Konteks Kekerasan dalam Rumah Tangga
A. Kekerasan Terhadap Perempuan
Komnas Perempuan (2001) menyatakan bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah segala tindakan kekerasan yang dilakukan terhadap perempuan yang berakibat atau kecenderungan untuk mengakibatkan kerugian dan penderitaan fisik, seksual, maupun psikologis terhadap perempuan, baik perempuan dewasa atau anak perempuan dan remaja. Termasuk didalamnya ancaman, pemaksaan maupun secara sengaja meng-kungkung kebebasan perempuan. Tindakan kekerasan fisik, seksual, dan psikologis dapat terjadi dalam lingkungan keluarga atau masyarakat.
Kekerasan dalam rumah tangga menurut Undang-undang RI no. 23 tahun 2004 adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau pe-rampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
Kecenderungan tindak kekerasan dalam rumah tangga terjadinya karena faktor dukungan sosial dan kultur (budaya) dimana istri di persepsikan orang nomor dua dan bisa diperlakukan dengan cara apa saja. Hal ini muncul karena transformasi pengetahuan yang diperoleh dari masa lalu, istri harus nurut kata suami, bila istri mendebat suami, dipukul. Kultur di masyarakat suami lebih dominan pada istri, ada tindak kekerasan dalam rumah tangga dianggap masalah privasi, masyarakat tidak boleh ikut campur.
Saat ini dengan berlakunya undang-undang anti kekerasan dalam rumah tangga disetujui tahun 2004, maka tindak kekerasan dalam rumah tangga bukan hanya urusan suami istri tetapi sudah menjadi urusan publik. Keluarga dan masyarakat dapat ikut mencegah dan mengawasi bila terjadi kekerasan dalam rumah tangga.
B. Bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan
Menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tindak kekerasan terhadap istri dalam rumah tangga dibedakan kedalam 4 (empat) macam :
1. Kekerasan fisik
Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat. Prilaku kekerasan yang termasuk dalam golongan ini antara lain adalah menampar, memukul, meludahi, menarik rambut (menjambak), menendang, menyudut dengan rokok, memukul/melukai dengan senjata, dan sebagainya. Biasanya perlakuan ini akan nampak seperti bilur-bilur, muka lebam, gigi patah atau bekas luka lainnya.
2. Kekerasan psikologis / emosional
Kekerasan psikologis atau emosional adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya dan / atau penderitaan psikis berat pada seseorang.
Perilaku kekerasan yang termasuk penganiayaan secara emosional adalah penghinaan, komentar-komentar yang menyakitkan atau merendahkan harga diri, mengisolir istri dari dunia luar, mengancam atau ,menakut-nakuti sebagai sarana memaksakan kehendak.
3. Kekerasan seksual
Kekerasan jenis ini meliputi pengisolasian (menjauhkan) istri dari kebutuhan batinnya, memaksa melakukan hubungan seksual, memaksa selera seksual sendiri, tidak memperhatikan kepuasan pihak istri.
4. Kekerasan ekonomi
Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang tersebut. Contoh dari kekerasan jenis ini adalah tidak memberi nafkah istri, bahkan menghabiskan uang istri.
C. Faktor-faktor yang mendorong terjadi tindak kekerasan dalam
Rumah tangga
Strauss A. Murray mengidentifikasi hal dominasi pria dalam konteks struktur masya-rakat dan keluarga, yang memungkinkan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga (marital violence) sebagai berikut:
1. Pembelaan atas kekuasaan laki-laki
Laki-laki dianggap sebagai superioritas sumber daya dibandingkan dengan wanita, sehingga mampu mengatur dan mengendalikan wanita.
2. Diskriminasi dan pembatasan dibidang ekonomi
Diskriminasi dan pembatasan kesempatan bagi wanita untuk bekerja mengakibatkan wanita (istri) ketergantungan terhadap suami, dan ketika suami kehilangan pekerjaan maka istri mengalami tindakan kekerasan.
