hukum laut internasional

22 October 2015 22:46:01 Dibaca : 6874

A. Pengertian

Hukum Laut Internasional adalah kaidah-kaidah hukum yang mengatur hak dan kewenangan suatu negara atas kawasan laut yang berada dibawah yurisdiksi nasionalnya (national jurisdiction).

Sejarah Hukum Laut Internasional

Lahirnya konsepsi hukum laut internasional tersebut tidak dapat dilepaskan dari sejarah pertumbuhan hukum laut internasional yang mengenal pertarungan antara dua konsepsi, yaitu :

a. Res Communis, yang menyatakan bahwa laut itu adalah milik bersama masyarakat dunia, dan karena itu tidak dapat diambil atau dimiliki oleh masing-masing negara;

b. Res Nulius, yang menyatakan bahwa laut tidak yang memiliki, dan karena itu dapat diambil dan dimiliki oleh masing-masing negara.

Pertumbuhan dan perkembangan kedua doktrin tersebut diawali dengan sejarah panjang mengenai penguasaan laut oleh Imperium Roma.
Kenyataan bahwa Imperium Roma menguasai tepi Lautan Tengah dan karenanya menguasai seluruh lautan tengah secara mutlak. Dengan demikian menimbulkan suatu keadaan di mana lautan tengah menjadi lautan yang bebas dari gangguan bajak-bajak laut, sehingga semua orang dapat mempergunakan lautan tengah dengan aman dan sejahtera yang dijamin oleh pihak Imperium Roma. Pemikiran umum bangsa Romawi trhadap laut didasarkan atas doktrin res communis omnium ( hak bersama seluruh umat manusia), yang memandang penggunaan laut bebas atau terbuka bagi setiap orang. Asas res communis omnium di samping untuk kepentingan pelayaran, menjadi dasar pula untuk kebebasan menangkap ikan.
Bertitik tolak dari perkembangan doktrin res communius omnium tersebut diatas, tamapk bahwa embrio kebebasan laut lepas sebagai prinsip kebebasan di laut lepas telah diletakkan jauh sejak lahirnya masyarakat bangsa-bangsa. Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa doktrin ini dalam sejarah hukum laut internasional pada masa-masa berikutnya.
Di sisi lain, dalam melaksanakan kekuasaannya di laut, banyak tanda-tanda yang menunjukkan bahwa dalam pandangan orang Romawi laut itu dapat dimiliki, di mana dalam zaman itu hak penduduk pantai untuk menangkap ikan di perairan dekat pantainya telah diakui. Pemilikan suatu kerajaan dan negara atas laut yang berdekatan dengan pantainya didasrkan atas konsepsi res nelius
Menurut konsepsi res nelius , laut bisa dimiliki apabila yang berhasrat memilikinya bisa menguasai dan mendudukinya. Pendudukan ini dalam hukum perdata romawi dikenal sebagai konsepsi okupasi (occupation). Keadaan yang dilakukiskan di atas berakhir dengan runtuhnya Imperium Romawi dan munculnya pelbagai kerajaan dan negara di sekitar lautan Tengah yang masing-masing merdeka dan berdiri sendiri yang satu lepas dari yang lain. Walaupun penguasaan mutlak Lautan Tengah oleh Imperium Romawi sendiri telah berakhir, akan tetapi pemilikan lautan oleh negara-negara dan kerajaan tetap menggunakan asas-asas hukum Romawi.
Berdasarkan uraian diatas, jelas kiranya bahwa bagi siapa pun yang mengikuti perkembangan teori perkembangan hukum internasional, asas- asas hukum Romawi yang disebutkan diatas memang mengilhami lahirnya pemikiran hukum laut internasional yang berkembang dikemudian hari.
Daptlah dikatakan bahwa kedua konsepsi hukum laut Romawi itu merupakan hukum laut internasional tradisional yang menjadi embrio bagi dua pembagian laut yang klasik, laut teritorial dan laut lepas.
Dalam konteks kedaulatan negara atas laut, pertumbuhan dan perkembangan hukum laut internasional setelah runtuhnya Imperium Romawi diawali degan munculnya tuntutan sejumlah negara atau kerajaan atas sebagian laut yang berbatasan dengan pantainya berdasarkan alasan yang bermacam-macam. Misalnya, Venetia mengklaim sebagian besar dari laut Adriatik, suatu tuntutan yang diakui oleh Paus Alexander III pada tahun 1177. Berdasarkan kekuasaanya atas laut Adriatik ini, Venetia memungut bea terhadap setiap kapal yang berlayar di sana. Genoa juga mengklaim kekuasaan atas Laut Liguria dan sekitarnya serta melakukan tindakan-tindakan untuk melaksanakannya. Hal yang sama dilakukan oleh Pisa yang mengklaim dan melakukan tindakan-tindakan atas Laut Thyrrhenia. Kekuasaan yang dilaksanakan oleh negara-negara atau kerajaan-kerajaan tersebut dengan laut yang berbatasan dengan pantainya dilakukan dengan tujuan yang di zaman sekarang barangkali dapat disebut kepentingan: (karantina); (2) bea cukai; (3) pertahanan dan netralitas
