penilaian status gizi dirumah sakit

18 May 2015 21:24:08 Dibaca : 10109

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Banyak cara menilai status gizi seperti pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan klinis, biofisik dan antropometri. Penilaian antropometri yang paling umum dilakukan karena lebih mudah, tidak mebutuhkan peralatan canggih dan bisa diakukan oleh hampir semua orang.
Status gizi terbentuk merupakan deskripsi keseimbangan antara intake zat gizi dengan kebutuhan tubuh secara individual. Cukup konsumsi cenderung status gizi baik dan kurang konsumsi besar kemungkinan akan kurang gizi. Hal ini karena status gizi dipengaruhi oleh banyak faktor (multifaktorial), akan tetapi faktor konsumsi makanan adalah faktor yang dominan.
Selama ini belum pernah ada penelitian yang mencoba memprediksi status gizi dengan takaran konsumsi zat gizi. Hal mendasar yang perlu diingat bahwa setiap metode penilaian status gizi punyai kelebihan dan kelemahan masing-masing. Dengan menyadari kelebihan kelemahan tiap-tiap metode, maka dalam menentukan diagnosis suatu penyakit digunakan beberapa jenis metode. Penggunaan satu metode akan memberikan hasil yang kurang komprehensif tentang suatu keadaan (Gibson, 2005).
1.2. Rumusan Masalah
a. Apa yang dimaksud dengan penilaian status gizi ?
b. Metode apa yang digunakan dalam penilaian status gizi di rumah sakit?
c. Apa indeks yang digunakan dalam penilaian status gizi di rumah sakit yang berhubungan dengan gizi dan malnutrisi ?
1.3. Tujuan Penulisan
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk memberikan pengetahuan tentang pengertian dan jenis-jenis penilaian status gizi, metode yang digunakan dalam penilaian status gizi di rumah sakit, dan beberapa indeks penilaian status gizi di rumah sakit yang berhubungan dengan gizi dan malnutrisi.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Penilaian Status Gizi
Penentuan status gizi seseorang atau kelompok populasi dilakukan dengan interpretasi informasi dari hasil beberapa metode penilaian status gizi yaitu: penilaian konsumsi makanan, antropometri, laboratorium / biokimia dan klinis (Gibson, 2005).
Diantara beberapa metode tersebut, pengukuran antropometri adalah relatif paling sederhana dan banyak dilakukan (Soekirman, 2000).
2.2 Metode Penilaian Status Gizi di Rumah Sakit
Metode yang digunakan dalam penentuan status gizi di rumah sakit pada umumnya adalah antropometri, laboratorium (biokimia), klinis dan konsumsi makanan.
2.2.1 Antropometri
Antropometri berasal dari kata anthropos dan metros. Anthropos artinya tubuh dan metros artinya ukuran. Jadi secara umum antropometri berarti ukuran dari tubuh. Ditinjau dari sudut pandang gizi, maka antropometri gizi berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi (I Dewa Nyoman Supariasa, 2002 : 19).
Antropometri secara umum digunakan untuk melihat ketidakseimbangan asupan protein dan energi. Ketidakseimbangan ini terlihat pada pola pertumbuhan fisik dan proporsi jaringan tubuh seperti lemak, otot dan jumlah air dalam tubuh (I Dewa Nyoman Supariasa, 2002 : 19).
Jenis Parameter Antropometri :
a. Umur : Faktor umur sangat penting dalam penentuan status gizi. Kesalahan penentuan umur akan menyebabkan interpretasi status gizi menjadi salah. Batasan umur yang digunakan.
b. Berat Badan : Berat badan merupakan ukuran antropometri yang terpenting dan paling sering digunakan pada bayi baru lahir (neonatus). Pada masa bayi sampai balita, berat badan dapat dipergunakan untuk melihat laju pertumbuhan fisik maupun status gizi, kecuali terdapat kelainan klinis seperti dehidrasi, asites, edema dan adanya tumor.
c. Tinggi Badan : Tinggi badan merupakan parameter yang penting bagi keadaan yang telah lalu dan keadaan sekarang, jika umur tidak diketahui dengan tepat. Pengukuran TB untuk anak balita yang sudah dapat berdiri dilakukan dengan alat pengukur tinggi mikrotoa (microtoise) yang mempunyai ketelitian 0,1 cm. Sedangkan untuk bayi atau anak yang belum dapat berdiri digunakan alat pengukur panjang bayi (I Dewa Nyoman Supariasa, 2002: 42).
d. Lingkar Lengan Atas (LLA) : LLA merupakan salah satu pilihan untuk penentuan status gizi, karena mudah dilakukan dan tidak memerlukan alat-alat yang sulit diperoleh dengan harga yang lebih murah. Mengukur LLA anak balita dilakukan dengan menggunakan alat berupa pita pengukur yang dibuat dari fiber glass, yaitu jenis kertas tertentu berlapis plastik. Bila tidak mempunyai alat ini, dapat juga digunakan meteran lain (I Dewa Nyoman Supariasa, 2002: 46).
e. Lingkar Kepala : Lingkar kepala adalah standar prosedur dalam ilmu kedokteran anak secara praktis, biasanya untuk memeriksa keadaan patologi dari besarnya kepala atau peningkatan ukuran kepala Contoh: hidrosefalus dan mikrosefalus. Lingkar kepala dihubungkan dengan ukuran otak dan tulang tengkorak.
f. Lingkar Dada : Biasa digunakan pada anak umur 2-3 tahun, karena pertumbuhan lingkar dada pesat sampai anak berumur 3 tahun. Rasio lingkar dada dan kepala dapat digunakan sebagai indikator KEP pada balita. Pada umur 6 bulan lingkar dada dan kepala sama. Setelah umur ini lingkar kepala tumbuh lebih lambat daripada lingkar dada. Pada anak yang KEP terjadi pertumbuhan lingkar dada yang lambat → rasio lingkar dada dan kepala < 1.
g. Indeks Massa Tubuh (IMT) : Bentuk aplikasi penilaian status gizi dengan antropometri antara lain dengan penggunaan teknik Indeks Massa Tubuh (IMT) atau Body Mass Index (BMI). IMT ini merupakan alat atau cara yang sederhana untuk memantau status gizi orang dewasa, khususnya yang berkaitan dengan kekurangan dan kelebihan berat badan. Dengan IMT ini antara lain dapat ditentukan berat badan beserta resikonya. Misalnya berat badan kurang dapat meningkatkan resiko terhadap penyakit infeksi, sedangkan berat badan lebih akan meningkatkan resiko terhadap penyakit degeneratif. Untuk memantau indeks masa tubuh orang dewasa digunakan timbangan berat badan dan pengukur tinggi badan. Penggunaan IMT hanya untuk orang dewasa berumur > 18 tahun dan tidak dapat diterapkan pada bayi, anak, remaja, ibu hamil, dan olahragawan.
Untuk mengetahui nilai IMT ini, dipergunakan formula sebagai berikut :
Berat Badan (Kg)
IMT = ——————————————————
Tinggi Badan (m) X Tinggi Badan (m)

