cerita cinta sejati

24 February 2013 11:18:02 Dibaca : 1906 Kategori : kumpulan cerita

Harus! Titik! Nggak ada tapi-tapian lagi! Apapun yang terjadi dia harus bisa! Yap, apalagi kalo bukan harus langsing! Itu misi terpentingnya. Itu cita-citanya yang paling diimpikan siang malam, pagi sore, pokoknya segera. Darurat deh! Doo segitunya? Emang seh, cita-citanya nggak semulia orang lain malah kesannya malu-maluin, tapi Suci nggak peduli. Dia tetep keukeh pengen langsing mendadak, kalo bisa malah lebih instan daripada buat mie.

Sebenernya kalo dipikir-pikir Suci tuh nggak gendut amat cuma agak kelebihan berat badan doang (ye, itu sih sama aja!) dalam rangka merencanakan strategi pelangsingan yang oke punya, maka disinilah Suci berada. Di depan kaca besar dalam kamarnya yang serba pinky.

Tepatnya sudah satu jam lebih 34 menit plus 10 detik. Mungkin kalo kacanya bisa ngomong kayak di dongeng, doi bakalan misuh-misuh alias bete abis "Woiii, gue udah pegel nih diplototin mulu dari tadi! Berenti kenapa?" kurang lebih gitu kali.
Sayang aja, kacanya nggak bisa protes. Dan Suci masih aja puter-puter mirip gasing. Ih! kurang kerjaan banget sih? Akhirnya Suci berhenti juga muter-muter dan coba-coba jilbab yang super ribet (baginya), kepalanya mulai pening, nyut-nyutan gara-gara kebanyakan muter. Untung belum oleng, tapi Suci masih belum selesai juga.

Sekarang dipegangnya pipi yang lumayan gembil itu. Huh, apa tadi kata Dinda? Tembem? Masak sih? Tapi emang tembem, sampe matanya jadi keliatan lebih kecil ketutup dengan pipinya. Kebayang kan gimana betenya Suci? So, menimbang, memilih dan memutuskan (ceile, lagaknya kayak direktur aja) hari ini Suci menyatakan perang dengan segala makanan dan hal lain yang berkaitan erat dengan kegemukan termasuk sama coklat yang paling dia sukai. Motto Suci yang tadinya tiada hari tanpa ngemil, terpaksa harus disingkirkan. Tapi, apa sih sebenernya yang bikin Suci jadi mati-matian mau langsing gitu?

Sebelumnya Suci oke-oke aja dengan bodynya yang lebih berisi dibanding cewek seangkatannya. Tapi itu dulu! Waktu Suci masih wajib peke seragam putih biru. Sering sih, dia diledek oleh teman sekelasnya. Tapi sejak beberapa bulan lalu, pas Suci udah jadi siswa SMA, mulai deh uring-uringan. Tadinya dikit tapi tambah lama tambah berat. Terus, mendadak jadi hal yang prinsipil.

Kantin sekolah (jam istirahat)

"Din, Din!"

"Emangnya aku klakson?! Apaan sih! Gangguin kenikmatan orang lagi makan aja!"

"Liat deh, liat deh! Itu tuh, mas Yusuf ketua rohis sekolah kita lagi sama anak kelas satu yang baru masuk."

"Ada apa sama mereka?"

"Mesra amat, seh!"

"Yee...bolehnya cembokur."

"Ih, siapa yang cembuu? Heran aja. N’tu anak biasanya kan dingin banget sama cewek"

"Kulkas kali"

"Eh, Din, Din"

"Uh, Suci...kalo manggil nama aku sekali aja dong! Gak usah diulang-ulang, jadi kayak klakson kedaraan tau! Kenapa lagi?"

"Apa cewek kelas satu itu nggak risih duduk berduaan sama cowok? Mana rapeet benget. Padahal dia kan?"

"Pake jilbab?"

"Iya. Harusnya dia malu dong sama jilbabnya! Masa’ akh…akh…apa namanya, Din?"

"Akhwat."

"Iya. Akhwat, masa’ kelakuannya gawat gitu. Mana di tempat umum lagi…apa dia gak malu, diliatin sama anak-anak lain?"

"Tapi, Ci..."

"Ih, mending lepas aja jilbabnya!"

"Lho, kok?"

"Buat apa pakai jilbab kalo kelakuannya gak Islami gitu?"

"Tapi Annisa..."

