Universitas Negeri Gorontalo Kampus Kerakyatan

16 September 2020 23:29:27 Dibaca : 20

Pada tanggal 1 September 2020 Universitas Negeri Gorontalo (UNG) melaksanakan sidang senat terbuka untuk memperingati Dies Natalis ke 57. Usia yang telah memasuki kematangan, ibarat manusia ia sudah masuk kategori mapan, telah melahirkan puluhan ribu sarjana.

Dalam pidatonya, rektor UNG menyampaikan capaian yang telah diraih kampus merah maron, termasuk kekurangan yang perlu dibenahi. Hal menarik dalam pidato Dies Natalis, rektor mencanangkan –UNG: Kampus Kerakyatan–, lebih dari satu dekade sebelumnya dimasa kepemimpinan Prof. Nelson Pomalingo kampus yang telah 8 kali bertransformasi dinisbatkan sebagai –Kampus Peradaban–.

Saya mencoba menangkap apa makna kerakyatan yang disematkan kepada UNG, apakah sekedar mentradisikan kelaziman dari sebuah kepemimpinan organisasi hendak menghapus “artefak” kepemimpinan sebelumnya.

Dari sana biasanya melekat julukan kampus, misalnya UI kampus metropolis karena berada di pusat ibukota, mereka membangun Pusat Studi Perkotaan hingga pendirian Program Studi Manajemen Perkotaan.

Dulu UGM dijuluki “Kampus Ndeso”, sekilas bernada ejekan karena mayoritas mahasiswa UGM berasal dari desa, atau UGM berlokasi di sebuah “Kota yang Ndeso”. Dalam dunia keilmuan, julukan sebagai “Kampus Ndeso” sebenarnya adalah bentuk penghargaan.

Jika UI punya pusat studi perkotaan, maka UGM punya pusat studi perdesaan. Dan itu bukan hanya mewakili dua “positioning” yang berbeda antara UI dan UGM di masa itu, melainkan juga menjadi penanda model dunia kesarjanaan yang dihidupi oleh keduanya (Laksono, 2005).

Jika menarik benang merah dari “positioning” kedua kampus besar di atas, maka saya mencoba menangkap nukilan pidato rektor, sebagai berikut, —“dimana kerakyatan mengandung makna sistem yang berbasis pada kekuatan (ekonomi) rakyat, kegiatan atau usaha yang dilakukan oleh rakyat kebanyakan yang mengelola sumber daya dengan berdasarkan potensi yang ada di lingkungannya, menurut apa saja yang dapat diusahakan dan dikuasainya.

Faktanya UNG berada di Gorontalo, daerah ini sebagai pusat perdagangan dan jasa di Kawasan Teluk Tomini dan sebagian utara Sulawesi. Sekalipun sebagai “center”, tapi realitasnya Gorontalo tetap mengandalkan sektor pertanian sebagai pangsa utama dalam pembentukan ekonomi.

Mahasiswa UNG didominasi dari Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara dan Gorontalo sendiri, ketiganya mengandalkan sektor pertanian. Dilihat dari profile mahasiswa UNG, sekitar 30 persen penerima bidik misi. Selebihnya nyaris separuh orang tua mahasiswa berpenghasilan menengah ke bawah yang ditandai dari pembayaran UKT, proporsi UKT grade terendah lumayan besar jumlahnya.

Padahal kewajiban PTN menampung mahasiswa bidik misi minimal 15 persen, perguruan tinggi excellence semacam UI menyiapkan kuota mahasiswa bidik misi sesuai standar kewajiban. UNG tentu tidak dapat serta merta mengikuti jejak kampus besar, realitas kehidupan masyarakat menjadi pertimbangan utama.Maka untuk menyiasati, UNG perlu mencari jalan keluar agar tetap dapat menampung mahasiswa yang memiliki kemampuan akademik, tetapi kemampuan finansial kurang dengan “mengulurkan tangan” kepada pemerintah daerah di Kawasan Teluk Tomini dan Utara-Utara Sulawesi, agar mereka “peduli” kepada rakyatnya dan turut menanggung beban yang dipikul oleh UNG.

Sebagai daerah yang mengandalkan sektor pertanian, idealnya perguruan tinggi juga fokus membantu pemerintah daerah mengembangkan produk-produk pertanian. Inovasi tidak akan mungkin lahir dari petani dan pemerintah daerah, inovasi produk, peningkatan produksi hendaknya muncul dari kampus.Sebagai daerah yang mengandalkan sektor pertanian, idealnya perguruan tinggi juga fokus membantu pemerintah daerah mengembangkan produk-produk pertanian. Inovasi tidak akan mungkin lahir dari petani dan pemerintah daerah, inovasi produk, peningkatan produksi hendaknya muncul dari kampus.

Sejalan dengan itu perguruan tinggi penting mengambil peran mendorong sektor-sektor di luar sektor pertanian, melahirkan ekonomi modern (industri dan jasa), sebab sektor industri di Gorontalo terbilang stagnan kontribusinya terhadap pembentukan ekonomi di angka 4 persen setiap tahun. Implikasinya multiplier effect ekonomi rendah berdampak terhadap tingkat pendapatan masyarakat. Angka kemiskinan yang tinggi menunjukkan tingkat pendapatan masyarakat rendah, pengeluaran per kapita lebih dari separuh diperuntukkan hanya untuk membeli makanan.

Dalam situasi seperti itu, kemiskinan dan ketimpangan tidak boleh menjadi urusan pemerintah sendiri, UNG perlu merubah paradigma, peduli terhadap lingkungan sekitar menjadi penggerak pembangunan.Angka kemiskinan paling tinggi lokusnya ada di desa, hal itulah yang mendasari kenapa perlu bersinergi dengan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi. Membangun desa berarti membangun ekonomi kerakyatan, sebagai realitas kehidupan masyarakat Gorontalo dan sekitarnya.

Kategori

  • Masih Kosong

Blogroll

  • Masih Kosong