Makalah Pemotongan Dan Pemungutan Pajak

04 January 2016 14:41:58 Dibaca : 5771

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG
Tiap perusahaan tentunya menginginkan untuk meminimalkan jumlah pajak penghasilan terutangnya. Pihak pemerintah sedang mengupayakan untuk meningkatkan pendapatan negara yang salah satunya dari sektor pajak, yang memang merupakan salah satu pendapatan negara yang terbesar, yaitu dengan cara menambah objek yang dapat dijadikan obyek pajak.
Pemerintah dari tahun ke tahun mencoba meningkatkan penghasilan dari sektor pajak. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa penerimaan pemerintah dari sektor perpajakan merupakan sumber penerimaan dalam negeri yang bersifat stabil dan dinamis. Pungutan pajak yang dilakukan oleh negara berdasarkan undang-undang yang berlaku untuk membiayai penyediaan barang dan jasa publik, dan juga disertai sanksi dan denda bagi siapapun yang tidak mematuhinya.
Pemungutan pajak yang dilakukan oleh pihak ketiga dinamakan withholding tax. Sesuai dengan ketentuan yang berlaku di bidang perpajakan, pihak yang melakukan pemotongan dan pemungutan pajak atas pengeluaran yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) adalah bendahara pemerintah. Pemotongan/pemungutan pajak yang dilakukan oleh pihak ketiga yakni bendahara pemerintah harus mengetahui aspek-aspek perpajakan terutama yang berkaitan dengan kewajiban untuk melakukan pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan (PPh) serta Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

1.2 RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka rumusan masalahnya yaitu:
“Bagaimana perencanaan pajak atas transaksi pemotongan dan pemungutan pajak?”
BAB II
PEMBAHASAN

Sesuai dengan ketentuan yang berlaku di bidang perpajakan, pihak yang melakukan pemotongan dan pemungutan pajak atas pengeluaran yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) adalah bendahara pemerintah atau dengan kata lain pemotong pihak ketiga (withholding tax).
Withholding tax adalah mekanisme pemungutan pajak penghasilan (PPh) di tempat negara sumber penghasilan yang dilakukan oleh pihak ketiga. Termasuk dalam pengertian bendahara pemerintah adalah pemegang kas dan pejabat lain yang menjalankan fungsi yang sama.
Pemotongan maksudnya memotong penghasilan orang lain. Dipotong pada saat telah ada penghasilan. Sedangkan pemungutan itu dipungut atas biaya (biaya pembelian), belum menjadi penghasilan. Baik pemotong maupun pemungut sama-sama kepanjangan tangan fiskus untuk menyetorkan pajak ke Kas Negara.
Sebagai pihak yang melakukan pemotongan dan pemungutan pajak, bendahara pemerintah harus mengetahui aspek-aspek perpajakan terutama yang berkaitan dengan kewajiban untuk melakukan pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan (PPh) serta Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Kewajiban bendahara pemerintah sehubungan dengan PPh dan PPN antara lain adalah pemotongan dan/atau pemungutan PPh Pasal 21, PPh Pasal 22, PPh Pasal 23, PPh Pasal 4 ayat (2), dan PPN.

A. TAX PLANNING PPH PASAL 21/26
Pajak penghasilan sehubungan dengan pekerjaan jasa dan kegiatan yang dilakukan wajib pajak orang pribadi subyek pajak dalam negeri, yang selanjutnya disebut PPh Pasal 21, adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain, dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi subyek pajak dalam negeri, sebagaimana dimaksud dalam pasal 21 Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Bila penerima penghasilan tersebut adalah WPOP sebagai Subjek Pajak Dalam Negeri (SPDN), maka akan dikenai PPh Pasal 21, sedangkan bila penerima penghasilan adalah orang pribadi dengan status sebagai Subjek Pajak Luar Negeri (SPLN) selain Bentuk Usaha Tetap (BUT) akan dikenai PPh Pasal 26.

Pemotong PPh Pasal 21
Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 sesuai Per-Dirjen Pajak No. PER-31/PJ./2012 meliputi:
1. Pemberi kerja yang terdiri dari:
a) Orang pribadi dan badan.
b) Cabang perwakilan atau untuk dalam hal yang melakukan sebagian atau seluruh administrasi yang terkait dengan pembayaran gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain adalah cabang, perwakilan, atau unit tersebut.
2. Bendahara atau pemegang kas pemerintah termasuk bendahara atau pemegang kas pada pemerintah pusat termasuk institusi TNI/Polri pemerintah daerah, instansi, atau lembaga pemerintah, lembaga-lembaga negara lainnya, dan Kedutaan Besar Republik Indonesia di luar negeri, yang membayarkan gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apa pun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan.
3. Dana pensiun badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja, dan badan-badan lain yang membayar uang pensiun dan tunjangan hari tua atau jaminan hari tua.
4. Orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas, serta badan yang membayar::
a) Honorarium, komisi, fee, atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan jasa dan/atau kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi dengan status subjek pajak dalam negeri, termasuk jasa tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas dan bertindak untuk dan atas namanya sendiri, bukan untuk dan atas nama persekutuannya.
b) Honorarium, komisi, fee, atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan kegiatan dan jasa yang dilakukan oleh orang pribadi dengan status subjek pajak luar negeri.
c) Honorarium, komisi, fee, atau imbalan lain kepada peserta pendidikan, pelatihan, dan magang.
5. Penyelenggara kegiatan, termasuk badan pemerintah, organisasi yang bersifat nasional dan internasional, perkumpulan, orang pribadi serta lembaga lainnya yang menyelenggarakan kegiatan yang membayar honorarium, hadiah, atau penghargaan dalam bentuk apa pun kepada wajib pajak orang pribadi dalam negeri berkenaan dengan suatu kegiatan.

Subjek Pemotongan PPh Pasal 21/26
Subjek pajak yang dipotong PPh Pasal 21 atau Pasal 26, atau disebut Subjek Pemotongan adalah orang pribadi yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jabatan, jasa, atau kegiatan.
Penerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 sesuai Per-Dirjen Pajak No. PER-31/PJ./2012 adalah orang pribadi yang merupakan:
1. Pegawai.
2. Penerima uang pesangon pensiun atau uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua, atau jaminan hari tua, termasuk ahli warisnya.
3. Bukan pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan pemberian jasa, meliputi:
 Tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris.
 Pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron, bintang iklan, sutradara, kru film, foto model, peragawan/peragawati, pemain drama, penari, pemahal, pelukis, dam seniman lainnya.
 Olahragawan.
 Penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator.
 Pengarang, peneliti, dan penerjemah.
 Pemberi jasa dalam segala bidang, termasuk teknik komputer dan sistem aplikasinya, telekomunikasi, elektronika, fotografi, ekonomi, dan sosial serta pemberi jasa kepada suatu kepanitiaan.
 Agen iklan.
 Pengawas atau pengelola proyek.
 Pembawa pesanan atau yang menemukan langganan atau yang menjadi perantara.
 Petugas penjaja barang dagangan.
 Petugas dinas luar asuransi,
 Distributor perusahaan multilevel marketing atau direct selling dan kegiatan sejenis lainnya.
4. Anggota dewan komisaris atau dewan pengawas yang tidak merangkap sebagai pegawai tetap pada perusahaan yang sama.
5. Mantan pegawai.
6. Peserta kegiatan yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan keikutsertaannya dalam suatu kegiatan, antara lain:
 Peserta perlombaan dalam segala bidang antara lain perlombaan olahraga, seni, ketangkasan, ilmu pengetahuan, teknologi, dan perlombaan lainnya.
 Peserta rapat konferensi, sidang, pertemuan, atau kunjungan kerja.
 Peserta atau anggota dalam suatu kepanitiaan sebagai penyelenggara kegiatan tertentu.
 Peserta pendidikan dan pelatihan.
 Peserta kegiatan lainnya.

