Universitas Negeri Gorontalo Sebagai kampus peradaban
Universitas Negeri Gorontalo mempunyai moto sebagai Kampus Peradaban. Untuk mewujudkannya, kampus ini membuka pintu untuk berbagai upaya pengembangan manusia, termasuk melalui riset dan penelitian.
Kampus ini tidak hanya dikenal sebagai kampus merah maron karena almamaternya berwarna demikian. Tetapi, juga dijuluki sebagai kampus peradaban. Julukan yang disandang ini masih dapat dijumpai karena tetap terpampang pada pertigaan antara Fakultas Pertanian dan jalan menuju Auditorium UNG. Tidak mengherankan, jika selanjutnya civitas akademika terutama para mahasiswa senior selalu mendoktrin mahasiswa baru dengan keyakinan bahwa mahasiswa yang ditempa di Universitas terhormat ini akan melahirkan martir-martir peradaban baru yang akan mengantarkan daerah dan dan bangsa pada kesejajaran dengan negara-negara maju lainnya.
Sebagaimana opini yang berkembang dikalangan birokrasi kampus maupun pemerintah waktu itu. Bahwa Gorontalo dicanangkan untuk menjadi kota pelajar terutama untuk wilayah Indonesia timur dan UNG mengambil peran sebagai garda terdepannya. Gorontalo bercita untuk menjadi Jogjakartanya Indonesia timur.
UNG adalah kampus multikultulral. Beragam suku dan budaya dengan tetap mempertahankan kejatidirian daerahnya berpadu dalam keharmonisan merah meron. Lebih dari sekadar soal pendidikan, roda perekonomian di kota Gorontalo pun meningkat Hal ini tidaklah lepas dari dari peran-peran para perantau ilmu dari berbagai daerah yang memilihUNG sebagai jalan keilmuannya.
Orientasi arah gerak UNG kemudian beralih seiring bergantinya rektor. Prof. Nelson Pomalingo, rektor UNG dua periode, rektor yang digandrungi mahasiswa karena pembebasan ruang kreatifitas mahasiswa. Masa kepemimpinannya harus berpindah ke DR. Syamsu Qomar Badu (SQB). Seorang rektor yang lebih muda dan lebih tinggi secara fisik. Kulitnya putih bersih. Andai saja rambutnya lurus, mungkin beliau akan gondrong.
Sepak terjang Rektor SQB begitu cepat. Kantor para pejabat kampus diperbaharui, ruang perkuliahan tambah. Damhil, lapangan sepak bola kampus utama harus direlakan dengan tidak ikhlas demi memenuhi hasrat pembangunan sang 01 universitas. Beliau identik dengan pembangunan. Mahasiswapun menjulukinya sebagai Bapak pembangunan. Ingat pembangunan, ingat SQB. Gelar yang telah disandangnya kembali mengingatkan pada sesosok mantan presiden Indonesia yang memiliki kesamaan gelar sebagai Bapak Pembangunan. Bedanya, rektor membangun kampus sementara presiden membangun Negara.