penilaian status Gizi secara Biokimia

18 May 2015 21:16:45 Dibaca : 30935

1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia makan pada dasarnya untuk memenuhi 3 fungsi makanan itu sendiri, yaitu untuk tenaga, pertumbuhan dan pemeliharaan tubuh. Kurang konsumsi makanan maka akan diambil dari cadangan tubuh dan jika makan berlebih akan disimpan dalam bentuk cadangan tubuh. Makanan berperan penting untuk pertumbuhan. Sehingga pada hakekatnya menilai status gizi adalah mengevaluasi keseimbangan pemenuhan kebutuhan berupa penampakan/performa tubuh. Metode penilaian status gizi untuk menilai status energi protein adalah metode antropometri.
Metode penilaian status gizi dapat dikelompokkan atas metode langsung dan metode tidak langsung. Berikut ini akan disajikan secara ringkas kedua kelompok metode penilaian status gizi tersebut.
Penilaian secara langsung terdiri dari metode biokimia, penilaian klinis, penilaian biofisik, dan penilaian antropometri. Penilaian status gizi secara biokimia disebut juga dengan metode pemeriksaan laboratorium, adalah mengukur kadar zat gizi di dalam tubuh dan atau ekskresi tubuh kemudian dibandingan dengan suatu nilai normatif yang sudah ditetapkan. Misalnya menilai status zat besi (Fe) dengan mengukur kadar hemoglobin. Bila kadar hemoglobin < 11 mg% maka disebut anemia. Untuk penilaian biokimia disebut juga pemeriksaan laboratorium, spesimen yang biasa digunakan adalah darah, faces, kelenjar tubuh, urin dan biopsi jaringan tubuh.
Penilaian status gizi secara klinis adalah mempelajari gejala yang muncul dari tubuh sebagai akibat dari kelebihan atau kekurangan salah satu zat gizi tertentu. Setiap zat gizi memberikan tampilan klinis yang berbeda, sehingga cara ini dianggap spesifik namun sangat subjektif. Contoh penilaian status gizi secara klinis adalah kekurangan vitamin A menyebabkan buta senja (xerophtalmia). Sedangkan apa bila dinilai secara biokimia dengan menilai kadar retinol dalam darah.
2
Penilaian secara biofisik adalah dengan mengukur elastisitas dan fungsi jaringan tubuh. Cara ini jarang digunakan karena membutuhkan peralatan yang canggih, mahal dan tenaga terampil. Salah satu cara penilaian status gizi secara biofisik adah untuk mengukur komposisi tubuh dengan metode bioelecrical impedance.
Cara yang paling mudah, tidak membutuhkan peralatan yang mahal adalah pengukuran antropometri. Dengan demikian antropometri dapat diterapkan secara luas di lapangan. Sebagai contoh tiap bulan dilaksanakannya penimbangan balita di posyandu. Pengukuran antropometri memgandung 2 maksud; pertama untuk mendeskripsikan status gizi (penilaian dilakukan pada satu titik waktu) dan kedua pemantauan status gizi yaitu untuk melihat trend/ perubahan ukuran tubuh dari waktu ke waktu. Penimbangan balita di posyandu yang diplot hasilnya ke dalam KMS (Kartu Menuju Sehat) adalah salah satu contoh pemantauan status gizi (nutritional monitoring)
Semua bagian tubuh (keseluruhan atau secara parsial) dapat digunakan untuk menilai status gizi, namun menurut WHO (1983) hanya 3 ukuran (parameter) saja yang diangap valid, yaitu : Berat badan, tinggi badan dan lingkaran lengan atas. Satu ukuran tubuh sebagai dasar menentukan status gizi disebut parameter. Gabungan dari 2 parameter disebut dengan indeks. Sehingga dari parameter yang valid tesebut dapat dinilai 4 indeks, yaitu Berat Badan menurut Umur (BB/U), Tinggi Badan menurut Umur (TB/U), Berat Badan menurut Tinggi Badan (BB/TB) dan Lingkaran Lengan Atas menurut Umur (LILA/U).