Dalam pertumbuhan hukum laut internasional berikutnya, sejarah perkembangan hukum laut internasional telah mencatat sutu peristiwa penting, yaitu pengakuan Paus Alexander VI pada tahun 1493 atas tuntutan Spanyol dan Portugal, yang membagi samudera di dunia untuk kedua negara itu dengan batasnya garis meridian 100 leagues (kira-kira 400 mil laut) sebelah barat Azores. Sebelah barat dari meridian tersebut (yang mencakup Samudera Atlantik barat, Teluk Mexico dan Samudera Pasifik) menjadi milik Spanyol, sedangkan sebelah timurnya (yang mencakup Samudra Atlantik sebelah selatan Marokko dan Samudera India) menjadi milik Potugal . Pembagian Paus Alexander VI tersebut diatas kemudian diperkuat oleh Perjanjian Todesillas antara Spanyol dan Portugal pada tahun 1494, tetapi dengan memindahkan garis perbatasannya menjadi 370 leagues sebelah barat pulau-pulau Cape Verde di pantai barat Afrika. Sedangkan negara-negara lain, seperti Denmark telah pula menuntut Laut Baltik dan Laut Utara antar Norwegia dan Iceland, dan Inggris telah menuntut pula laut di sekitar kepulauan Inggris (Mare Anglicanum) sebagai milik masing-masing.
Pembagian dua laut dan Samedera di dunia untuk Spanyol dan Portugal dengan menuntup laut-laut tertentu bagi pelayaran internasional, merupakan awal dari era penjajahan kedua kerajaan tersebut di Amerika Selatan.
Perkembangan selanjutnya memperlihatkan bahwa ternyata pembagian dua laut dan samudera, serta klaim keempat kerajaan di Eropa Barat mengenai konsepsi laut tertutup (mare clausum) mendapat tantangan dari belanda yang memperjuangkan asas kebebasan berlayar (freedom of navigation) yang didasarkan atas pendirian bahwa lautan itu bebas untuk dilayari oleh siapapun. Belanda yang diwakili oleh Hugo Grotius (selanjutnya disebut Grotius), yaitu bapak Hukum Laut Internasional yang memperjuangkan asas kebebasan lautdengan cara yang paling gigih walaupun bangsa Inggris dengan Ratu Elisabeth- nya lebih dikenal sebagai perintis asas kebebasan laut ini. Perjuangan armada-armada Belanda dan Inggris melawan armada-armada Spanyol dan Portugal di lautan akhirnya manjadi asas kebebasab pelayaran ini menjadi suatu kenyataan. Perkembangan penting dalam hukum laut internasional yang perlu dicatat adalah pertarungan antara penganut doktrin laut bebas (mare liberium) dan laut tertutup (mare clausum)
Doktrin laut bebas (lepas) yang diwakili oleh Grotius, didasarkan pada teori mengenai lautan bahwa pemilikan, termasuk atas laut hanya bisa terjadi melalui pessession ini hanya bisa terjadi melalui okupasi, dan okupasi hanya bisa terjadi atas barang-barang yang dapat dipegah teguh. Untuk dapat dipegang teguh maka barang-barang tersebut harus ada batasnya.Laut adalah sesuatu yang mempunyai batas, sehingga laut tidak dapat di okupasi sebab ia cair dan tidak terbatas. Barang cair hanya bisa dimiliki dengan memasukkanya ke dalam sesuatu yang lebih padat. Dengan demikian, maka tuntutan atas laut yang didasarkan pada penemuan, penguasaan tidaklah dapat diterima karena semua itu bukanlah alasan utuk memperoleh pemilikan atas laut. Meskipun demikian Grotius mengakui bahwa anak-anak laut dan sungai-sungai, sekalipun cair, dapat dimiliki karena ada batas -batas nya di mana tepinya dapat dianggap sebagai sesuatu yang lebih padat.
Prinsip kebebasan laut yang dikemukakan oleh Grotius dalam bukunya Mare Liberium, di bidang pelayaran telah digunakan oleh Belanda untuk menerobos masuk ke Samudra India dalam usahanya memperluas perdagangan ke Nusantara. Peristiwa ini membuka jalan bagi Belanda untuk menguasai dan menjajah Indonesia selama tiga ratus lima puluh tahun. Oleh karena itu, sama hal nya dengan penguasaan negara atas laut yang dilakukan oleh Spanyol dan Portugal, Belanda juga mempunyai agenda dan tujuan politik untuk menguasai negara-negara lainya, khususnya Indonesia.

