PERSPEKTIF, FUNGSI DAN KAJIAN GEOGRAFI MANUSIA DALAM KEILMUAN GEOGRAFI
PERSPEKTIF, FUNGSI DAN KAJIAN GEOGRAFI MANUSIA DALAM KEILMUAN GEOGRAFI
Lingkungan sekitar kita sangat menarik untuk dikaji. Contoh kecilnya adalah ketika kita berjalan dari tempat tinggal menuju kampus. Tentunya kita melewati jalan umum. Banyak sekali fenomena– fenomena kecil yang terkadang tidak kita sadari merupakan suatu fenomena keilmuan. Misalnya ketika kita melihat banyak kendaraan yang berlalulalang dijalan trans perkotaan. Berbeda dengan dijalan trans perdesaan. Tentunya kita akan mengkaji lebih lanjut. Mengapa hal ini terjadi? Padahal keduanya sama - sama merupakan kenampakan jalan. Kenapa pengguna kendaraan lebih banyak megendarai kendaraan mereka di Jalan trans perkotaan dibandingkan di Jalan dijalan trans perdesaan? Kenapa lebih banyak toko atau tempat–tempat perbelanjaan didaerah perkotaan dibanding dengan desa?
Jika masing–masing dikaitkan, maka akan terdapat sebuah komparansi fenomena kecil yang kemudian dapat dikaji menjadi suatu keilmuan.
Menurut Von Rithoffen, Geografi adalah studi tentang gejala dan sifat-sifat permukaan bumi serta penduduknya yang disusun berdasarkan letaknya, dan mencoba menjelaskan hubungan timbal balik antara gejala-gejala dan sifat tersebut.
Selama ini kita mengenal geografi adalah cakupan ilmu yang mempelajari mengenai bumi. Baik itu kondisi fisik, maupun interaksi yang ada didalamnya. segala sesuatu yang ada di bumi adalah ruang lingkup ilmu geografi. Ruang lingkup geografi sangat luas, meliputi kehidupan di muka bumi, di ruang angkasa, berbagai gejala alam, serta interaksi antara manusia dan lingkungannya dalam konteks keruangan dan kewilayahan. Pengetahuan mengenai gejala alam dan kehidupan di muka bumi disebut dengan gejala geosfer, dalam hal ini geografi akan mempelajari penyebab terjadinya dan menjelaskan mengapa dan bagaimana terjadinya gejala geosfer.
Secara garis besar, keilmuan geografi dibagi menjadi dua, yakni geografi fisik dan geografi manusia. Gabungan diantara keduanya menciptakan keilmuan yang disebut sebagai geografi regional. Geografi fisik adalah bagian ilmu geografi yang mempelajari tentang semua peristiwa di muka bumi, baik di darat, laut, udara, maupun luar angkasa beserta faktor penyebab terjadinya. Geografi sosial adalah bagian dari ilmu geografi yang mempelajari tentang interaksi antarmanusia, sedangkan geografi regional adalah ilmu yang mempelajari tentang perwilayahan dari negara-negara yang ada.
Skema ruang lingkup studi geografi dapat dilihat pada gambar 1
Dalam hal ini kita mengetahui bahwa geografi manusia termasuk kedalam aspek keilmuan geografi. Manusia hidup dengan memanfaatkan sumber daya alam yang ada dibumi. Pemanfaatan tersebut dapat berupa permanfaat lahan pertanian, pertambangan, laut dan sebagainya. Dari pemanfaatan sumber daya tersebut, dapat dikatakan bahwa ada interaksi antar manusia dan lingkungannya yang bertujuan memenuhi kebutuhan hidupnya. Interkasi manusia dan sumber daya alam tersebut menjadi kajian ruang lingkup ilmu geografi agar keberlangsungannya tetap terjaga.
Seorang geograf seharusnya tidak hanya menguasai satu kajian geosfer. Karena geosfer itu sendiri sebagai suatu sistem, maka penting bagi orang yang sedang belajar-atau yang sudah ahli geografi dalam mengkaji secara mendalam dan menyeluruh mengenai keilmuan geografi. Dalam hal ini, geografi manusia mengkaji berbagai fenomena seperti bahasa, agama, pemanfaatan lahan, iklim, dan perubahan lingkungan. Geograf juga harus mengkaji mengenai interaksi antara manusia dan lingkungannya.
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, manusia memegang peranan penting dalam pengendalian fenomena geosfer. Persebaran suatu agama di berbagai belahan dunia melibatkan manusia dan lingkungan alam sekitarnya. Misalnya adalah sejarah dispersal agama Kong Hu Chu di Kabupaten Tuban – Jawa Timur. Mengapa hal ini terjadi di Tuban? Mengapa tidak di Malang atau Jombang? Hal ini dapat dikaji melalui pendekatan ilmu geografi khususnya geografi manusia (Human Geografi). Agama Kong Hu Chu banyak dijumpai di Tuban karena pada dasarnya Tuban merupakan daerah strategis perdagangan yang terletak di jalur pantai utara jawa. Tentu saja akan mempermudah penyebaran kebudayaan atau kepercayaan baru dengan datangnya orang – orang baru yang melakukan aktivitas di tempat tersebut semisal berdagang.
Selain agama, pemanfaatan lahan juga dapat dikaji melalui keilmuan geografi manusia. Alam dan makhluk hidup yang menempatinya membentuk suatu interaksi unik untuk dikaji. Jika kita sadar betapa pentingnya hal ini, maka semua orang akan berlomba – lomba dalam pelestarian bumi. Contoh kecil pemanfaatan lahan yang dijumpai adalah pemanfaatan lahan dataran tinggi Dieng sebagai lahan pertanian kentang oleh masyarakat sekitar. Berbeda dengan pemanfaatan lahan di Jogja kota yang sebagian besar digunakan untuk pemukiman dan fasilitas – fasilitas umum perkotaan. Mengapa ini terjadi? Apa imbasnya? Kita mengenal bahwa dataran tinggi merupakan daerah yang cocok untuk penanaman sayuran dan lain sebagainya. Sedangkan daerah pertumbuhan (kota) diisi oleh sektor pemerintahan dan fasilitas umum. Dalam hal ini, kajian keilmuan geografi, sudut pandang, dan pendekatan yang digunakan haruslah beriringan. Yakni antara pendekatan spasial, ekologikal, dan kompleks wilayah.
Manusia memegang peranan penting dalam pengendalian politik, ekonomi, sosial – budaya. Tentu semuanya berkaitan erat dengan lingkungan sekitar. Politik (dalam hal ini digarisbawahi masalah kekuasaan) akan memerlukan wilayah. Wilayah terdiri dari banyak aspek, termasuk halnya penduduk. Ekonomi berkaitan erat dengan pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya. Pendistribusian membutuhkan pengetahuan spasial – regional yang baik, pemasaran akan melibatkan kajian mengenai oportunity cost dan lain sebagainya, konsumen harus ada supaya kegiatan ekonomi dapat berjalan. Tentunya konsumen ini merupakan elemen dari manusia itu sendiri. Sosial – budaya tak lepas peranannya dari manusia. Seperti yang telah kita ketahui bahwa manusia merupakan makhluk sosial, dan keberakibatan budaya juga diciptakan oleh manusia itu snediri berkaitan erat dengan lingkungan dan apa yang dipercayainya.
Masih terdapat banyak sekali fenomena – fenomena geosfer yang dapat dikaji dalam geografi manusia. Sinergi antara berbagai fenomena geosfer akan lebih baik jika semua aspek digabungkan. Begitulah pentingnya dan peranan geografi manusia dalam perspektif keilmuan geografi. Karena seperti yang dijelaskan diatas bahwa geografi merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari bumi dan interaksi yang ada didalamnya, dalam hal ini manusia memegang peranan dalam berbagai interaksi yang ada di bumi ini.
Terdapat banyak sekali cabang keilmuan geografi manusia. Dari tulisan diatas dapat digarisbesarkan dakam sebuah bagan, mengenai geografi manusia dalam hal ini kaitannya dengan interaksi dengan bumi – dan dengan pengorganisasiannya dengan ruang di permukaan bumi.
Saat ini, geografi manusia masih dipraktekan dan lebih dispesialisasikan di bidang yang terdiri atas feminist geography,children’s geography, studi tentang pariwisata, geografi wilayah, hubungannya dengan keruangan, dan geografi politik telah dikembangkan lebih lanjut dalam studi dan praktek – praktek kegiatan mausia yang dikaitkan dengan keruangan di bumi.
Dapat diambil garis besar bahwa studi kita mengenai geografi manusia adalah menganalis manusia dan – tempat serta menjelaskan interaksi diantara keduanya dalam konteks ruang dan waktu untuk menciptakan sebuah sistem kesatuan dunia[4]. Dan untuk menganalisanya, setiap keilmuan membutuhkan studi lain. Oleh karena itu, perluasan kajian ilmu geografi sangat membantu dalam menganalisa atau mengkaji fenomena – fenomena geosfer yang ada di bumi ini
sistem politik islam
A. PENGERTIAN POLITIK ISLAM
Kata sistem berasal dari bahasa asing (Inggris), yaitu system, artinya perangkat unsur yang secara teratur saling berkaitan, sehingga membentuk suatu totalitas atau susunan yang teratur dengan pandangan, teori, dan asas. Sedangkan kata politik pada mulanya berasal dari bahasa Yunani atau Latin, politicos atau politicus, yang berarti relating to citizen. Keduanya berasal dari kata polis, yang berati kota. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata politik diartikan sebagai “segala urusan dan tindakan (kebijakan, siasat dan sebagainya) mengenai pemerintahan”. Kata Islam, adalah agama yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW, berpedoman pada kitab suci al-Qur’an yang diturunkan ke dunia melalui wahyu Allah SWT. Sedangkan secara harfiyah, Politik Islam disebut juga Fiqh Siyasah yang dapat diartikan sebgai mengurus, mengendali atau memimpin sebagaimana sabda Rasulullah SAW :
yang artinya“ Adapun Bani Israel dipimpin oleh Nabi mereka “
Fiqh siyasah dalam konteks terjemahan diartikan sebagai materi yang membahas mengenai ketatanegaraan dalam Islam (Sistem Politik).Dengan demikian, sistem politik Islam adalah sebuah aturan tentang pemerintahan yang berdasarkan nilai-nilai Islam.
Islam memang memberikan landasan kehidupan umat manusia secara lengkap, termasuk di dalamnya kehidupan politik. Tetapi Islam tidak menentukan secara konkrit bentuk kekuasaan politik seperti apa yang diajarkan dalam Islam. Itulah sebabnya, kemudian terjadi perbedaan pendapat di kalangan umat Islam dalam merumuskan sistem politik Islam. Dalam bahasa Arab politik disebut siyasah, sehingga dalam keislaman politik diidentik dengan kata tersebut.secara etimologis siyasah artinya mengatur,aturan dan keteraturan.Fiqih siyasah adalah hukum islam yang mengatur sistem kekuasaan dan pemerintahan. Dalam islam, negara didirikan atas prinsip-prinsip tertentu yang ditetapkan Al-qur'an dan Sunnah Nabi Muhammad S.A.W. Adapun prinsip-prinsip pemerintahan islam adalah :
1. Bahwa seluruh kekuasaan di alam semesta ada pada Allah karena Ia yang menciptakannya. Maka,hanya Allah yang harus ditaati, orang dapat ditaati
bila Allah memerintahkannya.
2. Bahwa Hukum Islam ditetapkan oleh Allah dalam Al-Qur'an dan Sunnah
Nabi, sedangkan Sunnah Nabi merupakan penjelasan otoratif tentang al-qur’an
Dalam kamus bahasa Arab modern, kata politik biasanya di terjemahkan dengan kata siyasah.Kata ini terambil dari akar kata sasa-yasusu, yang biasa diartikan mengemudi, mengendalikan, mengatur, dan sebagainya. Dari akar kata yang sama, ditemukan kata sus, yang berarti penuh kuman, kutu atau rusak, sementara dalam al-Qur’an tidak ditemukan kata yang terbentuk dari akar kata sasa-yasusu, namun ini bukan berarti bahwa al-Qur’an tidak menguraikan masalah sosial politik.
Banyak ulama ahli Al-Qur’an yang menyusun karya ilmiah dalam bidang politik dengan menggunakan al-Qur’an dan Sunnah Nabi sebagai rujukan, bahkan Ibnu Taimiyah (1263-1328) menamai salah satu karya ilmiahnya dengan al-Siyasah al-Syar’iyah (Politik Keagamaan).Uraian al-Qur’an tentang politik secara sepintas dapat ditemukan pada ayat-ayat yang menjelaskan tentang hukum.Kata ini pada mulanya berarti “menghalangi atau melarang dalam rangka perbaikan”. Dari akar kata yang sama, terbentuk kata hikmah, yang pada mulanya berarti kendali. Makna ini sejalan dengan asal makna kata sasa-yasusu-sais-siyasah, yang berarti mengemudi, mengendalikan, pengendali dan cara pengendalian (M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, Tafsir Maudhu’i atas Berbagai Persoalan Umat, 1997 : 417).