Penilaian secara tidak langsung meliputi penilaian konsumi pangan, analisis ekologik dan statistik vital, dan IPRS. Penilaian konsumsi pangan : Mengukur pangan yang dikonsumsi kemudian dianalisis kandungan gizinya. Jumlah zat izi yang dikonsumsi dibandingkan dengan kebutuhan (anjuran) makan sehari sesuai umur,jenis kelamin dan aktivitas. Pada metode ini akan dibahas lebih rinci pada sub bab tersendiri mengenai komposisi zat gizi dalam makanan sehari-hari dan cara mengukurnya.
3
Analisis ekologi dan statistik vital : adalah mempelajari kondisi lingkunan berupa produksi pangan, pola makan, sosial budaya, ekonomi dan variabel lain yang secara teoritis mempengaruhi status gizi. Data ini dianalisis menggunakan statstik tertentu sehingga dapat diprediksi status gizi.
Indeks Prognostik Rumah Sakit (IPRS) dan Indeks Diagnostik Rumah Sakit (IDRS) : adalah suatu metode analisis kebiasaan sehari-hari yang berkaitan dengan konsumsi gzi dan variabel determinannya yang digunakan untuk menetapkan status gizi. Cara ini dilakukan di rumah sakit untuk menegakkan diagnosa dan menentukan tindakan gizi yang harus diberikan kepada pasien.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana cara penilaian status gizi zat besi?
2. Bagaimana pemeriksaan status gizi protein?
3. Bagaimana cara menentukan status gizi vitamin?
4. Bagaimana cara penilaian status gizi mineral?
5. Apa kelebihan dan kelemahan penilaian status gizi secara biokimia?
C. Tujuan
1. Mengetahui cara penilaian status gizi zat besi
2. Dapat melakukan pemeriksaan tatu gizi protein
3. Dapat menentukan status gizi vitamin
4. Mengetahui cara penilaian tatus gizi mineral
5. Dapat membedakan kelebihan dan kelemahan penilaian tatus gizi secara biokimia
D. Manfaat
Mahasiswa dapat mengetahui dan melakukan pemeriksaan status gizi secara biokimia.
4
BAB II
PEMBAHASAN
Status gizi adalah suatu kondisi tubuh sebagai akibat keseimbangan dari intake makanan dan penggunaannya oleh tubuh yang dapat diukur dari berbagai dimensi. Status gizi dapat dinilai dari setiap jenis zat gizi baik zat gizi makro maupun mikro. Zat gizi makro yang utama adalah energi, protein, lemak dan karbohidrat. Lemak dan karbohidrat adalah unsur utama penghasil energi, sehingga ukuran status gizi untuk zat gizi makro adalah energi dan protein, disebut juga dengan ”status energi dan protein”.
Penilaian status gizi secara biokimia dilakukan dengan melakukan pemeriksaan spesimen yang diuji secara laboratoris yang dilakukan pada berbagai macam jaringan tubuh, seperti darah, urine, tinja, jaringan otot, hati.
Penggunaan metode ini digunakan untuk suata peringatan bahwa kemungkinan akan terjadi keadaan malnutrisi yang lebih parah lagi. Banyak gejala klinis yang kurang spesifik, maka penentuan kimia faali dapat lebih banyak menolong untuk menentukan kekurangan gizi yang spesifik.
A. Pemeriksaan Status Gizi Zat Besi
Anemia gizi adalah suatu keadaan dimana kadar hemoglobin (Hb) dalam darah kurang dari normal, yang berbeda untuk setiap kelompok umur dan jenis kelamin. Anemia gizi besi merupakan masalah gizi utama bagi semua kelompok umur dengan prevalensi anemia paling tinggi pada ibu hamil (70%) dan pekerja berpenghasilan rendah (40%). Prevalensi pada anak sekolah sekitar 30% dan pada anak balita sekitar 40%.