h. Rasio Lingkar Pinggang dan Pinggul : Banyaknya lemak dalam perut menunjukkan ada beberapa perubahan metabolisme, termasuk terhadap insulin dan meningkatnya produksi asam lemak bebas, dibanding dengan banyaknya lemak bawah kulit pada kaki dan tangan. Perubahan metabolisme memberikan gambaran tentang pemeriksaan penyakit yang berhubungan dengan perbedaan distribusi lemak tubuh. Pengukuran lingkar pinggang dan pinggul harus dilakukan oleh tenaga terlatih dan posisi pengukuran harus tepat, karena perbedaan posisi pengukuran memberikan hasil yang berbeda. Rasio lingkar pinggang-pinggul untuk perempuan 0.77, laki-laki 0.90.
i. Diantara beberapa macam indeks antropometri, BB/U merupakan indikator yang paling umum digunakan. Gizi kurang pada anak balita adalah balita yang diukur menurut berat badan dan umur (BB/U), umur yang mempunyai berat badan sangat rendah (gizi buruk) dan berat badan rendah (gizi kurang).
2.2.2 Klinis
Pemeriksaan klinis adalah metode yang sangat penting untuk menilai status gizi masyarakat. Metode ini didasarkan atas perubahan-perubahan yang terjadi yang dihubungkan dengan ketidakcukupan zat gizi. Hal ini dapat dilihat pada jaringan epitel (supervicial epithelial tissues) seperti kulit, mata, rambut dan mukosa oral atau pada organ-organ yang dekat dengan permukaan tubuh seperti kelenjar tiroid (I Dewa Nyoman Supariasa, 2002 : 19).
Penggunaan metode ini umumnya untuk survei secara cepat. Survei ini dirancang untuk mendeteksi secara tepat tanda-tanda klinis umum dari kekurangan salah satu atau lebih zat gizi. Disamping itu digunakan untuk mengetahui tingkat status gizi seseorang dengan melakukan pemeriksaan secara fisik yaitu tanda (sign) dan gejala (symptom) atau riwayat penyakit (I Dewa Nyoman Supariasa, 2002 : 19).
Pembagian pemeriksaan klinis
Secara umum terdiri dari 2 bagian, yaitu:
1. Medical history (riwayat medis), yaitu catatan mengenai perkembangan penyakit. Catatan ini meliputi :
a. Identitas penderita
b. Lingkungan fisik dan social budaya
c. Sejarah timbulnya gejala penyakit
2. Pemeriksaan fisik, pada pemeriksaan fisik kita melakukan pengamatan terhadap perubahan fisik, yaitu semua perubahan yang ada kaitannya dengan kekurangan gizi. Perubahan-perubahan tersebut dapat dilihat dari kulit atau jaringan epitel, seperti rambut, mata, muka, mulut, lidah, gigi, dan lain –lain.
3. Tanda-tanda klinis malnutrisi (gizi kurang) tidak spesifik, karena ada beberapa penyakit yang mempunyai gejala yang sama, tetapi penyebabnya berbeda. Oleh karena itu pemeriksaan klinis ini harus dipadukan dengan pemeriksaan lainseperti antropometri, labolatorium dan survei konsumsi makanan, sehingga kesimpulan dalam penilaian status gizi dapat lebih tepat dan lebih baik (I Dewa Nyoman Supariasa, 2002: 119).
2.2.3 Biokimia
Penilaian status gizi dengan biokimia adalah pemeriksaan spesimen yang diuji secara laboratoris yang dilakukan pada berbagai macam jaringan tubuh. Jaringan tubuh yang digunakan antara lain : darah, urine, tinja dan juga beberapa jaringan tubuh seperti hati dan otot.
Metode ini digunakan untuk peringatan bahwa kemungkinan akan terjadi keadaan malnutrisi yang lebih parah lagi. Banyak gejala klinis yang kurang spesifik, maka penentuan kimia faali dapat lebih banyak menolong untuk menentukan kekurangan gizi yang spesifik (I Dewa Nyoman Supariasa, 2002 : 19).
Pemeriksaan biokimia dalam penilaian status gizi memberikan hasil yang lebih tepat dan objektif daripada menilai konsumsi pangan dan pemeriksaan lain.
2.2.4 Biofisik
Penentuan status gizi secara biofisik adalah metode penentuan status gizi dengan melihat kemampuan fungsi (khususnya jaringan) dan melihat perubahan struktur dari jaringan (I Dewa Nyoman Supariasa dkk, 2001 : 20).