B. Garis Pangkal

Garis pangkal merupakan titik” air terendah yang penetapanya disesuaikan dengan cara penarikan garis” pangkal tersebut.

1. Garis pangkal biasa yaitu garis air terendah sepanjang pantai pada waktu air sedang surut, yang mengikuti liku/morfologi pantai pada mulut sungai teluk yang lebar mulutnya tidak lebih dari 24 mil dan pelabuhan garis air terendah tersebut dapatditarik sebagai suatu garis lurus.
syaratnya:
- mulut sungai
-teluk yang lebar tidak lebih mulutnya dari 24 mil
-pelabuhan

2. Garis pangkal lurus yaitu garis air terendah yang menghunungkan titik” pangkal berupa titik terluar dari pantai gugusan pulau didepannya
syaaratnya dari negara:
- garis pantai yang menikung jauh kedalam
- ada daratan /gugusan pula yang ada didekatnya
- ada delta
- kondisi alam lainnya yang menyebabkan garis pantai tidak tetap
- adanya kepentingan ekonomi khusus bagi negara tersebut

Garis pangkal lurus :
- tidak boleh menyimpang terlalu jauh dari umum suatu pantai
- tidak boleh ditarik dari evaluasi surut.

3. Garis pangkal lurus kepulauan yaitu garis” air terendah yang menghubungkan titik” terluar pada pulau /karang kering yang terluar dari wilayah negara tersebut.
syaratnya:
- harus meliputi pulau utama suatu negara
- perbandingan luas /wilayah air/daratan harus berkisar 1 banding 1 sampai 1 banding 4

C. Perairan Pedalaman

Dalam pasal 8 ayat (1) United Nations Conventions on the Law of the Sea (UNCLOS 1982) disebutkan bahwa yang dinamakan Perairan Pedalaman adalah perairan pada sisi darat garis pangkal laut teritorial. Pasal tersebut selengkapnya berbunyi, “perairan pada sisi darat garis pangkal laut territorial merupakan bagian perairan pedalaman negara tersebut”. Sedangkan dalam pasal 3 (4) UU No. 6 Tahun 1996 Tentang Perairan Indonesia disebutkan bahwa, “Perairan Pedalaman Indonesia adalah semua perairan yang terletak pada sisi darat dari garis air rendah dari pantai-pantai Indonesia, termasuk kedalamnya semua bagian dari perairan yang terletak pada sisi darat dari suatu garis penutup sebagaimana dimaksud dalam pasal 7. Perairan Pedalaman Indonesia terdiri atas: laut pedalaman, dan perairan darat.
Selanjutnya, laut pedalaman menurut pengertian undang-undang ini adalah bagian laut yang terletak pada sisi darat dari garis penutup, pada sisi laut dan gari air rendah. Sedangkan Perairan Darat adalah segala perairan yang terletak pada sisa darat dari garis air rendah, kecuali pada mulut sungai perairan darat adalah segala perairan yang terletak pada sisi darat dari garis penutup mulut sungai.
Perincian dari Perairan Indonesia berdasarkan ketentuan-ketentuan dari UU No. 4/Prp tahun 1960 (sekarang UU No. 6 Tahun 1996),hukum
laut secara tradisional mengadakan pembagian laut atas laut lepas, laut wilayah dan perairan pedalaman. Di laut lepas, terdapat rezim kebebasan berlayar bagi semua kapal, dilaut wilayah berlaku rezim lintas damai bagi kapal-kapal asing dan diperairan pedalaman hak lintas damai ini tidak ada. Sedangkan bagi Indonesia, karena adanya bagian-bagian laut lepas atau laut wilayah yang menjadi laut pedalaman karena penarikan garis dasar lurus dari ujung ke ujung, pembagian perairan Indonesai agak sedikit berbeda dengan negara-negara lain. Sesuai dengan UU No. 4 /Perp Tahun 1960 tersebut, perairan Indonesia terdiri dari laut wilayah dan perairan Pedalaman. Perairan pedalaman ini dibagi pula atas laut pedalaman dan perairan daratan.
Mengenai hak lintas damai di laut wilayah, tidak ada persoalan karena telah merupakan suatu ketentuan yang telah diterima dan dijamin oleh hukum internasional. Dilaut wilayah perairan Indonesia, kapal semua negara baik berpantai atau tidak berpantai, menikmati hak lintas damai melalui laut teritorial (pasal 17 konvensi). Selanjutnya, Indonesia membedakan perairan pedalaman (perairan kepulauan atas dua golongan), yaitu:

1. Perairan pedalaman yang sebelum berlakunya Undang-Undang No. 4/Prp Tahun 1960 merupakan laut wilayah atau laut bebas. Perairan
pedalaman ini disebut laut pedalaman atau internal seas.

2. Perairan pedalaman yang sebelum berlakunya UU No. 4/Prp Tahun 1960 ini merupakan laut pedalaman yang dahulu, selanjutnya dinamakan perairan daratan atau coastal waters.
Di laut pedalaman ini, pemerintah Indonesia menjamin hak lintas damai kapal-kapal asing. Sebagaimana kita ketahui, laut pedalaman ini dulunya adalah bagian-bagian laut lepas atau laut wilayah dan sudah sewajarnya kita berikan hak lintas damai kepada kapal-kapal asing. Ketentuan yang juga dinyatakan oleh Konvensi Jenewa, dan yang ditegaskan pula oleh pasal 8 Konvensi 1982. Di perairan daratan tidak ada hak lintas damai. Ini adalah suatu hal yang wajar karena kedekatannya dengan pantai seperti anak-anak laut, muara-muara sungai, teluk-teluk yang mulutnya kurang dari 24 mil, pelabuhan-pelabuhan, dan lain-lainnya.Sebagai tambahan, pemerintah Indonesia pada tahun 1985 telah meratifikasi UNCLOS III/1982 ini dengan mengeluarkan UU No 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on the Law of the Sea yang ketiga.

D. Laut Territorial

Laut teritorial atau perairan teritorial (bahasa Inggris: Territorial sea) adalah wilayah kedaulatan suatu negara pantai selain wilayah daratan dan perairan pedalamannya; sedangkan bagi suatu negara kepulauan seperti Indonesia, Jepang, dan Filipina, laut teritorial meliputi pula suatu jalur laut yang berbatasan dengannya perairan kepulauannya dinamakan perairan internal termasuk dalam laut teritorial pengertian kedaulatan ini meliputi ruang udara di atas laut teritorial serta dasar laut dan tanah di bawahnya dan, kedaulatan atas laut teritorial dilaksanakan dengan menurut ketentuan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (United Nations Convention on the Law of the Sea) lebar sabuk perairan pesisir ini dapat diperpanjang paling banyak dua belas mil laut (22,224 km) dari garis dasar (baseline-sea).
wilayah laut dengan batas 12 mil dari titik ujung terluar pulau-pulau di Indonesia pada saat pasang surut ke arah laut. Perlu kalian tahu, bahwa jarak antara satu negara dengan negara lain ada yang tidak terlalu jauh. Bagaimanakah bila dua negara menguasai satu laut yang lebarnya tidak sampai 24 mil? Bila hal itu terjadi maka wilayah laut teritorial ditentukan atas kesepakatan dua negara yang bersangkutan. Batas laut teritorialnya ditentukan dengan garis di tengah-tengah wilayah laut kedua negara yang bersangkutan.
Pulau yang ada di wilayah Indonesia berjumlah lebih dari 17.500 pulau baik yang besar maupun yang kecil. Dengan banyaknya jumlah pulau menyebabkan Indonesia memiliki garis pantai yang panjang. Panjang garis pantai di Indonesia sejauh 81.000 km dan merupakan salah satu garis pantai yang terpanjang di dunia. Adanya garis pantai yang panjang akan menguntungkan bagi negara itu, sebab kekayaan yang terkandung di dalamnya menjadi hak milik negara. Oleh karena itu, batas-batas wilayah laut di Indonesia harus diakui oleh dunia internasional.