"Ah, siapapun namanya, ketika seorang wanita telah memutuskan berjilbab, seharusnya dia bisa menyesuaikan kelakuan dengan pakaian yang dikenakannya. Tapi anak kelas satu itu..."

"Annisa?"

"Iya, iya... Annisa, kamu sendiri sebagai akh... akh"

"Akhwat."

"Iya itu, apa kamu nggak risih melihat mereka dua-duaan gitu? Aku aja belum pake jilbab gak gitu-gitu amat kalo sama cowok..."

"Ha ha ha... kamu pasti cemburu sama Annisa, kan?"

"Idiih... siapa yang cemburu?!"

"Gak cemburu tapi mukanya merah"

"Masak sih, Din?"

"Liat aja sendiri di kaca!"

***

Ruang kelas XI IPA 4, 15 menit sebelum bel masuk berbunyi.

"Din, Din!"

"Suci...! Kali ini apa lagi? Cepetan kalo mau cerita, aku lagi sibuk ngerjain PR kimia!"

"Masih soal mas Yusuf sama anak kelas satu itu."

"Kenapa lagi mas Yusuf sama Annisa?"

"Kemarin aku liat mereka jalan berdua di Sriwedari! Mereka bener-bener udah jadian, ya?"

"Jadian?"

"Iya, pacaran!"

"Suci, mereka itu..."

"Pacaran, kan? Uh, sebel banget deh ngliat mereka jalan berduaan"

"Hayo! Kamu naksir kan sama ketua rohis sekolah kita itu?"

"Naksir? Aku? Sama mas Yusuf?"

"Iya, kalo gak naksir, kenapa harus sebel melihat mereka jalan berduaan?"

"Oh, eh, i...i...tu"

"Ngaku aja, deh! Naksir juga nggak apa-apa..."

"Ngg.. anu... hehe... iya sih, Din"

"Huh, ngomong gitu aja kok susah amat...Udah ah, lagi sibuk, nih.. masih banyak soal yang belum aku kerjakan."

"Eh Din... terus gimana, dong? Gimana caranya supaya mas Yusuf suka sama aku?"

"Lho! Bukannya selama ini mas Yusuf emang suka sama kamu?"

"Masa sih, Din? Kamu tau dari mana?"

"Yang aku liat begitu, Uci mas Yusuf itu suka ama kamu."

"Yang bener, Din?"

"Iya, suka... nyuekin kamu! Huahaha…hahaha"

"Dindaaaaaaaaaaa!!!...!"

***

Emang sih kalo mau dibandingin Suci sama Annisa itu jauh banget, Annisa itu cewek kalem, pintar, imut, n yang pasti nggak segendut Suci.

Teras depan rumah Dinda, siang menjelang sore.

"Gawat, Din! Gawat Din! Aku liat mas Yusuf boncengin Annisa pakai motor!"

"Dimana letak gawatnya?"

"Annisa duduknya rapeeeeet banget, pake meluk pinggangnya mas Yusuf segala!"

"Biarin aja, biar gak jatoh kali. Diakan kecil anaknya, nggak kaya kamu!"

"Emang kenapa sama aku?"

"Tapi apa Din...?"

"Jatoh juga sih!... kalo kamu yang bonceng, kamunya gede, mas Yusufnya kurus ya bakal..."

"Bakal apa?"

"Bakal... jungkir balik, alis ngejengkal... hihihi"

"Iiih... Dinda"

"Apa iya mas Yusuf milih cewek yang ramping?"

"Iya kali"

"Hemm... kalo gitu aku musti diet ketat nih!"

"Whats? Suci diet?! Apa nggak salah denger!"

***

Ini jamu apa comberan ya? Kok… baunya ngalahin got depan rumah? Suci gak abis pikir, begitu beratkah perjuangan yang harus dilaluinya demi pinggul yang seksi, perut yang rata dan ops, tentu aja, pipi yang nggak tembem kaya bakpao. Glek! Glek! Suci merem sempet megap-megap sebentar. Hihi... kayak ikan mas koki keabisan air. Perutnya seperti dikitik-kitik, kayak mau muntahin sesuatu. Jamu tadi, tapi Suci udah bertekad baja. Apapun yang terjadi, jamu itu harus ngendon di perutnya. Nggak boleh keluar lagi. Hhhh... Suci menderita sekali.

Seandainya mas Yusuf tau betapa besar pengorbanannya demi bisa diboncengin ketua rohis itu, biar gak ngejengkal, kan kasihan juga mas Yusufnya. Ini sudah merk jamu yang ketujuh, yang dicobanya. Dan tak sedikitpun perubahan terjadi pada bodynya. Lemak pipinya tak berkurang meski hanya satu milimeter. Padahal ia sudah memasuki babak kesepuluh hari sejak ia menyatakan perang terhadap kegendutan.