3. Beban pengasuhan anak
Istri yang tidak bekerja, menjadikannya menanggung beban sebagai pengasuh anak. Ketika terjadi hal yang tidak diharapkan terhadap anak, maka suami akan menyalah-kan istri sehingga tejadi kekerasan dalam rumah tangga.
4. Wanita sebagai anak-anak
konsep wanita sebagai hak milik bagi laki-laki menurut hukum, mengakibatkan kele-luasaan laki-laki untuk mengatur dan mengendalikan segala hak dan kewajiban wanita. Laki-laki merasa punya hak untuk melakukan kekerasan sebagai seorang bapak melakukan kekerasan terhadap anaknya agar menjadi tertib.
5. Orientasi peradilan pidana pada laki-laki
Posisi wanita sebagai istri di dalam rumah tangga yang mengalami kekerasan oleh suaminya, diterima sebagai pelanggaran hukum, sehingga penyelesaian kasusnya sering ditunda atau ditutup. Alasan yang lazim dikemukakan oleh penegak hukum yaitu adanya legitimasi hukum bagi suami melakukan kekerasan sepanjang bertindak dalam konteks harmoni keluarga.
D. Dampak kekerasan terhadap kesehatan reproduksi.
Kesehatan reproduksi menurut ICPD (1994) adalah suatu keadaan sejahtera fisik, mental dan sosial secara utuh, tidak semata-mata bebas dari penyakit atau kecacatan dalam semua hal yang berkaitan dengan sistem reproduksi, serta fungsi dan prosesnya.
Masalah kesehatan perempuan merupakan masalah penting dan serius karena sejak dua dekade terakhir Angka Kematian Ibu (AKI) tidak pernah turun. Berdasarkan hasil penelitian SKRT (2000) AKI sebesar 396 / 100000, Aborsi tidak aman berkontribusi terhadap AKI : 11-17 % (Herdayati, 2002), bisa mencapai 50 % (Azrul Azwar, 2003). Angka aborsi 2-2,3 juta/tahun (Utomo, 2001), pelaku Aborsi 87 % wanita kawin, penyebab : 57,5 % Psikososial dan 36 % gagal KB (YKP, 2002).
Menurut Suryakusuma (1995) efek psikologis penganiayaan bagi banyak perempuan lebih parah dibanding efek fisiknya. Rasa takut, cemas, letih, kelainan stress post traumatic, serta gangguan makan dan tidur merupakan reaksi panjang dari tindak kekerasan. Namun, tidak jarang akibat tindak kekerasan terhadap istri juga meng-akibatkan kesehatan reproduksi terganggu secara biologis yang pada akhirnya meng-akibatkan terganggunya secara sosiologis. Istri yang teraniaya sering mengisolasi diri dan menarik diri karena berusaha menyembunyikan bukti penganiayaan mereka.
Sehubungan dengan dampak tindak kekerasan terhadap kehidupan seksual dan repro-duksi perempuan, penelitian yang dilakukan oleh Rance (1994) yang dikutip oleh Heise, Moore dan Toubia (1995) kekerasan dan dominasi laki-laki dapat membatasi dan membentuk kehidupan seksual dan reproduksi perempuan. Selain itu, laki-laki juga sangat berpengaruh dalam pengambilan keputusan tentang alat kontrasepsi yang dipakai oleh pasangannya. Selanjutnya penelitian yang dilakukan di Norwegia oleh Schei dan Bakketeig (1989) yang dikutip oleh Heise, Moore dan Toubia (1995) juga menyatakan bahwa perempuan yang tinggal dengan pasangan yang suka melakukan tindak kekerasan menunjukkan masalah-masalah ginekologis yang lebih berat ketim-bang dengan yang tinggal dengan pasangan/suami normal ; bahkan problem gineko-logis ini bisa berlanjut dalam rasa sakit terus menerus.
Tindak kekerasan terhadap istri perlu diungkap untuk mencari alternatif pemberdayaan bagi istri agar terhindar dari tindak kekerasan yang tidak semestinya terjadi demi terwujudnya hak perempuan untuk memperoleh kesehatan reproduksi yang sehat.