E. Selat
Selat adalah sebuah wilayah perairan yang relatif sempit yang menghubungkan dua bagian perairan yang lebih besar, dan karenanya pula biasanya terletak di antara dua permukaan daratan. Selat buatan disebut terusan atau kanal. Selat disebut juga Laut Sempit di antara dua daratan.
Daftar selat di Indonesia
· Selat Alas
· Selat Alor
· Selat Badung
· Selat Bali
· Selat Bangka
· Selat Berhala
· Selat Batahai
· Selat Benggala
· Selat Gaspar
· Selat Lamakera
· Selat Lintah
· Selat Lombok
· Selat Lowotobi
· Selat Madura
· Selat Makassar
· Selat Mola
· Selat Ombai
· Selat Panaitan
· Selat Pantar
· Selat Rote
· Selat Sape
· Selat Selayar
· Selat Singapura
· Selat Solor
· Selat Sumba
· Selat Sunda

F. Kepulauan

Kepulauan adalah rantai atau gugus kumpulan dari pulau-pulau, kepulauan yang terbentuk tektonik. Kata kepulauan berasal dari Yunani ἄρχι- - arkhi- ("kepala") dan πέλαγος - pelagos ("laut") yang berasal dari rekonstruksi linguistik bahasa Yunani abad pertengahan á¼€ρχιπέλαγος tepatnya nama untuk Laut Aegea dan, kemudian, dalam penggunaan bergeser untuk merujuk pada Kepulauan Aegean atau merujuk pada jumlah kumpulan yang besar pulau-pulau. Sekarang digunakan secara umum yang mengacu pada setiap kelompok besar pulau seperti yang tersebar pada Laut Aegea.
Daftar pulau di Indonesia
Tahun 1972, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) memublikasikan sebanyak 6.127 nama pulau-pulau di Indonesia. Pada tahun 1987 Pusat Survei dan Pemetaan ABRI (Pussurta ABRI) menyatakan bahwa jumlah pulau di Indonesia adalah sebanyak 17.508, di mana 5.707 di antaranya telah memiliki nama, termasuk 337 nama pulau di sungai. Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal), pada tahun 1992 menerbitkan Gazetteer Nama-nama Pulau dan Kepulauan Indonesia yang mencatat sebanyak 6.489 pulau bernama, termasuk 374 nama pulau di sungai. Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), Pada tahun 2002 berdasarkan hasil kajian citra satelit menyatakan bahwa jumlah pulau di Indonesia adalah sebanyak 18.306 buah.
Data Departemen Dalam Negeri berdasarkan laporan dari para gubernur dan bupati/wali kota, pada tahun 2004 menyatakan bahwa 7.870 pulau yang bernama, sedangkan 9.634 pulau tak bernama. Dari sekian banyaknya pulau-pulau di Indonesia, yang berpenghuni hanya sekitar 6.000 pulau. Di bawah ini disajikan pulau-pulau utama Indonesia:
Aceh
Sumatera Utara
Sumatera Barat
Riau
Kep Riau
Bengkulu
Sumatera Selatan
Lampung
Kep. Bangka Belitung
Jambi
Banten
Jakarta
Jawa Barat
Jawa Tengah
Yogyakarta
Jawa Timur
Kalimantan Barat
Kalimantan Tengah
Kalimantan UtaraRed pog.svg
Kalimantan Timur
Kalimantan Selatan
Sulawesi Barat
Sulawesi Tengah
Gorontalo
Sulawesi Utara
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tenggara
Bali
Nusa Tenggara Barat
Nusa Tenggara Timur
Maluku Utara
Maluku
Papua
Papua Barat

G. Zona Tambahan

Menurut J.G Starke, zona tambahan adalah suatu jalur perairan yang berdekatan dengan batas jalur maritim atau laut teritorial, tidak termasuk kedaulatan negara pantai, tetapi dalam zona tersebut negara pantai dapat melaksanakan hak-hak pengawasan tertentu untuk mencegah pelaggaran peraturan perundang-undangan saniter, bea cukai, fiskal, pajak dan imigrasi di wilayah laut teritorialnya. Sepanjang 12 mil atau tidak melebihi 24 mil dari garis pangkal.
Zona tambahan didalam pasal 24 (1) UNCLOS III dinyatakan bahwa suatu zona dalam laut lepas yang bersambungan dengan laut teritorial negara pantai tersebut dapat melaksanakan pengawasannya yang dibutuhkan untuk:

1. Mencegah pelanggaran-pelanggaran perundang-undangannya yang berkenaan dengan masalah bea cukai (customs), perpajakan (fiskal), keimigrasian (imigration), dan kesehatan atau saniter.