Kata siyasah,sebagaimana dikemukakan diatas, diartikan dengan politik, dan juga sebagaimana terbaca, sama dengan kata hikmat. Disisi lain, terdapat persamaan makna antara kata hikmah dan politik. Sementara ulama mengartikan hikmah sebagai kebijaksanaaan, atau kemampuan menangani suatu masalah, sehingga mendatangkan manfaat atau menghindarkan madharat. Dengan demikian, sistem politik Islam adalah suatu konsepsi yang berisikan antara lain ketentuan-ketentuan tentang siapa sumber kekuasaan Negara,: siapa pelaksana kekuasan tersebut, apa dasar, dan bagaimana cara untuk menentukan kepada siapa kewenangan melaksanakan kekuasaan itu diberikan, kepada siapa pelaksana kekuasaan itu bertanggung jawab, dan bagaimana bentuk tanggung jawab berdasarkan nilai-nilai agama Islam (sesuai dengan ajaran Islam, yaitu Al-Qur’an, Hadist dan Ijtihad).
Umat islam berbeda pendapat tentang kedudukan politik dlam syari’at islam. Pendapat pertama menyatakan bahwa islam adalah suatu agama yang sempurnah dan lengkap dengan pengaturan bagi segalah aspek kehidupan manusia termasuk kehidupan bernegara. Didalamnya juga terdapat antara lain sistem ketatanegaraan atau politik. Dalam bahasa lain, sistem politik atau juga disebut fikih siasah merupakan bagian integral dari ajaran islam. Lebih jauh kelompok ini berpendapat bahwa sistem ketatanegaraan yang harus diteladani adalah sistem yang telah dilaksanakan oleh nabi Muhammad S.A.W. Dan oleh para khulafah al-rasyidin yaitu sistem khalifah.
Kedua, kelompok yang berpenditrian bahwa islam adalah agama yang berpendirian barat. Artinya agama tidak ada hubunganhya dengan urusan kenegaraan. Menurut aliran ini nabi muhammad hanyalah seorang rasul seperti rasul-rasul lain yang bertugas menyampaikan risalah tuhan kepada segenap alam. Nabi tidak ditugaskan untuk mendirikan dan memimpin suatu negara.
Aliran ketiga menolak bahwa islam adalah agama yang serba lengkap yang terdapat didalamnya segalah sistem kehidupan termasuk sistem ketatanegaraan, tetapi juga menolak bahwa islam sebagai pandangan barat yang hanya mengatur hubungan manusia dengan tuhan. Aliran ini berpendirian bahwa dalam islam tidak terdapat sistem ketatanegaraan, tetapi terdapat seperangkat nilai etika bagi kehidupan bernegara.
Sejarah membuktikan bahwa nabi kecuali sebagai rasul, meminjam istilah harun nasution, kepala agama, juga beliau adalah kepala negara. Nabi menguasai suatu wilayah yaitu yasrib kemudian menjadi al-munawwarah sebagai wilayah kekuasaan nabi sekaligus menjadi pusat pemerintahanya dengan piagam madinah sebagai aturan dasar kenegaraan. Sepeninggalan nabi, kedudukan beliau digantikan dengan abubakar yang hasil kesepakatan tokoh-tokoh para sahabat,selanjutnya disebut “khalifah” . sistem “khalifah” ini berlangsung hingga kepemimpinan berada dikekuasaan khalifah terakhir, ali “karrama allahu wajhahu”. Sistem pemerintahan selepas ali mengambil bentuk kerajaan, meskipun raja-raja yang menjadi para penguasa menyatakan dirinya sebagai khalifah.
Dalam sistem kerajaan khalifah bukan dipilih secara demokratis melainkan diangkat secara turun-temurun. Sistem kerajaan ini berlangsung hinggah abad ke-17 saat turki usmani mulai mengalami kekalahan dari bangsa Eropa. Akhir abad ke -17 hampir semua negara islam masuk dalam penjajahan barat. Lama penjajahan disatu negara dengan negara lainnya tidak sama. Awal abad ke-19 negara-negara islam mulai melapaskan diri satu-persatu dari kolonialisme barat. Dan dalam waktu yang bersamaan muncullah nasionalisme-nasionalisme. Sistem pemerintahan bagi negara yang baru melepaskan diri dari kolonialisme berbeda-beda. Ada yang muncul mengambil bentuk kerajaan, keemira, kesultanan, dan ada juga yang muncul dengan bentuk presidensial kabinet atau parlementer kabinet.
Menurut harun nasution, khalifah (pemerintah) yang timbul sesudah wafatnya nabi muhammad, tidak mempunyai bentuk kerajan tapi lebih dekat merupakan republik, dalam arti kepalah negara dipilih dan tidak mempunyai sifat turun temurun.
Secara pragamatis menerima penggabungan dalam arti menganggap tidak ada perbedaan prinsipil antara sistem khalifa allah dan sistem kerajaan, dan selanjutnya ia menyatakan : kekhilafahan maupun kerajaan adalah khilafah allah diantara manusia.
B. ASAS-ASAS POLITIK ISLAM
• HAKIMIYAAH ILAHIYYAH
Hakimiyyah atau memberikan kuasa pengadilan dan kedaulatan hukum tertinggi dalam sistem politik Islam hanyalah hak mutlak Allah. Hakimiyyah Ilahiyyah membawa arti bahwa terasutama kepada sistem politik Islam ialah tauhid kepada Allah di segi Rububiyyahdan Uluhiyyah.
• RISALAH
Risalah bererti bahawa kerasulan beberapa orang lelaki di kalangan manusia sejak Nabi Adam hingga kepada Nabi Muhammad saw adalah suatu asas yang penting dalam sistem politik Islam. Melalui landasan risalah inilah maka para rasul mewakili kekuasaan tertinggi Allah dalam bidang perundangan dalam kehidupan manusia. Para rasul meyampaikan, mentafsir dan menterjemahkan segala wahyu Allah dengan ucapan dan perbuatan.
• KHILAFAH
Khilafah bererti perwakilan. Kedudukan manusia di atas muka bumi ini adalah sebagai wakil Allah. Oleh itu, dengan kekuasaan yang telah diamanahkan ini, maka manusia hendaklah melaksanakan undang-undang Allah dalam batas yang ditetapkan. Di atas landasan ini, maka manusia bukanlah penguasa atau pemilik tetapi hanyalah khalifah atau wakil Allah yang menjadi Pemilik yang sebenar.
C. NILAI-NILAI DASAR SISTEM POLITIK DALAM AL-QUR’AN
Al-Qur’an sebagai sumber ajaran utama dan pertama agama Islam mengandung ajaran tentang nilai-nilai dasar yang harus diaplikasikan dan di implementasikan dalam pengembangan sistem politik Islam. Nilai-nilai dasar tersebut adalah :
a) Keharusan mewujudkan persatuan dan kesatuan umat.
“Sesungguhnya (agama Tauhid) ini, adalah agama kamu semua, agama yang satu, dan Aku adalah Tuhanmu, Maka bertakwalah kepada-Ku.
(Q.S. al-Mukminun: 52)”.
b) Kemestian bemusyawarah dalam menyelesaikan masalah-masalah ijtihadiyah.
“Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka. (QS Asy Syura : 38)”.
c) Keharusan menunaikan amanat dan menetapkan hukum secara adil.
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha Melihat.( Q.S. an-Nisa: 58)”.
d) Kemestian mentaati Allah dan Rasulullah serta Ulil Amri (pemegang kekuasaan).
"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunahnya) jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.(Q.S. An-Nisa: 59)”.
e) Keniscayaan mendamaikan konflik antar kelompok dalam masyarakat Islam.
“Dan jika dua golongan daripada orang Mukmin berperang, maka damaikanlah antara kedua-duanya. Maka jika salah satu daripada kedua-duanya berbuat aniaya terhadap yang lain, maka perangilah yang berbuat aniaya itu sehingga kembali kepada perintah Allah. Maka jika telah kembali, damaikanlah antara kedua-duanya dengan adil.Dan hendaklah berlaku adil, sesungguhnya Allah menyukai orang yang berlaku adil”.Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya.(Q.S. al-Hujurat:9)”.
f) Keharusan mempertahankan kedaulatan Negara dan larangan melakukan agresi dan invasi.
“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kalian, (tetapi) janganlah kalian melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak mencintai orang-orang yang melampaui batas.(Q.S. al-Baqarah: 190)”.
g) Kemestian mementingkan perdamaian daripada permusuhan.
“Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya dan bertawakkallah kepada Allah.Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.(QS. Al-Anfal 8:61)”.
h) Kemestian meningkatkan kewaspadaan dalam bidang pertahanan dan keamanan.
“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah, musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya.Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan).(Q.S. al-Anfal: 60)”.
i) Keharusan menepati janji.
“Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah (mu) itu, sesudah meneguhkannya, sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap sumpah-sumpah itu).Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.(Q.S. an-Nahl:91)”.
j) Keharusan mengutamakan perdamaian bangsa-bangsa.
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu.Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.(Q.S. al-Hujurat: 13)”
k) Kemestian peredaran harta pada seluruh lapisan masyarakat
“Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, untuk Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah.Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.(Q.S. al-Hasyr: 7)”.
l) keharusan mengikuti prinsip-prinsip pelaksanaan hukum dalam hal:
 Menyedikitkan beban (taqlil al-takalif)
 Berangsur-angsur (al-tadaruj)
 Tidak menyulitkan (adam al-haraj)
D. PRISIP HUKUM ANTAR NEGARA ATAU HUKUM INTERNASIONAL
Nabi Muhammad SAW diutus untuk menyampaikan ajaran Allah kepada seluruh umat manusia tanpa dibatasi oleh wilayah, perbedaan ras dan warna kulit, bahasa dan perbedaan-perbedaan lainnya. Setiap orang di penjuru dunia manapun yang beriman kepada Allah dalam arti menempatkan al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah sebagai acuan, paradigma hidupnya, maka orang tersebut adalah umat Nabi Muhammad SAW. Begitu juga negara manapun yang melandaskan sistem perundang-undangannya berdasarkan al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Muhammad SAW, maka negara tersebut adalah negara Islam. Namun dalam kenyataannya kita juga saling berhubungan dengan negara lain yang harus di jalin dengan baik dan benar, jadi diperlukan adanya prinsip-prinsip politik luar negeri dalam Islam.
Hukum Islam, di samping mengatur soal-soal agama, juga mengatur persoalan kemasyarakatan. Maksudnya, hukum Islam, di samping sebagai dasar-dasar peribadatan, berfungsi pula sebagai dasar-dasar hukum dan akhlak yang mengatur hubungan antara sesama manusia.Bahkan, hukum Islam bukan hanya meletakkan dasar hubungan dalam arti yang sempit, tetapi mencakup segala aspek hidup dan kehidupan yang ada.
Hukum Islam menjunjung tinggi huquq al-insaniyyah tanpa mengenal diskriminasi agama, warna kulit, dan kebangsaan.Selain itu, hukum Islam juga mengakui hak milik pribadi, namun melarang menumpuk kekayaan, merampas, dan eksploitasi. Dengan kata lain, hukum Islam mengakui hak milik perorangan, tetapi kepentingan sosial tidak boleh diabaikan.
Dalam sikap yang lebih luas, hukum Islam menyuruh agar seluruh umat manusia yang berlainan asal dan kebangsaan, warna kulit dan agamanya, menegakkan persaudaraan kemanusiaan secara menyeluruh, sehingga hubungan manusiawi benar-benar terwujud dalam kehidupan umat manusia.
Itulah sebabnya sehingga hukum Islam mengatur hubungan antara bangsa dan negara, baik di waktu damai maupun di waktu perang.Bahkan, sampai pada mendirikan badan Internasional yang bertugas untuk menyelesaikan pertikaian yang terjadi di antara mereka. Apabila ada bangsa dan negara yang tidak mau tunduk, maka dengan kekuatan badan itu dapat memaksa menyelesaikan pertikaian-pertikaian yang terjadi, demi tegaknya kebenaran dan terjaminnya keadilan.
Pada garis besar objek pembahasan islam meliputi:
a. Dusturiyah atau Siasah Hukum Tata Negara
Membahas hubungan pemimpin dengan rakyatnya serta industri-industri yang ada di negara itu sesuai dengan kebutuhan rakyat untuk kemaslahatan dan pemenuhan kebutuhan rakyat itu sendiri, yang biasanya meliputi :
• Persoalan imamah, hak dan kewajibannya.
• Persoalan rakyat, status, hak, dan kewajiban.
• Persoalan ba’iat.
• Persoalan Waliyatul Ahdi.
• Persoalan perwakilan.
• Persoalan ahlu al-halli wa al-aqdi.