Objek PPh Pasal 21
Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26, adalah sebagai berikut:
1. Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 sesuai Per-Dirjen Pajak No. PER-31/PJ./2012 adalah sebagai berikut:
a. Penghasilan yang diterima atau diperoleh pegawai tetap, baik berupa penghasilan yang bersifat teratur maupun tidak teratur.
b. Penghasilan yang diterima atau diperoleh penerima pensiun secara teratur berupa uang pensiun atau penghasilan sejenisnya.
c. Penghasilan berupa uang pesangon, uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua, atau jaminan hari tua yang dibayarkan sekaligus, yang pembayarannya melewati jangka waktu 2 tahun sejak pegawai berhenti bekerja.
d. Penghasilan pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas, upah harian, upah mingguan, upah satuan, upah borongan, atau upah yang dibayarkan secara bulanan.
e. Imbalan kepada bukan pegawai, antara lain berupa honorarium, komisi, fee, dan imbalan sejenisnya dengan nama dan dalam bentuk apapun sebagai imbalan sehubungan jasa yang dilakukan.
f. Imbalan kepada peserta kegiatan, antara lain berupa uang saku, uang representasi, uang rapat, honorarium, hadiah atau penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apapun, dan imbalan sejenis dengan nama apa pun.
g. Penghasilan berupa honorarium atau imbalan yang bersifat tidak teratur yang diterima atau diperoleh anggota dewan komisaris atau dewan pengawas yang tidak merangkap sebagai pegawai tetap pada perusahaan yang sama.
h. Penghasilan berupa jasa produksi, tantiem, gratifikasi, bonus, atau imbalan lain yang bersifat tidak teratur yang diterima atau diperoleh mantan pegawai.
i. Penghasilan berupa penarikan dana pensiun oleh peserta program pensiun yang masih berstatus sebagai pegawai, dari dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh menteri keuangan.
2. Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 termasuk pula penerimaan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan lainnya dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang diberikan oleh:
a. Wajib pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final.
b. Wajib pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan norma perhitungan khusus.
3. Dalam hal penghasilan diterima atau diperoleh dalam mata uang asing penghitungan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 didasarkan pada nilai tukar (kurs) yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan yang berlaku pada saat pembayaran penghasilan tersebut atau pada saat dibebankan sebagai biaya.
4. Penghitungan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 atau penghasilan berupa penerimaan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan lain-lainnya didasarkan pada harga pasar atas barang yang diberikan atau nilai wajar atas pemberian natura dan/atau kenikmatan yang diberikan.

Non Objek PPh Pasal 21
Yang tidak termasuk dalam pengertian penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 sesuai Per-Dirjen Pajak No. PER-31/PJ./2012 adalah:
1. Pembayaran manfaat atau santunan asuransi dari perusahaan asuransi kesehatan, kecelakaan, jiwa, dwiguna, dan asuransi beasiswa.
2. Penerimaan dalam bentuk natura atau kenikmatan kecuali natura atau kenikmatan yang diberikan oleh buka wajib pajak, atau diberikan oleh WP yang dikenakan PPh final atau dikenakan PPh berdasarkan Norma Penghitungan Khusus.
3. Iuran pensiun yang dibayarkan kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh menteri keuangan, dan iuran jaminan hari tua kepada badan penyelenggara jamsostek yang dibayar oleh perusahaan kerja.
4. Zakat yang diterima oleh orang pribadi yang berhak dari badan atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah; atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia yang diterima oleh orang pribadi yang berhak dari lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah.
5. Beasiswa, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf I UU PPh 2008.
6. Kenikmatan berupa pajak yang ditanggung oleh pemberi kerja. Pajak yang ditanggung oleh pemberi kerja adalah pajak terutang atas penghasilan karyawan tetap yang menjadi beban atau dibayarkan oleh pemberi kerja, sehingga termasuk kenikmatan. Pajak yang ditanggunga oleh pemberi kerja berbeda dengan pemberian tunjangan pajak.

Kebijakan/Metode Pemotongan PPh Pasal 21
Dilihat dari siapa yang menanggung beban, maka kebijakan atau metode pemotongan PPh Pasal 21 yang dapat dipilih oleh wajib pajak adalah:
1. PPh Pasal 21 ditanggung oleh karyawan (potong gaji)
Metode ini biasanya disebut Metode Gross. Dalam hal ini jumlah PPh Pasal 21 yang terutang akan ditanggung oleh karyawan itu sendiri, sehingga benar-benar mengurangi penghasilan. Istilah yang sering digunakan adalah bahwa PPh Pasal 21 dipotong oleh perusahaan.
2. PPh Pasal 21 ditanggung perusahaan.
Metode ini lazimnya disebut Metode Net. Dalam hal ini, jumlah PPh Pasal 21 yang terutang akan ditanggung oleh perusahaan yang bersangkutan. Dengan demikian, gaji yang diterima oleh karyawan tersebut tidak dikurangi dengan PPh Pasal 21 karena perusahaanlah yang menanggung biaya/beban PPh Pasal 21.
3. PPh Pasal 21 diberikan dalam bentuk tunjangan.
Metode ini lazim disebut Metode Gross Up. Jika PPh Pasal 21 diberikan dalam bentuk tunjangan, maka jumlah tunjangan tersebut akan menambah penghasilan karyawan dan dikenai PPh Pasal 21. Dalam hal ini penghitungan PPh dilakukan dengan cara gross up dimana besarnya tunjangan pajak sama dengan jumlah PPh Pasal 21 terutang untuk masing-masing karyawan.

Taxability dan Deductibility Objek Pajak PPh Pasal 21
Prinsip Taxability Deductibility adalah prinsip yang menjelaskan tentang pos-pos yang dapat/tidak dapat dikenai pajak penghasilan (objek pajak dan bukan objek pajak penghasilan) dan pos-pos yang dapat/tidak dapat dibiayakan (pengurang penghasilan bruto), yang mekanismenya: jika pada pihak pemberi kerja pemberian imbalan/penghasilan dapat dibiayakan (pengurang penghasilan bruto), maka pada pihak karyawan merupakan penghasilan yang dikenakan pajak. Sebaliknya jika pada pihak karyawan pemberian imbalan/penghasilan tersebut buka merupakan penghasilan, maka pada pihak pemberi kerja tidak dapat dibiayakan (bukan pengurang penghasilan bruto).
Prinsip taxability deductibility merupakan prinsip dasar yang lazim diterapkan dalam perencanaan pajak. Yang pada umumnya dilakukan dengan mengubah atau mengkonversikan penghasilan yang merupakan objek pajak menjadi penghasilan yang bukan objek pajak, atau sebaliknya mengubah biaya yang tidak boleh dikurangkan menjadi biaya yang boleh dikurangkan, dengan konsekuensi terjadinya perubahan pajak terutang akibat pengubahan atau konversi tersebut. Apakah perubahan jumlah pajak terutang akan menjadi lebih besar, lebih kecil, atau sama dengan jumlah pajak terutang akibat koreksi fiskal, tentunya harus dipertimbangkan mana yang lebih menguntungkan perusahaan.

Prinsip Taxability-Deductibility Mengenai Imbalan (Natura/Uang)
Jenis Imbalan Perlakuan Biaya Bagi Perusahaan/Pemberi Kerja Perlakuan PPh Ps. 21 Bagi Penerima
Imbalan dalam bentuk uang Deductible Taxable
Imbalan dalam bentuk natura Non Deductible Non Taxable

Berikut ini penjabaran pemberian dalam bentuk natura atau kenikmatan (benefit in kind) kepada para pegawai:
Dalam tahun 2010, PT ABx menyediakan dokter dan obat-obatan dengan cuma-cuma untuk pemeliharaan kesehatan pegawainya yang berjumlah 1.000 orang, juga ongkos melahirkan yang jumlah totalnya Rp. 360 juta setahun, atau rata-rata biaya untuk pemeliharaan kesehatan setiap pegawai setiap bulannya berjumlah (1/12 x Rp. 360 juta): 1.000 = Rp. 30.000, atau sama dengan Rp. 1.000 per orang per hari.
 Sebelum Tax Planning
Berdasarkan pasal 4 ayat 3 huruf d UU Pajak Penghasilan, benefit in kind (seperti biaya berobat ke dokter dan obat) sebesar Rp. 360 juta itu bukan merupakan objek pajak penghasilan (non taxable), sehingga tidak dikenai pajak. Sebaliknya, dari sudut pandangan perusahaan yang mengeluarkan biaya, secara komersial pengeluaran itu merupakan biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan perusahaan, tetapi secara fiskal (pasal 9 ayat 1 huruf e UU PPh) merupakan biaya yang tidak boleh dikurangkan sehingga harus dilakukan koreksi fiskal.
Konsekuensinya: karena biaya tersebut merupakan biaya fiskal yang tidak boleh dikurangkan, maka koreksi fiskal yang dilakukan oleh Dirjen Pajak menimbulkan tambahan pajak (PPh Badan) tahun 2010 sebesar 25 % x Rp. 360 juta = Rp. 90 juta.
 Sesudah Tax Planning
Dengan mengubah pemberian dalam bentuk natura atau kenikmatan (seperti dokter dan obat) menjadi tunjangan kesehatan (uang), maka secara fiskal (pasal 4 ayat 1 huruf a UU PPh) tunjangan kesehatan tersebut merupakan penghasilan yang dikenai pajak dan dilain pihak, berdasarkan pasal 6 ayat 1 huruf a biaya tunjangan kesehatan tersebut dapat dikurangkan dari penghasilan bruto perusahaan.
Solusi yang dianjurkan: untuk menghindari koreksi fiskal tersebut PT ABx memberikan tunjangan kesehatan (tunai) sebagai pengganti, daripada menyediakan dokter dan memberikan obat dengan cuma-cuma, yang hanya akan menambah penghasilan pegawai yang akan dipajaki sebesar Rp. 360 juta. Dan bagi perusahaan jumlah tersebut merupakan biaya yang boleh dikurangkan (deductible).
 Pajak penghasilan yang dapat dihemat akibat perubahan tersebut adalah sebesar 25% x 360 juta = Rp. 90 juta. Sedangkan dampak pajak (PPh Pasal 21) bagi pegawai yang bersangkutan, akibat penggantian penyediaan dokter dan pemberian obat-obatan dengan tunjangan kesehatan, yang merupakan penghasilan pegawai yang bersangkutan, praktis tidak ada beban tambahan pajak, karena penghasilannya (UMR) masih di bawah Penghasilan Tidak Kena Pajak.

