PUISI CINTA SOE HOK GIE UNTUK PANGRANGO
Gunung Pangrango yang berkertinggian 3.019 Mdpl di Jawa Barat adalah sebuah gunung yang menjadi bagian dari perjalanan hidup dari Soe Hok Gie. Karena terpesonanya dengan Gunung Pangrango, sebaris puisi pun tercipta yang terbait dengan kata - kata penuh cinta pada Pangrango.
Gunung Pangrango yang merupakan satu rangkaian dengan Gunung Gede memiliki beberapa jalur pendakian. Jalur - jalurnya adalah Jalur Cibodas, Jalur Putri, dan Jalur Salabintana. Jika melalui pintu utama Jalur Cibodas, kita akan dimanjakan dengan beragam satwa dan tumbuhan. Serta keindahan Danau Telaga Biru dan eksotisnya jalur air panas.
Gunung Gede Pangrango telah menjadi gunung favorit bagi sebagian pendaki. Selain medannya yang tidak terlalu sulit, di sana juga berlimpah air sepanjang rute perjalanan. Tetapi Puncak Pangrango lebih jarang didaki, mungkin karena medannya yang lebih sulit. Membuat jalur menuju puncak Pangrango terlihat tampak lebih bersih daripada jalur menuju Puncak Gede.
Apabila Anda tiba di sebuah patok yang terbuat dari semen setinggi kurang lebih 1,5 meter yang sering disebut trianggulasi, itulah Puncak Pangrango. Dari sana Anda bisa turun sedikit untuk segera sampai dihamparan indah Mandalawangi.
Setibanya di sana, kisah dan puisi Soe Hok Gie langsung bisa Anda rasakan dan cobalah ulang lagi bacakan puisi cinta Soe Hok Gie untuk Pangrango seperti berikut ini:
Aku cinta padamu, Pangrango yang dingin dan sepi
Sungaimu adalah nyanyian keabadian tentang tiada
Hutanmu adalah misteri segala
Cintamu dan cintaku adalah kebisuan semesta
Malam ini ketika dingin dan kebisuan
Menyelimuti Mandalawangi
Kau datang kembali dan bicara padaku tentang kehampaan semua
"Hidup adalah soal keberanian
Menghadapi yang tanda tanya
Tanpa kita bisa mengerti, tanpa kita bisa menawar
Terimalah, hadapilah"
Dan di antara ransel - ransel kosong
Dan api unggun yang membara
Aku terima itu semua
Melampaui batas - batas hutanmu
Melampaui batas - batas jurangmu
Aku cinta padamu Pangrango
Karena aku cinta pada keberanian hidup
Jakarta 19 - 7 - 1966
Soe Hok Gie
Pesan (sebelum Soe Hok Gie meninggal)
Hari ini aku lihat kembali
Wajah-wajah halus yang keras
Yang berbicara tentang kemerdekaaan
Dan demokrasi
Dan bercita-cita
Menggulingkan tiran
Aku mengenali mereka
Yang tanpa tentara mau berperang melawan diktator
Dan yang tanpa uang mau memberantas korupsi
Kawan-kawan
Kuberikan padamu cintaku
Dan maukah kau berjabat tangan
Selalu dalam hidup ini?
Harian Sinar Harapan 18 Agustus 1973
Akhir perjalanan Soe Hok Gie
Akhir perjalanan Soe:
15 Desember 1969, Soe Hok Gie bersama kawan-kawannya Herman Lantang, Abdul Rahman, Idhan Lubis, Aristides Katoppo, Rudy Badil, Freddy Lasut, Anton Wiyana berangkat menuju Puncak Semeru melalui kawasan Tengger. Soe Hok Gie ingin bisa merayakan ulang tahunnya yang ke 27 di atap tertinggi Pulau Jawa tersebut. Tanggal 16 Desember, di tengah angin kencang di ketinggian 3.676 meter (dari atas permukaan laut), Hok Gie, Idhan, Rahman terserang gas beracun. Hok Gie dan Idhan berada dalam posisi yang tidak menguntungkan dan nyawa mereka tidak sempat tertolong.
sumber: berbagai sumber
PESAN
Hari ini aku lihat kembali
Wajah-wajah halus yang keras
Yang berbicara tentang kemerdekaaan
Dan demokrasi
Dan bercita-cita
Menggulingkan tiran
Aku mengenali mereka
yang tanpa tentara
mau berperang melawan diktator
dan yang tanpa uang
mau memberantas korupsi
Kawan-kawan
Kuberikan padamu cintaku
Dan maukah kau berjabat tangan
Selalu dalam hidup ini?
Harian Sinar Harapan 18 Agustus 1973
soe hok gie
SEBUAH TANYA
SEBUAH TANYA
“akhirnya semua akan tiba
pada suatu hari yang biasa
pada suatu ketika yang telah lama kita ketahui
apakah kau masih berbicara selembut dahulu?
memintaku minum susu dan tidur yang lelap?
sambil membenarkan letak leher kemejaku”
(kabut tipis pun turun pelan-pelan di lembah kasih, lembah mendala wangi
kau dan aku tegak berdiri, melihat hutan-hutan yang menjadi suram
meresapi belaian angin yang menjadi dingin)
“apakah kau masih membelaiku semesra dahulu
ketika ku dekap kau, dekaplah lebih mesra, lebih dekat”
(lampu-lampu berkelipan di jakarta yang sepi, kota kita berdua, yang tua dan terlena dalam mimpinya. kau dan aku berbicara. tanpa kata, tanpa suara ketika malam yang basah menyelimuti jakarta kita)
“apakah kau masih akan berkata, kudengar derap jantungmu. kita begitu berbeda dalam semua
kecuali dalam cinta?”
(haripun menjadi malam, kulihat semuanya menjadi muram. wajah2 yang tidak kita kenal berbicara dalam bahasa yang tidak kita mengerti. seperti kabut pagi itu)
“manisku, aku akan jalan terus
membawa kenangan-kenangan dan harapan-harapan
bersama hidup yang begitu biru”
Selasa, 1 April 1969
soe hok gie