Tugas Agama II

04 January 2016 14:46:14 Dibaca : 1385

Nama : Fatrawati Taha
Nim : 921412177
Kelas : G-Akuntansi

PT FREEPORT INDONESIA


PT. Freeport Indonesia adalah sebuah perusahaan pertambangan yang mayoritas sahamnya dimiliki Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc. Perusahaan ini merupakan perusahaan penghasil emas terbesar di dunia melalui tambang Grasberg. Freeport Indonesia telah melakukan eksplorasi di dua tempat di Papua, masing-masing tambang Ertsberg (dari 1967 hingga 1988) dan tambang Grasberg (sejak 1988), di kawasan Tembagapura, Kabupaten Mimika, Provinsi Papua. Freeport-McMoRan berkembang menjadi perusahaan dengan penghasilan US$ 6,555 miliar pada tahun 2007.
Freeport mulai banyak menarik perhatian masyarakat setelah terungkapnya berbagai permasalahan dan insiden yang terjadi di wilayah konsesi pertambangan perusahaan tersebut. Berbagai pendapat, baik dari media, lembaga swadaya masyarakat, serta akademisi menyoroti masalah yang berkaitan dengan pencemaran lingkungan, adaptasi sosio-kultural, keterlibatan TNI, bahkan hal-hal yang berkaitan dengan politik separatis dari kelompok penduduk asli. Namun, dalam pembahasan ini permasalahan yang akan diulas adalah yang berkaitan dengan tidak optimalnya pengelolaan potensi ekonomi sumberdaya mineral di wilayah pertambangan tersebut bagi penerimaan negara.
Adapun permaslahan yang dapat saya ulas kali ini adalah, tembaga dan emas yang tersimpan di Grasberg dan Erstberg, serta pengelolaan pertambangan Freeport yang tidak optimal bagi pemerintah Indonesia. Akibatnya, manfaat ekonomi yang diperoleh pemerintah Indonesia tidak maksimal. Bahkan, dapat dikatakan Indonesia mengalami kerugian negara yang sangat besar karena tidak optimal, tidak adil, tidak transparan dan bermasalahnya pengelolaan sumberdaya mineral itu.
KK I dengan Freeport ini terbilang sangat longgar, karena hampir sebagian besar materi kontrak tersebut merupakan usulan yang diajukan oleh Freeport selama proses negosiasi, artinya lebih banyak disusun untuk kepentingan Freeport. Dalam operasi pertambangan, pemerintah Indonesia tidak mendapatkan manfaat yang proposional dengan potensi ekonomi yang sangat besar di wilayah pertambangan tersebut. Padahal bargaining position pemerintah Indonesia terhadap Freeport sangatlah tinggi, karena cadangan mineral tambang yang dimiliki Indonesia di wilayah pertambangan Papua sangat besar bahkan terbesar di dunia. Selain itu, permintaan akan barang tambang tembaga, emas dan perak di pasar dunia relatif terus meningkat.
Dengan kondisi cadangan yang besar, Freepot memiliki jaminan atas future earning. Apalagi, bila ditambah dengan kenyataan bahwa biaya produksi yang harus dikeluarkan relatif rendah karena karakteristik tambang yang open pit. Demikian pula emas yang semula hanya merupakan by-product, dibanding tembaga, telah berubah menjadi salah satu hasil utama pertambangan.
Freeport sudah sejak lama berminat memperoleh konsesi penambangan tembaga di Irian Jaya. KK I Freeport disusun berdasarkan UU No 1/67 tentang Pertambangan dan UU No. 11/67 tentang PMA. KK antara pemerintah Indonesia dengan Freeport Sulphur Company ini memberikan hak kepada Freeport Sulphur Company melalui anak perusahaannya (subsidary) Freeport Indonesia Incorporated (Freeport), untuk bertindak sebagai kontraktor tunggal dalam eksplorasi, ekploitasi, dan pemasaran tembaga Irian Jaya. Lahan ekplorasi mencangkup areal seluas 10.908 hektar selama 30 tahun, terhitung sejak kegiatan komersial pertama. KK I mengandung banyak sekali kelemahan mendasar dan sangat menguntungkan bagi Freeport. Kelemahan- tersebut utamanya adalah sebagai berikut :
1. Perusahaan yang digunakan adalah Freeport Indonesia Incorporated, yakni sebuah perusahaan yang terdaftar di Delaware, Amerika Serikat, dan tunduk pada hukum Amerika Serikat. Dengan lain perkataan, perusahaan ini merupakan perusahaan asing, dan tidak tunduk pada hukum Indonesia.