Meminimalkan Tarif Pajak (PPh Pasal 21)
Penerapan tax planning dalam PPh pasal 21, antara lain dengan cara:
1. Pada perusahaan yang PPh badannya tidak dikenai pajak bersifat final, diupayakan seminimal mungkin memberikan kesejahteraan karyawan dalam bentuk natura atau kenikmatan (benefit in kinds), karena pengeluaran tersebut tidak dapat dibebankan sebagai biaya bagi perusahaan. Sebagai gantinya untuk kesejahteraan pegawai diberikan dalam bentuk tunjangan, sehingga bisa dibiayakan (mengurangi profit).
2. Untuk perusahaan yang PPh badannya dikenakan pajak bersifat final, memberikan tunjangan kepada karyawan dalam bentuk natura atau kenikmatan merupakan salah satu pilihan untuk menghindari lapisan tariff maksimum PPh Pasal 21. Pilihan pemberian dalam bentuk kenikmatan/natura atau dalam bentuk tunjangan tidak memengaruhi PPh badan karena pendapatan perusahaan sudah dikenai PPh final. Tetapi untuk tujuan komersial, baik pemberian dalam natura, kenikmatan, atau dalam bentuk tunjangan tetap, bisa menjadi pengurang penghasilan bruto untuk menghitung penghasilan netto.
3. Untuk perusahaan yang PPh badannya dikenai pajak bersifat final, contohnya perusahaan jasa konstruksi, maka efisiensi PPh pasal 21 karyawan dapat dilakukan dengan cara memberikan semaksimal mungkin tunjangan karyawan dalam bentuk natura atau kenikmatan yang bukan merupakan objek pajak PPh pasal 21, sebagai salah satu pilihan untuk menghindari lapisan tarif maksimum PPh Pasal 21, selain itu pengeluaran untuk pemberian natura atau keniknamatan tersebut tidak memengaruhi besarnya PPh badan. Contoh, pemberian makanan dan minuman bagi seluruh pegawai (Pasal 9 ayat 1e UU PPh) dan penyediaan bus antara jemput pegawai (Per-51/PJ/2009), kedua hal tersebut dapat dibiayakan tetapi tidak menambah beban PPh Pasal 21 karena tidak menambah pendapatan dalama perhitungan PPh Pasal 21 karyawan.

Strategi Perencanaan Pajak untuk Mengefisienkan Beban Pajak
Menyusun perencanaan pajak sesuai dengan kondisi perusahaan dimulai dengan strategi mengefisienkan beban pajak (penghematan pajak). Selain itu apa yang dilakukan perusahaan harus bersifat legal (tax avoidance) supaya terhindar dari sanksi pajak dikemudian hari. Agar perencanaan pajak sesuai dengan yang diharapkan, perusahaan perlu melakukan analisis terhadap metode-metode dan kebijakan-kebijakan yang akan digunakan, serta membuat strategi agar efisiensi beban pajak dapat tercapai.
Misalnya:
- Memberi tunjangan dalam bentuk uang atau natura atau kenikmata, karena pada dasarnya pemberian dalam bentuk natura atau kenikmatan dapat dikurangkan sebagai biaya oleh pemberi kerja sepanjang pemberian tersebut diperhitungkan sebagai penghasilan yang dikenai pajak penghasilan pasal 21 bagi pegawai yang menerimanya. Pemberian tunjangan semacam ini, selain akan member kepuasan dan meningkatkan motivasi kerja pegawai juga akan meningkatkan produktivitas mereka.
- Perusahaan member tunjangan kesejahteraan kepada pegawai dalam bentuk fasilititas pengobatan. Apabila pemberian tunjangan kesehatan kepada pegawai diberikan dalam bentuk uang, maka dari pihak perusahaan tunjangan itu dapat diakui sebagai biaya, dan sebagai penghasilan bagi pegawai sehingga dikenai PPh Pasal 21.
- Menghindari pelanggaran terhadap peraturan perpajakan dapat dilakukan dengan cara memahami seluruh peraturan, menghitung pajak dengan tepat dan benar, membayar pajak serta melaporkan SPT masa dan tahunan tepat waktu.

Dalam perhitungan PPh pasal 21 terdapat tiga metode yang bisa diaplikasikan, yakni metode net, metode gross, dan metode gross up.
1. Net Method
Merupakan metode pemotongan pajak dimana perusahaan menanggung PPh Pasal 21 karyawan.
2. Gross Method
Merupakan metode pemotongan pajak dimana karyawan menanggung sendiri jumlah pajak penghasilannya.
3. Gross Up Method
Merupakan metode pemotongan pajak, dimana perusahaan memberikan tunjangan pajak PPh Pasal 21 yang di formulasikan jumlahnya sama besar dengan jumlah pajak PPh Pasal 21 yang akan dipotong dari karyawan.

Rumus Tunjangan Pajak dengan Metode Gross Up yang sesuai dengan UU PPh No. 36 Tahun 2008.
1. PKP Rp. 0 s/d Rp. 50.000.000
Pajak = 1/0,95 (PKP x 5%)
2. PKP di atas Rp. 50.000.000 s/d Rp. 250.000.000
Pajak = 1/0,85 {(PKP x 15%) – 5 juta}
3. PKP di atas Rp. 250.000.000 s/d Rp. 500.000.000
Pajak = 1/0,75 {(PKP x 25%) – 30 juta}
4. PKP di atas Rp. 500.000.000
Pajak = 1/0,70 {(PKP x 35%) – 55 juta}

Perhitungan PPh Pasal 21 dengan Metode Gross Up yang sesuai UU PPh No. 36 Tahun 2008, harus dilakukan dengan dua tahap seperti di bawah ini.

Tahap-1
Hitung dulu berapa PKP tanpa tunjangan pajak. Setelah itu baru dihitung berupa tunjangan pajak dengan menggunakan rumus gross up di atas.

Contoh:
Tuan Amir, pegawai tetap PT. DEx sejak tahun 2005 mempunyai gaji per tahun Rp. 120.000.000, status K/1. Jaminan Kecelakaan Kerja- Jamsostek (JKK) sebesar 1,27% dari gaji, Jaminan Kematian-Jamsostek (JKM) sebesar 0,30% dari gaji, bonus sebesar Rp. 5.000.000, iuran pensiun (dibayar sendiri) sebesar Rp. 2.400.000, Jaminan Hari Tua (JHT) sebesar 2% x gaji, dan tunjangan makan siang sebesar Rp. 3.600.000. Tahun 2010 menerima penghitungan pajak PPh Pasal 21 sebagai berikut:

Gaji/tahun Rp. 120.000.000
Tunjangan makan siang Rp. 3.600.000
JKK = 1,27% x 120 jt Rp. 1.542.000
JKM = 0,30% x 120 jt Rp. 3.600.000
Rp. 128.742.000
Bonus Rp. 5.000.000
Rp. 133.742.000
Pengurangan:
Biaya jabatan = 5% max Rp. 6.000.000
Iuran pensiun (dibayar sendiri) Rp. 2.400.000
JHT = 2% x 120 jt Rp. 2.400.000
(Rp. 10.800.000)
Rp. 122.942.000
PTKP (K/1) (Rp. 28.350.000)
PKP Rp. 94.592.000
Karena PKP ada dilapisan tarif ke-2, maka rumus gross up yang dipakai adalah lapisan ke-2.

(PKP x 15%) – 5.000.000
Lapisan Ke-2 =
0,85
(94.592.000 x 15%) – 5.000.000
Tunjangan Pajak =
0,85
Tunjangan Pajak = 10.810.353

Tahap-2
Setelah diperoleh berapa tunjangan pajak dengan rumus gross up, baru dimasukkan unsur tunjangan pajak sebagai unsure penghasilan wajib pajak. Perhitungan ini memperlihatkan bahwa jumlah PPh harus sama dengan tunjangan pajak. Bila sama, maka PPh tersebut dapat dibiayakan (deductible).