Ada beberapa indikator laboratorium untuk menentukan status besi, yaitu :
1) Hemoglobin (Hb)
Hemoglobin adalah parameter yang digunakan secara luas untuk menetapkan prevalensi anemia. Garby et al. Menyatakan bahwa penentuan status anemia yang hanya menggunakan kadar Hb ternyata kurang lengkap, sehingga perlu ditambah dengan pemeriksaan yang lain.
5
Hb merupakan senyawa pembawa oksigen pada sel darah merah. Hemoglobin dapat diukur secara kimia dan jumlah Hb/100 ml darah dapat digunakan sebagai indeks kapasitas pembawa oksigen pada darah. Kandungan hemoglobin yang rendah dengan demikian mengindikasikan anemia. Bergantung pada metode yang digunakan, nilai hemoglobin menjadi akurat sampai 2-3 %. Metode ini dikenal dengan metode sahli. Metode pemeriksaan Hb adalah Sahli dan cyanmetHb merupakan standar penelitian. Simpanan besi terdapat di sumsum tulang, pada saat feritin menurun maka serum besi menurun.
Tabel 1.
Batasan Hemoglobin Darah (Sumber : WHO, 1975)
Kelompok
Batas nilai Hb
Bayi / balita
Usia sekolah
Ibu hamil
Pria dewasa
Wanita dewasa
11 g/dl
12 g/dl
11 g/dl
13 g/dl
12 /dl
Tabel 2.
Batasan Anemia (Menurut Depkes)
Kelompok
Batas Normal
Anak balita
Anak Usia sekolah
Wanita dewasa
Laki-laki dewasa
Ibu hamil
Ibu menyusui > 3 bulan
11 gram %
12 gram %
12 gram %
13 gram %
11 gram %
12 gram %
6
2) Hematokrit (Hct)
Hematokrit adalah volume eritrosit yang dipisahkan dari plasma dengan cara memutarnya didalam tabung khusus yang nilainya dinyatakan dalam persen (%). Setelah sentrifugasi, tinggi kolom sel merah diukur dang dibandingkan dengan tinggi darah penuh yang asli. Persentase massa sel merah pada volume darah yang asli merupakan hematokrit. Nilai normal untuk hematokrit adalah 40%- 50% untuk pria dan 37% - 47% untuk wanita. HCT biasanya hampir 3 kali nilai hemoglobin. Kesalahan rata-rata pada prosedur HCT yaitu kira-kira 1% -2%. Nilai hematokrit yang kuang dari normal terdapat pada anemia.
3) Besi Serum (Fe)
Defisiensi besi terjadi pada tahap awal, sebelum menurunnya Hb.
4) Feritin Serum (Sf)
Untuk menilai status besi dalam hati perlu mengukur kadar ferritin Menurut Cook banyaknya feritin yang dikeluarkan darah secara proporsional menggambarkan banyaknya simpanan zat besi di dalam hati. Apabila didapatkan serum ferritin sebesar 30 mg/dl RBC berarti didalam hati terdapat 30x10 mg=300 mg ferritin. Untuk menentukan kadar ferritin dalam darah dapat dilakukan dengan beberapa metode yaitu dengan cara Immunoradiometric assay (IRMA), Radio Immuno Assay (RIA) dan Enzyme-Linked Immuno Assays (ELISA). Dalam keadaan normal rata-rata SF untuk laki-laki dewasa adalah 90μg/l dan wanita dewasa adalah 30μg/l. Perbedaan kadar serum ferritin ini menggambarkan perbedaan banyaknya zat besi pada tubuh dengan zat besi pada laki-laki tiga kali lebih banyak dari wanita.
Apabila seseorang mempunyai kada SF kurang dari 12, orang yang bersangkutan dinyatakan sebagai kurang besi. Banyak orang yang sebenarnya menderita kurang besi, tetapi tidak dapat terdeteksi dengan cara ferritin karena kadar ferritin yang dikeluarkan dari hati menaik dalam darah apabila yang bersangkutan menderita penyakit kronis, infeksi dan gangguan hati.
