Tentang Aku, Engkau, dan Dia (Catatan-catatan Hati dari balik Sepi)

07 February 2013 13:14:43 Dibaca : 1148

Siapakah aku?

Siapakah engkau?

Siapakah dia?

Jawaban umum kita niscaya berputa rpada ungkapan, “Ya, aku manusia, sebagaimana engkau dan dia…” Kalangan yang mengagungkan dimensi spiritualitas pasti akan melengkapinya dengan idiom-idiom khas ketuhanan atau agama. Kalangan pemuja humanism pasti akan melengkapinya dengan diksi-diksi kemanusiaan. Kalangan materialis akan melengkapinya dengan slogan-slogan kebendaan, menafikan Tuhan, dan bahkan lebih ekstrem, semesta hati/jiwa.

Lalu, dimanakah gerangan buku ini menerjemahkan aku, engkau, dan dia itu? Penulis buku ini, sedari awal bersengaja memilih latar begini:

Pertama, ia percaya banget bahwa manusia adalah bukan semata mahkluk spiritual, humanistic, ataupun materialistic. Menempatkan manusia sebagai homoreligious saja, nyatanya tetap butuh makan, uang, rumah, teman, dan tatanan social. Menilai manusia sebagai makhluk social-humanistik an sich, nyatanya kita ya butuh Tuhan dan kitab suci untuk menjawab keliaran imajinasi-imajinsi tentang kehidupan yang tak terfisikkan. Pun menyuguhkan manusia sebagai makhluk material belaka, faktanya kita ya nggak bias menghindar dari sergapan rasa sedih, marah, kecewa, dan ilfeel saat ada sesuatu atau seseorang yang mencederai kita.

So complicated, maka ia sengaja memilih diksi something, bukan someone, sebab something mampu mencakup aspek fisik, sesuatu dan sekaligus yang di kandung di baliknya, bias psikologi (jiwa), sebagaimana hadirnya rasa marah atau cinta yang di picu oleh hal-hal fisikal. Sementara, someone cenderung tereduksi cakupan maknanya ke dimensi nonfisik belaka, jiwa belaka, ruhaniah belaka, spiritual belaka. Bro/Sist, plis jangan pahami bahwa saya cenderung kealiran materialism, bukanya! Ia semata berusaha menempatkan diri di antara kecenderungan besar (mainstream) pemikiran dan perilaku umum kita yang menempatkan manusia dalam kerangka dominan fisik-materialisme.

Kedua, ia yakin banget bahwa agama atau kebajikan spiritual apapun di turunkanoleh Tuhan atau di ciptakanoleh para arif itu untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Poinnya bukanlah Tuhan itu sendiri, sebab Tuhan tanpa perilaku kita “tuhankan” tetaplah Tuhan Yang Maha Esa. Spektrumnya adalah kita, ya manusia ini, yang sangat kompleks, mulai ranah spiritual, emosional, dan material. Agama, kebajikan spiritual, dan cultism apapun yang tidak menempatkan manusia sebagai temannya adalah bullshit belaka alias omong kosong doang!

Maka, pembicaraan renik-renik yang meliputi kehidupan manusia otomatis meliputi pemahaman tentang Tuhan, jiwa, emosi, social, dan material sekaligus. Itu,jadilah apa yang kini anda baca, yang ia kumpulkan dan curhatkan dalam buku Catatan-Catatan Hati ini, yang terbentang dalam tempo yang panjang secara kontemplatif (permenungan) meski di tuliskan dalam kurun yang (dalam ukuran ia) cepat, sekitar sebulan, dari Jogja, Malang, hingga Sumenep, di ruang khusus menulis di rumah, di kafe, cottage, dan lain-lain.

Maka, kompleksitas tema, peristiwa, kisah, curhat tentang manusia dalam buku ini terasa sangat manusia, kita banget, aku banget, engkau banget, dan dia banget. Mulai dari soal dilema rasa, obsesi, pilihan hidup, cinta, materi, omong kosong, ego, makna kehadiran, hingga kematian. Jadi, kalau anda membaca bagian mana pun dari buku ini, dan anda merasa itu kok mengena banget dengan apa yang telah atau sedang anda alami, itu semata karena watak buku ini yang membicarakan manusia, termasuk anda, meski tentu saja dalam konteks, waktu, nama, dan alur yang variatif.

Dan, ia menuliskan semua catatan hati ini berdasarkan pengalaman-pengalaman pribadi, pengalaman-pengalaman orang lain, hikmah atas bacaan, bisikan gossip dan lain-lain, sehingga kian meneguhkan bahwa buku ini adalah tentang realitas hidup manusia sehari-hari.

 

Edi Mulyono

Dalam buku“Andai Aku Jalan Kaki, Masihkah Engkau selalu ada Untukku?

(Catatan-Catatan HATI,

Tentang Aku, Engkau, dan Dia)