Pesona Wanita Berjilbab Merah-Catatan 23 November 2015

08 April 2016 18:32:01 Dibaca : 81

Meski air sudah membasuh badan, kantuk kembali merindu kasur, kuliah jam delapan mengharuskanku melawan kemalasan pagi. Demi Ilmu semua ritangan aku ladeni. Setiba di kampus, perutku terserang mulas. Angin yang mencengkram perut berontak minta keluar. Kamar mandi yang berada di belakang sebelah timur dari ruang perkuliahan kusambangi. Pintunya terkunci dari dalam, tanda seseorang tengah menggunakannya. Kucari alternatif. Kaki terus melangkah melewati ruang kamar mandi hendak ke kamar mandi Fakultas. Pada ruangan sebelah nampak seorang mahasiswi tengah menggaruk betis putihnya sembari kakinya diangkat menginjak dudukan kursi panjang. Kecantikannya sirna tergaruk tangannya. Tidak ada yang salah dengan menggaruk, hanya lebih baik hal demikian tidak dilakukan di tempat umum. Cantik boleh relatif tapi mulas perutku mutlak adanya.


Hari ini rencananya akan UTS, padahal aku belum belajar dan meskipun belajar tetap saja aku tak paham. Mempelajari matakuliah yang satu ini ibarat mendobrak tembok setebal lima meter yang pondasinya sedalam 6 meter. Sudah ku dobrak sejak MTS, hingga semester sembilan di kampus, tembok itu tak kunjung roboh. Tembok yang membuatku belum bertoga. Tembok absurd gelapi kehidupanku. Tembok itu bernama Matematika. Pendapatku tentu tidak disepakati dengan mahasiswa Matematika. Beruntung, dosen pengampu yang sementara hamil akibat ulah halal siganteng dosen muda kembali absen. Alhamdulillah, perjuangan melawan pagi hanya sedikit sia-sia.


Bertahan di kampus pasti membosankan karena tidak adalagi kawan seangkatan. Sebenarnya mereka ada, hanya saja sudah sibuk dengan urusan penelitian dan ujian skripsinya masing-masing. Dahulu ke kampus untuk kuliah bersama, namun sekarang untuk wisuda sendiri-sendiri. Lebih baik pulang ke kontrakan dan menggilas sisa-sisa ngantuk di atas pembaringan.


Begitulah Tuhan yang selalu tak kehabisan cara untuk menguji hambanya. Di perjalanan, aku dipertemukan tanpa saling tegur dan sapa dengan seorang wanita. Kecantikannya tidak hanya outher beauty, tetapi juga inner beauty. Kulit putihnya yang bersih tertutup pakain muslimah berwarna hitam pekat berpadu lebar tudung merahnya yang menjulur menutupi kepala hingga pingganggnya. Wajahnya dibiarkan nampak tanpa cadar ala budaya masyarakat Islam padang pasir. Jilbabnya begitu mencolok di bawah terpaan sinar mentari pagi Gorontalo. Ia menundukkan pandangannya sewaktu kami kian dekat. Kala berpas-pasan seolah waktu berjalan lambat, slow motion. Setiap detik yang berlalu kunikmati dengan memandang wajahnya yang terus merunduk teduh. Hati jujur merasa, pesona kecantikan dalam kebungkamannya terpancar menembus relung material perasaan, tersimpan, tumbuh, lalu bermekar keindahan. Saying, di tangannya tergenggam tiga buku tebal. Pada sampul buku teratas tertera kata KALKULUS. Rupanya ia anak matakuliah yang kubenci.

Kategori

  • Masih Kosong

Blogroll