7
5) Transferrin Saturation (TS)
Penentuan kadar zat besi dalam serum merupakan satu cara menentukkan status besi. Salah satu indikator lainnya adalah Total Iron Binding Capacity (TIBC) dalam serum. Kadar TIBC ini meningkat pada penderita anemia karena kadar besi di dalam serum menurun dan TIBC meningkat pada keadaan defisensi besi maka rasio dari keduanya (transferri saturation) lebih sensitif. Apabila TS > 16 %, pembentukan sel-sel darah merah dalam sumsum tulang berkurang dan keadaan ini disebut defisiensi besi untuk eritropoesis.
6) Free Erytrocytes Protophophyrin (FEP)
Apabila penyediaan zat besi tidak cukup banyak untuk pembentukkan sel-sel darah merah disumsum tulang maka sirkulasi FEP di darah meningkat walau belum tampak anemia.Dalam keadaan normal FEP berkisar 35±50μ/dl RBC tetapi apabila kadar FEP dalam darah lebih besar dari 100μg/dl RBC menunjukkan individu ini memnderita kekurangan besi.
7) Morfologi darah
Pemeriksaan morfologi darah ini ini dilakukan untuk mengetahui jenis anemianya.
B. Pemeriksaan Status Gizi Protein
Dalam kaitannya dengan Kurang Energi Protein (KEP), maka analisis biokimia yang banyak diperhatikan adalah menyangkut nilai protein tertentu dalam darah atau hasil dari metabolit dari protein yang beredar dalam darah dan yang dikeluarkan bersama-sama urin. Jenis protein yang nilainya menggambarkan status gizi seseorang mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Penilaian status protein yaitu mengukur cadangan protein dalam tubuh, kadar fibrinogen, transportasi zat gizi tertentu (ex. Fe), Ab, aliran darah. Albumin adalah fraksi protein yang sering dinilai. Globulin diperiksa berkaitan dengan status imun. Fibrinogen untuk pembekuan darah. Penurunan serum protein bisa disebabkan sintesis protein dalam hepar yang menurun.
8
Analisis biokimia yang berkaitan dengan KEP yaitu menyangkut nilai protein tertentu dalam darah atau hasil metabolit dari protein yang beredar dalam darah dan yang dikeluarkan bersama urin. Jenis protein yang menggambarkan status gizi seseorang antara lain Prealbumin, Serum protein dan serum Albumin. Di dalam darah ada tiga fraksi protein, yaitu :
1. Albumin : Kadar normalnya = 3,5 – 5 gram/100 ml
2. Globulin : Kadar normalnya = 1,5 – 3 gram/100 ml
3. Fibrinogen : Kadar normalnya = 0,2 – 0,6 gram/100 ml
Pemeriksaan biokimia terhadap status protein dibagi dalam 2 bagian pokok, yaitu penilaian terhadap somatch protein dan visceral protein. Perbandingan somatic dan visceral didalam tubuh antara 75% - 25%. Konsentrasi serum protein dapat digunakan untuk mengukur status protein. Penggunaan pengukuran status protein ini didasarkan pada asumsi bahwa penurunan serum protein disebabkan oleh penurunan produksi dalam hati.
Tabel 3.
Nilai Prealbumin dalam kaitannya dengan Status Gizi
Status gizi
Nilai prealbumin μg/dl
Baik*)
Gizi sedang*)
Gizi kurang*)
Gizi buruk*)
· Marasmus**)
· Marasmus-Kwashiorkor*)
· Kwashiorkor**)
23.8 +/-0.9
16.5 +/- 0.8
12.4 +/- 1.0
7.6 +/- 0.6
3.3 +/- 0.2
3.2 +/- 0.4
Keterangan :
*) Menurut klasifikasi Waterlow
**) Menurut klasifikasi Welcome
9
Tabel 4.
