Kecerdasan Emosional

19 December 2014 18:15:08 Dibaca : 979

Topik di atas menarik untuk saya tuliskan sebagai pengisi ruang yang agak luang dalam aktivitas saya. Topik ini terpilih secara kebetulan karena munculnya sekian banyak fenomena yang menunjukkan bahwa banyak di antara para pemimpin di sekitar kita yang tidak memahami secara mendalam filosofi kepemimpinan itu sendiri. Suatu ketika, secara kebetulan saya mengunjungi salah seorang teman di tempat kerjanya. Karena posisi teman di kantor itu lumayan strategis, maka saya di terima di ruang tamu pimpinan yang saat itu kebetulan sedang mempersiapkan suatu event besar. Saya berpikir acara tersebut memang sangat penting, terlihat dari suasana para staf perusahaan itu yang super sibuk. Namun, saya terhentak ketika manajer bidang keuangan perusahaan itu mencak-mencak di depan jajaran direksi gara-gara koordinasi pembagian honor para stafnya yang dia anggap tidak becus menyusun administrasi keuangan. Soal mencak-mencaknya menurut saya wajar saja sebagai pemegang kendali di bidang keuangan, tetapi menjadi kurang patut karena yang bersangkutan tidak mampu secara cerdas menggunakan kalimat yang tepat di depan dewan direksi.

Leadership is all about relationship, sedangkan membangun dan merawat relasi/hubungan dengan baik dibutuhkan kecerdasan emosi. Karena itu, seorang pemimpin tanpa kecerdasan emosi yang baik akan sulit mendapatkan kepercayaan pengikutnya, bahkan mereka mungkin menjauhinya. Karena itu, mustahil membangun kepemimpinan efektif tanpa adanya kecerdasan emosi. Hal inilah yang pernah dinyatakan oleh Shankman dalam “Emotionally Intelligent Leadership” (2008), ada tiga kesadaran yang harus dilatih para pemimpin yang ingin mengembangkan kecerdasan emosionalnya: kesadaran akan diri, kesadaran akan orang lain, dan kesadaran akan konteks. Kesadaran akan diri menuntut kita jujur mengenali emosi diri. Kesadaran akan orang lain mengharuskan kita memperhatikan karakter setiap anggota organisasi atau pemimpin dalam organisasi. Kesadaran akan konteks menuntut kita mengenali lingkungan, budaya ataupun norma tempat kita bekerja.

Banyak orang tidak memiliki kesadaran akan orang lain dan konteks. Hal itu membuat mereka gagal memimpin, karena mereka berpikir bahwa cara memimpin yang sama di masa lalu bisa diterapkan pada masa kini. Biasanya orang tersebut mulai menyalahkan keadaan atau menyalahkan anggotanya. Dengan memiliki kesadaran akan diri, orang lain dan konteks seorang pemimpin mudah membagi nilai dan visi kepada anggota-anggotanya, karena mereka memahami bagaimana cara menyampaikan nilai dan visi tersebut kepada para anggota, terlebih sekadar meminta partisipasi anggota-anggotanya. Karena itu, kecerdasan emosional merupakan salah satu faktor kepemimpinan efektif.

Pemimpin perlu mengelola suasana hati organisasinya. Pemimpin yang paling berbakat melakukan hal itu dengan menggunakan suatu campuran misterius berbagai kemampuan psikologis yang disebut kecerdasan emosi. Mereka sadar diri dan berempati. Mereka dapat membaca dan mengatur emosi dirinya sementara secara intuitif menangkap bagaimana perasaan orang lain dan mengukur keadaan emosi organisasinya. Kecerdasan emosi sebagian merupakan fungsi bawaan genetik, sebagian adalah pengalaman hidup, dan sebagian lagi adalah pelatihan. Kecerdasan emosi berbeda-beda tingkatnya antara satu pemimpin dan yang lain, dan manajer menerapkannya dengan ketrampilan yang berbeda-beda pula. Kalau dipergunakan dengan bijak dan simpatik, kecerdasan emosi akan memacu pemimpin, orang-orangnya, dan organisasinya hingga mencapai kinerja yang luar biasa. Sebaliknya, kalau dipergunakan secara naif dan melenceng, kecerdasan emosi dapat melumpuhkan pemimpin atau memungkinkan mereka memanipulasi para pengikutnya untuk kepentingan pribadi. Sadar diri adalah ketrampilan-kunci dari kecerdasan emosi yang ada di belakang kepemimpinan yang baik.

Sejarah Amerika telah menunjukkan bahwa kecerdasan emosi bukan hanya merupakan komponen mutlak dari kepemimpinan politik, tapi juga bahwa kecerdasan itu bisa ditingkatkan melalui usaha keras terus menerus. George Washington harus bekerja keras mengendalikan temperamen pemarahnya sebelum ia menjadi model untuk negara itu, dan Abraham Lincoln harus mengatasi sifat melankolisnya sebelum akhirnya dapat memperlihatkan penampilan berani dan hangat yang menjadi magnet bagi orang lain. Kita juga bisa menjadi pemimpin yang baik kalau kita tahu seni membuat orang lain bekerja luar biasa. Untungnya, kecerdasan emosi itu bisa dipelajari. Pemimpin yang punya motivasi untuk meningkatkan kecerdasan emosinya dapat melakukannya apabila mereka diberi informasi yang benar, panduan, dan dukungan. Informasi yang dibutuhkan itu adalah penilaian yang jujur terhadap kekuatan dan kelemahannya oleh orang yang mereka kenal dengan baik dan yang pendapatnya mereka percaya. Panduan yang diperlukan adalah rencana pengembangan yang spesifik yang menggunakan pertemuan di tempat kerja alami sebagai laboratorium untuk bercakap-cakap ketika praktek tentang cara menangani berbagai situasi, tentang apa yang mesti dilakukan kalau mereka telanjur merusak situasi itu, dan bagaimana menarik pelajaran dari persoalan itu. Apabila seorang pemimpin memanfaatkan sumberdaya ini dan mempraktekkannya terus, ia akan dapat mengembangkan ketrampilan kecerdasan emosi yang spesifik – ketrampilan yang akan bertahan bertahun-tahun.