Perempuan terganggu kesehatan reproduksinya bila pada saat tidak hamil mengalami gangguan menstruasi seperti menorrhagia, hipomenorrhagia atau metrorhagia bahkan wanita dapat mengalami menopause lebih awal, dapat mengalami penurunan libido, ketidakmampuan mendapatkan orgasme, akibat tindak kekerasan yang dialaminya.
Di seluruh dunia satu diantara empat perempuan hamil mengalami kekerasan fisik dan seksual oleh pasangannya. Pada saat hamil, dapat terjadi keguguran / abortus, persalinan imatur dan bayi meninggal dalam rahim.
Pada saat bersalin, perempuan akan mengalami penyulit persalinan seperti hilangnya kontraksi uterus, persalinan lama, persalinan dengan alat bahkan pembedahan. Hasil dari kehamilan dapat melahirkan bayi dengan BBLR, terbelakang mental, bayi lahir cacat fisik atau bayi lahir mati.
Dampak lain yang juga mempengaruhi kesehatan organ reproduksi istri dalam rumah tangga diantaranya adalah perubahan pola fikir, emosi dan ekonomi keluarga. Dampak terhadap pola fikir istri. Tindak kekerasan juga berakibat mempengaruhi cara berfikir korban, misalnya tidak mampu berfikir secara jernih karena selalu merasa takut, cenderung curiga (paranoid), sulit mengambil keputusan, tidak bisa percaya kepada apa yang terjadi. Istri yang menjadi korban kekerasan memiliki masalah kesehatan fisik dan mental dua kali lebih besar dibandingkan yang tidak menjadi korban termasuk tekanan mental, gangguan fisik, pusing, nyeri haid, terinfeksi penyakit menular (www.depkes.go.id).
Dampak terhadap ekonomi keluarga. Dampak lain dari tindakan kekerasan meskipun tidak selalu adalah persoalan ekonomi, menimpa tidak saja perempuan yang tidak bekerja tetapi juga perempuan yang mencari nafkah. Seperti terputusnya akses ekono-mi secara mendadak, kehilangan kendali ekonomi rumah tangga, biaya tak terduga untuk hunian, kepindahan, pengobatan dan terapi serta ongkos perkara.
Dampak terhadap status emosi istri. Istri dapat mengalami depresi, penyalahgunaan / pemakaian zat-zat tertentu (obat-obatan dan alkohol), kecemasan, percobaan bunuh diri, keadaan pasca trauma dan rendahnya kepercayaan diri.
E. Issu tentang kekerasan dalam rumah tangga.
Isu penindasan terhadap wanita terus menerus menjadi perbincangan hangat. Salah satunya adalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Perjuangan penghapusan KDRT nyaring disuarakan organisasi, kelompok atau bahkan negara yang meratifikasi konvensi mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan (Convention on the Elimination of All Form of Discrimination/CEDAW) melalui Undang-undang No 7 tahun 1984. Juga berdasar Deklarasi Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan yang dilahirkan PBB tanggal 20 Desember 1993 dan telah di artifikasi oleh pemerintah Indonesia. Bahkan di Indonesia telah disahkan Undang-undang No 23 Tahun 2004 tentang ‘Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga’.
Perjuangan penghapusan KDRT berangkat dari fakta banyaknya kasus KDRT yang terjadi dengan korban mayoritas perempuan dan anak-anak. Hal ini berdasarkan sejumlah temuan Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) dari berbagai organisasi penyedia layanan korban kekerasan.
Tanggal 22 September 2004 merupakan tanggal bersejarah bagi bangsa Indonesia. Pada tanggal tersebut, perjuangan perempuan Indonesia, terutama yang tergabung dalam Jaringan Advokasi Kebijakan Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan (Jangka-PKTP), yang merupakan gabungan LSM perempuan se-Indonesia, membuahkan hasil disahkannya RUU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga menjadi UU.