Batasan dan Interpretasi Kadar Serum Protein dan Serum Albumin
No
Senyawa & satuan
Umur (tahun)
kriteria
Kurang
Margin
Cukup
1
Serum Albumin (gr/100 ml)
< 1
1 – 5
6 – 16
16+
Wanita hamil
-
-
-
<2.8
<3.0
<2.8
<3.0
<3.5
2.8-3.4
3.0-3.4
2.5+
3.0+
3.5+
3.5+
3.5+
2
Serum Protein (gr/100 ml)
< 1
1 – 5
6 – 16
16+
Wanita hamil
-
-
-
6.0
5.5
<5.0
<5.5
<6.0
6.0-6.4
5.5-5.9
5.0+
5.5+
6.0+
6.5+
6.
C. Pemeriksaan Status Gizi Vitamin
Deplesi vitamin A dalam tubuh merupakan proses yang berlangsung lama, dimulai dengan habisnya persediaan vitamin A dalam hati, kemudian menurunnya kada vitamin A dalam plasma, dan baru kemudian timbul disfungsi retina, disusul dengan perubahan jaringan epitel. Kadar vitamin A dalam plasma tidak merupakan kekurangan vitamin A, apabila sudah terdapat kelainan mata, maka kadar vitamin A serum sudah sangat rendah (μg/100ml), begitu juga kadar RBP-nya (<20μg/100ml) konsentrasi vitamin A dalam hati merupakan indikasi yang baik untuk menentukan status vitamin A. Akan tetapi biopsi hati merupakan tindakan yang mengandung resiko bahaya . Pada umumnya konsentrasi vitamin A penderita KEP rendah yaitu <15μg/gram jaringan hepar.
10
Tabel 5.
Batasan dan Interpretasi pemeriksaan kadar vitamin A dalam darah :
Umur (th)
Kurang
Margin
Cukup
Plasma Vitamin A (mg)
Semua Umur
<10
10-19>20
Penilaian status vitamin A diperlukan sebab penurunannya dalam hepar menurunkan kadarnya dalam plasma sehingga bisa menyebabkan disfungsi retina. Gejala subklinis KVA yaitu gangguan sistem imun dengan angka infeksi yang makin meningkat (paling banyak yaitu ISPA). Gejala klinisnya yaitu xerophtalmia (dapat menyebabkan cirrhosis conjunctiva dengan tanda-tanda sering mengedip disertai bercak bitot) sehingga tampak busa yang menghilang bila dihapus dan muncul lagi. Status vitamin A diperiksa di dalam serum (serum retinol dan retinol binding protein). Penilaian status KVA menggunakan indikator plasma dan liver vitamin A. Terdapat program pemerintah yaitu pemberian kapsul vitamin A tiap bulan Februari dan Agustus.
Tabel 6
Penentuan Masalah Kesehatan Masyarakat (KVA)
Sumber : WHO, 1982
Indikator yang digunakan
Batas Prevalensi
Plasma Vitamin A >= 10 μg/dl
Liver Vitamin A >= 5 μg/dl
>=5%
>=5%
D. Pemeriksaan Status Gizi Mineral
Yodium diperlukan untuk pertumbuhan, perkembangan serta fungsi otak. Meskipun kebutuhan yodium sangat sedikit (0.15 μg) kita memerlukan yodium secara teratur setiap hari. Kekurangan yodium akan mengalami gangguan fisik antara lain gondok, badan kerdil, gangguan motorik seperti kesulitan untuk berdiri atau berjalan normal, bisu,tuli atau mata juling. Sedangkan gangguan mental termasuk berkurangnya kecerdasan. Untuk
11
mengetahui total goitre rate (pembesaran kelenjar gondok) dimasyarakat bisa dilakukan dengan palpasi atau dengan cara lain yaitu dengan melakukan pemeriksaan kadar yodium dalam urin dan kadar thyroid stimulating hormone dalam darah. Metode penentuan kadar yodium dalam urin dengan menggunakan metode Cerium.