Tes kemampuan fungsi jaringan meliputi kemampuan kerja dan energi exspenditure serta adaptasi sikap. Tes perubahan struktur dapat dilihat secara klinis maupun tidak dapat dilihat secara klinis. Pemeriksaan yang tidak dapat dilihat secara klinis biasanya dilakukan dengan pemeriksaan radiology. Penilaian status gizi secara biofisik sangat mahal, memerlukan tenaga yang professional dan dapat diterapkan dalam keadaan tertentu saja (I Dewa Nyoman Supariasa, 2002: 173).
Umumnya dapat digunakan pada situasi tertentu seperti kejadian buta senja epidemic (epidemic of night blindness). Cara yang digunakan adalah tes adaptasi gelap.
Cara penilaian
Dapat dilakukan dengan 3 cara:
1. Uji radiologi : dilakukan dengan melihat tanda-tanda fisik dan keadaan tertentu seperti riketsia, osteomalasia, fluorosis dan beri-beri. Tanda-tanda radiologi dapat terjadi pada kurang gizi yang parah.
2. Tes fungsi fisik: Untuk mengukur perubahan fungsi yang dihubungkan dengan ketidak cukupan gizi.
3. Tes Sitologi : tes ini digunakan untuk menilai keadaan KEP berat. Pemeriksaan ini dilakukan dengan melihat noda pada epitel dari mukosa oral. Hasil dari penelitian pada binatang dan anak KEP menunjukkan bahwa presentase perubahan sel meningkat pada tingkatan KEP dini.
2.2.5 Survei Konsumsi Pangan
Survei diet atau penilaian konsumsi makanan adalah salah satu metode yang digunakan dalam penentuan status gizi perorangan atau kelompok. Secara umum survei konsumsi makanan dimaksudkan untuk mengetahui kebiasaan makan dan gambaran tingkat kecukupan bahan makanan dan zat gizi pada tingkat kelompok, rumah tangga dan perorangan serta faktor-faktor yang berpengaruh terhadap konsumsi makanan tersebut (I Dewa Nyoman Supariasa, 2002: 88).
Survei konsumsi makanan ini dapat menghasilkan data yang bersifat kualitatif dan kuantitatif. Secara kuantitatif akan diketahui jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi. Metode pengumpulan data yang dapat digunakan adalah metode recall 24 jam, food records, dan weighing method. Secara kualitatif akan diketahui frekuensi makan maupun cara memperoleh pangan. Metode pengumpulan data yang dapat digunakan adalah food frequency questionnaire dan dietary history.
Pengumpulan data konsumsi makanan dapat memberikan gambaran tentang konsumsi berbagai zat gizi pada masyarakat, keluarga dan individu. Survei ini dapat mengidentifikasikan kelebihan dan kekurangan zat gizi.
Metode pengukuran berdasarkan jenis data yang diperoleh :
1. Metode kualitatif
Untuk mengetahui frekuensi makan, frekuensi konsumsi menurut jenis bahan makanan, dan menggali informasi tentang kebiasaan makan serta cara memperoleh bahan makanan.
2. Metode kuantitatif
Untuk mengetahui jumlah makanan yang dikonsumsi sehingga dapat dihitung konsumsi zat gizi dengan menggunakan Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM).
2.2.6 Statistik Vital
Pengukuran status gizi dengan statistik vital adalah dengan menganalisis data beberapa statistik kesehatan seperti angka kematian berdasarkan umur, angka kesakitan dan kematian akibat penyebab tertentu dan data lainnya yang berhubungan dengan gizi (Suyatno, 2009).
Penggunaannya dipertimbangkan sebagai bagian dari indikator tidak langsung pengukuran status gizi masyarakat.
2.2.7 Ekologi
Menurut Bengoa, malnutrisi merupakan masalah ekologi sebagai hasil yang saling mempengaruhi dan interaksi beberapa faktor fisik, biologi, dan lingkungan budaya. Jadi jumlah makanan dan zat-zat gizi yang tersedia bergantung pada keadaan lingkungan seperti iklim, tanah, irigasi, penyimpanan, transportasi dan tingkat ekonomi dari penduduk. Disamping itu, budaya juga berpengaruh seperti kebiasaan memasak, prioritas makanan dalam keluarga, distribusi dan pantangan makan bagi golongan rawan gizi (I Dewa Nyoman Supariasa, 2002: 176).
2.3 Indeks yang Berhubungan dengan Gizi dan Malnutrisi
2.3.1 Prognostic Nutritional Index (PNI)
Prognostic Nutritional Indexs (PNI) digunakan sebagai alat untuk mengetahui resiko atau prediktor perjalanan klinis berdasarkan penilaian status gizi. PNI biasa digunakan pada pasien-pasien yang menjalani rawat inap di rumah sakit. PNI telah dikembangkan sejak tahun 1979 untuk identifikasi indeks gizi yang mempunyai korelasi kuat dengan malnutrisi klinis yang relevan.
