Hukum dan Viktimologi

22 October 2015 23:57:39 Dibaca : 6192

A. Viktimologi

  Viktimologi adalah ilmu yang mempelajari tentang korban (victim = korban) termasuk hubungan antara korban dan pelaku, serta interaksi antara korban dan sistem peradilan - yaitu, polisi, pengadilan, dan hubungan antara pihak-pihak yang terkait - serta didalamnya juga menyangkut hubungan korban dengan kelompok-kelompok sosial lainnya dan institusi lain seperti media, kalangan bisnis, dan gerakan sosial.
Viktimologi juga membahas peranan dan kedudukan korban dalam suatu tindakan kejahatan di masyarakat, serta bagaimana reaksi masyarakat terhadap korban kejahatan. Proses dimana seseorang menjadi korban kejahatan disebut dengan "viktimisasi".
Didalam Buku Masalah Korban kejahatan karangan Arif Gosita diberikan penjelasan mengenai arti Viktimologi, dalam buku tersebut menyebutkan bahwa “Viktimologi adalah suatu pengetahuan ilmiah/studi yang mempelajari viktimisasi (criminal) sebagai suatu permasalahan manusia yang merupakan suatu kenyataan social.” Viktimologi berasal dari kata Latin victima yang berarti korban dan logos yang berarti pengetahuan ilmiah atau studi.


B. Sejarah Perkembangan Viktimologi

  Pada awal perkembangannya, viktimologi baru mendapat perhatian dari kalangan ilmuwan terhadap persoalan korban dimulai pada saat Hans von Hentig pada Tahun 1941 menulis sebuah makalah yang berjudul “Remark on the interaction of perpetrator and victim.” Tujuh Tahun kemudian beliau menerbitkan buku yang berjudul The Criminal and his victim yang menyatakan bahwa korban mempunyai peranan yang menyatakan bahwa korban mempunyai peranan yang menentukan dalam timbulnya kejahatan.
  Pada Tahun 1947 atau setahun sebelum buku von Hentig terbit, Mendelsohn menulis sebuah makalah dengan judul “New bio-psycho-sosial horizons: Victimology.” Pada saat inilah istilah victimology pertama kali digunakan. Setelah itu para sarjan-sarjana lain mulai melakukan studi tentang hubungan psikologis antara penjahat dengan korban, bersama H. Mainheim, Schafser, dan Fiseler. Setelah itu pada Tahun 1949 W.H. Nagel juga melakukan pengamatan mengenai viktimologi yang dituangkan dalam tulisannya dengan judul “de Criminaliteit van Oss, Gronigen.”, dan pada Tahun 1959 P.Cornil dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa si korban patut mendapatkan perhatian yang lebih besar dari kriminologi dan viktimologi.
  Pada Tahun 1977 didirikanlah World Society of Victimology. World Society of Victimology (WSV) dipelopori oleh Schneider dan Drapkin. Perubahan terbesar dari perkembangan pembentukan prinsip-prinsip dasar tentang perlindungan korban terwujud pada saat diadakannya kongres di Milan, pada tanggal 26 Agustus 1985 yang menghasilkan beberapa prinsip dasar tentang korban kejahatan dan penyalahgunaan kekuasaan yang selanjutnya diadopsi oleh Perserikatan Bangsa-Bansa pada tanggal 11 Desember 1985 dalam suatu deklarasi yang dinamakan Decleration of Basic Principle of Justice for Victims of Crime and Abuse Power.

C. Tujuan, Fungsi dan Manfaat Viktimologi

1. Tujuan Viktimologi
  a. Menganalisis berbagai aspek yang berkaitan dengan korban;
  b. Berusaha untuk memberikan penjelasan sebab musabab terjadinya viktimisasi;
  c. Mengembangkan system tindakan guna mengurangi penderitaan manusia

2. Fungsi Viktimologi
  Viktimologi mempunyai fungsi untuk mempelajari sejauh mana peran dari seorang korban dalam terjadinya tindak pidana, serta bagaimana perlindungan yang harus diberikan oleh pemeritah terhadap seseorang yang telah menjadi korban kejahatan. Disini dapat terlihat bahwa korban sebenarnya juga berperan dalam terjadinya tindak pidana pencurian, walaupun peran korban disini bersifat pasif tapi korban juga memiliki andil yang fungsional dalam terjadinya kejahatan.
Pada kenyataanya dapat dikatakan bahwa tidak mungkin timbul suatu kejahatan kalau tidak ada si korban kejahatan, yang merupakan peserta utama dan si penjahat atau pelaku dalam hal terjadinya suatu kejahatan dan hal pemenuhan kepentingan si pelaku yang berakibat pada penderitaan si korban. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa korban mempunyai tanggung jawab fungsional dalam terjadinya kejahatan


