MERANA MENUJU SARJANA (Stop Pungutan!)

08 April 2016 18:05:57 Dibaca : 162

 

 

 

Tulisan ini dibuat sebab kegundahan seorang kawan mahasiswa disuatu pagi, awal minggu pertama di bulan April 2016 yang cerah, kala ia tengah mengurus kelengkapan administrasi menuju sarjananya. Ia bercerita dengan bibir senyum yang berusaha menyembunyikan kesedihan. Ia terheran, tidak terpukau, namun, merasa miris setelah mengetahui bahwa kelengkapan administrasi yang ia butuhkan hanya dapat diperoleh dengan mudah bila merogoh rupiah terlebih dahulu.


Siapa sih yang tidak mau menjadi sarjana? Mereka yang bersekolah, terutama mahasiswa tentu sangat mengidam-idamkannya. Sarjana adalah adalah gelar strata satu yang dicapai oleh seseorang yang telah menamatkan pendidikan tingkat terakhir di perguruan tinggi. Sarjana membuat nama seseorang mendapatkan tambahan gelar. Gelar yang melekat lantas menjadi simbol keilmuan dan bekal memperoleh pekerjaan yang lebih baik demi kehidupan layak. Orang tua pun rela mengeluarkan biaya yang dibutuhkan demi ilmu dan gelar sang anak, meskipun itu berarti mengorbankan kebutuhan lain, utang di mana-mana, atau bekerja lebih keras lagi. Setelah menyandang gelar, pekerjaan yang paling digandrungi biasanya adalah pekerjaan kantoran atau menjadi pegawai negeri sipil. No problem. Konsentrasi masalah terletak pada kerelaan dengan mimpi agar anak/keluarga memperoleh kehidupan lebih baik yang “termanfaatkan” oleh penjahat intelektual untuk memuaskan dahaga matrealisme.


Adalah Tehasan (nama samaran), mahasiswa semester akhir yang sedang merana mepersiapkan keberakhiran kuliahnya. Liku perjalanan menuju sarjana rupanya tidaklah mudah seperti yang tergambar dalam benaknya selama ini. Masalahnya ada pada “rupiah” yang hampir disetiap pengurusan kelengkapan berkas, wajib dihadirkan. Seperti: daftar ujian skripsi Rp.1.200.000 , daftar wisuda Rp.900.000, surat keterangan bebas laboratorium Rp.50.000, tanda tangan wadek satu pada transkip nilai Rp.50.000, bebas perpus Jurusan Rp.25.000, bebas perpus Fakultas Rp.20.000, bebaskan diri dari kebodohan dan kimiskinan hitung saja pengeluaran dari SD sampai toga bertengger di kepala! Beberapa nominal ini mungkin terbilang sedikit, tetapi kalau dikalikan dengan puluhan mahasiswa dan tiga kali wisuda dalam setahun? Aduhai jumlahnya. Biaya penidikan kita, mirip dengan apa yang dikatakan oleh Mahatma Gandhi pada pasa kolonialisme Inggris di India “dan sekolah-sekolah yang didirikan mengikuti pola-pola Eropa itu terlalu mahal bagi rakyat.”


Misalnya, menghitung pendapatan dari pendaftaran wisuda. Dengan asumsi calon wisudawan/wati 900 orang, dikali biaya pendaftaran wisuda Rp.900.000, diperoleh hasil Rp.810.000.000, dikalikan lagi dengan 3 kali wisuda dalam setahun, hasilnya sama dengan Rp.2.430.000.000. Entahlah, dana ini dialokasikan ke mana. Belum lagi dengan biaya SPP. Jumlahnya mungkin masih cukup membangun 2 hotel, satu dilapangan catur, satunya lagi di Damhil Park. Sayangnya, dana tersebut tak cukup untuk mengatasi wifi lalot, kesenjangan wc dan jumlah mahasiswa, kesejahteraan cleaning service, ruang kuliah yang jadi rebutan, penataan buku perpus pusat yang semrawut, biaya bebas lab, biaya bebas perpus, biaya tanda tangan transkip nilai, dan mbl.


Rupiah ibarat batu yang dapat menjadi pijakan menggapai cita. Kadang, bahkan sering, rupiah juga ibarat bongkahan batu besar yang menggelinding dari puncak, sebagai tantangan bagi seorang pendaki untuk berdiri di puncak kesuksesannya. Boleh saja batu itu menggelinding, bila terjadi secara wajar dan jelas peruntukannya. Anehnya, batu itu seperti peluru kendali berteknologi tinggi, jalur gelindingnnya tidak normal, bahkan bisa memburu dan menggelinding ke arah berlawanan, menanjak. Sang pendaki, setelah letih dan keluh penuh peluh. Akhirnya, berhasil jua mencapai puncak dengan haru senyuman bangga, ditandai dengan: lempar toga (selamat tinggal kawah derita); foto yang diupload ke media sosial dengan status happy graduation-merasa senang. Seolah dia adalah pejuang; pejuang yang tertipu.


Ilmu dagang mengajarkan, untuk menjadi pengusaha sukses hanya membutuhkan modal sedikit-untung membuncit. Namun, ini tidak berlaku dalam sistem pendidikan. Justru yang terjadi adalah kurva garis lurus antara sukses dan biaya; Semakin tinggi pendidikan yang akan diraih, semakin tinggi pula rupiah yang harus dikeluarkan.


Pendidikan bertujuan untuk melepaskan seseorang dari belenggu kebodohan. Sementara, kebodohan bersahabat dengan kemiskinan. Bagi kalangan kelas ekonomi ke bawah, pembebasan dari kemiskinan dan kebodohan berharap pada beasiswa. Pada sisi yang lain, beasiswa justru menjadi alat perenggutan nyali kebebasan berpikir kritis dengan cara pengancaman dan iming-iming oleh pemberi/pengelolah; penerima beasiswa bila kritis akan dicap sebagai orang yang tidak tau berterimakasih, tidak tau diri. Akhirnya, dibuat bungkam terhadap kesewenang-wenangan.


Bagi kalangan kelas menengah dan kalangan kelas ekonomi atas, biaya pendidikan mungkin tidak terlalu menjadi soal. Episentrum masalah bukan pada kemampuan ekonomi, tetapi kepada munculnya pemahaman sempit mahasiswa dan masyarakat untuk tidak mengeluh, terus bersabar, dan pandai bersyukur atas kondisi pembodohan ini. pembodohan terus bergulir menjadi kebiasaan dan dianggap sebagai kebenaran. Sementara mahasiswa kritis dianggap sebagai kesesatan. Hal ini jelas bertentangan dengan tulisan yang pernah terpampang disalah satu bener fakultas “jangan benarkan kebiasaan tetapi biasakanlah kebenaran.”

Kategori

  • Masih Kosong

Blogroll