Prosedur penentuan kadar yodium dengan metode Cerium adalah sebagai berikut :
1. 10 ml urin didestruksi (pengabuan basah) dengan penambahan 25 ml asam klorat 28% dan 1 ml kalium kromat 0.5 %.
2. Panaskan diatas hotplate sehingga volume larutan menjadi kurang dari 0.5 ml. Larutan ini diencerkan dengan air suling sehingga volume larutan menjadi 100 ml.
3. Dari larutan terakhir ini dipipet 3 ml, kemudian ditambahkan 2 ml asam arsenit 0.2 N; lalu didiamkan selama 15 menit.
4. Ke dalam tiap larutan kemudian ditambahhkan 1 ml larutan cerium (4+) ammonium sulfat 0.1 M; dikocok kembali didiamkan selama 30 menit. Absorpsi dilakukan pada panjang gelombang 420 nm.
Kurva standar dibuat dengan cara yang sama seperti di atas pada kadar yodium 0.01; 0.02; 0.03; 0.04; dan 0.05 ppm. Larutan standar induk yang berkadar 100 ppm ddibuat dengan melarutkan 0.0168 g KIO3 dalam 100 ml air suling. Karena kadar yodium dalam urin dinyatakan dalam mg 1 per g kreatinin, maka diukur pula kadar kreatinin urin dengan cara sebagai berikut :
1. 0.1 ml urin yang telah diencerkan 100 kali ditambahkan 4 ml H2SO4 1/12 N dan 0.5 ml natrium tungstat.
2. Setelah itu dikocok dan didiamkan selama 15 menit lalu dipusing selama 10 menit.
3. Supernatan dipisahkan lalu ditambahkan 0.5 ml larutan campuran 1 ml asam pikrat 10% dan 0.2 ml NaOH 10%.
4. Setelah didiamkan selama 15 menit, absorpsi larutan dibaca pada panjang gelombang 520 nm.
12
Standar kreatinin dengan konsentrasi 1 mg dikerjakan dengan cara yang sama. Perhitungan kadar yodium per g kreatinin : jiak diketahui konsentrasi yodium A μg/l urin dan kadar kreatinin B g/l. maka kadar yodium A/B μg/g kreatinin.
Suatu daerah dianggap endemis berat bila rata-rata ekskresi yodium dalam urin lebih rendah dari 25 μg yodium/gram kreatinin., endemik sedang bila ekskresi yodium dalam urin 25-50 μg iodium/gram kreatinin. Anak sekolah dapat digunakan sebagai target penelitian karena prevalensi GAKI pada anak sekolah umumnya menggambarkan prevalensi yang ada dalam masyarakat.
Defisiensi yodium merupakan penyebab dominan gondok endemik yang diklasifikasikan menurut ekskresi yodium dalam urin (μg/gr kreatinin), antara lain :
1. Tahap 1 : gondok endemik dengan rata-rata >50 μg/gram kreatinin dalam urin. Pada keadaan ini suplai hormon tyroid cukup untuk perkembangan fisik dan mental yang normal.
2. Tahap 2 : gondok endemik dengan rata-rata 25-50 μg/gram kreatinin dalam urin. Pada kondisi ini sekresi hormon tyroid boleh jadi tidak cukup, sehingga menanggung resiko hypotyroidisme, tettapi tidak sampai ke kreatinisme.
3. Tahap 3 : gondok endemik dengan rata-rata ekskresi yodium dalam urin kurang dari 25 mg/gram kreatinin. Pada kondisi ini populasi memiliki resiko menderita kreatinisme.
E. Pemeriksaan Status Gizi pada Obesitas
Obesitas didefinisikan sebagai suatu kelainan yang ditandai dengan penimbunan jaringan lemak tubuh secara berlebihan. Obesitas adalah suatu kondisi medisi akibat akumulasi lemak tubuh yang berlebih, yang dapat berefek kepada kondisi kesehatan yang menuju kepadanya menurunnya tingkat hidup seseorang.