***

Jamu udah! Pil pelangsing udah! Teh hijau biar singset udah! Pake magnet di perut sampe sesak nafas udah! No coklat, no es krim, udah! Padahal itu makanan favoritnya lho. Berenang seminggu sekali (meski lebih banyak air kolam yang ketelen ketimbang berenang). Juga udah! Anti makan nasi udah! Puasa makan pas lewat dari jam enam sore, udah! Yang terakhir, seminggu belakangan ini, dia cuma makan apel doang. Beneran Cuma apel tok! Pagi, sarapan apel, siang, makan apel, malem, apel lagi. Muka Suci aja udah mirip apel, bulat kemerahan.

Sampe-sampe kemarin, pas upacara, dia hampir pingsan. Nyaris! Matanya kunang-kunang. Yang keliatan cuma bintik-bintik putih yang rada mengkilat, terang, kedip-kedip. Buru-buru dia pegangan di bahunya Dinda, kalo nggak, pasti deh dia udah gedubrak di lantai.Yang ada di kepala Suci, Cuma bayangan apel, apel dan yap apel again!

"Udah deh Suci jangan diterusin lagi"

"Ah, aku masih kuat kok..."

"Kamu udah gila? Nggak cukup tadi kamu mau pake acara pingsan segala?"

"Itu kan nyaris, belum pingsan beneran!"

"Oke! Gini aja, aku nggak mau ngurusin kamu lagi kalo besok kamu pingsan beneran!"

"Yah, kamu segitunya ama aku, siapa lagi yang mau nolongin aku kalo bukan kamu, pliss!"

"Salah kamu sendiri! Diet kok nggak kira-kira?"

"Abis gimana dong! Aku harus langsing, ini mutlak! Ini menyangkut mati hidupnya aku!"

"Suci...emang kalo kamu langsing, apa mas Yusuf pasti bakal mau jadi pacar kamu? Ini lagi, kamu jadi ikut-ikutan pake jilbab, mending kalo pake jilbabnya karena Allah ta’ala tapi ini malah melenceng, cuma demi merebut perhatian mas Yusuf dari Annisa!"

"Namanya juga usaha!"

"Usaha sih boleh, tapi apa usahamu, pengorbananmu setimpal harganya dengan seorang Yusuf?"

Suci diam, iya juga sih! Kenapa mas Yusuf harus menjadi begitu penting baginya? Mengalahkan rasa perih yang musti dideritanya saat menahan lapar. Mengalahkan lelahnya setiap kali ia jogging, berenang, sit up. Mengalahkan nasib lambungnya yang jadi bahan percobaan segala merek obat pelangsing. Mengalahkan kepalanya yang nyut-nyutan karena seminggu ini ia bela-belain hanya memakan apel. Mengalahkan rasa gerahnya pake jilbab karena buat nyaingin penampilan Annisa cewek kelas satu itu. Beginikah susahnya? Padahal ia hanya ingin merasa disayangi, dicintai? Hanya itu. Tidak lebih. Tidak berhakkah ia untuk merasakan semua itu?

***

"Kamu pengen dicintai, disayangi dengan keadaan kamu yang apa adanya ini kan?" Suci menggeleng, tak mengerti ke arah mana pembicaraan Dinda."

"Kamu pengen, ada yang menyayangimu, nggak peduli kamu gembrot, jerawatan, kulit bersisik, rambut pecah-pecah, idung bulu keriting..."

"Hei! Stop! Stop! Kok malah ngejekin aku?"

"Ups, sory! Aku terlalu bernafsul..."

"Emangnya ada?"

"Oh, jelas! Bahkan lebih hebat dari siapapun dan apapun di dunia ini. Maha segalanya. Gak ada tandingannya deh!"

"Kalo kamu misal suatu saat jadian sama mas Yusuf, pasti ada berantemnya. Pasti ada sedihnya, betenya, empetnya, marahnya, belum lagi kalo mas Yusuf misal suka sama cewek lain, wuih... kamu pasti sakit ati banget kan?"

"Kok doa kamu jelek banget sih?"

"Bukannya gitu. Ini kan fakta yang bakal kamu alamin kalo jadian sama dia… Nah kalo sama yang aku calonin tadi, kamu nggak bakal sakit ati. Never deh! Promise!" Dinda mengangkat kedua jarinya membentuk huruf V.