2. Menghukum pelanggaran-pelanggaran atau peraturan-peraturan perundang-undangannya tersebut di atas.

Didalam ayat 2 ditegaskan tentang lebar maksimum dari zona tambahan tidak boleh melampaui dari 12 mil laut diukur dari garis pangkal. Hal ini berarti bahwa zona tambahan itu hanya mempunyai arti bagi negara-negara yang mempunyai lebar laut teritorial kurang dari 12 mil laut (ini menurut konvensi Hukum Laut Jenewa 1958), dan sudah tidak berlaku lagi setelah adanya ketentuan baru dalam Konvensi Hukum Laut 1982. Menurut pasal 33 ayat 2 Konvensi Hukum Laut 1982, zona tambahan itu tidak boleh melebihi 24 mil laut, dari garis pangkal dari mana lebar laut teritorial itu diukur. Berikut ini beberapa hal guna memperjelas tentang letak zona tambahan itu:
- Pertama, Tempat atau garis dari mana lebar jalur tambahan itu harus diukur, tempat atau garis itu adalah g aris pangkal.
- Kedua, Lebar zona tambahan itu tidak boleh melebihi 24 mil laut, diukur dari garis pangkal.
- Ketiga, Oleh karena zona laut selebar 12 mil laut diukur dari garis pangkal adalah merupakan laut teritorial, maka secara praktis lebar zona
tambahan itu adalah 12 mil (24-12) mil laut, itu diukur dari garis atau batas luar laut territorial, dengan kata lain zona tambahan selalu terletak diluar dan berbatasan dengan laut teritorial.
- Keempat, Pada zona tambahan, negara pantai hanya memiliki yurisdiksi yang terbats seperti yang ditegaskan dalam pasal 33 ayat 1 Konvensi Hukla 1982. Hal ini tentu saja berbeda dengan laut teritorial dimana negara pantai di laut teritorial memiliki kedaulatan sepenuhnya dan hanya dibatasi oleh hak lintas damai.
Sampai saat ini Indonesia belum mengumumkan zona tambahannya maupun memiliki peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang penetapan batas terluar, maupun tentang penetapan garis batas pada zona tambahan yang tumpang tindih atau yang berbatasan dengan zona tambahan negara lain. Badan Pembinaan Hukum Nasional dari Departemen Kehakiman dan HAM pernah melakukan pengkajian dan menghasilkan suatu naskah akademik dan RUU tentang Zona Tambahan, namun sampai saat ini belum menjadi Undang-Undang.
Menurut ketentuan Pasal 47 ayat 8 dan 9 dari UNCLOS, garis-garis pangkal yang telah ditetapkan sesuai dengan ketentuan-ketentuan tersebut harus dicantumkan dalam peta atau peta-peta dengan skala atau skala-skala yang memadai untuk menegaskan posisinya. Sebagai gantinya dapat dibuat daftar koordinat geografis titik-titik yang secara jelas memerinci datum geodetik.
Wilayah laut Indonesia dibagi menjadi 3 bagian yakni laut teritorial sejauh 12 mil, Zona Tambahan sejauh 24 mil dan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) sejauh 200 mil, untuk melindungi hak berdaulat atas kekayaan dan yuridiksi yang dimiliki oleh Indonesia terhadap wilayah perairannya maka dibutuhkan suatu peraturan, dalam hal ini peraturan yang mengatur tentang Zona Tambahan, yang mana Indonesia mempunyai Yuridiksi pengawasan di Zona Tambahan untuk mencegah dan menindak pelanggaran Bea Cukai, Imigrasi, Fiskal dan saniter. Zona Tambahan Indonesia adalah perairan yang berdampingan dengan Laut Teritorial Indonesia yang dapat diukur selebar 24 mil laut dari Garis Pangkal Lurus Kepulauan.
Pendapat pakar hukum laut, Hasyim Djalal, mengenai Zona Tambahan (contiguous zone) adalah sepanjang yang berkaitan dengan batas contiguous zone, belum ada satupun batas yang ditetapkan dengan Negara-negara tetangga. Malah Indonesia sampai sekarang belum lagi mengundangkan ketentuannya mengenai zona ini. Walaupun seluruh Negara tetangga Indonesia telah mengundangkannya. Disinilah kelalaian Indonesia yang sangat menonjol. Karena itu sangat penting bagi Indonesia untuk menetapkan ketentuan perundang-undangan mengenai ketentuan contiguous zone ini dan kemudian merundingkan batas-batasnya dengan Negara-negara terkait, khususnya dengan Thailand, Malaysia, Philipina, dan Australia.