• Wizarah dan pembagiannya.
b. Siasah Dauliyah atau Hukum Internasional dalam Islam.
Dalam ajaran islam, siasah dauliyah (hubungan internasional) dalam islam berdasarkan pada :
1. Kesatuan umat manusia
2. Keadilan (al-‘adalah)
3. Persamaan (al-musa’awa’hukum)
4. Kehormatan manusia (karomah insyaniyyah
5. Toleransi (al-tasa’muh)
6. Kerja sama kemanusiaan
7. Kebebasan, kemerdekaan (al-hurriyyah)
• Kebebasan berfikir
• Kebebasan beragama
• Kebebasan menyatakan pendapat
• Kebebasan menuntut ilmu
• Kebebasan memiliki harta benda
8. Prilaku moral yang baik (al-akhlak al-karimah)
Pembahasan siasah dauliyah dalam islam berorientasi pada permasalahan berikut:
1) Damai adalah asas hubungan Internasional
2) Memperlakukan tawanan perang secara manusiawi.
3) Kewajiban suatu negara terhadap negara lain.
4) Perjanjian-perjanjian Internasional. Dan syarat-syarat mengikuti perjanjian antara lain:
a. Yang melakukan perjanjian memiliki kewenangan.
b. Memiliki kerelaan.
c. Isi perjanjian dan objeknya tidak dilarang oleh agama Islam.
d. Perjanjian penting harus ditulis.
e. Saling memberi dan menerima (take and give).
5) Perjanjian ada yang selamanya (mu’abbad) dan sementara (mu’aqqat).
6) Perjanjian terbuka dan tertutup.
7) Mentaati perjanjian dan
8) siasah dauliyah dan orang asing.
Secara khusus siasah dauliyah membahas hubungan internasional dan berkaisar pada persoalan berikut:
1. Sebab-sebab terjadinya perang
a. perang dalam islam untuk mempertahankan diri
b. perang dalam rangka dakwah
Perang dianggap legal apabila terjadi karena
• mempertahankan diri dari serangan musuh
• perang melindungi hak negara yang syah yang dilanggar oleh suatu negara lainnya tanpa sebab yang diterima
2. aturan perang dalam siasah dauliyyah
a. dilarang membunuh anak dan wanita
b. dilarang membunuh yang sudah tua apabila ia tidak ikut perang
c. tidak merusak pepohonantidak membunuh hewan ternak
d. dilarang menghancurkan rumah ibadah semua agama
e. bersikap sabar, ikhlas dan berani dalam melakukan peperangan
f. tidak melampaui batas
c. Siasah Maaliyyah.
Hukum yang mengatur tentang pemasukan pengelolaan dan pengeluaran uang milik negara
Yang menjadi pembahasan dalam siasah maaliyyah adalah sekitar:
• Prinsip-prinsip kepemilikan harta.
• Tanggung jawab sosial yang kokoh.
• Zakat, zakat hasil bumi (emas dan perak), ternak dan zakat fitrah.
• Harta karun.
• Kharaj (pajak bumi)
.khataj yaitu punggutan yang dikenakan pada tanah-tanah yang dukuasai oleh kaum muslimin
• Harta peninggalan dari orang yang tidak meninggalkan ahli waris.
• Harta Jizyah
Yaitu punggutan yang diambil dari ahli dzimah pada akhir tahun yang negerinya ditaklukkan melalui perang
• Ganimah dan fa’i
Ganimah (sesuatu yang diperoleh seseorang melalui usaha atau secara paksa kepada kaum kafir harbi)
Fa’i (kekayaan yang dimiliki orang-orang kafir namun dimiliki kaum muslimin tanpa adanya perang)
• Bea cukai barang import.
• Eksploitasi Sumber Daya Alam yang berwawasan lingkungan
KONSEP ZAKAT DAN PEMBERDAYAAN EKONOMI DALAM MASYARAKAT ISLAM
KONSEP ZAKAT DAN PEMBERDAYAAN EKONOMI DALAM MASYARAKAT ISLAM
Zakat sangat urgen untuk dikaji kembali sebagai salah satu potensi dana umat yan sangat besar guna memecahkan berbagai masalah sosial yang terjadi salama ini, terutama menyangkut kemiskinan dan kesenjangan sosial di masyarakat.
A. PENDAHULUAN
Masalah zakat ini adalah masalah klasik yang selalu menjadi impian setiap orang muslim untuk mewujudkan keadilan sosial bagi kelompok miskin dan lemah. Namun dalam kerangka teoritis, zakat dapat menjelma menjadi suatu alur pemikiran yang mewujudkan kesejahteraan sosial. Walaupun pada sisi empirisnya, zakat hanyalah angan-angan yang tak pernah terwujud untuk mensejahterakan masyarakat. Hal ini dalam ajaran Plato yang dapat dipetik beberapa kesimpulan yang diantaranya adalah : Bahwa di dunia ini ada kecenderungan siklus hidup, segala sesuatunya tidak abadi.
Kaitannya dengan zakat dalam persepektif ekonomi adalah suatu potensi yang selama ini dilaksanakan oleh masyarakat, sejak masuknya agama Islam. Tetapi sangatlah dipertanyakan bahwa potensi zakat sebagai sarana distribusi pendapatan dan pemeratanaan ekonomi, serta sarana berbuat kebajikan bagi kepentingan masyarakat belumlah dikelola dan didayagunakan secara maksimal dalam ruang lingkup daerah. Pada hal jika potensi zakat ini dikelola dengan baik tentu akan dapat membawa dampak besar dalam kehidupan ekonomi masyarakat, terutama dalam upaya mengentaskan kemiskinan.
B. KONSEP EKONOMI ISLAM
Sebagai sebuah agama, Islam senantiasa memberikan pijakan dan tuntutan yang jelas dan mengikat kepada umatnya. Islam secara universal mengarahkan bagaimana umatnya mampu memadukan dalam dirinya kesadaran trasendental
dalam bentuk peribadatan kepada Allah SWT dan bagaimana ia mampu mengimplementasikan kesadaran sosial dalam bentuk aktualisasi ajaran pokok Islam dalam kehidupan sehari-hari. Entah itu masalah agama, pendidikan, ekonomi dan lain sebagainya.
Dalam memberikan batasan atau defenisi tentang ekonomi, lebih khusus ekonomi Islam, terdapat perbedaan pendapat dikalangan para sarjana dalam mengkategorikan ekonomi Islam, baik sebagai ilmu atau sebagai sistem. Sebelum mendefinisikan ilmu ekonomi Islam, kita harus memahami terlebih dahulu pengertian ekonomi secara populer dikalangan ahli ekonomi konvensional, karena istilah ekonomi itu sendiri adalah suatu hal baru dalam Islam, walaupun substansi kajian ekonomi sudah ada dan sudah teraplikasi dalam ajaran Islam.
C. PANDANGAN BEBERAPA AHLI TENTANG EKONOMI ISLAM
Menurut Fuad Fachruddin dan Heri Sudarsono, dalam Al-Qur’an ekonomi Islam diidentifikasikan dengan iqtishad yang artinya umat yang pertengahan atau bisa diartikan menggunakan rezeki yang ada disekitar kita dengan cara berhemat agar kita menjadi manusia-manusia yang baik dan tidak merusak nikmat apapun yang diberikan kepadanya. Dari sini bisa dinyatakan bahwa nama ekonomi Islam bukan nama buku dalam terminologi Islam, tidak ada peraturan atau undang- undang yang menyatakan harus bernama ekonomi Islam. Sehingga saja bisa orang mengatakan “ekonomi illahinya”, “ekonomi syariah”, “ekonomi qur’ani” ataupun hanya “ekonomi” saja. Nama ekonomi Islam lebih populer dikarenakan masyarakat lebih mudah mengidentifikasi nama Islam dimana nama tersebut lebih “familiar” dengan masalah sehari-hari.
Nama ekonomi Islam dipengaruhi oleh penafsiran kita terhadap praktek ekonomi Islam yang kita temukan. Bila pengalaman ekonomi Islam berkaitan dengan aturan-aturan tentang perintah dan larangan saja, maka nama makna ekonomi Islam lebih banyak berkaitan norma. Hal ini akan membangun pengertian bahwa ekonomi Islam sebagai ilmu normatif.
Bila pengalaman yang kita temukan banyak berkaitan tentang persoalan aktual, misalnya praktek bank dan lembaga keuangan syariah dan sebagainya maka menghasilkan makna nama ekonomi Islam yang berbeda.
Adapun secara terminologi, menurut Abdullah Abdul Husain At-Tariqi para pakar ekonomi Islam mendefinisikan “ekonomi Islam” dengan sedikit berbeda, antara lain :
a. Dr. Muhammad Bin Abdullah At Arobi mendefinisikan bawah ekonomi Islam adalah kumpulan prinsip-prinsip umum tentang ekonomi yang kita ambil dari Al-Qur’an, Sunnah, dan pondasi ekonomi yang kita bangun atas dasar-dasar pokok itu dengan mempertimbangkan kondisi lingkungan dan waktu.
b. Dr. Muhammad Syauki Al-Fanjari mendefinisikan bahwa ekonomi Islam adalah segala sesuatu yang mengendalikan dan mengatur aktivitas ekonomi sesuai dengan pokok Islam dan politik ekonominya.
c. Dengan posisinya yang merupakan cabang dari ilmu fiqih, maka kami mendefinisikan bahwa : ekonomi Islam adalah ilmu tentang hukum-hukum syariat apliktip yang diambil dari dalil-dalilnya yang terperinci tentang persoalan yang terkait dengan mencari, membelanjakan, dan cara-cara mengembangkan harga.
Abdullah Abdul Husain At-Tariqi menjelaskan ekonomi Islam bukan merupakan bagian ilmu tentang keyakinan, namun umumnya merupakan asumsi- asumsi, karena posisinya yang menjadi bagian dari hasil pengambilan dalil-dalil umum tentang ekonomi, hadis-hadis ahad standar perkiraan atau sejenisnya. Walaupun begitu, perkiraan ini haruslah diamalkan sebagaimana dalil yang qat’I. pengamalannya juga dikategorikan sebagai ilmu.
Mengenai bahan ekonomi Islam sebagai ilmu, Arkhom Khan sebagaimana yang dikutip oleh Heri Sudarsono dalam bukunya Konsep Ekonomi Islam menjelaskan, ekonomi Islam berarti juga metode mengakomodasi berbagai faktor ekonomi dengan melibatkan seluruh manusia yang mempunyai potensi yang berbeda guna melibatkan sumberdaya ekonomi yang ada di bumi. Ilmu ekonomi memustakan studi tentang kesejahteraan manusia yang dicapai dengan mengorganisasikan sumber daya atas dasar kerjasama dan partisipasi.
Pengembangan ekonomi Islam adalah upaya untuk meningkatkan kesejahteraan umat. Langkah ini oleh beberapa ahli ilmu ke-Islaman ditempuh melalui upaya pemantapan dan pemberdayaan masyarakat melalui reaktualisasi fungsi zakat.
Pada prinsipnya para ahli / ulama Islam melihat ekonomi Islam tidak hanya berfungsi sebagai sebuah ritual sosial serta bagaimana mengatur manusia dalam mencapai kesejahteraan bersama tetapi juga sebagai sebuah ilmu. Ilmu menurut kami sebagaimana yang dijelaskan oleh Muhammad adalah pengetahuan yang tersusun secara logis dan sistematis serta telah teruji kebenarannya. Dan dalam Islam, menurut ilmu adalah kewajiban baik bagi laki-laki maupun perempuan.
D. PRINSIP DASAR SISTEM EKONOMI ISLAM
Tidak dapat dipungkiri oleh siapapun yang dapat berfikir jernih dan logis, bahwa Islam merupakan sistem hidup. Sebagai suatu pedoman hidup, ajaran Islam yang terdiri atas aturan-aturan mencakup keseluruhan sisi kehidupan manusia. Secara garis besar aturan-aturan tersebut dibagi dalam tiga bagian, yaitu : aqidah, akhlak dan syari’ah yang terdiri atas bidang muamalah (sosial), dan bidang ibadah (ritual).
Menurut KH Abdullah Zaky Al-Koap prinsip pokok ekonomi Islam terbagi atas lima hal penting, yaitu :
1. Kewajiban berusaha
Islam tidak mengizinkan umatnya menjauhkan diri dari pencaharian kehidupan dan hidup hanya dari pemberian orang. Tidak ada dalam masyarakat Islam, orang-orang yang sifatnya non-produktif (tidak menghasilkan) dan hidup secara parasit yang menyandarkan nasibnya kepada orang lain.
2. Membasmi pengangguran
Kewajiban setiap individu adalah bekerja, sedangkan negara diwajibkan menjalankan usaha membasmi pengangguran. Tidak boleh ada pengangguran.