Gaji/tahun Rp. 120.000.000
Tunjangan makan siang Rp. 3.600.000
Tunjangan pajak (gross up) Rp. 10.810.353
JKK = 1,27% x 120 jt Rp. 1.542.000
JKM = 0,30% x 120 jt Rp. 3.600.000
Rp. 139.552.353
Bonus Rp. 5.000.000
Rp. 144.552.353

Dikurangi:
Biaya jabatan Rp. 6.000.000
Iuran pensiun Rp. 2.400.000
JHT = 2% x 120 jt Rp. 2.400.000
(Rp. 10.800.000)
Rp. 133.752.353
PTKP (K/1) (Rp. 28.350.000)
PKP Rp. 105.402.353

PPh Terutang:
PPh 21 5% x 50.000.000 = Rp. 2.500.000
15% x 55.402.353 = Rp. 8.310.353
Rp. 10.810.353
Berikut penjelasan secara singkat tentang perhitungan net method, gross method, dan gross up method.
1. Gross Method
Apabila PPh 21 terutang dibayar sendiri oleh karyawan yang bersangkutan.
Si A (TK/0)
Gaji sebulan = Rp. 2.000.000
PPh 21 yang dibayar sendiri = Rp 30.000
Take home pay = Rp.1.970.000 (gaji dikurangi dengan PPh 21 dibayar sendiri)

2. Net Method
PPh 21 dibayar/ditanggung pemberi kerja.
Si A (TK/0)
Gaji sebulan = Rp. 2.000.000
PPh 21 yang dibayar pemberi kerja = Rp. 30.000 (merupakan kenikmatan, bukan biaya bagi pemberi kerja)
Jadi, take home pay-nya tetap sebesar Rp. 2.000.000.

3. Gross Up Method
Karyawan diberikan tunjangan pajak (gajinya dinaikkan) sebesar pajak yang dipotong.
Si A (TK/0)
Gaji sebulan = Rp. 2.000.000
Tunjangan PPh = Rp. 30.000 (merupakan biaya bagi pemberi kerja sehingga bisa mengurangi pajak (deductable expense).

Jumlah Gaji = Rp. 2.030.000
Dipotong PPh 21 = (Rp. 30.000)
Take home pay = Rp. 2.000.000

Keterangan:
Take home pay adalah pembayaran yang benar-benar diterima oleh karyawan setelah menambahkan pendapatan-pendapatan rutin maupun isidentil yang merupakan hak karyawan dikurangi dengan hal-hal yang sudah diatur oleh pemerintah dan kebijakan dari perusahaan dimana karyawan tersebut bekerja misalnya:
1. Jaminan hari tua (jamsostek)
2. Pajak penghasilan pribadi (PPh 21)
3. Tabungan pensiun yang direncanakan
4. Potongan koperasi (bagi yang anggota koperasi di kantornya), dsb.

B. TAX PLANNING PPH PASAL 22
Cara mudah yang dilakukan oleh pemerintah ditjen pajak untuk memunggut pajak adalah dengan cara mewajibkan wajib pajak melakukan pemunggutan dan pemotongan atas pajaknya, dari pihak lain (pihak ketiga), sesuai dengan kewajiban pajak untuk untuk melakukan pemotongan atau pemunggutan pajak dan selanjutnya menyetorkan dan melaporkannya ke kantor pajak setiap bulan berdasarkan ketentuan perpajakan.
Dengan cara ini pemerintah akan lebih mudah dan hemat mengumpulkan pajak tanpa upaya dan biaya yang besar. Tugas pemerintah cukup mengawasi saja, dan bila ada wajib pajak yang tidak menjalankan withholding tax dengan benar, Ditjen Pajak tinggal menerapkan sanksi administratif, yang akan menambah pemasukan atau penerimaan negara. Berbeda dengan self assessment, yang memberi kepercayaan penuh kepada wajib pajak untuk menghitung, membayar, dan melaporkan kewajiban perpajakannya sendiri, dengan sistem withholding tax, wajib pajak diwajibkan untuk memotong, menyetorkan dan mengadministrasikan pajak pihak lain (pihak ketiga).
Dalam praktiknya, masih saja kita temukan banyak wajib pajak yang tidak memiliki informasi lengkap mengenai pajak apa saja yang harus dipotong atau dipunggut. Sehingga ketika wajib pajak melaksanakan transaksi pembayaran dan tidak melakukan pemotongan atau pemunggutan pph, maka konsekuensi yang dihadapinya adalah wajib pajak tersebut akan dikenai tagihan atas pajak yang tidak kurang/dipunggut/dipotong, ditambah dengan sanksi administrasi.

Pemungutan PPh Pasal 22
Pemungutan PPh Pasal 22 dilakukan sehubungan dengan pembayaran atas pembelian barang seperti: komputer, meubel, mobil dinas, ATK dan barang lainnya oleh Pemerintah kepada Wajib Pajak penyedia barang. Pemungutan PPh Pasal 22 dilakukan oleh:
1. Bendahara pemerintah dan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) sebagai pemungut pajak pada Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Instansi atau lembaga Pemerintah dan lembaga lembaga negara lainnya berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang.
2. Bendahara pengeluaran untuk pembayaran yang dilakukan dengan mekanisme uang persediaan (UP).
3. Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) atau pejabat penerbit Surat Perintah Membayar yang diberi delegasi oleh KPA, untuk pembayaran kepada pihak ketiga yang dilakukan dengan mekanisme pembayaran langsung (LS).

Besarnya PPh Pasal 22 yang wajib dipungut adalah: 1,5% x harga beli (tidak termasuk PPN).
Pemungutan PPh Pasal 22 atas belanja barang tidak dilakukan apabila:
a. Pembelian barang dengan nilai maksimal pembelian Rp2.000.000,00 dengan tidak dipecah-pecah dalam beberapa faktur.
b. Pembelian bahan bakar minyak, listrik, gas, pelumas, air minum/PDAM dan benda-benda pos.
c. Pembayaran untuk pembelian barang sehubungan dengan penggunaan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS).

Peraturan terkait pelaksanaan pemungutan PPh Pasal 22 adalah:
1. Pasal 22 Undang-Undang PPh.
2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 154/PMK.03/2010.
3. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-57/PJ/2010 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-15/PJ/2011.

Tax Management Pemotongan dan Pemunggutan PPh Pasal 22
Pajak penghasilan pasal 22 diatur dalam KMK-254/KMK.03/2001 sebagaimana telah diubah terakhir dengan PMK No. 8/PMK.03/2008, pajak ini menyangkut PPh pasal 22 impor, PPh pasal 22 bendaharawan dan BUMN/BUMD atas pembayaran untuk pembelian dan penyerahan barang yang dibebankan pada APBNAPBD, PPh pasal 22 atas penjuala barang yang tergolong sangat mewah (PMK No. 253/PMK.03/2008. Disini yang akan dibicarakan adalah masalah PPh pasal 22 impor. Sebetulnya bidang PPh pasal 22 impor ini menyangkut pemunggutan pajak di sektor impor, yang berhubungan dengan penyerahan dan pembayaran barang, serta pemasukan barang dari luar daerah pabean kedalam daerah pabean. Kalau perusahaan mengimpor barang, harus membayar PPh pasal 22 impor pada saat pembayaran bea masuk, dan yang memunggut adalah Dirjen Bea Cukai atau Bank Devisa. PPh pasal 22 impor merupakan kredit pajak yang dapat dikurangkan dari PPh yang terutang diakhir tahun pajak.
Dalam hal impor, tarif PPh pasal 22 ini bervariasi, tergantung apakah perusahaan mempunyai pengenal angka impor (API) atau tidak, dan kalau tidak dikuasai barang tidak bertuan. Kalau ada API tarifnya 2,5% dari nilai impor, kalau non API 7,5% dan untuk barang tidak dikuasai juga dikenai 7,5% dari harga jual lelang. Presentase tersebut dihitung dari harga barang atau nilai CIF + BM (cost insurance & fright + bea masuk + bea masuk tambahan, jika ada). Rate yang berbeda ini menimbulkan tax planning, tentu yang dipikirkan oleh tax planner adalah mencari tarif terendah, sehingga dalam melakukan impor, tax planner yang baik akan merekomendasikan impor dengan API.
Tax management dan tax planning yang baik mensyaratkan beberapa hal , seperti tidak melanggar ketentuan perpajakan secara bisnis masuk akal (reasionable), serta didukung oleh bukti-bukti pendukung yang memadai, (kontrak, invoice dan sebagainya). Oleh sebab itu untuk meminimalisi koreksi fiskal pihak fiskus terhadap hal tersebut, solusinya adalah dengan membuat kontrak yang jelas dan secara transparan menunjukan hak dan kewajiban perpajakan masing-masing pihak.
Perusahaan yang dikenakan PPh pasal 22 dapat mengkreditkan PPh pasal 22 yang tidak bersifat final. Sedangkan PPh pasal 22 yang bersifat final tidak dapat dikreditkan dalam SPT tahunan PPh.

