifestasi perannya selaku agent of change mahasiswa selalu menjadi kreator dan eksekutor dalam melakukan gerakan perubahan. Beberapa kalangan menganggap, jika diukur dari krisis politik ekonomi yang melatarinya, luasnya berita pers baik domestik ataupun internasional, frekuensi gerakan, serta jumlah mahasiswa dan universitas yang terlibat. Reformasi 98 adalah gerakan paling berhasil yang pernah ditorehkan mahasiswa, yaitu ketika rezim orde baru (orba) berhasil ditumbangkan.
Luapan tuntutan reformasi bermula pada tahun 1998, ketika terjadi krisis finansial Asia yang menyebabkan perekonomian Indonesia melemah. Ketika itu, nilai tukar Dollar Amerika terhadap Rupiah ($1 mencapai Rp 17.000), akibatkan naiknya harga barang-barang. Derita rakyat terus bertambah dengan ketidakpuasan terhadap terpilihnya kembali Presiden Soeharto untuk masa jabatan yang ketujuh kali. Dominasi partai politik tertentu dan terlalu kuatnya eksekutif yang didukung angkatan bersejata menjadi kekuatan sinergis untuk membendung kran demokrasi di Republik ini. Pemasungan kebebasan berpendapat dan berbagai pelanggaran HAM, telah menjadi fenomena gunung es yang menyimpan bara konflik dalam kehidupan bermasyarakat. Tingginya kesenjangan sosial antara si kaya dan si miskin, konflik terpendam antar etnis dan antar agama telah menjadi bom waktu yang setiap saat dapat meledak. Kegagalan pemerintahan Sooeharto dalam mengawal keamanan perekonomian nasional menjadi pemicu ketidakpuasan dan kemarahan masyarakat terhadap pemerintah.
Mei 1998, gerakan mahasiswa berulang-ulang menjadi berita hangat media di tanah air, ribuan mahasiswa dari berbagai universitas, dengan jaket almamaternya masing-masing, bergabung menjadi satu, Berbagai aksi keprihatinan berulang-ulang digelar, mulai dari Lampung, Jakarta, Bandung, Yogyakarta, sampai ke Ujungpandang. Berbagai universitas negeri terkemuka terlibat, seperti UI, ITB, UGM, UNHAS, ditambah beberapa universitas swasta lainnya. Slogan yang dikumandangkan pun beragam, namun seputar reformasi ekonomi dan politik.
Hampir disetiap dialog kemahasiswaan, baik pada masa ospek maupun perkaderan lainnya, pengulasan sejarah peristiwa 98 yang penuh heroik, dilakoni berbagai kalangan masyarakat dan mahasiswa, dengan meninggalkan catatan berdarah, betapa hidup telah mereka wakafkan kepada cita-cita luhur yang mengandung kebenaran dan keadilan adalah tema pembahasan paling digandrungi. Istilah tak ada gading yang tak retak merupakan kiasan pantas untuk menggambarkan betapa kekuasaan sebesar dan sehebat bagaimanapun ia pasti mampu digulingkan.
Adalah menarik untuk kembali mengkaji gerakan mahasiswa 98 yang saat ini tengah kita nikmati hasilnya. Bulan mei mendatang bangsa ini akan kembali menikmati jerih payah perjuangan reformasi yang ke 18 tahun. Tidak bermaksud nostalgia kejayaan tetapi sebagai bahan pembelajaran sekaligus pembanding gerakan kekinian yang dianggap oleh segelintir golongan hanya sebagai gerakan pencitraan dan pengguguran kewajiban yang dilakukan tanpa memiliki esensi spirit perjuangan. Layak kiranya jika gerakan kekinian disebut sebagai gerakan aktivis aksesoris, sekadar pembuktian eksistensi bahwa mahasiswa masih “ada”. Penelaahan gerakan yang pernah dilakukan oleh mahasiswa 98 mempertemukan kita dengan beberapa faktor penyebab keberhasilan gerakan tersebut.
Pertama, bersatunya organisasi baik kepemudaan maupun yang dilakukan oleh kelompok-kelompok masyarakat ketika itu, meskipun pergerakannya beragam, namun mereka sama-sama merasakan adanya satu keadaan ketertindasan dan ketidak bebasan mereka dalam kehidupannya. Sehingga, perlawanan yang dilakukan oleh satu organisasi bak sebatang lidi yang tidak mampu membunuh seekor lalat. Keseragaman gerakan yang berhasil terhimpun dalam satu barisan menjadi kemestian untuk menciptakan satu kekuatan besar dalam meruntuhkan rezim orba.
Sejarah mencatat, kekoperatifan yang dilakukan organisasi-organisasi baik organisasi intra kampus maupun ekstra kampus dan organisasi kemasyarakatan dengan suka rela menanggalkan egosentrisme kelompok, mampu membentuk satu-kesatuan utuh, memiliki kekuatan besar untuk melakukan perlawan dalam mewujudkan perubahan. Gerakan mahasiswa 1998 tampaknya telah belajar dari kesalahan gerakan mahasiswa sebelumnya, seperti gerakan mahasiswa 1974 dan 1978, bahwa kekuatan gerakan mahasiswa tak akan bisa diperoleh jika terjebak dengan pendekatan eksklusif atau berjuang sendirian tanpa melibatkan rakyat. Gerakan mahasiswa baru akan efektif jika betul-betul secara konkret didukung bahkan kalau perlu melibatkan komponen-komponen rakyat.