3. Mengakui hak milik
Berbeda dengan paham komunis, Islam senantiasa mengakui hak milik perseorangan berdasarkan pada tenaga dan pekerjaan, baik dari hasil sendiri ataupun yang diterimanya sebagai harta warisan. Selain dari keduanya tidak boleh diambil dari hak miliknya kecuali atas keridhaan pemiliknya sendiri.
4. Kesejahteraan agama dan sosial
Menundukkan ekonomi dibawah hukum kepentingan masyarakat merupakan suatu prinsip yang sangat penting masa kini. Prinsip ini ditengok oleh Islam dengan suatu instruksi dari Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW. sebagai kepala Negara Islam. Yang diantaranya adalah kewajiban untuk mengambil zakat kepada kaum muslimin.
5. Beriman kepada Allah SWT
Pokok pendirian terakhir ialah soal ketuhanan. Mengimankan ketuhanan dalam ekonomi berarti kemakmuran yang diwujudkan tidak boleh dilepaskan dari keyakinan kutuhanan. Sewajarnya urusan ekonomi jangan melalaikan kewajiban kepada Allah SWT, harus menimbulkan cinta kepada Allah SWT, menafkahkan harta untuk meninggikan syi’ar Islam dan mengorbankan harta untuk berjihad dijalan Allah SWt,
E. PENGERTIAN ZAKAT
Secara etimologi (bahasa) kata zakat merupakan kata dasar (masdar) dari (ïº“ïºŽï»œïº°ï» ïº ) . Zakat yang berarti berkah, tumbuh, bersih dan baik. Sesuatu itu zaka, berarti tumbuh dan berkembang, dan seseorang itu zaka, berarti orang itu baik, ditinjau dari sudut bahasa, adalah suci, tumbuh, berkah, dan terpuji : semua digunakan dalam qur’an dan hadis. Kata dasar zakat berarti bertambah dan tumbuh, sehingga bisa dikatakan, tanaman itu zaka, artinya tumbuh, sedang setiap sesuatu yang bertambah disebut zaka artinya bertambah. Bila satu tanaman tumbuh tanpa cacat, maka kata zakat disini berarti bersih.
Dalam terminologi fikih, zakat berarti sejumlah harta tertentu yang diwajibkan Allah diserahkan kepada orang-orang yang berhak, disamping berarti mengeluarkan sejumlah itu sendiri demikian Qardhawi mengutip pendapat Zamakhsari. Jumlah yang dikeluarkan dari kekayaan itu disebut zakat karena yang dikeluarkan itu menambah banyak, membuat lebih berarti, dan melindungi kekayaan itu dari kebinasaan. Sedangkan menurut terminology syariat, zakat adalah nama bagi sejumlah harta tertentu yang telah mencapai syariat tertentu yang diwajibkan oleh Allah untuk dikeluarkan dan diberikan kepada yang berhak menerimanya dengan persyaratan tertentu pula.
Hubungan antara pengertian zakat menurut bahasa dan pengertian menurut istilah sangat nyata dan erat kekali. Bahwa harta yang dikeluarkan zakatnya akan menjdi berkah, tumbuh, berkembang dan bertambah suci dan bersih (baik).
F. PANDANGAN BEBERAPA ULAMA TENTANG ZAKAT
Para ulama fiqih, memiliki pemahaman yang sangat beragam tentang masalah zakat. Diantaranya adalah sebagaimana dibawah ini :
Menurut Didin Hafidhuddin zakat secara termologi adalah mengeluarkan sebagian harta dengan persyaratan tertentu untuk diberikan kepada kelompok tertentu (mustahik) dengan syarat-syarat tertentu pula.
Wahbah Zuhaili dalam karyanya Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu sebagaimana yang dikutip oleh Suyitno dalam buku Anatomi Fiqih Zakat mendefinisikan zakat dari sudut empat Imam Mazhab, yaitu :
1) Madzhab Maliki, zakat adalah mengeluarkan sebagian yang tertentu dari harta yang tertentu pula yang sudah mencapai nishab (batas jumlah yang mewajibkan zakat) kepada orang yang berhak menerimanya, manakalah kepemilikan itu penuh dan sudah mencapai haul (setahun) selain barang tambang dan pertanian;
2) Madzhab Hanafi berpandangan bahwa zakat adalah menjadikan kadar tertentu dari harta tertentu pula sebagai hak milik yang sudah ditentukan oleh pembuat syari’at semata-mata karena Allah SWT;
3) Menurut Madzhab Syafi’i, zakat adalah nama untuk kadar yang dikeluarkan dari harta atau benda dengan cara-cara tertentu.
4) Madzhab Hambali memberikan definisi zakat sebagai hak (kadar tertentu) yang diwajibkan untuk dikeluarkan dari harta tertentu untuk golongan yang tertentu dalam waktu yang tertentu pula.
5) Dalam Kifayatul Akhyar dijelaskan nama bagi sejumlah harta tertentu yang telah mencapai syarat tertentu yang diwajibkan oleh Allah untuk dikeluarkan dan diberi kepada yang berhak menerimanya dengan persyaratan tertentu pula.
6) Menurut Al-Syarkoni seperti yang dikutip oleh Hasbi Ash Shiddieqy, mengatakan bahwa zakat adalah memberikan sebagian harta yang cukup nisab kepada orang fakir dan sebagainya yang tidak berhalangan secara syara’.
Secara umum, dapat dipahami bahwa zakat adalah penyerahan atau penunaian hak dan kewajiban yang terdapat dalam harta untuk diberikan kepada orang-orang yang berhak menerimanya sebagaimana yang terdapat dalam surat At-Taubah ayat 60.
Hukum dan Viktimologi
A. Viktimologi
Viktimologi adalah ilmu yang mempelajari tentang korban (victim = korban) termasuk hubungan antara korban dan pelaku, serta interaksi antara korban dan sistem peradilan - yaitu, polisi, pengadilan, dan hubungan antara pihak-pihak yang terkait - serta didalamnya juga menyangkut hubungan korban dengan kelompok-kelompok sosial lainnya dan institusi lain seperti media, kalangan bisnis, dan gerakan sosial.
Viktimologi juga membahas peranan dan kedudukan korban dalam suatu tindakan kejahatan di masyarakat, serta bagaimana reaksi masyarakat terhadap korban kejahatan. Proses dimana seseorang menjadi korban kejahatan disebut dengan "viktimisasi".
Didalam Buku Masalah Korban kejahatan karangan Arif Gosita diberikan penjelasan mengenai arti Viktimologi, dalam buku tersebut menyebutkan bahwa “Viktimologi adalah suatu pengetahuan ilmiah/studi yang mempelajari viktimisasi (criminal) sebagai suatu permasalahan manusia yang merupakan suatu kenyataan social.” Viktimologi berasal dari kata Latin victima yang berarti korban dan logos yang berarti pengetahuan ilmiah atau studi.
B. Sejarah Perkembangan Viktimologi
Pada awal perkembangannya, viktimologi baru mendapat perhatian dari kalangan ilmuwan terhadap persoalan korban dimulai pada saat Hans von Hentig pada Tahun 1941 menulis sebuah makalah yang berjudul “Remark on the interaction of perpetrator and victim.” Tujuh Tahun kemudian beliau menerbitkan buku yang berjudul The Criminal and his victim yang menyatakan bahwa korban mempunyai peranan yang menyatakan bahwa korban mempunyai peranan yang menentukan dalam timbulnya kejahatan.
Pada Tahun 1947 atau setahun sebelum buku von Hentig terbit, Mendelsohn menulis sebuah makalah dengan judul “New bio-psycho-sosial horizons: Victimology.” Pada saat inilah istilah victimology pertama kali digunakan. Setelah itu para sarjan-sarjana lain mulai melakukan studi tentang hubungan psikologis antara penjahat dengan korban, bersama H. Mainheim, Schafser, dan Fiseler. Setelah itu pada Tahun 1949 W.H. Nagel juga melakukan pengamatan mengenai viktimologi yang dituangkan dalam tulisannya dengan judul “de Criminaliteit van Oss, Gronigen.”, dan pada Tahun 1959 P.Cornil dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa si korban patut mendapatkan perhatian yang lebih besar dari kriminologi dan viktimologi.
Pada Tahun 1977 didirikanlah World Society of Victimology. World Society of Victimology (WSV) dipelopori oleh Schneider dan Drapkin. Perubahan terbesar dari perkembangan pembentukan prinsip-prinsip dasar tentang perlindungan korban terwujud pada saat diadakannya kongres di Milan, pada tanggal 26 Agustus 1985 yang menghasilkan beberapa prinsip dasar tentang korban kejahatan dan penyalahgunaan kekuasaan yang selanjutnya diadopsi oleh Perserikatan Bangsa-Bansa pada tanggal 11 Desember 1985 dalam suatu deklarasi yang dinamakan Decleration of Basic Principle of Justice for Victims of Crime and Abuse Power.
C. Tujuan, Fungsi dan Manfaat Viktimologi
1. Tujuan Viktimologi
a. Menganalisis berbagai aspek yang berkaitan dengan korban;
b. Berusaha untuk memberikan penjelasan sebab musabab terjadinya viktimisasi;
c. Mengembangkan system tindakan guna mengurangi penderitaan manusia
2. Fungsi Viktimologi
Viktimologi mempunyai fungsi untuk mempelajari sejauh mana peran dari seorang korban dalam terjadinya tindak pidana, serta bagaimana perlindungan yang harus diberikan oleh pemeritah terhadap seseorang yang telah menjadi korban kejahatan. Disini dapat terlihat bahwa korban sebenarnya juga berperan dalam terjadinya tindak pidana pencurian, walaupun peran korban disini bersifat pasif tapi korban juga memiliki andil yang fungsional dalam terjadinya kejahatan.
Pada kenyataanya dapat dikatakan bahwa tidak mungkin timbul suatu kejahatan kalau tidak ada si korban kejahatan, yang merupakan peserta utama dan si penjahat atau pelaku dalam hal terjadinya suatu kejahatan dan hal pemenuhan kepentingan si pelaku yang berakibat pada penderitaan si korban. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa korban mempunyai tanggung jawab fungsional dalam terjadinya kejahatan
3. Manfaat Viktimologi
Arif Gosita merumuskan beberapa manfaat dari studi mengenai korban antara lain:
a. Viktimologi mempelajari hakikat siapa itu korban dan yang menimbulkan korban, apa artinya viktimisasi dan proses viktimisasi bagi mereka yang terlibat dalam proses viktimisasi. Akibat dari pemahaman itu, maka akan diciptakan pengertian-pengertian, etiologi kriminal dan konsepsi-konsepsi mengenai usaha-usaha yang preventif, represif dan tindak lanjut dalam menghadapi dan menanggulangi permasalahan viktimisasi kriminal di berbagai bidang kehidupan dan penghidupan;
b. Viktimologi memberikan sumbangan dalam mengerti lebih baik tentang korban akibat tindakan manusia yang menimbulkan penderitaan mental, fisik dan sosial. Tujuannya, tidaklah untuk menyanjung (eulogize) korban, tetapi hanya untuk memberikan beberapa penjelasan mengenai kedudukan dan peran korban serta hubungannya dengan pihak pelaku serta pihak lain. Kejelasan ini sangat penting dalam upaya pencegahan terhadap berbagai macam viktimisasi, demi menegakkan keadilan dan meningkatkan kesejahteraan mereka yang terlihat langsung atau tidak langsung dalam eksistensi suatu viktimisasi.
c. Viktimologi memberikan keyakinan, bahwa setiap individu mempunyai hak dan kewajiban untuk mengetahui mengenai bahaya yang dihadapinya berkaitan dengan kehidupan, pekerjaan mereka. Terutama dalam bidang penyuluhan dan pembinaan untuk tidak menjadi korban struktural atau non struktural. Tujuannya, bukan untuk menakut-nakuti, tetapi untuk memberikan pengetian yang baik dan agar waspada. Mengusahakan keamanan atau hidup aman seseorang meliputi pengetahuan yang seluas-luasnya mengenai bagaimana menghadapi bahaya dan juga bagaimana menghindarinya.
d. Viktimologi juga memperhatikan permasalahan viktimisasi yang tidak langsung, misalnya: efek politik pada penduduk “dunia ketiga” akibat penyuapan oleh suatu korporasi internasional, akibat-akibat sosial pada setiap orang akibat polusi industri, terjadinya viktimisasi ekonomi, politik dan sosial setiap kali seorang pejabat menyalahgunakan jabatan dalam pemerintahan untuk keuntungan sendiri. Dengan demikian dimungkinkan menentukan asal mula viktimisasi, mencari sarana menghadapi suatu kasus, mengetahui terlebih dahulu kasus-kasus (antisipasi), mengatasi akibat-akibat merusak, dan mencegah pelanggaran, kejahatan lebih lanjut (diagnosa viktimologis);
e. Viktimologi memberikan dasar pemikiran untuk masalah penyelesaian viktimisasi kriminal, pendapat-pendapat viktimologi dipergunakan dalam keputusan-keputusan peradilan kriminal dan reaksi pengadilan terhadap pelaku kriminal. Mempelajari korban dari dan dalam proses peradilan kriminal, merupakan juga studi mengenai hak dan kewajiban asasi manusia.