Pengecualian-Pengecualian PPh Pasal 22
Ada juga pengecualian-pengecualian pajak yang juga harus diperhatikan oleh tax planner. Misalnya untuk impor barang yang bebas bea masuk yang juga dikecualikan dari PPh impor, begitu juga barang untuk keperluan pameran, atau keperluan yang bersifat sementara. Di sini beda penggunaan sudah bisa dimanfaatkan. Tax lanner akan selalu memnafaatkan beban pajak yang minimal.
Dikecualikan dari pemunggutan pajak penghasilan pasa 22, adalah (a) impor barang dan penyerahan barang yang berdasarkan ketentuan perundang-undangan tidak terutang pajak penghasilan, (b) Impor Barang yang dibebaskan dari punggutan bea masuk dan atau Pajak Pertambahan Nilai; sebagaimana ditetapkan dalam keputusan Menteri Keuangan no. 254/KMK.03/2001 yang telah diubah dengan KMK No. 392/KMK.03/2001 dan 236/KMK.02/2003 dan 154/PMK.02/2007 dan terakhir diubah dengan PMK No. 08/PMK.03/2008.
Contoh kasus: suatu perusahaa katakanlah PT A (BUMN) yang mempunyai fasilitas bebas impor barang (impor dan atau penyerahan barang kena pajak tertentu yang bersifat strategis yang dibebaskan dari pengenaan PPN (PP No. 12 tahun 2001) sebagaimana telah diubah ketigakalinya terakhir dengan PP No. 7 tahun 2007) dan dibebaskan dari punggutan Bea Masuk dan atau Pajak Pertambahan Nilai KMK No. 54/KMK.03/2001 yang terakhir diubah dengan PMK No. 08/PMK.03/2008, artinya sesuatu yang menyangkut pajak-pajak impor, dibebaskan yaitu, Bea Masuk, PPh Impor, dan PPN Impor. PT A mempunyai rekanan kontraktor yaitu PT B (kontraktor) sebenarnya PT B ini juga mempunyai API tapi dia tidak memanfaatkan API nya sendiri, tapi menyuruh PT A menggunakan API nya, jadi segala sesuatu yang melaksanakan impor seolah-olah PT A, padahal dalam pelaksanaanya dilapangan yang mengeksekusi adalah PT B, kenapa demikian? Karena kalau API dari PT B yang digunakan untuk mengeluarkan barang impor tersebut, pasti akan terkena Bea Masuk, PPN impor, dan PPh pasal 22 Impor, karena PT B tidak memiliki fasilitas Impor Barang strategis yang dibebaskan dari pengenaan PPN. Jadi disini PT B dapat menghemat cash flow-nya. seandainya kontrak perjanjian antara PT A dan PT B mensyaratkan PT B yang mengimpor barang dan harus melakukan pembayaran di muka atas biaya-biaya Impor (dengan asumsi bebas Bea Impor, PPN Impor, PPh pasal 22 Impor) maka bagi PT B (kontraktor) tekanan beban cash flow-nya sudah agak ringan.
Dalam hal ini tax planner atau tax manager PT B masih harus bekerja sama dengan tax manager PT A mengajukan permohonan tertulis pada Ditjen Pajak untuk mendapat surat keputusan bahwa barang yang diimpor tersebut didefinisikan sebagai barang strategis yang mendapat pembebasan Bea Masuk, PPN Impor, PPh pasal 22 impor, karena pengajuan surat permohonan tersebut harus dibuar secara formal atas nama PT A, bukan atas nama PT B.

Pengajuan SKB PPh Pasal 22
Sesuai dengan keputusan Dirjen Pajak No. 192/PJ/2002, wajib pajak dapat mengajukan permohonan pembebasan dari pemotongan dan atau pemunggutan PPh pasal 22 oleh pihak lain kepada Direktur Jenderal Pajak karena;
a. Wajib pajak yang dalam pajak berjalan dapat menunjukan tidak akan terutang Pajak Penghasilan karena mengalami kerugian fiskal.
b. Wajib pajak berhak melakukan kompensasi kerugian fiskal sepanjang kerugian tersebut jumlahnya lebih besar dari perkiraan penghasilan neto tahun pajak yang bersangkutan.
c. Pajak penghasilan yang telah dibayar lebih besar dari pajak penghasilan yang akan terutang.
Untuk PPh Pasal 22 yang tidak termasuk PPh Final, dapat diajukan surat permohonan surat keterangan bebas (SKB) oleh wajib pajak yang memnuhi kriteria, seperti yang dimaksud dalam keputusan Dirjen Pajak di atas, dan tax planner yang baik akan selalu memanfaatkan momentum kapan permohonan SKB PPh pasal 22 tersebut diajukan agar tidak terjadi lebih bayar pajak penghasilan.
Ketentutan Pasal 22 UU No. 36 tahun 2008, menyatakan bahwa menteri keuangan dapat menetapkan bendahara pemerintah untuk memunggut pajak, sehubungan dengan pembayaran atas penyerahan barang, badan-badan tertentu untuk memunggut pajak dari wajib pajak yang melakukan kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain, dan wajib pajak badan tertentu unutuk memungggut pajak dari pembeli atas penjualan barang yang tergolong sangat mewah.

PPh Pasal 22 Impor
Besarnya PPh pasal 22 Impor adalah:
1. Yang menggunakan Angka Pengenal Impor (API);
a. Atas impor kedelai, gandum, dan tepung terigu oleh importir, dikenal tarif sebesar 0,5% dari nilai impor.
b. Selain impor gandum, tepung terigu oleh importir yang memiliki API tetap dikenai 2,5% dari nilai impor.
2. Yang tidak menggunakan API sebesar 7,5% (tujuh setengah persen) dari nilai impor
3. Yang tidak dikuasai sebesar 7,5% (tujuh setengah persen) dari harga jual lelang.

Catatan:
1. Nilai impor harga patokan impor (nilai CIF) + bea masuk + bea masuk tambahan (jika ada).
2. Kurs yang digunakan untuk menghitung nilai impor adalah kurs berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan.

PPh Pasal 22 Bendaharawan dan BUMN/BUMD
Atas pembayaran untuk pembelian atau penyerahan barang yang dibebankan ke APBN/APBD, besarnya PPh pasal 22 yang harus dipunggut adalah sebesar 1,5% dari harga beli yang dipunggut pada saat pembayaran. Pemunggutan dilakukan oleh Dirjen Anggaran, Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara (KPKN), atau BUMN/D yang dananya berasal dari APBN/D.
PPh pasal 22 tersebut merupakan kredit pajak bagi wajib pajak penjual dan harus disetor oleh pemunggut dengan menggunakan SSP atas nama Wajib Pajak yang dipungggut (penjual).

C. TAX PLANNING PAJAK PENGHASILAN PASAL 23
Pajak adalah punggutan. Suka atau tidak, itu adalah suatu pemaksaan yang dilegalisasi melalui undang-undang. Undang-undang ini tujuannya untuk memberi kesan bahwa punggutan ini tidak sama dengan perampasan. Bagaimanapun juga itu adalah suatu pengeluaran yang tidak ada direct benefit-nya. Oleh karena itu sepanjang tidak ada aturannya, sah saja kalau tidak dibayar. Kalau ada pemotongan dari punggutan, masyarakat cenderung berusaha untuk shifting dari yang objek-objek yang kena pemotongan atau pemunggutan, melakukan shifting hingga menjadi tidak kena pajak atau shifting dari tarif yang besar ke tarif yang kecil. mereka akan bermain dengan kata-kata atau terminologi, hingga muncul istilah yang aneh-aneh. Setiap ada terminologi yang kena pajak, mereka akan mencari terminologi lain yang tidak tercakup dalam ketentuan.
Tidak jarang terjadi dispute dalam bisnis tentang kewajiban memunggut PPh pasal 23, di mana perusahaan pemilik proyek atau penerima jasa mengharuskan adanya pemunggutan dan pemotongan PPh Pasal 23 dari pihak ketiga, sedangkan pihak pemberi jasa (kontraktor) tidak bersedia dipotong pajaknya karena tidak ada pasal pemotongannya dalam kontrak perjanjian. Apabila perusahaan pemilik proyek tidak memotong PPh Pasal 23, dan transaksi ini ditemukan oleh fiskus pada saat dilakukan pemeriksaan pajak, maka perusahaan pemilik proyek akan dikenai kewajiban untuk membayar PPh Pasal 23 (withholding tax) yang terutang ditambah denda keterlambatan penyetoran sebesar 2% sebulan dari pokok kerja.
Solusinya:
1. Nilai transaksi harus di gross up, misalnya sewa bangunan Rp. 72 juta, di gross up menjadi 100/90 x Rp 72 juta= Rp 80 Juta. Bila jumlah transaksi dalam kontrak sudah termasuk pajak yang harus dipunggut, maka atas jumlah pajak yang dibayarkan (Rp 80 juta – Rp 72 juta = Rp. 8 juta) boleh dibebankan sebagai biaya, kecuali untuk PPh final dan dividen.
2. Namun bila perusahaan pemilik proyek membayarkan sendiri PPh Pasal 23 yang terutang (PPh ditanggung) tanpa di gross up (jadi 10% x Rp. 72 juta = Rp. 7,2 juta), maka pajak yang dibayarkan tidak boleh dibebankan sebagai biaya.