Digunakan 4 Indeks Gizi untuk menentukan PNI yaitu:
1. Serum Albumin :
2. Serum Transferin
3. TLK (Tebal Lemak Kulit) Trisep
4. Hipersensitivitas Tipe Lambat .
PNI /IPG menunjukkan Resiko yang dinyatakan dalam bentuk % dari Morbiditas maupun Mortalitas individu Pasca Bedah.
2.3.2 Hospital Prognosis Index (HPI)
Hospital Prognosis Index (HPI) digunakan sebagai alat untuk mengetahui penundaan respon hipersensitivitas terhadap respon antigen kulit, serum albumin dan transferin, jumlah limfosit total, dan pengukuran antropometri dievaluasi sehubungan dengan hasil akhir. Serum albumim merupakan prediktor tunggal yang baik terhadap mortalitas, alergi dan status klinik, yaitu septik atau tidak septik yang dapat berfungsi untuk mengidentifikasi pasien beresiko tinggi dengan cara obyektif dan mengevaluasi efektivitas rumah sakit.
2.3.3 Skrining Gizi
Skrining gizi adalah proses yang sederhana dan cepat untuk mengidentifikasi individu yang mengalami kekurangan gizi atau yang berisiko terhadap permasalah gizi (Charney, 2009).
Skrining dapat dilakukan oleh perawat, dokter maupun ahli gizi. Dari pengertian ini dapat diambil simpulan bahwa skrining gizi bertujuan untuk menentukan seseorang beresiko malnutrisi atau tidak, mengidentifikasi individu yang membutuhkan terapi gizi segera, mencegah agar seseorang yang masih sehat tidak menderita masalah gizi, dan menghindari komplikasi lebih lanjut jika seseorang telah menderita masalah gizi.
Langkah pertama dalam proses skrining adalah pengumpulan data primer yang diperoleh melalui alat skrining, dengan cara mewawancarai pasien sesuai pertanyaan yang ada pada alat skrining yang digunakan. Kemudian, hasil dari wawancara tersebut diolah dan disajikan dalam bentuk tabel.
Berikut adalah beberapa alat skrining gizi:
2.3.3.1. MUST (Malnutrition Universal Skrining Tool)
MUST adalah alat skrining yang bertujuan untuk mengetahui apakah seseorang malnutrisi atau berisiko untuk malnutrisi (Anthony, 2014).
Alat ini bisa digunakan untuk memprediksi lama seseorang dirawat di rumah sakit, dan dalam penerapannya di masyarakat, bisa digunakan untuk memperkirakan seberapa sering anggota masyarakat berobat ke rumah sakit ataupun klinik.
MUST menggunakan 3 kriteria dalam penggunaannya, yang tiap-tiap kriteria akan diberi skor tergantung pada standar yang telah ditetapkan:
a. IMT : berdasarkan standar internasional yang telah disepakati.
b. Penurunan berat badan : berdasarkan batas kira-kira antara perubahan berat badan yang dianggap normal dan abnormal.
c. Efek penyakit akut : pemberian skor 2 apabila penyakit yang diderita mengganggu asupan gizi selama lebih dari lima hari. Setiap kriteria memiliki skor dan skor-skor tersebut akan dijumlah. Jumlah skor inilah yang dipakai untuk melihat apakah orang tersebut berisiko untuk malnutrisi atau tidak. Jika jumlah skor adalah nol, maka orang tersebut risiko malnutirisinya adalah rendah. Jika jumlah skor adalah satu, maka orang tersebut risiko malnutrisinya adalah sedang. Jika jumlah skor adalah dua, maka orang tersebut risiko malnutrisinya adalah tinggi.
Dengan mengetahui status malnutrisi seseorang, maka kita bisa memutuskan tindakan selanjutnya. Untuk orang dengan risiko malnutrisi rendah, biasanya akan diminta melakukan skrining ulang setelah jangka waktu tertentu, untuk melihat apakah risiko malnnutrisi tersebut tetap rendah atau justru mengalami kenaikan. Untuk orang dengan risiko malnutrisi sedang, akan dilakukan observasi. Orang tersebut akan berada di bawah pengawasan untuk mencegah terjadinya peningkatan risiko malnutrisi tersebut. Sedangkan apabila risiko malnutrisinya tinggi, maka harus segera diberikan terapi gizi sebelum malnutrisi tersebut akan memperparah kondisi dan penyakit pasien.