2. Dalam kontrak tidak ada kewajiban mengenai lingkungan hidup, karena pada waktu penandatanganan KK pada tahun 1967 di Indonesia belum ada UU tentang Lingkungan Hidup. Sebagai contoh, akibat belum adanya ketentuan tentang lingkungan hidup ini, sejak dari awal Freeport telah membuang tailing ke Sungai Aikwa sehingga mengakibatkan kerusakan lingkungan.
3. Pengaturan perpajakan sama sekali tidak sesuai dengan pengaturan dalam UU Perpajakan yang berlaku, baik jenis pajak maupun strukturnya. Demikian juga dengan pengaturan dan tarif depresiasi yang diberlakukan. Misalnya Freeport tidak wajib membayar PBB atau PPN.
4. Tidak sesuainya struktur pajak maupun tarif pajak yang diberlakukan dalam KK I dirasakan sebagai pelanggaran terhadap keadilan, baik terhadap perusahaan lain, maupun terhadap Daerah. Freeport pada waktu itu tidak wajib membayar selain PBB juga, land rent, bea balik nama kendaraan, dan lain-lain pajak yang menjadi pemasukan bagi Daerah.
5. Tidak ada kewajiban bagi Freeport untuk melakukan community development. Akibatnya, keberadaan Freeport di Irian Jaya tidak memberi dampak positif secara langsung terhadap masyarakat setempat. Pada waktu itu, pertambangan tembaga di Pulau Bougenville harus dihentikan operasinya karena gejolak sosial.
6. Freeport diberikan kebebasan dalam pengaturan manajemen dan operasi, serta kebebasan dalam transaksi dalam devisa asing. Freeport juga memperoleh kelonggaran fiskal, antara lain: tax holiday selama 3 tahun pertama setelah mulai produksi. Untuk tahun berikutnya selama 7 tahun, Freeport hanya dikenakan pajak sebesar 35%. Setelah itu pajak yang dikenakan meningkat menjadi sekitar 41,75%. Freeport juga dibebaskan dari segala jenis pajak lainnya dan dari pembayaran royalti atas penjualan tembaga dan emas kecuali pajak penjualannya hanya 5%.
Keuntungan yang sangat besar terus diraih Freeport, hingga Kontrak Karya I diperpanjang menjadi Kontrak Karya II yang tidak direnegosiasi secara optimal. Indonesia ternyata tidak mendapatkan manfaat sebanding dengan keuntungan besar yang diraih Freeport. Ketentuan-ketentuan fiskal dan finansial yang dikenakan kepada Freeport ternyata jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan yang berlaku negara-negara Asia dan Amerika Latin.
Perpanjangan Kontrak Karya II seharusnya memberi manfaat yang lebih besar, karena ditemukannya potensi cadangan baru yang sangat besar di Grasberg. Kontrak telah diperpanjang pada tahun 1991, padahal Kontrak Karya I baru berakhir pada tahun 1997. Pada kenyataannya ini adalah kehendak dari orang-orang Amerika di Freeport, dan merupakan indikasi adanya kepentingan pihak-pihak yang terlibat dalam proses negosiasi untuk mendapat keuntungan pribadi dari pertambangan di bumi Irian Jaya itu.
Kontrak Karya II tidak banyak mengalami perbaikan untuk memberikan keuntungan finansial tambahan yang berarti bagi pihak Indonesia. Perubahan yang terjadi hanyalah dalam hal kepemilikan saham dan dalam hal perpajakan. Sementara itu, besarnya royalti tidak mengalami perubahan sama sekali, meskipun telah terjadi perubahan jumlah cadangan emas. Penemuan emas di Grasberg merupakan cadangan emas terbesar di dunia.
