Interoperabilitas
Nama : moh abdu adam
Nim : 521414041
Mata Kuliah : Teknologi Informasi
Interoperabilitas
Interoperabilitas adalah dimana suatu aplikasi bisa berinteraksi dengan aplikasi lainnya melalui suatu protokol yang disetujui bersama lewat bermacam-macam jalur komunikasi, biasanya lewat network TCP/IP dan protokol HTTP dengan memanfaatkan file XML. Adapun aplikasi disini boleh berada di platform yang berbeda: Delphi Win32, .NET, Java, atau bahkan pada O/S yang berbeda.
Kata "interoperability" terdiri dari 3 kata, yaitu: "inter" yg artinya antar (beberapa hal), "operate" yg artinya bekerja, dan "ability" yg artinya kemampuan/kebisaan. Sehingga kalo digabung menjadi "inter-opera-bility" kira2 artinya menjadi "kemampuan bekerja antar beberapa hal" atau terjemahan bebasnya kira2 "kemampuan saling bekerja sama antar beberapa hal". Salah satu contoh aplikasi yang punya interoperability adalah aplikasi Web Services, SOA, XML-RPC.
Interoperabilitas menjadi persoalan komplek dalam pertukaran data antar sistem dengan platform berbeda, seperti terjadi pada e-banking dan e-government. Adalah tidak mungkin menyeragamkan format dan skema data pada semua sistem, juga lebih tidak mungkin menyeragamkan sistem, apalagi menggunakan vendor yang sama. Salah satu pendekatan yang diterima adalah standardisasi format data yang dipertukarkan, dan XML memberikan jawaban yang tepat.
XML adalah keturunan SGML, secara genetik bersifat interoperability, seperti saudara tuanya HTML yang telah mengubah dunia berkat sifat interoperabilitasnya. Sementara HTML hanya terbatas pada wilayah browser, XML dilahirkan untuk dikembangkan, sesuai namanya XML dimana X-nya adalah extensible. XML diterima secara luas dan telah memegang peran utama sebagai aktor dalam pertukaran data di web dan di wilayah lainnya, seperti XHTML, RSS, MathML, MusicML, GraphML, SVG, Office Open XML, dan ribuan lainnya.
1. Interoperabilitas dalam Pertukaran Data: Tinjauan Teknis
Dewasa ini tidak ada lagi urusan penyelenggaraan pemerintahan yang bisa lepas dari keterlibatan TI. Pengolahan data khususnya, sangat tergantung pada peran komputer, jaringan komputer, basis data, dan perangkat lunak aplikasi yang terkait. Dalam berbagai kasus, pengolahan data tidak lagi dipandang sebagai komputasi yang dilakukan pada satu komputer saja, tetapi melibatkan juga komunikasi data antar komputer. Seperti dalam penjelasan sebelumnya, komunikasi data diperlukan dalam konteks untuk menyusun informasi yang bersifat multisektoral. Kebutuhan ini terutama muncul untuk pengambilan keputusan pada aras strategis yang biasanya melibatkan beberapa unit/badan/dinas terkait.Kondisi nyata di lapangan pada umumnya menunjukkan bahwa sistem-sistem informasi yang digunakan di unit/badan/dinas tersebut dibangun di atas komponen-komponen yang berbeda. Heterogenitas terjadi pada perangkat keras (hardware), sistem operasi, program aplikasi, maupun sistem basis data yang digunakan. Dalam kondisi ini muncullah isu interoperabilitas: bagaimana sistem-sistem yang berbeda tersebut bisa saling berkomunikasi dan bertukar data dengan baik.
Dalam pertukaran data antar aplikasi komputer yang berbeda, masalah utamanya terletak pada format data. Perbedaan format data menyebabkan data dari satu aplikasi tidak bisa begitu saja dikirimkan ke dan digunakan oleh aplikasi lainnya. Untuk itu diperlukan sebuah format “netral” yang disepakati oleh kedua aplikasi. Kata “netral” berarti tidak memihak ke format yang digunakan oleh salah satu aplikasi. Dewasa ini, format netral untuk pertukaran data banyak dijalankan oleh XML (eXtensible Markup Language). XML adalah sebuah format dokumen yang mampu menjelaskan struktur dan semantik (makna) dari data yang dikandung oleh dokumen tersebut [1]. Berbeda dengan HTML yang lebih berorientasi pada tampilan (appearance), XML lebih fokus pada substansi data, sehingga lebih cocok digunakan sebagai media pertukaran data. Kelebihan XML dibandingkan format teks biasa adalah dengan XML, struktur data yang ditransfer tidak “hilang”, demikian juga deskripsi tentang semantik datanya. Dengan karakteristiknya ini, XML telah menjadi standar de-facto bagi pertukaran data antar aplikasi komputer. Spesifikasi formatnyapun telah distandarkan untuk menjadi referensi yang sama bagi tiap aplikasi komputer yang memerlukannya.