3. Manfaat Viktimologi
  Arif Gosita merumuskan beberapa manfaat dari studi mengenai korban antara lain:


a. Viktimologi mempelajari hakikat siapa itu korban dan yang menimbulkan korban, apa artinya viktimisasi dan proses viktimisasi bagi mereka yang terlibat dalam proses viktimisasi. Akibat dari pemahaman itu, maka akan diciptakan pengertian-pengertian, etiologi kriminal dan konsepsi-konsepsi mengenai usaha-usaha yang preventif, represif dan tindak lanjut dalam menghadapi dan menanggulangi permasalahan viktimisasi kriminal di berbagai bidang kehidupan dan penghidupan;


b. Viktimologi memberikan sumbangan dalam mengerti lebih baik tentang korban akibat tindakan manusia yang menimbulkan penderitaan mental, fisik dan sosial. Tujuannya, tidaklah untuk menyanjung (eulogize) korban, tetapi hanya untuk memberikan beberapa penjelasan mengenai kedudukan dan peran korban serta hubungannya dengan pihak pelaku serta pihak lain. Kejelasan ini sangat penting dalam upaya pencegahan terhadap berbagai macam viktimisasi, demi menegakkan keadilan dan meningkatkan kesejahteraan mereka yang terlihat langsung atau tidak langsung dalam eksistensi suatu viktimisasi.


c. Viktimologi memberikan keyakinan, bahwa setiap individu mempunyai hak dan kewajiban untuk mengetahui mengenai bahaya yang dihadapinya berkaitan dengan kehidupan, pekerjaan mereka. Terutama dalam bidang penyuluhan dan pembinaan untuk tidak menjadi korban struktural atau non struktural. Tujuannya, bukan untuk menakut-nakuti, tetapi untuk memberikan pengetian yang baik dan agar waspada. Mengusahakan keamanan atau hidup aman seseorang meliputi pengetahuan yang seluas-luasnya mengenai bagaimana menghadapi bahaya dan juga bagaimana menghindarinya.


d. Viktimologi juga memperhatikan permasalahan viktimisasi yang tidak langsung, misalnya: efek politik pada penduduk “dunia ketiga” akibat penyuapan oleh suatu korporasi internasional, akibat-akibat sosial pada setiap orang akibat polusi industri, terjadinya viktimisasi ekonomi, politik dan sosial setiap kali seorang pejabat menyalahgunakan jabatan dalam pemerintahan untuk keuntungan sendiri. Dengan demikian dimungkinkan menentukan asal mula viktimisasi, mencari sarana menghadapi suatu kasus, mengetahui terlebih dahulu kasus-kasus (antisipasi), mengatasi akibat-akibat merusak, dan mencegah pelanggaran, kejahatan lebih lanjut (diagnosa viktimologis);


e. Viktimologi memberikan dasar pemikiran untuk masalah penyelesaian viktimisasi kriminal, pendapat-pendapat viktimologi dipergunakan dalam keputusan-keputusan peradilan kriminal dan reaksi pengadilan terhadap pelaku kriminal. Mempelajari korban dari dan dalam proses peradilan kriminal, merupakan juga studi mengenai hak dan kewajiban asasi manusia.


Lebih spesifik lagi Dikdik M. Mansur dan Elisatris Gultom memberikan gambaran manfaat bagi pihak penegak hukum, sebagai berikut :
  Bagi aparat kepolisian, viktimologi sangat membantu dalam upaya penanggulangan kejahatan. Melalui viktimologi akan mudah diketahui latar belakang yang mendorong terjadinya kejahatan, seberapa besar peranan korban pada terjadinya kejahatan, bagaimana modus operandi yang biasanya dilakukan oleh pelaku dalam menjalankan aksinya serta aspek aspek lainnya yang terkait.
Bagi Kejaksaan, khususnya dalam proses penuntutan perkara pidana di pengadilan, viktimologi dapat dipergunakan sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan berat ringannya tuntutan yang akan diajukan kepada terdakwa, mengingat dalam praktiknya sering dijumpai korban kejahatan turut menjadi pemicu terjadinya kejahatan.
Bagi hakim tidak hanya menempatkan korban sebagai saksi dalam persidangan suatu perkara pidana, tetapi juga turut memahami kepentingan dan penderitaan korban akibat dari sebuah kejahatan atau tindak pidana, sehingga apa yang menjadi harapan dari korban terhadap pelaku sedikit banyak dapat terkonkritisasi dalam putusan hakim.

