Rekayasa Sosial Demi Mencegah Terorisme?

13 October 2013 21:20:11 Dibaca : 1284 Kategori : artikel Muji

Rekayasa Sosial Demi Mencegah Terorisme?

Sidney Jones, peneliti senior International Crisis Group Working to Prevent Conflict Worldwide menolak anggapan umum bahwa kekerasan dan terorisme dalam bentuk bom bunuh diri disebabkan oleh rendahnya pendidikan atau kemiskinan para pelakunya (Kompas.com, 21 April 2011). Meskipun bukanlah hal baru dalam kajian mengenai terorisme, asumsi atau hipotesa semacam ini menarik karena bisa menjelaskan aksi bom bunuh diri yang terjadi di Cirebon beberapa waktu lalu, di mana tingkat pendidikan dan ekonomi pelakunya tidak bisa dikatakan rendah. Demikian pula justifikasi atas perekrutan beberapa mahasiswa di Malang (Jawa Timur), bukan untuk menjadi calon teroris, tetapi menjadi anggota kelompok radikal yang menginginkan pendirian NKRI bukan atas dasar Pancasila.

Bagaimana pun juga, sinyalemen semacam ini harus ditanggapi positif, misalnya dengan memicu penelitian ilmu sosial secara ekstensif dan mendalam soal motivasi orang dan/atau kelompok tertentu yang menghalalkan cara terror dan kekerasan demi mencapai tujuan politiknya. Sayangnya, penelitian semacam ini belum banyak dilakukan di Indonesia, persis ketika kita terlalu sibuk mengurus hal-hal lain seputar korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, atau skandal seks anggota DPR. Bagi saya, penelitian sosial mengenai pandangan ideologis atau epistemologi sosial yang melatarbelakangi lahirnya kelompok radikal atau terorisme seharusnya lebih giat dilaksanakan karena …. Alasan pragmatis.

Pertama, pada tataran rekayasa sosial demi kehidupan bersama dalam sebuah masyarakat pluralis, dta mengenai keadaan real masyarakat mutlak diperlukan. Misalnya, mengapa kelompok masyarakat tertentu begitu mudah direkrut menjadi anggota kelompok radikal? Jika bukan karena alasan ekonomi atau alasan rendahnya pendidikan, apa alasan utamanya? Apakah valid mengatakan bahwa aksi kekerasan massa bermotifkan ajaran agama merupakan bagian dari solidaritas semesta dari kelompok agama tertentu dalam rangka membela kepentingan saudara-saudaranya di belahan dunia tertentu yang “menderita” kekerasan dan ketidakadilan karena dominasi negara-negara Barat?

Kedua, penelitian sosial semacam ini sangat penting tidak hanya dalam merumuskan kebijakan-kebijakan publik, tetapi juga dalam rekayasa dan desain kurikulum pendidikan nasional. Tentu hal ini masih bisa diperdebatkan, misalnya apakah etis menyertakan ideologi dan kepentingan bangsa dalam desain kurikulum pendidikan nasional? Untuk ilmu-ilmu eksak, jawabannya bisa saja “tidak”, tetapi tidak untuk ilmu sosial. Justru muatan kepentingan bangsa berdasarkan ideologi Pancasila selaku penjamin pluralitas kehidupan berbangsa dan bernegara sangat dibutuhkan sangat dibutuhkan.

Kadang atas nama kebebasan dan demokrasi, kita melupakan kepentingan bangsa. Mungkin menarik juga melakukan penelitian sosial untuk mengevaluasi buku-buku teks ilmu sosial dan agama yang digunakan di sekolah-sekolah dasar dan menengah di seluruh Indonesia. Saya tidak mengatakan bahwa ilmu-ilmu sosial harus disusupi muatan kepentingan bangsa (pluralitas, Pancasila, persatuan dan kesatuan, dan sebagainya). Tetapi kalau kita tidak cukup jeli dan waspada terhadap cara berpikir dan argumentasi yang sifatnya eksklusif, yang cenderung mengkategorikan masyarakat berdasarkan “kelompok kita” dan “kelompok mereka”, “orang seagama” dan “berbeda agama”, atau “the we” dan “the they”, maka kita sebetulnya sedang menggali kubur kehancuran negara kita sendiri.