Perut buncit atau obesitas sentral merupakan pertanda adanya bahaya yang mengancam kesehatan kita. Meski tidak ada keluhan, dalam tubuh orang
13
yang berperut buncit sudah terjadi gangguan metabolisme yaitu Sindrom Metabolik yang meningkatkan risiko diabetes melitus serta penyakit jantung dan pembuluh darah. Kenali sindrom metabolik lebih dini agar kita terhindar dari bahaya kesehatan yang lebih besar.
Obesitas atau kegemukan terjadi karena penimbunan lemak di dalam tubuh, sehingga meningkatkan risiko terjadinya berbagai gangguan kesehatan. Banyak penyebabnya, diantaranya faktor genetik dan lingkungan, namun perubahan pola makan yang bergeser ke arah makanan tinggi kalori dan perubahan pola hidup modern yang kurang gerak atau aktivitas fisik, dituding sebagai penyebab utama terjadinya obesitas yang kini kian meningkat.
Cara sederhana untuk menentukan terjadinya obesitas sentral adalah dengan mengukur lingkar perut. Pengukuran dilakukan pada bagian pinggang, di antara tulang panggul bagian atas dan tulang rusuk bagian bawah. Seseorang dikatakan obesitas sentral bila lingkar perutnya >90 cm (untuk pria) atau >80 cm (untuk perempuan)
Ketika ukuran lingkar perut Anda memasuki batasan obesitas sentral, biasanya tidak menimbulkan keluhan atau gejala penyakit, tapi bisa saja sebenarnya sudah mulai terjadi bermacam gangguan metabolisme dalam tubuh Anda (atau disebut Sindrom Metabolik) yang di kemudian hari dapat menimbulkan masalah kesehatan yang lebih besar seperti diabetes melitus tipe 2, penyakit jantung koroner (PJK), hipertensi atau tekanan darah tinggi, stroke, perlemakan hati (fatty liver), dan gagal jantung.
Pemeriksaan biokimia pada obesitas dapat dilakukan dengan pemeriksaan profil lipid. Pemeriksaan profil lipid meliputi pemeriksaan kolesterol total, kolesterol low density lipoprotein (LDL), kolesterol high density lipoprotein (HDL), trigliserida. Pemeriksaan ini digunakan untuk mengetahui adanya dislipidemia yang berhubungan dengan adanya penyakit jantung koroner. Disamping pemeriksaan tersebut dikenal juga pemeriksaan apo B yang merupakan apolipoprotein utama kolesterol LDL. Pemeriksaan
14
ini berguna untuk mengetahui resiko terhadap penyakit jantung koroner. Rasio kolesterol LDL / Apo B < 1,2 menunjukkan adanya small dense LDL.
Tabel 7.