"Siapa sih?"

"Allah...!"

***

Kok semuanya serba putih? Dimana dia? Apa ini mimpi? Suci menatap nanar sekelilingnya. Ia mengangkat tangan kanannya hendak mencubit pipi, biar ia segera tahu ini mimpi atau bukan. Tapi, waa... kok ada selang infus di tangannya? Buat apa? Memangnya dia sakit? Kapan? Kok dia nggak ngeh? Diliriknya Dinda yang menelungkup di pinggir tempat tidur. Kayaknya sih tidur, kalo gitu, beneran dong ini rumah sakit! Pengen ngebangunin Dinda, mau nanya kenapa ia bisa ada di sini tapi kok ya... nggak tega. Liat aja muka Dinda, meski cuma separo pipinya yang keliatan, tapi jelas ada lingkaran hitam di sekeliling matanya. Pasti kurang tidur, ngapain dia begadang? Ye, tulalit amat! Begadang nungguin dia lah, siapa lagi? Suci berusaha mengingat hal terakhir yang dilakukannya.

Mmm... apaan ya? Kayaknya di sekolahan deh! Trus... apa ya? Suci berusaha keras mengingatnya. Kepalanya jadi cenut-cenut. Tapi Suci nggak berenti mikir. Ah, ya! Dia ingat sekarang! Waktu itu, perutnya perih banget, jalannya udah lemes, diseret-seret karena tenaganya udah drop. Dia telentang di Mushola SMA nungguin Dinda yang lagi sholat. Dia sendiri? Hihi... masih bolong-bolong sholatnya. Tergantung mood, meskipun dia udah berjilbab. Huss! Bukannya nyadar kok malah ngikik. Abis itu apa ya? Kayaknya sampe disitu deh! Seterusnya gelap, ya... gelap.

Kepala Dinda bergerak, tangannya menggeliat, air mukanya terkejut, campur bahagia melihat Suci yang udah bangun.

"Eh, kamu udah bangun ya?"

"Aku bego ya, Din?"

"Siapa yang bilang kayak gitu?"

"Aku bener-bener idiot, kan?"

"Ssshh... nggak bagus ngomong kayak gitu."

"Aku bego... mau-maunya kayak gini cuma gara-gara..." Air mata Suci mulai merembes.

"Kamu nggak bego cuma khilaf..."

"Udah deh, Din! Nggak usah ngehibur aku! Aku tau, aku ini bener-bener stupid!"

"Eh kamu tahu Annisa itu?"

"Udah deh Din! Aku nggak mau nginget-nginget tentang itu!"

"Mereka kakak beradik"

"Hah...! Yang bener kamu?"

"Ye, kamu nya sih kebiasaan, kalo orang ngomong itu dengerin dulu, jangan nyerocos terus!"

"Jadi! Bukannya karena mas Yusuf suka sama cewek yang langsing & pake jilbab kaya Annisa itu?"

"Wah, kalo itu mana aku tahu..."

"Uh, udah dibela-belain diet ketat plus pake jilbab sampe kepala aku rasanya gatel banget, lagi..."

"Terus, kamu mau lepas jilbab kamu?"

"Yah, ehm... gimana ya"

"Kamu nggak malu lepas jilbab? Jilbab itu bukan buat mainan tau!"

"Aku gak lepas jilbabku."

"Nah, gitu dong!"

"Tapi... aku masih bisa kan ngecengin mas Yusuf?"

"Suci, udah deh, aku gak mau nungguin kamu di rumah sakit lagi kalo kamu jatuh sakit lagi gara-gara pengen diet!"

"Ya, ya... aku bakal berenti diet!"

"Nah, itu baru Suci temanku"

"Aww, sakit tau pipiku dicubit!"

"Habis kamu ngegemesin sih!"

Entah darimana datangnya, tiba-tiba saja, otak Suci memutar ulang memorinya tentang ucapan Dinda waktu itu. Tentang ada yang bisa menyayanginya bagaimanapun buruknya rupa dia. Ada yang bisa menyayanginya tanpa ia harus berkorban menjadi langsing.

Ada! Suci yakin sekali, dia memang selalu menyertai kita, memperhatikan kita, mengawasi kita, menyayangi kita lebih dari siapapun, dialah Allah swt. Hanya Allah-lah yang mengerti tentang diri kita. Dan hanya kepada Allah-lah kita patut mencurahkan cinta sejati.