Lebih spesifik lagi Dikdik M. Mansur dan Elisatris Gultom memberikan gambaran manfaat bagi pihak penegak hukum, sebagai berikut :
Bagi aparat kepolisian, viktimologi sangat membantu dalam upaya penanggulangan kejahatan. Melalui viktimologi akan mudah diketahui latar belakang yang mendorong terjadinya kejahatan, seberapa besar peranan korban pada terjadinya kejahatan, bagaimana modus operandi yang biasanya dilakukan oleh pelaku dalam menjalankan aksinya serta aspek aspek lainnya yang terkait.
Bagi Kejaksaan, khususnya dalam proses penuntutan perkara pidana di pengadilan, viktimologi dapat dipergunakan sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan berat ringannya tuntutan yang akan diajukan kepada terdakwa, mengingat dalam praktiknya sering dijumpai korban kejahatan turut menjadi pemicu terjadinya kejahatan.
Bagi hakim tidak hanya menempatkan korban sebagai saksi dalam persidangan suatu perkara pidana, tetapi juga turut memahami kepentingan dan penderitaan korban akibat dari sebuah kejahatan atau tindak pidana, sehingga apa yang menjadi harapan dari korban terhadap pelaku sedikit banyak dapat terkonkritisasi dalam putusan hakim.
D. Ruang Lingkup Viktimologi
Viktimologi meneliti topic-topik tentang korban, seperti: peranan korban pada terjadinya tindak pidana, hubungan antara pelaku dengan korban, rentannya posisi korban dan peranan korban dalam system peradilan pidana. Selain itu, menurut Muladi viktimologi merupakan studi yang bertujuan untuk :
a. Menganalisis berbagai aspek yang berkaitan dengan korba;
b. Berusaha untuk memberikan penjelasan sebab musabab terjadinya viktimisasi;
c. Mengembangkan system tindakan guna mengurangi penderitaan manusia.
Menurut J.E. sahetapy ruang lingkup viktimologi “meliputi bagaimana seseorang (dapat) menjadi korban yang ditentukan oleh victim yang tidak selalu berhubungan dengan masalah kejahatan, termasuk pula korban kecelakaan, dan bencana alam selain dari korban kejahatan dan penyalahgunaan kekuasaan”.
E. Macam-macam tipologi korban
Menurut M.E. Wolfgang, tipologi korban meliputi:
1. Viktimisasi Primer
2. Viktimisasi Sekunder
3. Viktimisasi Tersier
4. Viktimisasi Mutual
5. Tidak ada Viktimisasi
Berdasarkan peran E.A. Fattah (1967) merumuskan tipologi berdasarkan peran korban:
1. Korban tidak ikut berpartisipasi
2. Korban berperan secara tidak langsung
3. Korban sebagai provokator
4. Korban terlibat dalam kejahatan
5. Korban dianggap sebagai sasaran yang keliru
Selain itu, B. Mendelsohn merumuskan tipologi berdasarkan tingkat kesalahan korban:
1. Korban yang benar-benar tidak bersalah
2. Koban memiliki sedikit kesalahan akibat ketidaktahuan
3. Kesalahan korban sama dengan pelaku
4. Korban lebih bersalah dari pelaku
5. Korban sendiri yang memiliki kesalahan/paling bersalah
6. Korban imajinatif
F. Hubungan Kriminologi dan Viktimologi
Adanya hubungan antara kriminologi dan viktimologi sudah tidak dapat diragukan lagi, karena dari satu sisi Kriminologi membahas secara luas mengenai pelaku dari suatu kejahatan, sedangkan viktimologi disini merupakan ilmu yang mempelajari tentang korban dari suatu kejahatan. Seperti yang dibahas dalam buku Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan, karangan Dikdik M.Arief Mansur . Jika ditelaah lebih dalam, tidak berlebihan apabila dikatakan bahwa viktimologi merupakan bagian yang hilang dari kriminologi atau dengan kalimat lain, viktimologi akan membahas bagian-bagian yang tidak tercakup dalam kajian kriminologi. Banyak dikatakan bahwa viktimologi lahir karena munculnya desakan perlunya masalah korban dibahas secara tersendiri.
Akan tetapi, mengenai pentingnya dibentuk Viktimilogi secara terpisah dari ilmu kriminologi mengundang beberapa pendapat, yaitu sebagai berikut :
1. Mereka yang berpendapat bahwa viktimologi tidak terpisahkan dari kriminologi, diantaranya adalah Von Hentig, H. Mannheim dan Paul Cornil. Mereka mengatakan bahwa kriminologi merupakan ilmu pengetahuan yang menganalisis tentang kejahatan dengan segala aspeknya, termasuk korban. Dengan demikian, melalui penelitiannya, kriminologi akan dapat membantu menjelaskan peranan korban dalam kejahatan dan berbagai persoalan yang melingkupinya.
2. Mereka yang menginginkan viktimologi terpisah dari kriminologi, diantaranya adalah Mendelsohn. Ia mengatakan bahwa viktimologi merupakan suatu cabang ilmu yang mempunyai teori dalam kriminologi, tetapi dalam membahas persoalan korban, viktimologi juga tidak dapat hanya terfokus pada korban itu sendiri.
Khusus mengenai hubungan antara kriminologi dan hukum pidana dikatakan bahwa keduanya merupakan pasangan atau dwi tunggal yang saling melengkapi karena orang akan mengerti dengan baik tentang penggunaan hukum terhadap penjahat maupun pengertian mengenai timbulnya kejahatan dan cara-cara pemberantasannya sehingga memudahkan penentuan adanya kejahatan dan pelaku kejahatannya. Hukum pidana hanya mempelajari delik sebagai suatu pelanggaran hukum, sedangkan untuk mempelajari bahwa delik merupakan perbuatan manusia sebagai suatu gejala social adalah kriminologi.
J.E Sahetapy juga berpendapat bahwa kriminologi dan viktimologi merupakan sisi dari mata uang yang saling berkaitan. Perhatian akan kejahatan yang ada tidak seharusnya hanya berputar sekitar munculnya kejahatan akan tetapi juga akibat dari kejahatan, karena dari sini akan terlihat perhatian bergeser tidak hanya kepada pelaku kejahatan tetapi juga kepada posisi korban dari kejahatan itu. Hal ini juga dibahas oleh pakar hukum lainnya dalam memperhatikan adanya hubungan ini, atau setidaknya perhatian atas terjadinya kejahatan tidak hanya dari satu sudut pandang, apabila ada orang menjadi korban kejahatan, jelas terjadi suatu kejahatan, atau ada korban ada kejahatan dan ada kejahatan ada korban. Jadi kalau ingin menguraikan dan mencegah kejahatan harus memperhatikan dan memahami korban suatu kejahatan, akan tetapi kebiasaan orang hanya cenderung memperhatikan pihak pelaku kejahatan.
G. Hubungan Viktimologi dan KUHAP :
Pada hakikatnya KUHAP mengatur kehidupan manusia, manusia pada dasarnya sama harkat dan martabatnya, kebersamaan maunsia dalam suatu masyarakat. Pencitraan terhadap manusia yang demikian mendorong KUHAP untuk memperjuangkan hak dan kewajibannya khususnya dlm pelaksanaan ganti rugi demi perlakuan adil dan mengembangkan kesejahteraan khususnya kel marginal/lemah.
Pengamatan terpadu:
Perlunya pengamtan secara terpadu ( makro integral disamping diamati secara klinis untuk mendapatkan gambaran secara proporsional dan dimensional. o/k itu wajib dilakukan pen gamatan dan pemahaman fenomena yang relevan dgn eksistensi perbuatan tersebut. Hal tersebut diimplementasikan dalam pemenuhan ganti rugi.
H. Tentang Korban
1. Pengertian Korban
Berbagai pengertian korban banyak dikemukakan baik oleh ahli maupun bersumber dari konvensi-konvensi internasional yang membahas mengenai korban kejahatan, sebagian diantaranya sebagai berikut .
Menurut Arief Gosita, korban adalah mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri dan orang lain yang bertentangan dengan kepentingan hak asasi pihak yang dirugikan.
Didalam Undang-Undang No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.
“Korban adalah orang yang mengalami kekerasan dan/ atau ancaman kekerasan dalam lingkup rumah tangga.”
Sedangkan menurut Deklerasi PBB dalam The Decleration of Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse Power 1985.
Victims means person who, individually or collectively, have suffered harm, including physical or mental injury, emotional suffering, economic loss or substansial impairment of their fundamental rights, through acts or omissions that are in violation of criminal laws operative within member states, including those laws proscribing criminal abuse power.
Dengan mengacu pada pengertian-pengertian korban di atas, dapat dilihat bahwa korban pada dasarnya tidak hanya orang perorangan atau kelompok yang secara langsung menderita akibat dari perbuatan-perbuatan yang menimbulkan kerugian/penderitaan bagi diri/kelompoknya, bahkan, lebih luas lagi termasuk didalamnya keluarga dekat atau tanggungan langsung dari korban dan orang-orang yang mengalami kerugian ketika membantu korban mengatasi penderitaannya atau untuk mencegah viktimisasi.
2. Hak dan Kewajiban Korban
a. Hak-Hak Korban
Setiap hari masyarakat banyak memperoleh informasi tentang berbagai peristiwa kejahatan, baik yang diperoleh dari berbagai media massa maupun cetak maupun elektronik. Peristiwa-peristiwa kejahatan tersebut tidak sedikit menimbulkan bebagai penderitaan/kerugian bagi korban dan juga keluarganya.
Guna memberikan rasa aman dan nyaman bagi masyarakat dalam beraktivitas, tentunya kejahatan-kejahatan ini perlu ditanggulngi baik melalui pendekatan yang sifatnya preventif maupun represif, dan semuanya harus ditangani secara professional serta oleh suatu lembaga yang berkompeten.
Berkaitan dengan korban kejahatan, perlu dibentuk suatu lembaga yang khusus menanganinya. Namun, pertama-tama perlu disampaikan terlebih dahulu suatu informasi yang memadai hak-hak apa saja yang dimiliki oleh korban dan keluarganya, apabila dikemudian hari mengalami kerugian atau penderitaan sebagai akibat dari kejahatan yang menimpa dirinya.
Hak merupakan sesuatu yang bersifat pilihan ( optional ) artinya bisa diterima oleh pelaku bisa juga tidak, tergantung kondisi yang mempengaruhi korban baik yang sifatnya internal maupun eksternal
Tidak jarang ditemukan seseorang yang mengalami penderitan (fisik, mental, atau materill) akibat suatu tindak pidana yang menimpa dirinya, tidak mempergunakan hak-hak yang seharusnya dia terima karena berbagai alasan, misalnya perasaan sakit dikemudian hari masyarakat menjadi tahu kejadian yang menimpa dirinya (karena kejadian ini merupakan aib bagi dirinya maupun keluarganya) sehingga lebih baik korban menyembunyikannya, atau korban menolak untuk mengajukan gati kerugian karena dikhawatikan prosesnya akan menjadi semakin panjang dan berlarut-larut yang dapat berakibat pada timbulnya penderitaan yang berkepanjangan.
Sekalipun demikian, tidak sedikit korban atau keluarganya mempergunakan hak-hak yang telah disediakan. Ada beberapa hak umum yang disediakan bagi korban atau keluarga korban kejahatan, meliputi :
1) Hak untuk memperoleh ganti kerugian atas penderitaan yang dialaminya. Pemberian ganti kerugian ini dapat diberikan oleh pelaku atau pihak lainnya, seperti Negara atau lembaga khusu yang dibetuk untuk menangani masalah ganti kerugian korban kejahtan;
2) Hak untuk memperoleh pembinaan dan rehabilitasi;
3) Hak untuk memperoleh perlindungan dari ancaman pelaku;
4) Hak untuk memperoleh bantuan hukum;
5) Hak untuk memperoleh kembali hak (harta) miliknya;
6) Hak untuk memperoleh akses atas pelayanan medis;
7) Hak untuk diberitahu bila pelaku kejahatan akan dikeluarkan dari tahanan sementara, atau bila pelaku buron dari tahanan;
8) Hak untuk memperoleh informasi tentang penyidikan polisi berkaitan dnegan kejahatan yang menimpa korban;
9) Hak atas kebebasan pribadi/kerahasiaan pribadi, seperti merahasiaakan nomor telepon atau identitas korban lainnya.
Berdasarkan Pasal 10 dari Undang-Undang No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT), korban berhak mendapatkan :
1) Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga social, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan ;
2) Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis;
3) Penanganan secara khusu berkaitan dengan kerahasiaan korban;
4) Pendampingan oleh pekerja social dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
5) Pelayanan bimbingan rohani.