Selain format, masalah lain dalam pertukaran data antar aplikasi komputer adalah mekanisme pertukarannya. Aplikasi-aplikasi yang berkomunikasi biasanya independen satu sama lain. Keduanya dibuat oleh pengembang yang berbeda, pada saat yang tidak sama pula. Padahal untuk bisa berkomunikasi, sebuah aplikasi harus tahu tentang cara menghubungi dan berbicara dengan aplikasi mitranya serta struktur data yang terlibat. Memberitahu semua ini berarti memberitahu detil internal dari aplikasi tersebut, dan ini yang sering menimbulkan kesulitan, karena tidak semua instansi bersedia membuka detil internal aplikasinya ke pihak lain, dengan alasan keamanan data dan sebagainya.
Untuk itu diperlukan cara lain yang lebih realistis. Yang sekarang banyak dilakukan orang adalah menggunakan Service-Oriented Architecture (SOA). SOA adalah sebuah skema yang memungkinkan komunikasi antar aplikasi dilakukan secara loosely-coupled, artinya masing-masing pihak tidak perlu punya ketergantungan yang tinggi satu sama lain [2]. Dalam SOA, komunikasi didasarkan pada konsep layanan (service). Komunikasi berbasis layanan ini menggunakan prinsip client-server. Ada aplikasi yang menyediakan layanan, dan aplikasi lain bisa meminta layanan tersebut. Permintaan terhadap layanan dilakukan dengan cara memanggil sebuah fungsi yang merepresentasikan layanan tersebut. Bila sebuah fungsi dipanggil, maka aplikasi penyedia layanan wajib memberikan layanannya ke aplikasi pemanggil.
Keunggulan SOA adalah bahwa detil-detil internal yang terlibat dalam pemanggilan fungsi layanan sepenuhnya “dibungkus” (disembunyikan) di balik fungsi tersebut. Ada “interface” yang secara tegas memisahkan bagian yang bersifat publik (boleh diketahui oleh aplikasi-aplikasi lain), dan bagian yang bersifat privat (aplikasi lain tidak perlu tahu). Dengan adanya interface ini, aplikasi client tidak perlu tahu tentang detil-detil internal, cukup sintaks fungsinya saja yang perlu diketahui. SOA bisa mengakomodasi kepentingan kedua belah pihak: server tidak perlu menunjukkan detil-detil data yang mungkin bersifat sensitif atau rahasia, sementara sebuah client tetap bisa meminta data yang diinginkannya kepada server. Dalam lingkungan aplikasi berbasis Web, SOA diimplementasikan dengan teknologi web service [3]. Web service menggunakan konsep seperti pada Gambar 3. Web service juga menyediakan abstraksi yang seragam bagi aplikasi-aplikasi client dan server. Hal ini memberikan fleksibilitas yang lebih tinggi lagi. Pada dasarnya aplikasi server dan client dapat dikembangkan dengan berbagai perangkat keras, sistem operasi, bahasa pemrograman, dan sistem basis data. Kemudian aplikasi ini dikemas sehingga bisa diakses dengan menggunakan protokol dan format standar web (http dan XML). Karena web sendiri sudah berkembang sebagai sebuah platform standar, maka web service menjadi sebuah pilihan yang menjanjikan.
Kesimpulannya, teknologi web service memungkinkan dilaksanakannya komunikasi antara dua aplikasi yang berbeda secara luwes, keduanya tidak perlu mengetahui detil internal masing-masing. Independensi dan otonomi inilah yang menjadi syarat penting dalam pertukaran data antar instansi, dan teknologi web service (dan XML sebagai format standar pertukaran data) memungkinkan hal itu dilakukan dengan mudah.
2. Kebijakan Pertukaran Data
Secara teknis, teknologi untuk melakukan pengiriman dan pertukaran data antar aplikasi komputer di instansi-instansi pemerintah yang berbeda telah tersedia. Selanjutnya, penerapan teknologi ini perlu didorong dan didukung oleh perangkat kebijakan yang memadai. Perangkat kebijakan inilah yang mengatur mekanisme pertukaran data pada aras operasional sebagai bagian dari proses-proses birokrasi yang dijalankan dalam kerangka e-government.