Saya teringat beberapa hari lalu bersama seorang rekan mahasiswa asal Indonesia, beragama Islam dan kawan dekat saya, makan siang di restoran mahasiswa bersama seorang rekan peneliti (berprofesi sebagai Medical Doctor) dari Mesir. Semula dia mengira saya seorang Muslim, mungkin karena berpikir bahwa mayoritas orang Indonesia adalah Muslim, karena itu saya adalah seorang Muslim. Dalam obrolan kami tersebut, dia membangun serangkaian argumentasi yang menurut saya cukup menyudutkan inti ajaran Kekristenan, misalnya anggapannya bahwa keyakinannya seputar keesaan Allah dan konsep tri tunggal (trinity) dalam kekristenan sebagai hal yang non-sense dan sulit dibuktikan. Ketika dia berbicara agak tendesius dan intoleran, temanku mungkin merasa tidak nyaman, dan mengatakan kepada rekan dari Mesir itu kalau aku seorang Katolik.

Saya bisa melihat kekagetan rekan dari Mesir itu. Tetapi yang menarik setelah itu adalah dia menanyakan apakah kami bisa “berdebat” mengenai agama, dan ketika saya mengatakan tidak apa-apa, dia lalu “menyerang” habis-habisan pemahamanku saya mengenai trinitas, bagaimana saya bisa menjelaskan paham Allah yang Esa dalam kerangka trinitas. Tentu saya tidak bisa menjelaskan secara menyakinkan, karena pemahaman saya pun bukanlah yang terbaik. Tetapi, kalau pun pemahaman saya mengenai trinitas adalah yang terbaik, apakah saya sanggup memuaskan dia?

Di sinilah saya melihat sesuatu sikap yang persis berbeda dengan rekan saya dari Indonesia yang adalah seorang Islam. Dalam dialog antaragama, menurut saya, yang harus terjadi bukanlah “perdebatan” mengenai siapa yang paling benar, tetapi sebuah sharing iman dan pengalaman rohani serta berbagi kepedulian dan komitmen sosial untuk memajukan kehidupan sosial. Alasannya, perdebatan di tingkat inti ajaran, kredo, dan teologis, tidak akan pernah mencapai kesepakatan persis ketika agama-agama mengklaim diri sebagai yang paling benar dan otentik.

Contoh ini saya kemukakan untuk membantu menjelaskan pentingnya memiliki pemahaman yang holistik mengenai kelompok sosial dan agama yang berbeda dengan kita. Saya teringat penelitian UIN Syarifhidayatullah belum lama ini yang mengatakan bahwa guru-guru agama di Indonesia adalah kelompok yang paling tidak toleran. Taruhlah jika kebanyakan guru agama di Indonesia demikian keadaannya, dan mereka mengajarkan murid-muridnya untuk bersikap radikal terhadap agamanya tanpa bersikap toleran terhadap agama lain, bayangkan apa efek sosialnya. Tentu saya tidak mengatakan bahwa muatan pendidikan agama harus dikontrol negara. Lagi-lagi, kalau pun dikontrol negara, tidak ada jaminan bahwa kita tidak akan mengajarkan intoleransi kepada para siswa dan orang-orang di sekitar kita.

Sekali lagi, ini semua hanyalah contoh. Yang ingin saya katakan adalah bahwa kita perlu membaca separah apakah keadaan sosial masyarakat Indonesia? Apakah kita cukup toleran, menerima kehadiran orang lain yang berbeda secara suku dan agama sebagai bagian dari realitas sosial, atau menerimanya dengan sikap kebencian, rasa muak, dan keinginan untuk meniadakan mereka. Bagi saya, penelitian sosial bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan ini sekaligus membantu kita merekayasa kehidupan sosial kita menjadi lebih baik lagi.