Didalam Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa No.40/A/Res/34 Tahun 1985 juga telah menetapkan beberapa hak korban (saksi) agar lebih mudah memperoleh akses keadilan, khususnya dalam proses peradilan, yaitu :
1) Compassion, respect and recognition;
2) Receive information and explanation about the progress of case;
3) Provide information;
4) Providing propef assistance;
5) Protection of privacy and physical safety;
6) Restitution and compensation;
7) To access to the mechanism of justice system.
b. Kewajiban Korban
Sekalipun hak-hak korban telah tersedia secara memadai, mulai dari hak atas bantuan keuangan (financial) hingga hak atas pelayanan medis dan bantuan hukum, tidak berarti kewajiban dari korban kejahatan diabaikan eksistensinya karena melalui peran korban dan keluarganya diharapkan penaggulangan kejahatan dapat dicapai secara signifikan.
Untuk itu ada beberapa kewajiban umum dari korban kejahatan, antara lain :
1. Kewajiban untuk tidak melakukan upaya main hakim sendiri/balas dendam terhadap pelaku (tindakan pembalasan);
2. Kewajiban untuk mengupayakan pencegahan dari kemungkinan terulangnya tindak pidana;
3. Kewajiban untuk memberikan informasi yang memadai mengenai terjadinya kejahatan kepada pihak yang berwenang;
4. Kewajiban untuk tidak mengajukan tuntutan yang terlalu berlebihan kepada pelaku;
5. Kewajiban untuk menjadi saksi atas suatu kejahatan yang menimpa dirinya, sepanjang tidak membahayakan bagi keluarga dan keluarganya;
6. Kewajiban untuk membantu berbagai pihak yang berkepentingan dalam uapaya pnanggulangan kejahata;
7. Kewajiban untuk bersedia dibina atau membina diri sendiri untuk tidak menjadi korban lagi
hukum laut internasional
A. Pengertian
Hukum Laut Internasional adalah kaidah-kaidah hukum yang mengatur hak dan kewenangan suatu negara atas kawasan laut yang berada dibawah yurisdiksi nasionalnya (national jurisdiction).
Sejarah Hukum Laut Internasional
Lahirnya konsepsi hukum laut internasional tersebut tidak dapat dilepaskan dari sejarah pertumbuhan hukum laut internasional yang mengenal pertarungan antara dua konsepsi, yaitu :
a. Res Communis, yang menyatakan bahwa laut itu adalah milik bersama masyarakat dunia, dan karena itu tidak dapat diambil atau dimiliki oleh masing-masing negara;
b. Res Nulius, yang menyatakan bahwa laut tidak yang memiliki, dan karena itu dapat diambil dan dimiliki oleh masing-masing negara.
Pertumbuhan dan perkembangan kedua doktrin tersebut diawali dengan sejarah panjang mengenai penguasaan laut oleh Imperium Roma.
Kenyataan bahwa Imperium Roma menguasai tepi Lautan Tengah dan karenanya menguasai seluruh lautan tengah secara mutlak. Dengan demikian menimbulkan suatu keadaan di mana lautan tengah menjadi lautan yang bebas dari gangguan bajak-bajak laut, sehingga semua orang dapat mempergunakan lautan tengah dengan aman dan sejahtera yang dijamin oleh pihak Imperium Roma. Pemikiran umum bangsa Romawi trhadap laut didasarkan atas doktrin res communis omnium ( hak bersama seluruh umat manusia), yang memandang penggunaan laut bebas atau terbuka bagi setiap orang. Asas res communis omnium di samping untuk kepentingan pelayaran, menjadi dasar pula untuk kebebasan menangkap ikan.
Bertitik tolak dari perkembangan doktrin res communius omnium tersebut diatas, tamapk bahwa embrio kebebasan laut lepas sebagai prinsip kebebasan di laut lepas telah diletakkan jauh sejak lahirnya masyarakat bangsa-bangsa. Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa doktrin ini dalam sejarah hukum laut internasional pada masa-masa berikutnya.
Di sisi lain, dalam melaksanakan kekuasaannya di laut, banyak tanda-tanda yang menunjukkan bahwa dalam pandangan orang Romawi laut itu dapat dimiliki, di mana dalam zaman itu hak penduduk pantai untuk menangkap ikan di perairan dekat pantainya telah diakui. Pemilikan suatu kerajaan dan negara atas laut yang berdekatan dengan pantainya didasrkan atas konsepsi res nelius
Menurut konsepsi res nelius , laut bisa dimiliki apabila yang berhasrat memilikinya bisa menguasai dan mendudukinya. Pendudukan ini dalam hukum perdata romawi dikenal sebagai konsepsi okupasi (occupation). Keadaan yang dilakukiskan di atas berakhir dengan runtuhnya Imperium Romawi dan munculnya pelbagai kerajaan dan negara di sekitar lautan Tengah yang masing-masing merdeka dan berdiri sendiri yang satu lepas dari yang lain. Walaupun penguasaan mutlak Lautan Tengah oleh Imperium Romawi sendiri telah berakhir, akan tetapi pemilikan lautan oleh negara-negara dan kerajaan tetap menggunakan asas-asas hukum Romawi.
Berdasarkan uraian diatas, jelas kiranya bahwa bagi siapa pun yang mengikuti perkembangan teori perkembangan hukum internasional, asas- asas hukum Romawi yang disebutkan diatas memang mengilhami lahirnya pemikiran hukum laut internasional yang berkembang dikemudian hari.
Daptlah dikatakan bahwa kedua konsepsi hukum laut Romawi itu merupakan hukum laut internasional tradisional yang menjadi embrio bagi dua pembagian laut yang klasik, laut teritorial dan laut lepas.
Dalam konteks kedaulatan negara atas laut, pertumbuhan dan perkembangan hukum laut internasional setelah runtuhnya Imperium Romawi diawali degan munculnya tuntutan sejumlah negara atau kerajaan atas sebagian laut yang berbatasan dengan pantainya berdasarkan alasan yang bermacam-macam. Misalnya, Venetia mengklaim sebagian besar dari laut Adriatik, suatu tuntutan yang diakui oleh Paus Alexander III pada tahun 1177. Berdasarkan kekuasaanya atas laut Adriatik ini, Venetia memungut bea terhadap setiap kapal yang berlayar di sana. Genoa juga mengklaim kekuasaan atas Laut Liguria dan sekitarnya serta melakukan tindakan-tindakan untuk melaksanakannya. Hal yang sama dilakukan oleh Pisa yang mengklaim dan melakukan tindakan-tindakan atas Laut Thyrrhenia. Kekuasaan yang dilaksanakan oleh negara-negara atau kerajaan-kerajaan tersebut dengan laut yang berbatasan dengan pantainya dilakukan dengan tujuan yang di zaman sekarang barangkali dapat disebut kepentingan: (karantina); (2) bea cukai; (3) pertahanan dan netralitas
Dalam pertumbuhan hukum laut internasional berikutnya, sejarah perkembangan hukum laut internasional telah mencatat sutu peristiwa penting, yaitu pengakuan Paus Alexander VI pada tahun 1493 atas tuntutan Spanyol dan Portugal, yang membagi samudera di dunia untuk kedua negara itu dengan batasnya garis meridian 100 leagues (kira-kira 400 mil laut) sebelah barat Azores. Sebelah barat dari meridian tersebut (yang mencakup Samudera Atlantik barat, Teluk Mexico dan Samudera Pasifik) menjadi milik Spanyol, sedangkan sebelah timurnya (yang mencakup Samudra Atlantik sebelah selatan Marokko dan Samudera India) menjadi milik Potugal . Pembagian Paus Alexander VI tersebut diatas kemudian diperkuat oleh Perjanjian Todesillas antara Spanyol dan Portugal pada tahun 1494, tetapi dengan memindahkan garis perbatasannya menjadi 370 leagues sebelah barat pulau-pulau Cape Verde di pantai barat Afrika. Sedangkan negara-negara lain, seperti Denmark telah pula menuntut Laut Baltik dan Laut Utara antar Norwegia dan Iceland, dan Inggris telah menuntut pula laut di sekitar kepulauan Inggris (Mare Anglicanum) sebagai milik masing-masing.
Pembagian dua laut dan Samedera di dunia untuk Spanyol dan Portugal dengan menuntup laut-laut tertentu bagi pelayaran internasional, merupakan awal dari era penjajahan kedua kerajaan tersebut di Amerika Selatan.
Perkembangan selanjutnya memperlihatkan bahwa ternyata pembagian dua laut dan samudera, serta klaim keempat kerajaan di Eropa Barat mengenai konsepsi laut tertutup (mare clausum) mendapat tantangan dari belanda yang memperjuangkan asas kebebasan berlayar (freedom of navigation) yang didasarkan atas pendirian bahwa lautan itu bebas untuk dilayari oleh siapapun. Belanda yang diwakili oleh Hugo Grotius (selanjutnya disebut Grotius), yaitu bapak Hukum Laut Internasional yang memperjuangkan asas kebebasan lautdengan cara yang paling gigih walaupun bangsa Inggris dengan Ratu Elisabeth- nya lebih dikenal sebagai perintis asas kebebasan laut ini. Perjuangan armada-armada Belanda dan Inggris melawan armada-armada Spanyol dan Portugal di lautan akhirnya manjadi asas kebebasab pelayaran ini menjadi suatu kenyataan. Perkembangan penting dalam hukum laut internasional yang perlu dicatat adalah pertarungan antara penganut doktrin laut bebas (mare liberium) dan laut tertutup (mare clausum)
Doktrin laut bebas (lepas) yang diwakili oleh Grotius, didasarkan pada teori mengenai lautan bahwa pemilikan, termasuk atas laut hanya bisa terjadi melalui pessession ini hanya bisa terjadi melalui okupasi, dan okupasi hanya bisa terjadi atas barang-barang yang dapat dipegah teguh. Untuk dapat dipegang teguh maka barang-barang tersebut harus ada batasnya.Laut adalah sesuatu yang mempunyai batas, sehingga laut tidak dapat di okupasi sebab ia cair dan tidak terbatas. Barang cair hanya bisa dimiliki dengan memasukkanya ke dalam sesuatu yang lebih padat. Dengan demikian, maka tuntutan atas laut yang didasarkan pada penemuan, penguasaan tidaklah dapat diterima karena semua itu bukanlah alasan utuk memperoleh pemilikan atas laut. Meskipun demikian Grotius mengakui bahwa anak-anak laut dan sungai-sungai, sekalipun cair, dapat dimiliki karena ada batas -batas nya di mana tepinya dapat dianggap sebagai sesuatu yang lebih padat.
Prinsip kebebasan laut yang dikemukakan oleh Grotius dalam bukunya Mare Liberium, di bidang pelayaran telah digunakan oleh Belanda untuk menerobos masuk ke Samudra India dalam usahanya memperluas perdagangan ke Nusantara. Peristiwa ini membuka jalan bagi Belanda untuk menguasai dan menjajah Indonesia selama tiga ratus lima puluh tahun. Oleh karena itu, sama hal nya dengan penguasaan negara atas laut yang dilakukan oleh Spanyol dan Portugal, Belanda juga mempunyai agenda dan tujuan politik untuk menguasai negara-negara lainya, khususnya Indonesia.
B. Garis Pangkal
Garis pangkal merupakan titik” air terendah yang penetapanya disesuaikan dengan cara penarikan garis” pangkal tersebut.
1. Garis pangkal biasa yaitu garis air terendah sepanjang pantai pada waktu air sedang surut, yang mengikuti liku/morfologi pantai pada mulut sungai teluk yang lebar mulutnya tidak lebih dari 24 mil dan pelabuhan garis air terendah tersebut dapatditarik sebagai suatu garis lurus.
syaratnya:
- mulut sungai
-teluk yang lebar tidak lebih mulutnya dari 24 mil
-pelabuhan
2. Garis pangkal lurus yaitu garis air terendah yang menghunungkan titik” pangkal berupa titik terluar dari pantai gugusan pulau didepannya
syaaratnya dari negara:
- garis pantai yang menikung jauh kedalam
- ada daratan /gugusan pula yang ada didekatnya
- ada delta
- kondisi alam lainnya yang menyebabkan garis pantai tidak tetap
- adanya kepentingan ekonomi khusus bagi negara tersebut
Garis pangkal lurus :
- tidak boleh menyimpang terlalu jauh dari umum suatu pantai
- tidak boleh ditarik dari evaluasi surut.