Tatakelola (governance) pertukaran data mendefinisikan isu-isu penting yang mungkin muncul dalam proses pertukaran data antar instansi pemerintah. Sebagai contoh, Pemerintah New Zealand mendefinisikan hal-hal berikut sebagai yang harus diatur [4]:
v Tujuan pertukaran data
v Otoritas legal yang terlibat
v Kebijakan manajemen data
v Standar untuk nama dan alamat
v Isu-isu tentang file data: format, parsing, skema, sintaks, dan lain-lain
v Isu-isu tentang pengiriman (transfer) data dan pesan: skenario transfer, keamanan, autentikasi, non-repudiasi, kompresi data, dan lain-lain
v Isu-isu implementasi: compliance, implementasi pilot, pengendalian perubahan (change control), audit, IPR, dan lain-lain
v Isu-isu lainnya: kualitas informasi, kepercayaan (trust), proses bisnis, dan lain-lain
Khusus tentang format pertukaran data, banyak pemerintahan atau organisasi global yang merekomendasikan penggunakan format yang bersifat terbuka seperti Open Document Format (ODF) yang sejak tahun 2006 telah menjadi standar internasional ISO/IEC JTC 1 IS 23600 [5]. ODF dirancang untuk menjadi format untuk pertukaran data antar aplikasi perkantoran, yang spesifikasinya ditetapkan oleh sebuah konsorsium Organization for the Advancement of Structured Information Standards (OASIS) [6]. Melalui program Interoperable Delivery of European e-Government Services to Public Administrations, Business, and Citizens (IDABC), Uni Eropa telah merekomendasikan ODF sebagai format pertukaran data dan dokumen dalam inisiatif e-government di negara-negara anggotanya [7]. Dengan format terbuka, diharapkan pertukaran informasi antar instansi pemerintah, perusahaan swasta, dan warga masyarakat dapat dilakukan secara lancar.
3. Pendekatan dan Strategi Implementasi
Sepanjang yang penulis ketahui, Indonesia belum memiliki kebijakan operasional yang mengatur tentang pertukaran data antar instansi pemerintah. Pada tahun 2004 Pemerintah sebenarnya pernah meluncurkan program Intergovernmental Access to Shared Information System (IGASIS) yang dirancang untuk mengatur, salah satunya, pertukaran data antar instansi pemerintah [8], tetapi sampai sekarang program ini tidak terdengar lagi kelanjutannya. Sebagai sebuah prototipe kebijakan, IGASIS perlu dikembangkan untuk mengatur isu-isu pertukaran data secara lebih komprehensif. Karena pertukaran data selalu melibatkan minimal dua instansi dengan domain kewenangan yang mungkin berbeda, maka IGASIS perlu ditangani oleh instansi pemerintah dengan otoritas kewenangan yang cukup.
Depkominfo adalah departemen yang cocok untuk mengembangkan, mensosialisasikan, dan mengawal penerapan IGASIS. Sebagai departemen teknis di bidang informasi dan komunikasi, Depkominfo memiliki baik kewenangan koordinatif (mengkoordinasikan pada aras departemen di tingkat pusat) maupun komando/kontrol (enforcement penerapan kebijakan di tingkat daerah). Keterpaduan penanganan di tingkat pusat dan daerah sangat penting, karena pertukaran data dapat terjadi pada sembarang domain/bidang, pada aras yang berbeda. Tanpa ada koordinasi dan enforcement yang kuat, ketidakcocokan atau bahkan perselisihan (dispute) antar instansi sangat mungkin terjadi.
Bila pengaturan pada aras kebijakan perlu ditegaskan, implementasi pada aras teknis operasional tidak perlu diatur secara ketat. Tiap instansi di pusat maupun daerah dibebaskan untuk mengimplementasikan aplikasi-aplikasi komputernya masing-masing, sesuai dengan kebutuhannya. Yang perlu dijaga adalah ketaatan (conformance) aplikasi-aplikasi tersebut pada kerangka yang telah ditetapkan dalam IGASIS. Dengan pendekatan ini, Pemerintah dapat menjamin tercapainya tujuan pertukaran data tanpa harus mengorbankan independensi dan otonomi masing-masing instansi.
daftar pustaka
http://candraaaslahka.blogspot.com/2013/03/definisi-interoperabilitas.html
http://fredyferdyan.blogspot.com/2009/08/interoperabilitas.html
https://egovtforlhokseumawe.wordpress.com/2013/05/18/basis-interoperabilitas-e-government/
http://www.scribd.com/doc/204501171/Makalah-Pengertian-Interoperabilitas-docx#scribd