2.3.3.2. NRS (Nutritional Risk Skrining)
NRS-2002 dikembangkan pada tahun 2002 oleh Kondrup dkk dan ESPEN (European Society of Parenteral and Enteral Nutrition). Pada saat itu, kedua tim tersebut bertujuan untuk mengembangkan system skrining yang menggunakan analisis retrospektif, dengan menggunakan subjek-subjek percobaan yang dikondisikan / diatur, serta melihat dari karakteristik gizi dan manifestasi klinis pada subjek-subjek tersebut. Alat skrining ini dikembangkan dengan asumsi bahwa kebutuhan terhadap pengobatan gizi ditandai oleh tingkat keparahan malnutrisi dan tingkat peningkatan akan asupan gizi yang terjadi karena penyakit yang diderita tersebut (Kondrup, 2003).
NRS meliputi dua hal dalam penerapannya, yaitu :
a. Pengukuran kemungkinan gizi kurang
b. Pengukuran tingkat keparahan penyakit (disease severity)
Kriteria dalam penggunaan NRS-2002 adalah sebagai berikut.
a. Penurunan berat badan >5% dalam 3 bulan
b. Penurunan nilai BMI
c. Penurunan asupan gizi baru-baru ini
d. Tingkat keparahan penyakit
Ada 2 skor yang dihitung yaitu
1. Kondisi status gizi
2. Keparahan penyakit
Kedua skor tersebut dijumlah menjadi skor akhir, dan apabila hasil skor yang didapat adalah ≥3, maka angka tersebut menunjukkan bahwa pasien membutuhkan terapi gizi segera. Petunjuk pada alat ini menyatakan bahwa rencana asuhan gizi dibutuhkan pada semua pasien yang malnutrisi berat (skor 3 untuk status gizi) dan/atau sakit parah (skor 3 untuk tingkat keparahan penyakit) atau malnutrisi sedang dan sakit ringan (total skor 3 [2+1]) atau malnutrisi ringan dan sakit sedang (total skor 3 [1+2]) (Anthony, 2014).
NRS 2002 memiliki kelebihan bahwa penilaiannya tidak tergantung pada IMT, cukup menggunakan perubahan berat badan juga bisa. Namun kelemahannya, NRS-2002 hanya bisa mengetahui siapa yang mendapatkan manfaat dari intervensi gizi, tetapi tidak bisa mengelompokkan risiko malnutrisinya menjadi berat, sedang, ringan.
2.3.3.3. MNA (Mini Nutritional Assessment)
MNA dipakai untuk memeriksa status gizi sebagai bagian dari pemeriksaan standar untuk lansia di klinik, panti wreda, dan rumah sakit (Anthony, 2014).
MNA terdiri dari 2 bagian:
a. Short form (MNA-SF).
MNA-SF dikembangkan agar proses skrining dapat dilakukan dengan mudah pada populasi masyarakat dengan risiko malnutrisinya rendah. MNA-SF merupakan bentuk sederhana dari MNA yang form lengkap agar dapat dilakukan dalam waktu singkat. Walau begitu, MNA-SF tetap memiliki validitas dan akurasi yang sama dengan Full MNA.
MNA-SF terdiri dari enam pertanyaan dari Full MNA yang paling erat berkaitan. MNA-SF memiliki skor maksimum 14, dengan kriteria penilaian sebagai berikut:
1. ≥12 = gizi baik
2. ≤11 = malnutrisi
b. Full MNA
Full MNA terdiri dari delapan belas pertanyaan, yang terbagi dalam empat bagian yaitu:
1. Antropometri (IMT, penurunan berat badan, lingkar lengan dan betis),