Nilai Rujukan Profil Lipid
PARAMETER
NILAI (mg/dl)
Kolesterol Total
Desirable : 140 - 199
Borderline High : 200 – 239
High : >240
Kolesterol LDL
Desirable : <130
Borderline High : 140 – 159
High : 160
Kolesterol HDL
Laki – laki : 35 – 65
Perempuan : 35-80
Trigliserida
Desirable : <150
Borderline High : 150 – 199
High : 200 – 499
Very High : ≥ 500
Pemeriksaan lain dapat dilakukan untuk skrining lebih lengkap, yaitu pemeriksaan :
1. Lingkar Pinggang
2. Tekanan Darah
3. Trigliserida
4. Cholesterol HDL
5. Glukosa Puasa
6. Glukosa 2 jam PP
7. Small Dense LDL (Apo B dan Cholesterol LDL Direk)
8. Adiponektin
9. hs-CRP
10. HbA1c
15
11. NT-proBNP
12. Albumin Urin Kuantitatif
13. Kreatinin
14. SGPT
15. Type IV Collagen
F. Keunggulan dan Kekurangan Pemeriksaan Status Gizi Secara Biokimia
1. Keunggulan
Pemeriksaan biokimia bila dibandingkan dengan pemeriksaan lain dalam penentuan status gizi memiliki keunggulan-keunggulan antara lain :
a) Dapat mendeteksi defisiensi zat gizi lebih dini
b) Hasil dari pemeriksaan biokimia lebih obyektif, hal ini karena menggunakan peralatan yang selalu ditera dan pada pelaksanaannya dilakukan oleh tenaga ahli
c) Dapat menunjang hasil pemeriksaan metode lain dalam penilaian status gizi
2. Kelemahan
Selain memiliki keunggulan, pemeriksaan biokimia juga memiliki kelemahan, diantaranya :
a) Pemeriksaan biokimia hanya bisa dilakukan setelah timbulnya gangguan metabolisme
b) Membutuhkan biaya yang cukup mahal
c) Dalam melakukan pemeriksaan diperlukan tenaga ahli
d) Kurang praktis dilakukan dilapangan, hal ini karena pada umumnya pemeriksaan laboratorium memerlukan peralatan yang tidak mudah dibawa kemana-mana.
e) Pada pemeriksaan tertentu spesimen sulit untuk diperoleh, misalnya penderita tidak bersedia diambil darahnya.
f) Membutuhkan peralatan dan bahan yang lebih banyak dibandingkan dengan pemeriksaan lain.
16
g) Belum ada keseragaman dalam memilih reference (nilai normal). Pada beberapa reference nilai normal tidak selalu dikelompokkan menurut kelompok umur yang lebih rinci.
h) Dalam beberapa penentuan pemeriksaan laboratorium memerlukan peralatan laboratorium yang hanya terdapat dilaboratorium pusat, sehingga didaerah tidak dapat dilakukan.
17
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Penilaian status gizi secara biokimia disebut juga dengan metode pemeriksaan laboratorium, adalah mengukur kadar zat gizi di dalam tubuh dan atau ekskresi tubuh kemudian dibandingan dengan suatu nilai normatif yang sudah ditetapkan. Penilaian status gizi dengan biokimia adalah pemeriksaan spesimen yang di uji secara laboratoris yang digunakan antara lain darah, urin, tinja dan juga beberapa jaringan tubuh seperti otot dan hati.
Metode ini digunakan untuk suatu peringatan bahwa kemungkinan akan terjadi keadaan malnutrisi yang lebih parah lagi. Banyak gejala klinis yang kurang spesifik, maka penentuan kimia faal dapat lebih banyak menolong untuk menentukan kekurangan gizi yang spesifik.
Penilaian secara biokimia meliputi penilaian status gizi zat besi, protein, vitamin, dan mineral.
B. Saran
Dalam melakukan penilaian status gizi secara biokimia, harus dilakukan dengan teliti dan cermat agar di dapatkan hasil yang tepat.
18
DAFTAR PUSTAKA
Aulia. 2010. Penilaian Status Gizi Secara Biokimia. http://auliya-0210.blogspot.com/2012/04/penilaian-biokimia-status-besi-fe.html. diakses pada tanggal 12 April 2015
Dorma. 2014. Penilaian Status Gizi Secara Langsung. http://dormatiorumapea.blogspot.com/2014/01/penilaian-status-gizi-secara-langsung.html. diakses pada tanggal 12 April 2015
Raufah. 2014. Penilaian Status Gizi Secara Biokimia. http://raufahajah.blogspot.com/2014/06/penilaian-status-gizi-secara-biokimia.html. diakses pada tanggal 12 April
Roro. 2014. Penentuan Status Gizi Secara Biokimia. 2015. http://rorowashilatur.blogspot.com/2013/05/penentuan-status-gizi-secara-biokimia.html. diakses pada

Kategori

  • Masih Kosong

Arsip

Blogroll

  • Masih Kosong