AKSES MASYARAKAT TERHADAP DUNIA PENDIDIKAN
AKSES MASYARAKAT TERHADAP DUNIA PENDIDIKAN
Undang-Undang Dasar 1945 mengamanatkan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan guna meningkatkan kualitas dan kesejahteraan hidupnya. Para pendiri bangsa meyakini bahwa peningkatan taraf pendidikan merupakan salah satu kunci utama mencapai tujuan negara yakni bukan saja mencerdaskan kehidupan bangsa, tetapi juga menciptakan kesejahteraan umum dan melaksanakan ketertiban dunia. Pendidikan mempunyai peranan penting dan strategis dalam pembangunan bangsa serta memberi kontribusi signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi dan transformasi sosial. Pendidikan akan menciptakan masyarakat terpelajar yang menjadi prasyarat terbentuknya masyarakat yang maju,mandiri,demokratis,sejahtera dan bebas dari kemiskinan penelitian yang dilakukan oleh Departemen Pendidika Nasional pada tahun 2003 menyimpulkan bahwa Pendidikan di Indonesia sangat berperan Pendidikan di Indonesia sangat berperan dalam pertumbuhan ekonomi kenaikan 1,0 persen rata-rata tenaga kerja menaikan produk Domestik Bruto atau ekonomi riil per kapita sebesar 0,29 persen dengan asumsi yang lain tetap . Sementara itu kenaikan 1,0 persen rata-rata jam kerja tenaga kerja akan menaikkan PDB sebesar 0,18 persen dan kenaikan 1,0 persen rata-rata pendidikan penduduk akan menaikkan PDB sebesar 0,19 persen. Di lain pihak kenaikan 1,0 persen modal fisik per tenaga kerja hanya menaikkan PDB sebesar 0,04 persen.
Berbagai upaya telah dilakukan oleh bangsa Indonesia untuk meningkatkan taraf pendidikan penduduk Indonesia termasuk pelaksanaan Wajib Belajar Pendidikan Dasar
2003 belum seluruh rakyat dapat menyelesaikan jenjang pendidikan dasar. Jumlah penduduk usia 15 tahun keatas yang telah menyelesaikan jenjang sekolah menengah pertama atau jenjang yang lebih tinggi baru mencapai 45,8 persen dan rata-rata lama sekolah penduduk berusia 15 tahun ke atas baru mencapai 7,1 tahun. Meskipun angka partisipasi sekolah penduduk usia 7–12 tahun sudah hampir 100 persen, partisipasi sekolah penduduk 13–15 tahun dan penduduk usia 16–18 tahun berturutturut baru mencapai 81,0 persen dan 51,0 persen. Dengan berbagai upaya yang dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat, pencapaian APS sampai tahun 2005 diperkirakan masih sebesar 83,2 persen untuk kelompok usia 13–15 tahun dan 56,0 persen untuk kelompok usia 16-18 tahun. Kemampuan keaksaraan penduduk Indonesia makin meningkat yang antara lain ditunjukan oleh meningkatnya angka melek aksara. Perbaikan tingkat keaksaraan terutama terjadi pada kelompok usia muda yaitu usia 15–24 tahun yang terutama disebabkan oleh meningkatnya partisipasi pendidikan dasar serta meningkatnya proporsi siswa SD/MI yang dapat menyelesaikan sekolahnya sampai kelas V. Hal yang cukup menggembirakan adalah bahwa pada tahun 2003 tingkat keaksaraan kelompok penduduk usia muda sudah sangat tinggi yaitu dengan angka buta aksara hanya sebesar 1,45 persen. Pada kelompok tersebut kesenjangan antara penduduk perkotaan dan perdesaan serta antarjenis kelamin juga tidak tampak nyata. Namun demikian jika rentang usia diperluas menjadi 15 tahun keatas, tampak bahwa angka buta aksara masih cukup tinggi yaitu sebesar 10,12 persen.