Kedua, Ikhtiar kerjasama dengan terjadinya penggabungan beberapa organisasi tidak serta-merta berlangsung begitu saja tanpa ada pilar yang menyokongnya. Hal mendasar mereka berkomitmen untuk bersatu yaitu, kesamaan isu. Kesamaan isu yang dimaksudkan adalah suatu masalah yang dihadapi organisasi. Permasalahan yang mereka rasakan tidak hanya dialami oleh organisasi mereka saja, melainkan banyak organisasi yang juga mendera masalah tersebut. Kesamaan masalah inilah yang menggugah mereka berkomitmen untuk melontarkan satu isu sentral yang pantas diperjuangkan, yaitu menuntut perubahan sistem politik dan ekonomi secara substansial. Kumandang tuntutan haruslah tetap fokus pada isu, yaitu isu yang menjadi anak zamannya, dengan isu tersebut, seandainya pun tidak berhasil, gerakan mahasiswa saat itu akan tetap dikenang sebagai hati nurani zamannya.
Ketiga, kesamaan visi. Gerakan-gerakan mahasiswa era 98 sebenarnya berbeda-beda orientasinya. Begitupun dengan ormas-ormas lainnya, memiliki pandangan berbeda pula terhadap apa yang dicitakan. Meminjam istilah Karl Marx “kondisi menciptakan kesadaran manusia”, kondisi tirani orbalah yang membuat satu kesadaran holistis pada mahasiswa sehingga membentuk satu simpul kesepahaman mengakhiri rezim jendral 32 tahun. Keterpasungan kebebasan dan ketakutan rakyat selama masa kekuasaan Soeharto telah menyadarkan dan membuat pemuda dan mahasiswa untuk tampil sebagai barisan pemberani untuk menggelorakan perubahan besar guna mewujudkan kebebasan seluruh rakyat Indonesia.
Tarakhir, gerakan mahasiswa dan pemuda 98 merupakan suatu gerakan matang yang pada mulanya embrio gerakan ini dimulai dari sekelompok orang yang saling berbagi derita dan luka, kemudian membengkak dan semakin terorganisir. Gerakan mahasiswa 98 merupakan kekuatan yang tersusun rapih dan terorganisir, memiliki visi perjuangan yang konkret. Pergerakan yang mereka lakukan bukanlah gerakan buta tanpa arah melainkan bangunan gerakan yang berdiri di atas kepetingan bersama. Proses transformasi pilu ketertindasan berubah menjadi diskusi kritis, dikaji tuntas oleh berbagai kalangan gerakan dengan waktu yang panjang, dari hari ke minggu bahkan ke tahun. Dilakukan pengkajian secara luas untuk menyolidkan struktur isu serta tuntutan tanpa kelemahan. Sampailah pengkajian masalah itu pada solusi yang mampu melahirkan kekuatan untuk melepaskan Indonesia dari tirani 32 tahun dan bukan malah seperti gerakan saat ini, sangat instan, pengkajiannya dari detik hingga 1 sampai 2 jam saja, data berasal dari opini umum atau yang berseliweran di dunia maya, tidak akurat dan matang.
Empat faktor di ataslah yang mendasari mengapa gerakan 98 dianggap berhasil. Coba kita tengok gerakan mahasiswa saat ini, khususnya yang berada di Gorontalo. Apakah gerakan-gerakan mahasiswa selama ini telah berhasil atau tidak? Untuk menjawabnya tentu lebih dahulu kita memahami bentuk gerakan mahasiswa. Pergerakan mahasiswa terbagi atas gerakan intelektual dan gerakan aksi. Gerakan intelektual dilakukan dalam bentuk dialektika ilmiah seperti seminar, diskusi, dan dialog. Pergerakan aksi mengandung arti, gerakan yang dilakukan dengan cara: pemboikotan, unjuk rasa, dan gerakan parlemen jalanan lainnya. Kerangka dasar gerakan inilah yang mengantarkan pada kepatutan mempertanyakan pergerakan yang dilakukan mahasiswa hari ini. Apa yang mahasiswa tuntut hari ini? Kalau ada, apa tujuannya? Apa yang melatar belakanginya? Mengapa gerakannya tak se arah? Mengapa benderanya banyak dan berwarna-warni namun peserta aksinya hanya belasan dari puluhan ribu?
Deretan pertanyaan di atas, menunjukkan gerakan mahasiswa yang tidak sesimpul, terkotak-kotak ego, sekat di mana-mana. Saatnyalah kini gerakan harus berlandaskan nasionalisme, rasa cinta tanah air dalam kebhineka tunggal ikaan, berbeda tapi tetap satu isu sentral, sevisi untuk Indonesia adil makmur, diperjuangkan setelah tuntas kajiannya.
Referensi:
Ali, Denny Januar. 2006. Jatuhnya Soeharto Dan Transisi Demokrasi Indonesia. Yogyakarta: LKIS Yogyakarta. Cetakan I
Hasibuan, M.U.S. 2010. Gerakan Politik Mahasiswa. Skripsi. Universitas Indonesia
Syam, Nur. 2010. Jejak Reformasi Dalam Lintasan Sosio-Historis. Makalah ini didiskusikan dalam rangka kerjasama antara DPD RI dalam rangka mencermati tentang Rencana Amandemen ke 5 dan Otonomi Daerah. Diskusi diselenggarakan di IAIN Sunan Ampel, tanggal 30 Juni 2010