Dalam Kontrak Karya II, ketentuan menyangkut royalti atau iuran eksploitasi/produksi (pasal 13), menjelaskan bahwa sistem royalti dalam kontrak Freeport tidak didasarkan atas prosentase dari penerimaan penjualan kotor (gross revenue), tetapi dari prosentase penjualan bersih. Penjualan bersih adalah penjualan kotor setelah dikurangi dengan biaya peleburan (smelting), biaya pengolahan (refining), dan biaya-biaya lainnya yang dikeluarkan Freeport dalam penjualan konsentrat. Prosentase royalti (yang didasarkan atas prosentase penerimaan penjualan bersih juga tergolong sangat kecil, yaitu 1%-3,5% tergantung pada harga konsentrat tembaga, dan 1% flat fixed untuk logam mulia (emas dan perak).
Di dalam kontrak Freeport, besaran iuran tetap untuk wilayah pertambangan yang dibayarkan berkisar antara US$ 0,025-0,05 per hektar per tahun untuk kegiatan Penyelidikan Umum (General Survey), US$ 0,1-0,35 per hektar per tahun untuk kegiatan Studi Kelayakan dan Konstruksi, dan US$ 1,5-3 per hektar per tahun untuk kegiatan operasi eksplotasi/produksi. Tarif iuran tersebut, di seluruh tahapan kegiatan, dapat dikatakan sangat kecil, bahkan sangat sulit diterima akal sehat. Dengan kurs 1 US$ = Rp 9.000 maka besar iuran Rp 225 hingga Rp 27.000 per hektar per tahun.
Sedangkan menyangkut pengawasan atas kandungan mineral yang dihasilkan, dalam kontrak Freeport tidak ada satu pun yang menyebut secara eksplisit bahwa seluruh operasi dan fasilitas pemurnian dan peleburan harus seluruhnya dilakukan di Indonesia dan dalam pengawasan Pemerintah Indonesia. Pasal 10 poin 4 dan 5 memang mengatur tentang operasi dan fasilitas peleburan dan pemurnian tersebut yang secara implisit ditekankan perlunya untuk dilakukan di wilayah Indonesia, tapi tidak secara tegas dan eksplisit bahwa hal tersebut seluruhnya (100%) harus dilakukan atau berada di Indonesia. Hingga saat ini, hanya 29% saja dari produksi konsentrat yang dimurnikan dan diolah di dalam negeri. Sisanya (71%) dikirim ke luar negeri, di luar pengawasan langsung dari pemerintah Indonesia.
Di dalam Kontrak Freeport, tidak ada satu pasal pun yang secara eksplisit mengatur bahwa pemerintah Indoensia dapat sewaktu-waktu mengakhiri Kontrak Freeport. Pun jika Freeport dinilai melakukan pelanggaran-pelanggaran atau tidak memenuhi kewajibannya sesuai dengan kontrak. Sebaliknya, pihak Freeport dapat sewaktu-waktu mengakhiri kontrak tersebut jika mereka menilai pengusahaan pertambangan di wilayah kontrak pertambangannya sudah tidak menguntungkan lagi secara ekonomis.
Sejak tahun 1992-2006 total pemasukan Freeport kepada negara Indonesia adalah 37 Trilyun, dari hasil pembayaran Pajak Negara dan daerah. Sedangkan keuntungan Freeport adalah menyuplai 40 ribu ton Emas ke Amerika selama beroperasi.
Pada 1995, ada empat proyek infrastruktur yang mulai dibangun oleh Freeport di Papua Barat, yakni :
1. Pengembangan pelabuhan Amamapare, dari mana konsentrat emas dan tembaga diekspor atau nantinya diantarpulaukan. Proyek senilai US$ 100 juta ditangani PT ALatief P & O Port Development Company (APPDC), perusahaan kongsi antara ALatief Nusakarya Corporation dengan maskapai angkutan laut P & O Australia Ltd. Berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak pada pertengahan Mei 1995, perusahan itu mendapat hak kelola pelabuhan Amamapare selama 10 tahun dan bisa diperpanjang.