D. Ruang Lingkup Viktimologi
  Viktimologi meneliti topic-topik tentang korban, seperti: peranan korban pada terjadinya tindak pidana, hubungan antara pelaku dengan korban, rentannya posisi korban dan peranan korban dalam system peradilan pidana. Selain itu, menurut Muladi viktimologi merupakan studi yang bertujuan untuk :
a. Menganalisis berbagai aspek yang berkaitan dengan korba;
b. Berusaha untuk memberikan penjelasan sebab musabab terjadinya viktimisasi;
c. Mengembangkan system tindakan guna mengurangi penderitaan manusia.


Menurut J.E. sahetapy ruang lingkup viktimologi “meliputi bagaimana seseorang (dapat) menjadi korban yang ditentukan oleh victim yang tidak selalu berhubungan dengan masalah kejahatan, termasuk pula korban kecelakaan, dan bencana alam selain dari korban kejahatan dan penyalahgunaan kekuasaan”.


E. Macam-macam tipologi korban
Menurut M.E. Wolfgang, tipologi korban meliputi:
1. Viktimisasi Primer
2. Viktimisasi Sekunder
3. Viktimisasi Tersier
4. Viktimisasi Mutual
5. Tidak ada Viktimisasi

Berdasarkan peran E.A. Fattah (1967) merumuskan tipologi berdasarkan peran korban:
1. Korban tidak ikut berpartisipasi
2. Korban berperan secara tidak langsung
3. Korban sebagai provokator
4. Korban terlibat dalam kejahatan
5. Korban dianggap sebagai sasaran yang keliru

Selain itu, B. Mendelsohn merumuskan tipologi berdasarkan tingkat kesalahan korban:
1. Korban yang benar-benar tidak bersalah
2. Koban memiliki sedikit kesalahan akibat ketidaktahuan
3. Kesalahan korban sama dengan pelaku
4. Korban lebih bersalah dari pelaku
5. Korban sendiri yang memiliki kesalahan/paling bersalah
6. Korban imajinatif

F. Hubungan Kriminologi dan Viktimologi
  Adanya hubungan antara kriminologi dan viktimologi sudah tidak dapat diragukan lagi, karena dari satu sisi Kriminologi membahas secara luas mengenai pelaku dari suatu kejahatan, sedangkan viktimologi disini merupakan ilmu yang mempelajari tentang korban dari suatu kejahatan. Seperti yang dibahas dalam buku Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan, karangan Dikdik M.Arief Mansur . Jika ditelaah lebih dalam, tidak berlebihan apabila dikatakan bahwa viktimologi merupakan bagian yang hilang dari kriminologi atau dengan kalimat lain, viktimologi akan membahas bagian-bagian yang tidak tercakup dalam kajian kriminologi. Banyak dikatakan bahwa viktimologi lahir karena munculnya desakan perlunya masalah korban dibahas secara tersendiri.

Akan tetapi, mengenai pentingnya dibentuk Viktimilogi secara terpisah dari ilmu kriminologi mengundang beberapa pendapat, yaitu sebagai berikut :

1. Mereka yang berpendapat bahwa viktimologi tidak terpisahkan dari kriminologi, diantaranya adalah Von Hentig, H. Mannheim dan Paul Cornil. Mereka mengatakan bahwa kriminologi merupakan ilmu pengetahuan yang menganalisis tentang kejahatan dengan segala aspeknya, termasuk korban. Dengan demikian, melalui penelitiannya, kriminologi akan dapat membantu menjelaskan peranan korban dalam kejahatan dan berbagai persoalan yang melingkupinya.