Perubahan Tarif PPh pasal 23
UU PPh yang baru No. 36 tahun 2008 telah menurunkan tarif PPh Pasal 23 yang semula 15% menjadi:
1. 15% dan peredaran bruto atas dividen, bunga, royaliti, dan hadiah, penghargaan, bonus, dan sejenisnya.
2. 2% peredaran bruto atas jasa-jasa seperti sewa, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lainnya.

Pemotongan PPh Pasal 23
Pemotongan PPh Pasal 23 adalah cara pelunasan pajak dalam tahun berjalan melalui pemotongan pajak atas penghasilan yang dibayarkan oleh bendahara kepada pihak lain. Penghasilan yang dibayarkan tersebut antara lain:
1. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, royalti, hadiah/penghargaan.
2. Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konsultan dan jasa lain.
Jasa lain tersebut yang menjadi objek pemotongan PPh Pasal 23 antara lain:
a. Jasa penilai (appraisal).
b. Jasa aktuaris.
c. Jasa akuntansi, pembukuan, dan atestasi laporan keuangan.
d. Jasa perancang (design).
e. Jasa penunjang di bidang penerbangan dan bandar udara.
f. Jasa penebangan hutan.
g. Jasa pengolahan limbah.
h. Jasa penyedia tenaga kerja (outsourcing services).
i. Jasa perantara dan/atau keagenan.
j. Jasa kustodian/penyimpanan/penitipan,kecuali yang dilakukan oleh KSEI.
k. Jasa sehubungan dengan software computer, termasuk perawatan, pemeliharaan dan perbaikan.
l. Jasa instalasi/pemasangan mesin, peralatan, listrik, telepon, air, gas, AC, dan/atau TV kabel, selain yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang lingkupnya di bidang konstruksi dan mempunyai izin dan/atau sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi.
m. Jasa Perawatan/perbaikan/ pemeliharaan mesin, peralatan, listrik, telepon, air, gas, AC, TV kabel, alat transportasi/kendaraan dan/atau bangunan, selain yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang lingkupnya di bidang konstruksi dan mempunyai izin dan/atau sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi.
n. Jasa maklon
o. Jasa penyelenggara kegiatan atau event organizer.
p. Jasa pengepakan.
q. Jasa penyediaan tempat dan/atau waktu dalam media masa, media luar ruang atau media lain untuk penyampaian informasi.
r. Jasa pembasmian hama.
s. Jasa kebersihan atau cleaning service.
t. Jasa catering atau tata boga.

Peraturan terkait pelaksanaan pemotongan PPh Pasal 23 adalah:
1. Pasal 23 Undang-Undang PPh.
2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 244/PMK.03/2008.

Pengajuan SKB PPh Pasal 23
Seperti pengajuan SKB PPh pasal 22 yang telah dibahas di atas, ketentuan yang sama berlaku juga pada PPh pasal 23 dengan dasar peraturan pelaksanaan yang sama, yakni sesuai dengan keputusan Dirjen Pajak No. 192/PJ/2002, di mana wajib pajak dapat mengajukan permohonan pembebasan pemotongan dan atau pemunggutan PPh Pasal 23 oleh pihak lain kepada Direktur Jenderal Pajak dengan kriteria seperti yang dimaksud dalam keputusan Dirjen Pajak. Tax planner yang baik akan selalu memanfaatkan momentum pengajuan permohonan SKB PPh pasal 23 tersebut agar tidak terjadi lebih bayar pajak penghasilan.
PPh pasal 23 merupakan pemotongan atas pajak penghasilan yang diperoleh pajak dalam negeri dan BUT (bentuk usaha tetap) yang berasal dari modal, penyarahan jasa, atau penyelanggaraan kegiatan selain yang telah dipotong PPh pasal 21.
Sampai akhir tahun 2008, ketentuan mengenai jenis jasa yang dipotong PPh pasal 23, sesuai dengan ketentuan PER-70/PJ/2007 yang mulai berlaku sejak 9 APRIL 2007 sebagai pengganti PER-178/PJ./2006 (yang mencabut KEP-170/PJ./2002). Mulai tahun 2009, ketentuan lebih lanjut mengenai jasa lain diatur dalam PMK No.244/PMK.03/2008.

Pemotong PPh Pasal 23/26
1. Badan Pemerintah
2. Subjek Pajak Dalam Negeri
3. Bentuk Usaha Tetap (BUT) atau perwakilan perusahaan dalam negeri.
4. Orang Pribadi sebagai WPDN yang ditunjuk DJP yaitu:
a. Akuntan, arsitek, dokter, notaris, PPAT (kecuali camat), pengacara, konsultan yang melakukan pekerjaan bebas.
b. Orang pibadi yang menjalankan usaha dan menyelenggarakan pembukuan.

Subjek Pajak PPh Pasal 23/26
1. Wajib Pajak Dalam Negeri
2. Bentuk Usaha Tetap
3. Wajib Pajak Luar Negeri

Objek Pajak PPh Pasal 23/26
Adalah penghasilan yang berasal dari;
1. Modal yang diterima wajib pajak badan dan orang pribadi
2. Penyerahan jasa yang diterima oleh wajib pajak badan
3. Penyerahan jasa yang diterima oleh wajib pajak orang pribadi selain yang telah dipotong PPh pasal 21.

Tarif dan Pengenaan PPh Pasal 23
a. 15% dari penghasilan bruto, meliputi:
1. Dividen, kecuali yang diterima oleh PT. BUMN/D, koperasi, dengan syarat kepemilikan saham nominal 25% (kecuali koperasi) dan dividen tersebut diambil dari laba ditahan.
2. Bunga termasuk premium, diskonto dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang.
3. Royalti
4. Hadiah dan penghargaan lain selain yang telah dipotong PPh Pasal 21.
b. 15 % dari penghasilan bruto dan bersifat final atas bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan menteri keuangan.
c. 2% dari imbalan bruto atas sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta yang telah dikenai PPh final.
d. Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong PPh Pasal 21.

D. PAJAK PENGHASILAN PASAL 26
Objek pengenaaan PPh pasal 26 mirip dengan PPh pasal 23. Perbedaannya adalah PPh pasal 26 ini dikenakan kepada Wajib Pajak Luar Negeri (WPLN). Aspek-aspek yang mempengaruhi misalnya adalah rate-nya. Dalam PPh pasal 26 ini tariff pemotongan atas pembayaran kepada WPLN adalah 20%, dengan memperhatikan ada tidaknya tax treaty (P3B, Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda). Kalau tax treaty nilai efektifnya 10%, tetapi bisa juga 5% dan bisa juga 0%. Kita sebagai tax planner harus melakukan treaty shopping dengan mencari rate yang terendah.

PPh 26 Ayat 1 (d)
- Imbalan Sehubungan dengan Jasa, Pekerjaan, dan Kegiatan
1. Bila ada tax treaty
a) Jika ada pemberian jasa oleh WPLN kurang dari uji waktu: tidak ada BUT, maka Indonesia tidak berhak mengenakan pajak atas penghasilan yang diterima oleh WPLN.
Syarat: agar pemotongan bisa dilakukan sesuai tax treaty, WPLN harus dapat menunjukkan atau memberikan Certificate of Residence Tax Payer (CRT) atau Certificate of Domicile (COD) dari Competent Authority di negara bersangkutan.
b) Jika pemberian jasa oleh WPLN melebihi uji waktu: ada BUT, maka Indonesia berhak mengenakan pajak atas penghasilan yang diterima oleh WPLN bersangkutan, yang berupa:
 Corporate Tax (tarif PPh Pasal 17)
 Branch Profit Tax (tarif PPh Pasal 26)
2. Bila tidak ada tax treaty
a) Jika pemberian jasa oleh WPLN kurang dari uji waktu: tidak ada BUT, maka Indonesia mengenakan pajak: basis bruto dan tarif tunggal 20%.
b) Jika pemberian jasa oleh WPLN melebihi uji waktu: ada BUT, maka Indonesia mengenakan pajak: basis neto dan tarif Pasal 17 UU PPh.