3. Garis pangkal lurus kepulauan yaitu garis” air terendah yang menghubungkan titik” terluar pada pulau /karang kering yang terluar dari wilayah negara tersebut.
syaratnya:
- harus meliputi pulau utama suatu negara
- perbandingan luas /wilayah air/daratan harus berkisar 1 banding 1 sampai 1 banding 4
C. Perairan Pedalaman
Dalam pasal 8 ayat (1) United Nations Conventions on the Law of the Sea (UNCLOS 1982) disebutkan bahwa yang dinamakan Perairan Pedalaman adalah perairan pada sisi darat garis pangkal laut teritorial. Pasal tersebut selengkapnya berbunyi, “perairan pada sisi darat garis pangkal laut territorial merupakan bagian perairan pedalaman negara tersebut”. Sedangkan dalam pasal 3 (4) UU No. 6 Tahun 1996 Tentang Perairan Indonesia disebutkan bahwa, “Perairan Pedalaman Indonesia adalah semua perairan yang terletak pada sisi darat dari garis air rendah dari pantai-pantai Indonesia, termasuk kedalamnya semua bagian dari perairan yang terletak pada sisi darat dari suatu garis penutup sebagaimana dimaksud dalam pasal 7. Perairan Pedalaman Indonesia terdiri atas: laut pedalaman, dan perairan darat.
Selanjutnya, laut pedalaman menurut pengertian undang-undang ini adalah bagian laut yang terletak pada sisi darat dari garis penutup, pada sisi laut dan gari air rendah. Sedangkan Perairan Darat adalah segala perairan yang terletak pada sisa darat dari garis air rendah, kecuali pada mulut sungai perairan darat adalah segala perairan yang terletak pada sisi darat dari garis penutup mulut sungai.
Perincian dari Perairan Indonesia berdasarkan ketentuan-ketentuan dari UU No. 4/Prp tahun 1960 (sekarang UU No. 6 Tahun 1996),hukum
laut secara tradisional mengadakan pembagian laut atas laut lepas, laut wilayah dan perairan pedalaman. Di laut lepas, terdapat rezim kebebasan berlayar bagi semua kapal, dilaut wilayah berlaku rezim lintas damai bagi kapal-kapal asing dan diperairan pedalaman hak lintas damai ini tidak ada. Sedangkan bagi Indonesia, karena adanya bagian-bagian laut lepas atau laut wilayah yang menjadi laut pedalaman karena penarikan garis dasar lurus dari ujung ke ujung, pembagian perairan Indonesai agak sedikit berbeda dengan negara-negara lain. Sesuai dengan UU No. 4 /Perp Tahun 1960 tersebut, perairan Indonesia terdiri dari laut wilayah dan perairan Pedalaman. Perairan pedalaman ini dibagi pula atas laut pedalaman dan perairan daratan.
Mengenai hak lintas damai di laut wilayah, tidak ada persoalan karena telah merupakan suatu ketentuan yang telah diterima dan dijamin oleh hukum internasional. Dilaut wilayah perairan Indonesia, kapal semua negara baik berpantai atau tidak berpantai, menikmati hak lintas damai melalui laut teritorial (pasal 17 konvensi). Selanjutnya, Indonesia membedakan perairan pedalaman (perairan kepulauan atas dua golongan), yaitu:
1. Perairan pedalaman yang sebelum berlakunya Undang-Undang No. 4/Prp Tahun 1960 merupakan laut wilayah atau laut bebas. Perairan
pedalaman ini disebut laut pedalaman atau internal seas.
2. Perairan pedalaman yang sebelum berlakunya UU No. 4/Prp Tahun 1960 ini merupakan laut pedalaman yang dahulu, selanjutnya dinamakan perairan daratan atau coastal waters.
Di laut pedalaman ini, pemerintah Indonesia menjamin hak lintas damai kapal-kapal asing. Sebagaimana kita ketahui, laut pedalaman ini dulunya adalah bagian-bagian laut lepas atau laut wilayah dan sudah sewajarnya kita berikan hak lintas damai kepada kapal-kapal asing. Ketentuan yang juga dinyatakan oleh Konvensi Jenewa, dan yang ditegaskan pula oleh pasal 8 Konvensi 1982. Di perairan daratan tidak ada hak lintas damai. Ini adalah suatu hal yang wajar karena kedekatannya dengan pantai seperti anak-anak laut, muara-muara sungai, teluk-teluk yang mulutnya kurang dari 24 mil, pelabuhan-pelabuhan, dan lain-lainnya.Sebagai tambahan, pemerintah Indonesia pada tahun 1985 telah meratifikasi UNCLOS III/1982 ini dengan mengeluarkan UU No 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on the Law of the Sea yang ketiga.
D. Laut Territorial
Laut teritorial atau perairan teritorial (bahasa Inggris: Territorial sea) adalah wilayah kedaulatan suatu negara pantai selain wilayah daratan dan perairan pedalamannya; sedangkan bagi suatu negara kepulauan seperti Indonesia, Jepang, dan Filipina, laut teritorial meliputi pula suatu jalur laut yang berbatasan dengannya perairan kepulauannya dinamakan perairan internal termasuk dalam laut teritorial pengertian kedaulatan ini meliputi ruang udara di atas laut teritorial serta dasar laut dan tanah di bawahnya dan, kedaulatan atas laut teritorial dilaksanakan dengan menurut ketentuan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (United Nations Convention on the Law of the Sea) lebar sabuk perairan pesisir ini dapat diperpanjang paling banyak dua belas mil laut (22,224 km) dari garis dasar (baseline-sea).
wilayah laut dengan batas 12 mil dari titik ujung terluar pulau-pulau di Indonesia pada saat pasang surut ke arah laut. Perlu kalian tahu, bahwa jarak antara satu negara dengan negara lain ada yang tidak terlalu jauh. Bagaimanakah bila dua negara menguasai satu laut yang lebarnya tidak sampai 24 mil? Bila hal itu terjadi maka wilayah laut teritorial ditentukan atas kesepakatan dua negara yang bersangkutan. Batas laut teritorialnya ditentukan dengan garis di tengah-tengah wilayah laut kedua negara yang bersangkutan.
Pulau yang ada di wilayah Indonesia berjumlah lebih dari 17.500 pulau baik yang besar maupun yang kecil. Dengan banyaknya jumlah pulau menyebabkan Indonesia memiliki garis pantai yang panjang. Panjang garis pantai di Indonesia sejauh 81.000 km dan merupakan salah satu garis pantai yang terpanjang di dunia. Adanya garis pantai yang panjang akan menguntungkan bagi negara itu, sebab kekayaan yang terkandung di dalamnya menjadi hak milik negara. Oleh karena itu, batas-batas wilayah laut di Indonesia harus diakui oleh dunia internasional.
E. Selat
Selat adalah sebuah wilayah perairan yang relatif sempit yang menghubungkan dua bagian perairan yang lebih besar, dan karenanya pula biasanya terletak di antara dua permukaan daratan. Selat buatan disebut terusan atau kanal. Selat disebut juga Laut Sempit di antara dua daratan.
Daftar selat di Indonesia
· Selat Alas
· Selat Alor
· Selat Badung
· Selat Bali
· Selat Bangka
· Selat Berhala
· Selat Batahai
· Selat Benggala
· Selat Gaspar
· Selat Lamakera
· Selat Lintah
· Selat Lombok
· Selat Lowotobi
· Selat Madura
· Selat Makassar
· Selat Mola
· Selat Ombai
· Selat Panaitan
· Selat Pantar
· Selat Rote
· Selat Sape
· Selat Selayar
· Selat Singapura
· Selat Solor
· Selat Sumba
· Selat Sunda
F. Kepulauan
Kepulauan adalah rantai atau gugus kumpulan dari pulau-pulau, kepulauan yang terbentuk tektonik. Kata kepulauan berasal dari Yunani ἄρχι- - arkhi- ("kepala") dan πÎλαγος - pelagos ("laut") yang berasal dari rekonstruksi linguistik bahasa Yunani abad pertengahan á¼€ρχιπÎλαγος tepatnya nama untuk Laut Aegea dan, kemudian, dalam penggunaan bergeser untuk merujuk pada Kepulauan Aegean atau merujuk pada jumlah kumpulan yang besar pulau-pulau. Sekarang digunakan secara umum yang mengacu pada setiap kelompok besar pulau seperti yang tersebar pada Laut Aegea.
Daftar pulau di Indonesia
Tahun 1972, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) memublikasikan sebanyak 6.127 nama pulau-pulau di Indonesia. Pada tahun 1987 Pusat Survei dan Pemetaan ABRI (Pussurta ABRI) menyatakan bahwa jumlah pulau di Indonesia adalah sebanyak 17.508, di mana 5.707 di antaranya telah memiliki nama, termasuk 337 nama pulau di sungai. Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal), pada tahun 1992 menerbitkan Gazetteer Nama-nama Pulau dan Kepulauan Indonesia yang mencatat sebanyak 6.489 pulau bernama, termasuk 374 nama pulau di sungai. Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), Pada tahun 2002 berdasarkan hasil kajian citra satelit menyatakan bahwa jumlah pulau di Indonesia adalah sebanyak 18.306 buah.
Data Departemen Dalam Negeri berdasarkan laporan dari para gubernur dan bupati/wali kota, pada tahun 2004 menyatakan bahwa 7.870 pulau yang bernama, sedangkan 9.634 pulau tak bernama. Dari sekian banyaknya pulau-pulau di Indonesia, yang berpenghuni hanya sekitar 6.000 pulau. Di bawah ini disajikan pulau-pulau utama Indonesia:
Aceh
Sumatera Utara
Sumatera Barat
Riau
Kep Riau
Bengkulu
Sumatera Selatan
Lampung
Kep. Bangka Belitung
Jambi
Banten
Jakarta
Jawa Barat
Jawa Tengah
Yogyakarta
Jawa Timur
Kalimantan Barat
Kalimantan Tengah
Kalimantan UtaraRed pog.svg
Kalimantan Timur
Kalimantan Selatan
Sulawesi Barat
Sulawesi Tengah
Gorontalo
Sulawesi Utara
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tenggara
Bali
Nusa Tenggara Barat
Nusa Tenggara Timur
Maluku Utara
Maluku
Papua
Papua Barat
G. Zona Tambahan
Menurut J.G Starke, zona tambahan adalah suatu jalur perairan yang berdekatan dengan batas jalur maritim atau laut teritorial, tidak termasuk kedaulatan negara pantai, tetapi dalam zona tersebut negara pantai dapat melaksanakan hak-hak pengawasan tertentu untuk mencegah pelaggaran peraturan perundang-undangan saniter, bea cukai, fiskal, pajak dan imigrasi di wilayah laut teritorialnya. Sepanjang 12 mil atau tidak melebihi 24 mil dari garis pangkal.
Zona tambahan didalam pasal 24 (1) UNCLOS III dinyatakan bahwa suatu zona dalam laut lepas yang bersambungan dengan laut teritorial negara pantai tersebut dapat melaksanakan pengawasannya yang dibutuhkan untuk:
1. Mencegah pelanggaran-pelanggaran perundang-undangannya yang berkenaan dengan masalah bea cukai (customs), perpajakan (fiskal), keimigrasian (imigration), dan kesehatan atau saniter.
2. Menghukum pelanggaran-pelanggaran atau peraturan-peraturan perundang-undangannya tersebut di atas.
Didalam ayat 2 ditegaskan tentang lebar maksimum dari zona tambahan tidak boleh melampaui dari 12 mil laut diukur dari garis pangkal. Hal ini berarti bahwa zona tambahan itu hanya mempunyai arti bagi negara-negara yang mempunyai lebar laut teritorial kurang dari 12 mil laut (ini menurut konvensi Hukum Laut Jenewa 1958), dan sudah tidak berlaku lagi setelah adanya ketentuan baru dalam Konvensi Hukum Laut 1982. Menurut pasal 33 ayat 2 Konvensi Hukum Laut 1982, zona tambahan itu tidak boleh melebihi 24 mil laut, dari garis pangkal dari mana lebar laut teritorial itu diukur. Berikut ini beberapa hal guna memperjelas tentang letak zona tambahan itu:
- Pertama, Tempat atau garis dari mana lebar jalur tambahan itu harus diukur, tempat atau garis itu adalah g aris pangkal.
- Kedua, Lebar zona tambahan itu tidak boleh melebihi 24 mil laut, diukur dari garis pangkal.
- Ketiga, Oleh karena zona laut selebar 12 mil laut diukur dari garis pangkal adalah merupakan laut teritorial, maka secara praktis lebar zona
tambahan itu adalah 12 mil (24-12) mil laut, itu diukur dari garis atau batas luar laut territorial, dengan kata lain zona tambahan selalu terletak diluar dan berbatasan dengan laut teritorial.
- Keempat, Pada zona tambahan, negara pantai hanya memiliki yurisdiksi yang terbats seperti yang ditegaskan dalam pasal 33 ayat 1 Konvensi Hukla 1982. Hal ini tentu saja berbeda dengan laut teritorial dimana negara pantai di laut teritorial memiliki kedaulatan sepenuhnya dan hanya dibatasi oleh hak lintas damai.