2. General Assessment (gaya hidup, pengobatan, mobilitas, dementia dan depresi),
3. Dietary Assessment (jumlah makan, asupan makanan dan minuman, cara pemberian makan),
4. Subjective Assessment (persepsi diri sendiri terhadap gizi dan kesehatan).
Full MNA memiliki skor maksimal 30, dengan kriteria penilaian sebagai berikut:
a. ≥24 = gizi baik
b. 17-23,5 = berisiko untuk malnutrisi
c. <17 = malnutrisi
2.3.3.4. SNAQ (Short Nutritional Assessment Questionnaire)
SNAQ adalah alat skrining yang menggunakan 3 pertanyaan dengan nilai prediksi tertinggi atas status gizi, yaitu:
a. Apakah terjadi penurunan berat badan yang bukan disengaja?
b. Apakah ada penurunan selera makan selama 1 bulan terakhir?
c. Apakah ada penggunaaan suplemen atau tube-feeding selama 1 bulan terakhir ? SNAQ bertujuan untuk mendeteksi pasien dengan malnutrisi sedang sampai parah.
Klasifikasi status gizi malnutrisi dalam SNAQ adalah sebagai berikut.
1. Gizi baik: <2
2. Gizi agak kurang: ≥2 tetapi <3
3. Malnutrisi parah ≥3
Dari hasil skrining menggunakan alat ini, dapat dilakukan intervensi berupa pemberian makanan tinggi energi dan protein, serta makanan di antara makan besar untuk pasien dengan status gizi kurang dan rendah (Anthony, 2014). Kelebihan SNAQ adalah dia cepat dan mudah digunakan serta mudah divalidasi.
2.3.3.5. MST (Malnutrition Skrining Tool)
MST merupakan alat skrining berupa 3 pertanyaan. Kelebihan alat ini adalah skrining dapat dilakukan dalam waktu singkat, non-invasive, menggunakan data yang tersedia sehari-hari, dan dapat dilakukan oleh siapa saja namun hasilnya tetap valid (Anthony, 2014).
Skor maksimum dari MST adalah 7, dengan nilai 2 berarti pasien berisiko malnutrisi, sedangkan untuk skor 0-1 menunjukkan pasien tidak berisiko untuk malnutrisi. Skor menunjukkan tingkat prioritas penanganan, sehingga semakin tinggi skornya menandakan pasien harus segera diberikan terapi asuhan gizi.
2.3.3.6. SGA (Subjective Global Assessment)
SGA bertujuan untuk memeriksa status gizi berdasarkan riwayat pasien dan pemeriksaan fisik. Penilaian berdasarkan 5 kriteria dari riwayat pasien (perubahan berat badan, perubahan asupan gizi, gejala gastrointestinal, kemampuan fungsional, penyakit dan kaitannya dengan kebutuhan gizi) dan 5 kriteria dari pemeriksaan fisik (hilangnya lemak subkutan di daerah tricep, musclewasting, edema di pergelangan kaki, edema di daerah pinggul, dan ascites) (Anthony, 2014).
Pada SGA tidak memiliki kriteria penilaian yang baku, dan sifatnya subjektif dengan penekanan pada penurunan berat badan, asupan gizi yang kurang, hilangnya jaringan subkutan, muscle wasting.
Penggolongan pada SGA terbagi menjadi:
a. Gizi baik
b. Gizi agak kurang/Berisiko malnutrisi
c. Malnutrisi berat
SGA dikenal sebagai Gold Standard dari skrining gizi, karena dalam penilaiannya selain memperhitungkan aspek fisik, tetapi juga melihat riwayat pasien.

BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Pada dasarnya penilaian status gizi dapat dibagi dua yaitu secara langsung dan tidak langsung. Penilaian secara langsung meliputi : antropometri, biokimia, klinis dan biofisik. Penilaian secara tidak langsung meliputi: survei konsumsi makanan, statistik vital, dan faktor ekologi. Dengan adanya berbagai macam metode penilaian status Gizi, kita dapat mengetaui masalah Gizi seseorang berupa Malnutrisi. Adapun Malnutrisi merupakan suatu kondisi medis yang disebabkan oleh pemberian atau cara makan yang tidak tepat atau tidak mencukupi.

DAFTAR PUSTAKA
Anthony, P.S, 2014. Nutrition in clinical practice : official publication of the American Society for Parenteral and Enteral Nutrition, 23(4), pp.373 http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/18682588 Diakses tanggal 18 April 2015.

Charney, P, 2009. ADA Pocket Guide to Nutrition Assessment , American Dietetic Associati. http://books.google.com/books?id=gP2Bc7XKLxoC&pgis=1 Diakses tanggal 18 April 2015.

Gibson, Rosalind, S. 2005. Principles Of Nutrional Assesment (2nd edition). Oxford University Press: New York.

Kondrup, J, 2003. ESPEN Guidelines for Nutrition Screening 2002. Clinical Nutrition, 22(4), pp.415 http://linkinghub.elsevier.com/retrieve/pii/S0261561403000980 Diakses tanggal 18 April 2015.

Soekirman, 2000. Ilmu Gizi dan Aplikasinya Untuk Keluarga dan Masyarakat. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Depdiknas: Jakarta.

Supariasa, I, Dewan, Nyoman. 2002. Penilaian Status Gizi. Jakarta: EGC.

Suyatno, 2009. “Statistik Vital Sebagai Indikator Status Gizi”. http://suyatno.blog.undip.ac.id Diakses tanggal 18 April 2015.

 

Kategori

  • Masih Kosong

Arsip

Blogroll

  • Masih Kosong