Kelompok mencoba mengidentifikasikan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga yaitu pertama faktor pembelaan atas kekuasaan laki-laki dimana laki-laki dianggap sebagai superioritas sumber daya dibandingkan dengan wanita, sehingga mampu mengatur dan mengendalikan wanita. Kedua, faktor Diskriminasi dan pembatasan dibidang ekonomi, dimana diskriminasi dan pembatasan kesempatan bagi perempuan untuk bekerja mengakibatkan perempuan (istri) ketergantungan terhadap suami, dan ketika suami kehilangan pekerjaan maka istri mengalami tindakan kekerasan. Ketiga, faktor beban pengasuhan anak dimana istri yang tidak bekerja, menjadikannya menanggung beban sebagai pengasuh anak. Ketika terjadi hal yang tidak diharapkan terhadap anak, maka suami akan menyalah-kan istri sehingga tejadi kekerasan dalam rumah tangga. Keempat yaitu faktor wanita sebagai anak-anak, dimana konsep wanita sebagai hak milik bagi laki-laki menurut hukum, mengakibatkan keleluasaan laki-laki untuk mengatur dan mengendalikan segala hak dan kewajiban wanita. Laki-laki merasa punya hak untuk melakukan kekerasan sebagai seorang bapak melakukan kekerasan terhadap anaknya agar menjadi tertib, Kelima faktor orientasi peradilan pidana pada laki-laki, dimana posisi wanita sebagai istri di dalam rumah tangga yang mengalami kekerasan oleh suaminya, diterima sebagai pelanggaran hukum, sehingga penyelesaian kasusnya sering ditunda atau ditutup. Alasan yang lazim dikemukakan oleh penegak hukum yaitu adanya legitimasi hukum bagi suami melakukan kekerasan sepanjang bertindak dalam konteks harmoni keluarga.
Penerapan sistem itu telah meluluh-lantakkan sendi-sendi kehidupan asasi manusia. Dari sisi ekonomi misalnya, sistem kapitalisme mengabaikan kesejahteraan seluruh umat manusia. Sistem ekonomi kapitalistik menitikberatkan pertumbuhan dan bukan pemerataan. Pembangunan negara yang diongkosi utang luar negeri, dan merajalelanya perilaku kolusi dan korupsi pada semua lini pemerintahan, telah meremukkan sendi-sendi perekonomian bangsa. Tak kurang 70% penduduk Indonesia berada di bawah garis kemiskinan. Mereka tidak mampu menghidupi diri secara layak karena negara mengabaikan pemenuhan kebutuhan pokok mereka. Himpitan ekonomi inilah yang menjadi salah satu pemicu orang berbuat nekat melakukan kejahatan, termasuk munculnya KDRT. Banyak kasus KDRT menimpa keluarga miskin, dipicu ketidakpuasan dalam hal ekonomi.
Dari sisi hukum, ketiadaan sanksi yang tegas dan membuat jera pelaku telah melanggengkan kekerasan atau kejahatan di masyarakat. Seperti pelaku pemerkosaan yang dihukum ringan, pelaku perzinaan yang malah dibiarkan, dan lain lain. Dari sisi sosial-budaya, gaya hidup hedonistik yang melahirkan perilaku permisif, kebebasan berperilaku dan seks bebas, telah menumbuh-suburkan perilaku penyimpangan seksual seperti homoseksual, lesbianisme dan hubungan seks disertai kekerasan.
Dari sisi pendidikan, menggejalanya kebodohan telah memicu ketidak-pahaman sebagian masyarakat mengenai dampak-dampak kekerasan dan bagaimana seharusnya mereka berperilaku santun. Ini akibat rendahnya kesadaran pemerintah dalam penanganan pendidikan, sehingga kapitalisasi pendidikan hanya berpihak pada orang-orang berduit saja. Lahirlah kebodohan secara sistematis pada masyarakat. dan kemerosotan pemikiran masyarakat, sehingga perilakupun berada pada derajat sangat rendah.