Untuk jenjang sekolah dasar termasuk sekolah dasar luar biasa dan madrasah ibtidaiyah angka putus sekolah masih sebesar 2,42 persen dari siswa yang terdaftar pada tahun yang sama atau sekitar 702,1 ribu siswa selama satu tahun ajaran. Sementara untuk jenjang sekolah menengah pertama dan madrasah tsanawiyah angkanya masih sebesar 2,74 persen atau 271,9 ribu orang dalam satu tahun ajaran. Pada tahun yang sama lulusan SD/MI yang melanjutkan ke jenjang SMP/MTs baru mencapai 86,7 persen, 2008 sebesar 95 persen. Dengan berbagai upaya yang dilakukan dalam tahun 2005, diperkirakan APK SMP/MTs dapat ditingkatkan menjadi 82,89 persen. Disparitas partisipasi pendidikan dasar khususnya jenjang SMP/MTs pada tahun 2003 juga masih tampak nyata antara penduduk perkotaan dengan APK sebesar 93,7 persen dengan penduduk perdesaan dengan APK 72,9 persen. APK penduduk perempuan untuk jenjang SD/MI dan SMP/MTs berturut-turut sebesar 105,6 persen dan 82,4 persen sementara APK penduduk laki-laki berturut-turut sebesar 106,0 persen dan 79,9 persen 50,9 persen yang diperkirakan meningkat menjadi 54,32 persen pada tahun 2005. Kondisi tersebut menyebabkan disparitas partisipasi pendidikan antara wilayah perkotaan dan perdesaan yang sangat lebar yang ditunjukkan oleh APK penduduk perkotaan pada tahun 2003 sebesar 70,6 persen dan APK penduduk perdesaan sebesar 35,8 persen. Dengan melihat kecenderungan menurunnya partisipasi pendidikan dengan meningkatnya jenjang pendidikan, dapat dipastikan partisipasi pendidikan jenjang pendidikan tinggi jauh lebih rendah lagi. Pada tahun ajaran 2003/04 APK jenjang pendidikan tinggi baru mencapai 14,25 persen dan dengan berbagai upaya yang dilakukan diperkirakan jumlah tersebut hanya meningkat menjadi 15,0 persen pada tahun ajaran 2005/06. Di samping menghadapi permasalahan dalam meningkatkan akses dan pemerataan pendidikan di jalur formal seperti di atas, pembangunan pendidikan juga menghadapi permasalahan dalam peningkatan akses dan pemerataan pendidikan non formal. Sampai dengan tahun 2004 pendidikan non formal yang berfungsi baik sebagai transisi dari dunia sekolah ke dunia kerja maupun sebagai bentuk pendidikan sepanjang hayat belum dapat diakses secara luas oleh masyarakat. Informasi tersebut menyimpulkan bahwa pendidikan sepanjang hayat masih belum banyak dilakukan oleh masyarakat. Menghadapi bonus demografi yang ditunjukkan oleh lebih tingginya proporsi penduduk usia produktif dibanding usia non produktif peran pendidikan non formal menjadi sangat vital.Top of Form
Pada saat yang sama pendidikan tinggi masih menghadapi kendala dalam mengembangkan dan menciptakan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kegiatan penelitian dan pengembangan serta penyebarluasan hasilnya masih sangat terbatas. Disamping itu proses transfer ilmu pengetahuan dan teknologi juga mengalami hambatan karena masih terbatasnya buku-buku teks dan jurnal-jurnal internasional yang dapat diakses. Dengan kualitas dan kuantitas hasil penelitian dan pengembangan yang belum memadai, belum banyak hasil penelitian dan pengembangan yang dapat diterapkan oleh masyarakat dan masih sedikit pula yang sudah dipatenkan dan/atau mendapat pengesahan hak kekayaan intelektual. Upaya meningkatkan mutu pendidikan tinggi dilakukan melalui otonomi perguruan tinggi (PT), yang memberi PT tanggung jawab lebih besar dengan tetap berdasar pada prinsip akuntabilitas publik. Perguruan tinggi juga diberi keleluasaan untuk mengelola sumber daya yang dimiliki. Otonomi perguruan tinggi sangat penting untuk membangun iklim kebebasan akademik serta menumbuhkan kreativitas dan inovasi dalam kegiatan Hasil penelitian menunjukkan bahwa sejak dilaksanakan desentralisasi terdapat penurunan secara signifikan biaya operasional sekolah. Selain itu terdapat variasi yang sangat besar antardaerah dalam mengalokasikan anggaran per siswa untuk rutin dan pembangunan.
Manajemen pendidikan juga masih belum berjalan secara efektif dan efisien.