2. Mereka yang menginginkan viktimologi terpisah dari kriminologi, diantaranya adalah Mendelsohn. Ia mengatakan bahwa viktimologi merupakan suatu cabang ilmu yang mempunyai teori dalam kriminologi, tetapi dalam membahas persoalan korban, viktimologi juga tidak dapat hanya terfokus pada korban itu sendiri.
Khusus mengenai hubungan antara kriminologi dan hukum pidana dikatakan bahwa keduanya merupakan pasangan atau dwi tunggal yang saling melengkapi karena orang akan mengerti dengan baik tentang penggunaan hukum terhadap penjahat maupun pengertian mengenai timbulnya kejahatan dan cara-cara pemberantasannya sehingga memudahkan penentuan adanya kejahatan dan pelaku kejahatannya. Hukum pidana hanya mempelajari delik sebagai suatu pelanggaran hukum, sedangkan untuk mempelajari bahwa delik merupakan perbuatan manusia sebagai suatu gejala social adalah kriminologi.
  J.E Sahetapy juga berpendapat bahwa kriminologi dan viktimologi merupakan sisi dari mata uang yang saling berkaitan. Perhatian akan kejahatan yang ada tidak seharusnya hanya berputar sekitar munculnya kejahatan akan tetapi juga akibat dari kejahatan, karena dari sini akan terlihat perhatian bergeser tidak hanya kepada pelaku kejahatan tetapi juga kepada posisi korban dari kejahatan itu. Hal ini juga dibahas oleh pakar hukum lainnya dalam memperhatikan adanya hubungan ini, atau setidaknya perhatian atas terjadinya kejahatan tidak hanya dari satu sudut pandang, apabila ada orang menjadi korban kejahatan, jelas terjadi suatu kejahatan, atau ada korban ada kejahatan dan ada kejahatan ada korban. Jadi kalau ingin menguraikan dan mencegah kejahatan harus memperhatikan dan memahami korban suatu kejahatan, akan tetapi kebiasaan orang hanya cenderung memperhatikan pihak pelaku kejahatan.

G. Hubungan Viktimologi dan KUHAP :

  Pada hakikatnya KUHAP mengatur kehidupan manusia, manusia pada dasarnya sama harkat dan martabatnya, kebersamaan maunsia dalam suatu masyarakat. Pencitraan terhadap manusia yang demikian mendorong KUHAP untuk memperjuangkan hak dan kewajibannya khususnya dlm pelaksanaan ganti rugi demi perlakuan adil dan mengembangkan kesejahteraan khususnya kel marginal/lemah.
Pengamatan terpadu:
Perlunya pengamtan secara terpadu ( makro integral disamping diamati secara klinis untuk mendapatkan gambaran secara proporsional dan dimensional. o/k itu wajib dilakukan pen gamatan dan pemahaman fenomena yang relevan dgn eksistensi perbuatan tersebut. Hal tersebut diimplementasikan dalam pemenuhan ganti rugi.

H. Tentang Korban

1. Pengertian Korban
Berbagai pengertian korban banyak dikemukakan baik oleh ahli maupun bersumber dari konvensi-konvensi internasional yang membahas mengenai korban kejahatan, sebagian diantaranya sebagai berikut .

Menurut Arief Gosita, korban adalah mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri dan orang lain yang bertentangan dengan kepentingan hak asasi pihak yang dirugikan.

Didalam Undang-Undang No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.
“Korban adalah orang yang mengalami kekerasan dan/ atau ancaman kekerasan dalam lingkup rumah tangga.”

Sedangkan menurut Deklerasi PBB dalam The Decleration of Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse Power 1985.
Victims means person who, individually or collectively, have suffered harm, including physical or mental injury, emotional suffering, economic loss or substansial impairment of their fundamental rights, through acts or omissions that are in violation of criminal laws operative within member states, including those laws proscribing criminal abuse power.

Dengan mengacu pada pengertian-pengertian korban di atas, dapat dilihat bahwa korban pada dasarnya tidak hanya orang perorangan atau kelompok yang secara langsung menderita akibat dari perbuatan-perbuatan yang menimbulkan kerugian/penderitaan bagi diri/kelompoknya, bahkan, lebih luas lagi termasuk didalamnya keluarga dekat atau tanggungan langsung dari korban dan orang-orang yang mengalami kerugian ketika membantu korban mengatasi penderitaannya atau untuk mencegah viktimisasi.