Untuk persoalan ini, dibutuhkan penerapan hukum yang menyeluruh oleh negara. Kalau tidak akan terjadi ketimpangan. Sebagai contoh sulit untuk menghilangkan pelacuran, kalau faktor ekonomi tidak diperbaiki. Sebab, tidak sedikit orang melacur karena persoalan ekonomi. Kekerasaan dalam rumah tangga, kalau hanya dilihat dari istri harus mengabdi kepada suami, pastilah timpang. Padahal dalam Islam, suami diwajibkan berbuat baik kepada istri. Kekerasaan yang dilakukan oleh suami seperti menyakiti fisiknya bisa diberikan sanksi diyat. Disinilah letak penting tegaknya hukum yang tegas dan menyeluruh.
Menurut pasal 11 UU PKDRT, pemerintah bertanggung jawab dalam upaya pencegahan kekerasan dalam rumah tangga dan menurut pasal 12 ayat (1) menyelenggarakan advokasi dan sosialisasi tentang kekerasan dalam rumah tangga juga menjadi tanggung jawab pemerintah. Namun, nyatanya, sosialisasi dan advokasi kekerasan dalam rumah tangga masih minim. Masih banyak masyarakat yang belum mengetahui apalagi memahami UU PKDRT, bahkan di kalangan aparat penegak hukum masih timbul berbagai persepsi.
Sehubungan dengan banyaknya hal baru dalam UU PKDRT yang tidak ditemukan dalam UU lain, seperti perlindungan sementara dan perintah perlindungan, juga adanya tindak pidana berupa jenis kekerasan lain di luar kekerasan fisik, diperlukan pendidikan dan pelatihan yang memadai bagi aparat penegak hukum dan pekerja sosial untuk menyamakan persepsi.
Di samping itu, diperlukan sosialisasi yang memadai bagi masyarakat luas, terutama bagi para pihak yang berpotensi melakukan KDRT, sebagai upaya pencegahan. Bagi pihak yang mungkin menjadi korban KDRT, sosialisasi perlu, agar bila terjadi KDRT, ia dapat memperbaiki nasibnya karena telah mengetahui hak-haknya.
UU PKDRT perlu direvisi pada bagian-bagian yang rancu dan perlu penambahan jenis kekerasan, seperti kekerasan ekonomi dan kekerasan sosial. Selain itu, diperlukan harmonisasi peraturan perundang-undangan yang tidak sejalan dengan napas kesetaraan gender, antara lain dengan merevisi UU Perkawinan, agar peraturan perundang-undangan bisa saling mendukung dan tidak saling bertentangan, supaya UU PKDRT dapat dirasakan efektivitasnya.
Penegakan hukum UU PKDRT tidak akan terlepas dari penegakan hukum pada umumnya. Apabila negara tidak dapat menciptakan supremasi hukum, perlindungan yang diatur dalam UU PKDRT hanya akan berupa law in book (teori) belaka, sedangkan dalam law in action (praktik) akan sulit terwujud. Oleh karena itu, supremasi hukum harus ditegakkan.
F. Implikasi keperawatan yang dapat diberikan untuk menolong kaum
perempuan dari tindak kekerasan dalam rumah tangga adalah :
Merekomendasikan tempat perlindungan seperti crisis center, shelter dan one stop crisis center.Memberikan pendampingan psikologis dan pelayanan pengobatan fisik korban. Disini perawat dapat berperan dengan fokus meningkatkan harga diri korban, memfasilitasi ekspresi perasaan korban, dan meningkatkan lingkungan sosial yang memungkinkan. Perawat berperan penting dalam upaya membantu korban kekerasan diantaranya melalui upaya pencegahan primer terdiri dari konseling keluarga, modifikasi lingkungan sosial budaya dan pembinaan spiritual, upaya pencegahan sekunder dengan penerapan asuhan keperawatan sesuai permasalah-an yang dihadapi klien, dan pencegaha tertier melalui pelatihan/pendidikan, pem-bentukan dan proses kelompok serta pelayanan rehabilitasi.Memberikan pendampingan hukum dalam acara peradilan.Melatih kader-kader (LSM) untuk mampu menjadi pendampingan korban kekerasan.Mengadakan pelatihan mengenai perlindungan pada korban tindak kekerasan dalam rumah tangga sebagai bekal perawat untuk mendampingi korban.
Kategori
Blogroll
- Masih Kosong