Tarif dan Pengenaan PPh Pasal 26
PPh pasal 26 dikenakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh wajib pajak luar negeri yang menerima penghasilan dari Indonesia. Pengenaan PPh pasal 26 tersebut adalah:
1. Dikenakan sebesar 20% dari jumlah bruto dan bersifat final atas penghasilan WPLN yang berupa:
a) Bunga, dividen, royalty, sewa, dan imbalan lain sehubungan dengan penggunaan harta.
b) Penghasilan Kena Pajak setelah dikurangi PPh dari suatu BUT kecuali ditanamkan kembali di Indonesia dengan syarat:
- Penanaman kembali dilakukan atas seluruh penghasilan kena pajak setelah dikurangi pajak penghasilan dalam bentuk penyertaan modal pada perusahaan yang baru didirikan dan berkedudukan diindonesia sebagai pendiri atau peserta pendiri
- Perusahaanbaru yang didirikan dan berkedudukan diindonesia sebagaimana yang dimaksud pada huruf a, harus secara aktif melakukan kegiatan usaha sesuai dengan akta pendiriannya, paling lama satu tahun sejak perusahaan tersebut didirikan
- Penanaman kembali dilakukan dalam tahun pajak berjalan atau paling lama tahun pajak berikur=tnya dari tahun pajak diterimma atau diperolehnya penghasilan tersebut.
- Tidak melakukan pengalihan atas penanaman kembali paling singkat dalam jangka waktu dua tahun sesudah perusahaan baru tersebyt telah berproduksi komersial.
2. Dikenakan sebesar 20% dari perkiraan penghasilan netodan bersifat final atas penghasilan WPLN berupa:
a. Penghasilan dari penjualan harta diindonesia ( 20% x 25% x harga jual).
b. Premi asuransi yang dibayarkan keluar negeri:
- Premi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi diluar negeri oleh tertanggung (20% x 50% x Jumlah premi).
- Premi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi luar negeri pada perusahaan asuransi yang berkedudukan diindonesia( 20% x 10% x Jumlah premi).
- Premi yang dibayarkan kepada asruansi luar negeri oleh perusahaan reasuransi yang berkedudukan diindonesia ( 20% x %5 x jumlah premi).

Penggunaan Metode Gross Up Atas Pajak Penghasilan Pph Pasal 26/21/23 Yang Ditanggung Oleh Pemberi Penghasilan/Pemberi Kerja
(Pasal 4 Huruf D PP. Nomor 138 Tahun 2000)
Pengeluaran dan Biaya yang tidak boleh dikurangkan dalam menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak wajib pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap termasuk pajak penghasilan yang ditanggung oleh pemberi penghasilan kecuali:
a. Pajak atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 26 ayat (1) UU PPh tetapi tidak termasuk dividen
b. Sepanjang Pajak Penghasilan tersebut ditambahkan dalam penghitungan dasar untuk pemotongan pajak
Pajak penghasilan, sebagaimana dimaksud dalam PPh pasal 21 dan PPh pasal 26 dapat ditanggung oleh pemberi penghasilan atau pemberi kerja, dengan perlakuan perpajakan sebagai berikut:
 Dalam hal PPh pasal 21 ditanggung oleh pemberi penghasilan, sesuai dengan ketentuan perpajakan, pajak tersebut diperlakukan sama seperti kenikmatan, yaitu sebagai bukan biaya pemberi kerja dan bukan penghasilan pegawai yang menerimanya.
 Pajak penghasilan yang terutang atas penghasilan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 26 ayat 1 kecuali dividen yang ditanggung oleh pemberi penghasilan, dapat dibebankan sebagai biaya sepanjang pajak tersebut ditambahkan pada penghasilan yang dipakai sebagai dasar pemotongan pajak penghsilan pasal 26 tersebut.

Contoh:
PT. ABC membayar bunga pinjaman kepada bank diluar negeri sebesar Rp100.000.000,00 yang sesuai dengan perjanjian, pajak penghasilannya ditanggung oleh badan tersebut. Tariff pemotongan PPh pasal 26 yang berlaku adalah 20%.

Dasar Pengenaan PPh pasal 26 = 100 x Rp 100.000.000 = Rp 125.000.000
80

PPh Pasal 26 Yang terutang = 20% x Rp 125.000.000= Rp25.000.000
Jumlah biaya yang bunga yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto PT. ABC adalah Rp125.000.000 (=Rp100.000.000 + Rp 25.000.000).

E. TAX PLANNING PAJAK PENGHASILAN PASAL 4 AYAT (2) FINAL
Penjualan saham di bursa efek dikenai PPh final dengan tariff 0,1%. Final ini secara prinsip selalu meringankan. Dalam hal ini bagaimana dengan obligasi? Jadi menjual obligasi, secara aspek pajak tidak favourable, karena bayar pajaknya lebih banyak (pajak bunga 15%). Bursa pasar modal berusaha agar obligasi diperlakukan sama dengan saham, supaya pasar obligasi bergairah. Usaha mereka berhasil dengan dikeluarkannya PP 16 Tahun 2006 yang berlaku efektif 1 Januari 2009. Dengan demikian bunga obligasi dan Surat Utang Negara dikenai PPh final tetapi tariff pajak bunganya sebesar 15% bagi wajib dalam negeri dan BUT, dan tariff 15% diberlakukan bagi bunga/diskonto obligasi dengan kupon dan diskonto obligasi tanpa bunga.

Pokok Perubahan UU PPh No. 36 Tahun 2008 Atas Objek Pajak Pasal 4 Ayat (2)
Menegaskan objek PPh Pasal 4 ayat (2) yang baru, yang selama ini tidak secara eksplisit diatur dalam ketentuan, seperti bunga obligasi dan Surat Utang Negara. Berbeda dengan reksadana yang terdaftar pada badan pengawas pasar modal dan lembaga keuangan sehingga pasar obligasi reksadana bargairah; bunga dan/atau diskonto dari obligasi yang diterima atau diperoleh wajib pajak secara gradual mengenai dikenai PPh pasal 4 ayat (2) final sebagai berikut:
1. 0% untuk tahun 2009 sampai dengan tahun 2010.
2. 5% untuk tahun 2011 sampai dengan tahun 2013.
3. 15% untuk tahun 2014 dan seterusnya.

Tax Planner bisa membandingkan dan menarik keuntungan dari perbedaan tariff bunga diatas, dengan segala kelebihan dan kekurangan dari reksadana dibanding dengan obligasi yang dipasarkan di bursa efek.

Karakteristik PPh Final Pasal 4 ayat (2)
- Pengenaannya diatur khusus dengan peraturan pemerintah.
- Penghasilan yang dikenakan PPh final tidak perlu digabung dengan penghasilan lainnya (dianggap selesai/rampung).
- Jumlah PPh final baik yang telah dipotong sendiri atau dipotong oleh pihak lain tidak dapat dikreditkan.
- Biaya-biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh penghasilan yang dikenai PPh final tidak dapat dikurangkan.

Objek PPh Final Pasal 4 Ayat (2)
1. Diskonto atau bunga obligasi dan surat negara.
2. Penghasilan dari transaksi penjualan saham, obligasi, dan sekuritas lainnya yang diperdagangkan di bursa efek.
3. Bunga deposito dan tabungan serta diskonto SBI.
4. Penghasilan berupa hadiah atas undian.
5. Penghasilan atas sewa tanah dan/atau bangunan.
6. Penghasilan dari usaha jasa konstruksi.
7. Penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan.
8. Dividen yang diterima atau diperoleh wajib pajak orang pribadi dalam negeri.
9. Bunga dan/atau diskonto obligasi dan Surat Berharga Negara (SBM).
10. Bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi orang pribadi.
11. Penghasilan atas dividen yang diterima oleh WP orang pribadi dalam negeri.
12. Penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh oleh wajib pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu.

Pemotongan/Pemungutan PPh Pasal 4 ayat (2)
Pemotongan atau pemungutan Pajak PPh Pasal 4 ayat (2) adalah cara pelunasan pajak dalam tahun berjalan antara lain melalui pemotongan atau pemungutan pajak yang bersifat final atas penghasilan tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
1. PERSEWAAN TANAH DAN/ATAU BANGUNAN
a. Objek PPh Final adalah sewa tanah dan/atau bangunan berupa tanah, rumah, rumah susun, apartemen, kondominium, gedung perkantoran, pertokoan, gedung pertemuan termasuk bagiannya, rumah kantor, toko, rumah toko, gudang, bangunan industri.
b. Besarnya PPh Final yang dipotong adalah 10% dari jumlah bruto nilai persewaan, baik yang menyewakan Wajib Pajak Orang Pribadi maupun Badan.
c. Jumlah bruto nilai persewaan adalah jumlah yang dibayarkan/terutang oleh penyewa termasuk biaya perawatan, pemeliharaan, keamanan, fasilitas lainnya, dan service charge (baik perjanjiannya dibuat secara terpisah maupun disatukan).

