Tradisi dan Kebudayaan yang Tersingkir Atas Label Keislaman

07 February 2013 22:53:13 Dibaca : 27

Label ke musyrikan seringkali disematkan ke sebuah tradisi yang seringkali sudah berjalan turun temurun.

Contoh paling mudah adalah pada tradisi ruwatan yang belum lama ini dilakukan oleh Dahlan Iskan dalam proyek uji coba mobil listrik yang dilaksanakan belum lama ini. Belum lagi dengan patung patung yang di hancurkan atas nama kekufuran, berhala dan lain sebagainya.

Miris dan prihatin.

Betul adanya, bahwa tradisi Daerah yang turun temurun dilakukan banyak yang bercampur dengan nafas keIslaman. Memulai dengan basmalah, namun kemudian tradsi tersebut acapkali justru kental nuansa yang bernuansa Hindu, ataupun Buddha. Dua Agama yang terlebih dahulu masuk di Nusantara, selagi nama Indonesia pun belum ada di muka bumi pada saat itu.

Tradisi ‘asimilasi’ tersebut adalah hasil dari kearifan para Wali Tsana, dimana para Wali pada saat itu berusaha memasukkan agama Islam dengan cara mereka yang bijaksana. Memadukan dengan unsur budaya yang sudah berlangsung jauh sebelum mereka datang. Dengan jalan damai, walaupun tidak melupakan sejarah tetap ada pertikaian pada akhirnya atas nama agama yang baru ( Islam) dengan agama yang lama ( Hindu ataupun Buddha).

Masjid Agung Demak dan juga Kota Kudus adalah salah satu dari sekian banyak ciri peleburan kedua etnis dan bahkan Agama tersebut. Mulai dari ciri yang terdapat di arsitektur Masjid Masjid yang terdapat disana sampai dengan kebudayaan mereka sehari hari. Bahkan sampai pada satu jajanan kuliner yang khas di sana, yakni soto Kudus atau Nasi Pindangnya.

Bagi yang pernah merasakan, ada satu keunikan di hidangan ini. Dimana soto Kudus tersebut menggunakan bahan dasar daging ayam, ataupun kerbau. Mereka tidak mempergunakan sapi, yang bagi ummat Hindu keberadaan sapi atau Nandi memang dihormati.

Sekarang ini, sudah banyak warga asli Kudus yang sudah ‘berani’ memakan daging sapi. Namun tradisi memasak soto ataupun nasi pindang dengan daging kerbau tetap saja di lestarikan. Sebatas tradisi.

Dan kebudayaan, tradisi, itulah yang membuat negara kita, Indonesia menjadi kaya.

Unik, kaya dan sarat akan sebuah nilai historis. Bukan untuk sesuatu yang bisa dianggap ‘wah’ ataupun ‘menjual’ terhadap bangsa lain. Tetapi lebih untuk disadari dan dipahami sendiri, dan tentunya dicintai.

Semakin kuatnya iman dalam ke Islaman, bukan serta merta dengan menunjukkan atau bahkan cenderung ‘memaksakan’ tentang suatu pandangan bagaimana yang benar dan baik menurut Islam, dan tentunya menurut Al Qur’an dan Al Hadist. Mengingatkan, apabila ada yang dirasa ‘tergelincir’ itulah kewajibannya. Bukan menghakimi, apalagi serta merta menghancurkan.

Lakum dinukum waliyadin. Tidak ada paksaan didalam Islam, sepertinya banyak yang telah lupa atau sengaja melupakan. Agama welas asih, yang bisa berkembang di Indonesia karena ridho-Nya. Bukan didasari dari rasa menang sendiri yang sayangnya sekarang ini banyak dilakukan oleh para pemeluknya.

Apabila pemahaman Islam yang mendalam itu bermakna harus menyakiti, menghakimi atau bahkan menghancurkan, maka biarlah penulis menjadi seorang yang mempunyai ilmu sedangkal dangkalnya.

Satu hal lagi yang membingungkan. Saat tradisi yang dirasa sarat dengan unsur yang ‘tidak Islami’ seringkali dipermasalahkan, lantas, kenapa harus di bela atau dipertahankan saat negara Jiran dirasa mau mengambilnya?

Kategori

  • Masih Kosong

Blogroll

  • Masih Kosong