2. Hak dan Kewajiban Korban

a. Hak-Hak Korban
Setiap hari masyarakat banyak memperoleh informasi tentang berbagai peristiwa kejahatan, baik yang diperoleh dari berbagai media massa maupun cetak maupun elektronik. Peristiwa-peristiwa kejahatan tersebut tidak sedikit menimbulkan bebagai penderitaan/kerugian bagi korban dan juga keluarganya.
Guna memberikan rasa aman dan nyaman bagi masyarakat dalam beraktivitas, tentunya kejahatan-kejahatan ini perlu ditanggulngi baik melalui pendekatan yang sifatnya preventif maupun represif, dan semuanya harus ditangani secara professional serta oleh suatu lembaga yang berkompeten.
Berkaitan dengan korban kejahatan, perlu dibentuk suatu lembaga yang khusus menanganinya. Namun, pertama-tama perlu disampaikan terlebih dahulu suatu informasi yang memadai hak-hak apa saja yang dimiliki oleh korban dan keluarganya, apabila dikemudian hari mengalami kerugian atau penderitaan sebagai akibat dari kejahatan yang menimpa dirinya.
Hak merupakan sesuatu yang bersifat pilihan ( optional ) artinya bisa diterima oleh pelaku bisa juga tidak, tergantung kondisi yang mempengaruhi korban baik yang sifatnya internal maupun eksternal
Tidak jarang ditemukan seseorang yang mengalami penderitan (fisik, mental, atau materill) akibat suatu tindak pidana yang menimpa dirinya, tidak mempergunakan hak-hak yang seharusnya dia terima karena berbagai alasan, misalnya perasaan sakit dikemudian hari masyarakat menjadi tahu kejadian yang menimpa dirinya (karena kejadian ini merupakan aib bagi dirinya maupun keluarganya) sehingga lebih baik korban menyembunyikannya, atau korban menolak untuk mengajukan gati kerugian karena dikhawatikan prosesnya akan menjadi semakin panjang dan berlarut-larut yang dapat berakibat pada timbulnya penderitaan yang berkepanjangan.
Sekalipun demikian, tidak sedikit korban atau keluarganya mempergunakan hak-hak yang telah disediakan. Ada beberapa hak umum yang disediakan bagi korban atau keluarga korban kejahatan, meliputi :
1) Hak untuk memperoleh ganti kerugian atas penderitaan yang dialaminya. Pemberian ganti kerugian ini dapat diberikan oleh pelaku atau pihak lainnya, seperti Negara atau lembaga khusu yang dibetuk untuk menangani masalah ganti kerugian korban kejahtan;
2) Hak untuk memperoleh pembinaan dan rehabilitasi;
3) Hak untuk memperoleh perlindungan dari ancaman pelaku;
4) Hak untuk memperoleh bantuan hukum;
5) Hak untuk memperoleh kembali hak (harta) miliknya;
6) Hak untuk memperoleh akses atas pelayanan medis;
7) Hak untuk diberitahu bila pelaku kejahatan akan dikeluarkan dari tahanan sementara, atau bila pelaku buron dari tahanan;
8) Hak untuk memperoleh informasi tentang penyidikan polisi berkaitan dnegan kejahatan yang menimpa korban;
9) Hak atas kebebasan pribadi/kerahasiaan pribadi, seperti merahasiaakan nomor telepon atau identitas korban lainnya.

Berdasarkan Pasal 10 dari Undang-Undang No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT), korban berhak mendapatkan :
1) Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga social, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan ;
2) Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis;
3) Penanganan secara khusu berkaitan dengan kerahasiaan korban;
4) Pendampingan oleh pekerja social dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
5) Pelayanan bimbingan rohani.

Didalam Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa No.40/A/Res/34 Tahun 1985 juga telah menetapkan beberapa hak korban (saksi) agar lebih mudah memperoleh akses keadilan, khususnya dalam proses peradilan, yaitu :
1) Compassion, respect and recognition;
2) Receive information and explanation about the progress of case;
3) Provide information;
4) Providing propef assistance;
5) Protection of privacy and physical safety;
6) Restitution and compensation;
7) To access to the mechanism of justice system.

b. Kewajiban Korban

  Sekalipun hak-hak korban telah tersedia secara memadai, mulai dari hak atas bantuan keuangan (financial) hingga hak atas pelayanan medis dan bantuan hukum, tidak berarti kewajiban dari korban kejahatan diabaikan eksistensinya karena melalui peran korban dan keluarganya diharapkan penaggulangan kejahatan dapat dicapai secara signifikan.
Untuk itu ada beberapa kewajiban umum dari korban kejahatan, antara lain :
1. Kewajiban untuk tidak melakukan upaya main hakim sendiri/balas dendam terhadap pelaku (tindakan pembalasan);
2. Kewajiban untuk mengupayakan pencegahan dari kemungkinan terulangnya tindak pidana;
3. Kewajiban untuk memberikan informasi yang memadai mengenai terjadinya kejahatan kepada pihak yang berwenang;
4. Kewajiban untuk tidak mengajukan tuntutan yang terlalu berlebihan kepada pelaku;
5. Kewajiban untuk menjadi saksi atas suatu kejahatan yang menimpa dirinya, sepanjang tidak membahayakan bagi keluarga dan keluarganya;
6. Kewajiban untuk membantu berbagai pihak yang berkepentingan dalam uapaya pnanggulangan kejahata;
7. Kewajiban untuk bersedia dibina atau membina diri sendiri untuk tidak menjadi korban lagi

Kategori

  • Masih Kosong

Blogroll

  • Masih Kosong