2. PENGALIHAN HAK ATAS TANAH DAN/ATAU BANGUNAN
a. Objek PPh final adalah penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan meliputi penjualan, tukar-menukar, perjanjian pemindahan hak, pelepasan hak, penyerahan hak, lelang, hibah, atau cara lain yang disepakati.
b. Besarnya PPh Final yang dipungut adalah 5% dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan.
c. Pembebasan PPh Final dapat diberikan atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan kepada:
- Orang pribadi yang mempunyai penghasilan di bawah PTKP yang jumlah bruto pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunannya kurang dari Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) dan bukan merupakan jumlah yang dipecah-pecah.. Catatan: Pembebasan diberikan melalui penerbitan Surat Keterangan Bebas (SKB) oleh Kepala KPP tempat Wajib Pajak terdaftar.
- Pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan kepada pemerintah guna pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum yang memerlukan persyaratan khusus yaitu pembebasan tanah oleh pemerintah untuk proyek-proyek jalan umum, saluran pembuangan air, waduk, bendungan dan bangunan pengairan lainnya, saluran irigasi, pelabuhan laut, bandar udara, fasilitas keselamatan umum seperti tanggul penanggulangan bahaya banjir, lahar dan bencana lainnya, dan fasilitas Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.
- Pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan yang tidak termasuk subjek pajak (seperti: pemerintah dan perwakilan negara asing). Catatan: Pembebasan sebagaimana dimaksud dalam angka 2) dan 3) diberikan tanpa melalui penerbitan SKB.

3. JASA KONSTRUKSI
a. Pekerjaan Konstruksi adalah keseluruhan atau sebagian rangkaian kegiatan perencanaan dan/atau pelaksanaan beserta pengawasan yang mencakup pekerjaan arsitektural, sipil, mekanikal, elektrikal, dan tata lingkungan masing-masing beserta kelengkapannya untuk mewujudkan suatu bangunan atau bentuk fisik lain.
b. Perencanaan Konstruksi adalah pemberian jasa oleh orang pribadi atau badan yang dinyatakan ahli yang profesional di bidang perencanaan jasa konstruksi yang mampu mewujudkan pekerjaan dalam bentuk dokumen perencanaan bangunan fisik lain.
c. Pelaksanaan Konstruksi adalah pemberian jasa oleh orang pribadi atau badan yang dinyatakan ahli yang profesional di bidang pelaksanaan jasa konstruksi yang mampu menyelenggarakan kegiatannya untuk mewujudkan suatu hasil perencanaan menjadi bentuk bangunan atau bentuk fisik lain, termasuk di dalamnya pekerjaan konstruksi terintegrasi yaitu penggabungan fungsi layanan dalam model penggabungan perencanaan, pengadaan, dan pembangunan (engineering, procurement and construction) serta model penggabungan perencanaan dan pembangunan (design and build).
d. Pengawasan konstruksi adalah pemberian jasa oleh orang pribadi atau badan yang dinyatakan ahli yang profesional di bidang pengawasan jasa konstruksi, yang mampu melaksanakan pekerjaan pengawasan sejak awal pelaksanaan pekerjaan konstruksi sampai selesai dan diserahterimakan.

Peraturan-peraturan perpajakan yang menjadi dasar hukum dalam pelaksanaan pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) adalah:
1. Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang PPh.
2. PP Nomor 48 Tahun 1994 sebagaimana telah diubah terakhir dengan PP Nomor 71 Tahun 2008.
3. PP Nomor 29 Tahun 1996 sebagaimana telah diubah dengan PP Nomor 5 Tahun 2002.
4. PP Nomor 51 Tahun 2008 sebagaimana telah diubah dengan PP Nomor 40 Tahun 2009.
5. Keputusan Menteri Keuangan 635/KMK.04/1994 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 243/PMK.03/2008.
6. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 394/KMK.04/1996 sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 120/KMK.03/2002.
7. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 187/PMK.03/2008 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 153/PMK.03/2009.
8. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-227/PJ./2002.

TAX PLANNING PPH PASAL 22/23/26 DAN PPH FINAL
Dalam praktik, kewajiban memotong, menyetor, dan melaporkan PPh sesuai mekanisme with holding tax pada umumnya memiliki kuantitas yang cukup besar. Apalagi sejak adanya perluasan objek with holding tax sejak tahun 2000.

Beberapa hal krusial dalam penanganan PPh Pasal 22/23/26 dan PPh final.
1. Masalah Pembuatan Kontrak.
Pada transaksi yang merupakan objek PPh Pasal 23/26/final, hal pokok yang harus diperhatikan adalah masalah pembuatan kontrak. Kontrak bisa dibatalkan sebagai cikal bakal terjadinya transaksi atas pihak-pihak yang terkait. Jika kontrak tidak ada, dapat digantikan oleh SPK (Surat Perintah Kerja), atau PO (Purchase Order). Oleh karena itu kesepakatan yang dibuat di dalam kontrak harus mencakup kesepakatan yang memengaruhi hak dan kewajiban perpajakan masing-masing pihak.
Jika di dalam kontrak jelas disebutkan nilai jasa dan nilai materialnya, maka PPh Pasal 23/26 hanya akan dikenakan atas jasa yang diberikan saja, kecuali untuk jasa konstruksi dan jasa catering (termasuk nilai materialnya). Sebaliknya, jika di dalam kontrak tidak ada pemisahan antara nilai jasa dengan nilai material maka PPh Pasal 23 dikenakan atas keseluruhan nilai kontrak.
Di samping itu juga harus terdapat kejelasan atas hak dan kewajiban masing-masing pihak agar dalam implementasinya tidak menimbulkan masalah perbedaan penafsiran. Makin jelas dan detail pengaturan klausul perpajakannya, akan makin baik karena akan mendukung implementasi kewajiban perpajakannya. Jadi kata kuncinya adalah “Ingat with holding tax, ingat kontrak”.

2. Konflik Dalam With Holding Tax.
Jika perusahaan memiliki transaksi yang menimbulkan kewajiban untuk memungut with holding tax maka penting bagi perusahaan untuk melaksanakan kewajibannya itu sebaik-baiknya. Konflik dalam with holding tax akan terjadi jika penerima penghasilan tidak bersedia dipotong pajaknya atau adanya perbedaan penafsiran mengenai jenis pajak dan besarnya tarif pajak yang akan dipotong. Celakanya konflik ini juga sering terjadi antara bagian keuangan atau pajak dengan bagian lain dalam satu perusahaan.
Oleh karena kewajiban pemotongan, penyetoran, dan pelaporan ada pada pemberi penghasilan maka konflik dapat diatasi dengan cara negosiasi ulang dengan pihak pemberi jasa. Jika pemberi jasa tetap tidak bersedia dipotong pajaknya, maka perusahaan dapat melakukan salah satu dari dua cara berikut ini, membayarkan sendiri pajak yang terutang (PPh ditanggung) atau melakukan gross up atas nilai kontrak (diberikan tunjangan PPh). Jika perusahaan membayarkan sendiri pajak yang terutang, maka pajak tersebut tidak boleh dikurangkan. Sementara itu jika perusahaan melakukan groos up maka pajak yang terutang boleh dibiayakan, kecuali dividend an PPh final.

3. Rekonsiliasi Objek With Holding Tax dengan Laporan Keuangan.
Kewajiban wajib pajak dalam kedudukan sebagai pemotongan atau pemungutan (with holder) perlu mendapat perhatian serius dari perusahaan. Oleh karena itu perlu dilakukan pengendalian perpajakan untuk memastikan bahwa seluruh objek with holding tax sudah dilakukan pemotongan atau pemungutannya. Caranya adalah melalui rekonsiliasi atau ekualisasi antara SPT Masa dengan objek PPh yang terdapat dalam laporan keuangan komersial.
Dalam hal ini terdapat akun-akun yang sepenuhnya merupakan objek with holding tax dapat langsung diperbandingkan. Akan tetapi atas akun-akun yang didalamnya hanya terdapat sebagian saja yang merupakan objek with holding tax, maka perlu dilakukan pemisahan antara yang objek dan yang bukan objek with holding tax. Bila diperlukan dapat dibuat buku pembantu untuk mencatat rincian objek with holding tax dikaitkan dengan buku besarnya, mulai dari nama akun, tanggal transaksi, nomor journal voucher, jenis transaksi, jumlah objek, masa pelaporan, dan nomor serta tanggal bukti pemotongan PPh yang dibuat.

4. Klausul Kontrak dengan WPLN
Di samping harus mengatur klausul perpajakan secara jelas dan terperinci, khusus kontrak dengan pihak