Sampai saat ini Indonesia belum mengumumkan zona tambahannya maupun memiliki peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang penetapan batas terluar, maupun tentang penetapan garis batas pada zona tambahan yang tumpang tindih atau yang berbatasan dengan zona tambahan negara lain. Badan Pembinaan Hukum Nasional dari Departemen Kehakiman dan HAM pernah melakukan pengkajian dan menghasilkan suatu naskah akademik dan RUU tentang Zona Tambahan, namun sampai saat ini belum menjadi Undang-Undang.
Menurut ketentuan Pasal 47 ayat 8 dan 9 dari UNCLOS, garis-garis pangkal yang telah ditetapkan sesuai dengan ketentuan-ketentuan tersebut harus dicantumkan dalam peta atau peta-peta dengan skala atau skala-skala yang memadai untuk menegaskan posisinya. Sebagai gantinya dapat dibuat daftar koordinat geografis titik-titik yang secara jelas memerinci datum geodetik.
Wilayah laut Indonesia dibagi menjadi 3 bagian yakni laut teritorial sejauh 12 mil, Zona Tambahan sejauh 24 mil dan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) sejauh 200 mil, untuk melindungi hak berdaulat atas kekayaan dan yuridiksi yang dimiliki oleh Indonesia terhadap wilayah perairannya maka dibutuhkan suatu peraturan, dalam hal ini peraturan yang mengatur tentang Zona Tambahan, yang mana Indonesia mempunyai Yuridiksi pengawasan di Zona Tambahan untuk mencegah dan menindak pelanggaran Bea Cukai, Imigrasi, Fiskal dan saniter. Zona Tambahan Indonesia adalah perairan yang berdampingan dengan Laut Teritorial Indonesia yang dapat diukur selebar 24 mil laut dari Garis Pangkal Lurus Kepulauan.
Pendapat pakar hukum laut, Hasyim Djalal, mengenai Zona Tambahan (contiguous zone) adalah sepanjang yang berkaitan dengan batas contiguous zone, belum ada satupun batas yang ditetapkan dengan Negara-negara tetangga. Malah Indonesia sampai sekarang belum lagi mengundangkan ketentuannya mengenai zona ini. Walaupun seluruh Negara tetangga Indonesia telah mengundangkannya. Disinilah kelalaian Indonesia yang sangat menonjol. Karena itu sangat penting bagi Indonesia untuk menetapkan ketentuan perundang-undangan mengenai ketentuan contiguous zone ini dan kemudian merundingkan batas-batasnya dengan Negara-negara terkait, khususnya dengan Thailand, Malaysia, Philipina, dan Australia.
Beberapa alternatif penyusunan pengaturan hukum di Zona Tambahan, yakni alternatif pertama dibuatkan undang-undang tersendiri mengenai Zona Tambahan Indonesia, alternatif kedua menyempurnakan RUU tentang Kelautan dengan menambahkan pengaturan-pengaturan hukum tentang Zona Tambahan Indonesia, alternatif ketiga menyempurnakan Undang-undang Nomor 5 tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia dengan menambahkan pengaturan hukum tentang Zona Tambahan Indonesia, alternatif keempat menyempurnakan Undang-undang di bidang-bidang Kepabeanan (Bea Cukai), Imigrasi, Perpajakan (fiskal), saniter (kesehatan/karantina) dan cagar budaya, dengan menambahkan pengaturan hukum tentang Zona Tambahan Indonesia, dan alternatif yang kelima menyempurnakan Undang-undang nomor 6 tahun 1996 tentang perairan Indonesia dengan menambahkan pengaturan hukum tentang Zona Tambahan Indonesia.
Alternatif yang paling tepat adalah alternatif kelima yakni menyempurnakan Undang-undang nomor 6 tahun 1996 tentang Perairan Indonesia dengan menambahkan pengaturan hukum tentang Zona Tambahan Indonesia, dengan alasan judul pengaturan dalam UNCLOS 1982 adalah: “TERRITORIAL SEA AND CONTIGUOUS ZONE” maka lebih praktis menyempurnakan Undang-undang nomor 6 tahun 1996 tentang Perairan Indonesia dengan menambahkan pengaturan hukum tentang Zona Tambahan Indonesia. Konsep pengaturan hukum di Zona Tambahan Indonesia, yang dibagi kedalam 4 pasal, yaitu pasal 1 ayat (1) di zona yang berbatasan denga Laut Teritorial Indonesia, selanjutnya disebut Zona Tambahan Indonesia, Aparat Penegak Hukum yang berwenang, dapat melakukan pengawasan yang perlu untuk : a. Mencegah pelanggaran atas peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan, ke fiskalan, keimigrasian, dan kekarantinaan dalam wilayah darat atau wilayah perairan Indonesia, b. Menindak pelanggaran atas peraturan perundang-undangan tersebut dalam huruf a yang dilakukan di dalam wilayah atau laut teritorial Indonesia. Ayat (2) zona tambahan tidak dapat melebihi 24 mil laut diukur dari garis pangkal untuk mengatur lebar Laut Teritorial. Pasal 2 pengangkatan benda purbakala atau benda sejarah dari zona tambahan Indonesia hanya dapat dilakukan dengan ijin pemerintah. Pasal 3 ayat (1) dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 2, pengangkatan dan pemanfaatan kerangka kapal, benda berharga atau muatan kapal yang tenggelam (BMKT) dari zona tambahan, hanya dapat dilakukan dengan ijin pemerintah. Ayat (2) kerangka kapal atau barang berharga asal muatan kapal yang tenggelam sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1), yang dalam waktu 30 (tiga puluh) tahun setelah tenggelam tidak diangkat dari dasar laut, dianggap telah ditinggalkan oleh pemiliknya, dan oleh karena itu menjadi milik Negara. Pasal 4 berisi sanksi atas pelanggaran hukum yang berlaku di wilayah Negara Republik Indonesia berlaku terhadap pelanggaran hukum atas ketentuan-ketentuan di zona tambahan Indonesia.
Ada 2 hal yang belum diatur dan membutuhkan peraturan perundang-undangan yakni Zona Tambahan dan Landas Kontinen. Sebaiknya pengaturan hukum zona tambahan dimasukkan kedalam RUU Kelautan yang sedang berjalan di DPR, hal ini dimaksudkan agar pengaturan hukum zona tambahan dapat berjalan dengan menghemat waktu dan biaya, dibandingkan dengan harus membuat UU sendiri. Banyak pendapat lebih condong untuk memasukan pengaturan hukum zona tambahan kedalam UU ZEE atau RUU kelautan.
Sebagai kesimpulan, mengerucut kepada dua alternatif yakni menyempurnakan RUU Kelautan atau merevisi UU nomor 6 tahun 1996 tentang Perairan Indonesia.
Agar kesepakatan penentuan penambahan pengaturan hukum tentang Zona Tambahan Indonesia dari 2 alternatif terpilih (RUU Kelautan atau UU No.6 th. 1996 tentang Perairan Indonesia), perlu dicermati berdasarkan azas efektif dan efisien serta target yang harus dicapai pada akhir 2010, mengingat masih terjadinya perdebatan cukup “alot” dari kementerian dan Institusi terkait mengenai tindak lanjut RUU Kelautan. Selanjutnya, perlu juga di perhatikan peraturan2 yang sudah ada di seluruh kementerian atau lembaga serta institusi terkait agar tidak terjadi tumpang tindih, tidak bertentangan namun menambah kewenangan.
H. Landas kontine
Landas kontinen adalah suatu Negara berpantai meliputi dasar laut dan tanah di bawahnya yang terletak di laur laut teritorialnya sepanjang merupakan kelanjutan alamiah wilayah daratannya. Jaraknya 200 mil laut dari garis pangkal atau dapat lebih dari itu dengan tidak melebihi 350 mil, tidak boleh melebihi 100 mil dari garis batas kedalaman dasar laut sedalam 2500 mil.
Landas Kontinen (BLK) adalah daerah di bawah laut yang meliputi dasar laut dan tanah di bawahnya dari daerah dibawah permukaan laut yang terletak di luar laut teritorial sepanjang kelanjutan alamiah wilayah daratan hingga pinggiran laut tepi kontinen, sehingga suatu jarak 200 mil laut dari garis pangkal, dalam hal pinggiran luar tepi kontinen tidak mencapai jarak tersebut. Garis batas luar kondisi kontinen pada dasar laut, tidak boleh melebihi 350 mil laut dari garis pangkal atau tidak melebihi 100 mil laut dari garis kedalaman (isobath) 2500m, kecuali untuk elevasi dasar laut yang merupakan bagian alamiah tepian kontinen, seperti pelataran (plateau), tanjakan (rise), puncak (caps), ketinggian yang datar ( banks) dan puncak gunung yang bulat (spurs).
I. Zona Ekonomi Eklusif
Pada tanggal 21 Maret 1980 Indonesia mengumumkan ZEE. Batas Zona Ekonomi Eksklusif adalah wilayah laut Indonesia selebar 200 mil yang diukur dari garis pangkal laut wilayah Indonesia. Apabila ZEE suatu negara berhimpitan dengan ZEE negara lain maka penetapannya didasarkan kesepakatan antara kedua negara tersebut. Dengan adanya perundingan maka pembagian luas wilayah laut akan adil. Sebab dalam batas ZEE suatu negara berhak melakukan eksploitasi, eksplorasi, pengolahan, dan pelestarian sumber kekayaan alam yang berada di dalamnya baik di dasar laut maupun air laut di atasnya. Oleh karena itu, Indonesia bertanggung jawab untuk melestarikan dan melindungi sumber daya alam dari kerusakan.
J. Laut lepas
Berdasarkan pasal 86 konvensi PBB tentang hukum laut menyatakan bahwa laut lepas merupakan semua bagian dari laut yang tidak termasuk dalam zona ekonoi eksklusif, dalam laut teritorial atau dalam perairan pedalaman suatu negara, atau dalam perairan kepulauan suatu negara kepulauan. Jadi sesuai definisi ini laut lepas terletak di bagian luar zona ekonomi eksklusif.adapun prinsip hukum yang mengatur rezim dilaut lepas adalah prinisip kebebasan.. oleh karena itu pada dulunya negara-negara anglo-saxon menamai laut lepas itu open sea. Namun demikian prinsip kebebasan ini harus pula dilengkapi dengan tindakan-tindakn pengawasan, kerena kebebasan tanpa pengawasan dapat mengacau kebebasan itu sendiri.
Prisip kebebasan di laut lepas
Secara umum dan sesuai dengan pasal 87 konvensi, kebebasan dilaut lepas berarti bahwa laut lepas dapat digunakan oleh negara manapun. Menurut pasal 87 konvensi tersebut diatas kebebasan-kebebasan tersebut antara lain :
- kebebasan berlayar,
- kebebasan penerbangan,
- kebebasan untuk memasang kabel dan pipa bawah laut, dengan mematuhi ketentuanketentuan bab VI konvensi,
- kebebasan untuk membangun pulau buatan dan instalasi-instalasi lainnya yang diperbolehkan berdasarkan hukum internasional dengan tunduk kepada babVI,
- kebebasan menangkap ikan dengan tunduk pada persyaratan yang tercantum dalam sub bab II,
- kebebasan riset ilmiah, dengan tunduk pada bab VI dan bab XIII.
Kebebasan ini berarti juga bahwa tidak satupun negara yang dapat menundukkan kegiatan apapun di laut lepas di bawah kedaulatannya dan laut lepas hanya dapat digunakna untuk tujuan-tujuan damai sebagaimana yang telah ditetapkan dalam pasal-pasal 88 dan 89 konvensi.
Sekarang ini penggunaan laut lepas untuk keperluan khusus bersifat nasional seperti percobaan nuklir sering menimbulkan permasalahan dengan keseluruhan kebebasan laut lepas yang telah diakui oleh masyarakat dunia. Dibuatnya suatu parameter yang melarang navigasi kapal-kapal waktu pelaksanaan ujicoba nuklir misalnya mendapat tantangan dari banyak negara karena mengurangi kebebasan dilaut lepas. Kritikan terhadap penggunaan laut lepas untuk ujicoba nuklir tertsebut terutamadidasarkan atas ketentuan pasal 88 dalam konvensi yang menyatakan laut diperuntukan untuk tujuan-tujuan damai. Didirikannya suatu zona terlarang selama berlangsungnya ujicoba tentu saja bertentangan dengan prinsip kebebasan berlayar dan kebebasan terbang diatasnya. Sehubungan dengan ini banyak negara membuat konvensi yang mengharuskan perundang-undangan nasionalnya berisikan ketentuan untuk membayarkan ganti rugi pada negara-negara lain dalam peleksanaan kebebasan –kebebasan tertentu dilaut lepas.
Pengawasan di laut lepas
Pengawasan di laut lepas dirasakan perlu untuk menjamin kebebasan penggunaan laut. Pengawasan ini dilakukan oleh kapal-kapal perang. Pengawasan yang dilakukan di laut lepas tersebut dibagi atas dua bagian yaitu pengawasan umum dan pengawasan khusus.