2. Pembangunan sebuah kota baru. Proyek senilai US$ 250 juta, langsung ditangani AFIC. Kota baru yang diresmikan Soeharto pada awal Desember 1995 dengan nama Kuala Kencana itu berdiri pada ketinggian 4.200 meter di atas permukaan laut, seluas 17.400 hektar. Demi, kenyamanan para kapitalis, birokrat, serta kapitalis-birokrat, kota itu dilengkapi lapangan golf kelas turnamen yang dirancang pegolf AS, Ben Crenshaw.
Freeport memindahkan perkantorannya dari Tembagapura yang diresmikan Soeharto 23 tahun sebelumnya yang hanya dibangun untuk kapasitas penduduk 1.200 jiwa ke Kuala Kencana. Sedangkan Kuala Kencana sendiri dibangun dengan kapasitas 25.000 jiwa, sangat luas untuk menampung karyawan Freeport yang sudah mencapai 12.000 jiwa.
3. Pembangunan sarana pembangkit tenaga listrik bagi tambang emas dan tembaga yang baru, Grasberg, alias Gunung Bijih Timur.
Proyek ini ditangani PT Puncakjaya Power Corporation, usaha patungan antara Freeport (30%), Power Link Corporation (30%), Duke Energy dari AS (30%), dan PT Catur Yasa (10%).
4. Pembangunan bandara Timika. Proyek ini mulai dilaksanakan pada Juni 1995 ditangani PT Airfast Aviation Facilities Company (AVCO), yang 45% sahamnya dikuasai PT Airfast Indonesia, 30% oleh PT Giga Haksa yang merupakan anak perusahaan Catur Yasa, dan 25% oleh Freeport.
Seluruh proyek itu dikoordinasi oleh PT A Latief Freeport Infrastructure Corporation (AFIC), yang 67 persen sahamnya dikuasai oleh kelompok A. Latief dan 33 persen sisanya oleh Freeport
Proyek yang total investasinya mencapai US$50 juta (waktu itu diperhitungkan Rp 125 milyar), terdiri dari pembangunan kawasan bandara terpadu lengkap dengan segala sarana pendukungnya, serta pengadaan tiga pesawat Twin Otter, dua pesawat Boeing B 737-200, serta tujuh helikopter.
Pandangan Islam tentang Freeport
“Dalam pandangan Islam, sumber daya alam yang berlimpah merupakan milik rakyat. Negara wajib mengelolanya untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat. Maka perjanjian atau Kontrak Karya yang menyerahkelolakan tambang emas terbesar sedunia di Papua oleh pemerintah kepada PT Freeport Indonesia adalah batil. Dan mengamalkan KK tersebut merupakan bentuk perampokan”.
Bagaimana agar rakyat menyadari bahwa emas yang dirampok Freeport itu merupakan milik mereka? Lantas apa yang harus rakyat lakukan?
Menurut Islam, barang tambang yang jumlah kandungannya sangat melimpah seperti yang saat ini dikelola Freeport adalah milik umum atau milik rakyat. Negara harus mengelolanya agar hasilnya nanti digunakan untuk kesejahteraan rakyat.
Dalam hadits riwayat Imam At-Tirmidzi dari Abyadh bin Hamal, diceritakan suatu saat Abyad meminta kepada Rasul SAW untuk dapat mengelola sebuah tambang garam. Rasul mulia yang memang pemurah meluluskan permintaan itu.
Tapi segera diingatkan oleh sahabat yang lain. “Wahai Rasulullah, tahukah engkau, apa yang telah engkau berikan kepadanya? Sesungguhnya engkau telah memberikan (bagaikan) air mengalir (ma’u al-‘idda)” Berkata (perawi), “Beliau menarik kembali tambang tersebut darinya.”
Keputusan Rasul, yang di lain kesempatan mengingatkan kita untuk jangan menarik lagi pemberian kepada orang lain, tapi kali itu justru dengan tegas menarik kembali pemberian kepada Abyad, menunjukkan bahwa tidak semestinya barang tambang yang kandungannya sangat banyak itu dikelola oleh individu atau kumpulan individu (perusahaan) karena hasilnya pasti hanya akan dinikmati oleh segelintir orang seperti yang selama ini terjadi. Ini jelas bertentangan dengan prinsip kepemilikan umum.