Beberapa alternatif penyusunan pengaturan hukum di Zona Tambahan, yakni alternatif pertama dibuatkan undang-undang tersendiri mengenai Zona Tambahan Indonesia, alternatif kedua menyempurnakan RUU tentang Kelautan dengan menambahkan pengaturan-pengaturan hukum tentang Zona Tambahan Indonesia, alternatif ketiga menyempurnakan Undang-undang Nomor 5 tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia dengan menambahkan pengaturan hukum tentang Zona Tambahan Indonesia, alternatif keempat menyempurnakan Undang-undang di bidang-bidang Kepabeanan (Bea Cukai), Imigrasi, Perpajakan (fiskal), saniter (kesehatan/karantina) dan cagar budaya, dengan menambahkan pengaturan hukum tentang Zona Tambahan Indonesia, dan alternatif yang kelima menyempurnakan Undang-undang nomor 6 tahun 1996 tentang perairan Indonesia dengan menambahkan pengaturan hukum tentang Zona Tambahan Indonesia.
Alternatif yang paling tepat adalah alternatif kelima yakni menyempurnakan Undang-undang nomor 6 tahun 1996 tentang Perairan Indonesia dengan menambahkan pengaturan hukum tentang Zona Tambahan Indonesia, dengan alasan judul pengaturan dalam UNCLOS 1982 adalah: “TERRITORIAL SEA AND CONTIGUOUS ZONE” maka lebih praktis menyempurnakan Undang-undang nomor 6 tahun 1996 tentang Perairan Indonesia dengan menambahkan pengaturan hukum tentang Zona Tambahan Indonesia. Konsep pengaturan hukum di Zona Tambahan Indonesia, yang dibagi kedalam 4 pasal, yaitu pasal 1 ayat (1) di zona yang berbatasan denga Laut Teritorial Indonesia, selanjutnya disebut Zona Tambahan Indonesia, Aparat Penegak Hukum yang berwenang, dapat melakukan pengawasan yang perlu untuk : a. Mencegah pelanggaran atas peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan, ke fiskalan, keimigrasian, dan kekarantinaan dalam wilayah darat atau wilayah perairan Indonesia, b. Menindak pelanggaran atas peraturan perundang-undangan tersebut dalam huruf a yang dilakukan di dalam wilayah atau laut teritorial Indonesia. Ayat (2) zona tambahan tidak dapat melebihi 24 mil laut diukur dari garis pangkal untuk mengatur lebar Laut Teritorial. Pasal 2 pengangkatan benda purbakala atau benda sejarah dari zona tambahan Indonesia hanya dapat dilakukan dengan ijin pemerintah. Pasal 3 ayat (1) dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 2, pengangkatan dan pemanfaatan kerangka kapal, benda berharga atau muatan kapal yang tenggelam (BMKT) dari zona tambahan, hanya dapat dilakukan dengan ijin pemerintah. Ayat (2) kerangka kapal atau barang berharga asal muatan kapal yang tenggelam sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1), yang dalam waktu 30 (tiga puluh) tahun setelah tenggelam tidak diangkat dari dasar laut, dianggap telah ditinggalkan oleh pemiliknya, dan oleh karena itu menjadi milik Negara. Pasal 4 berisi sanksi atas pelanggaran hukum yang berlaku di wilayah Negara Republik Indonesia berlaku terhadap pelanggaran hukum atas ketentuan-ketentuan di zona tambahan Indonesia.
Ada 2 hal yang belum diatur dan membutuhkan peraturan perundang-undangan yakni Zona Tambahan dan Landas Kontinen. Sebaiknya pengaturan hukum zona tambahan dimasukkan kedalam RUU Kelautan yang sedang berjalan di DPR, hal ini dimaksudkan agar pengaturan hukum zona tambahan dapat berjalan dengan menghemat waktu dan biaya, dibandingkan dengan harus membuat UU sendiri. Banyak pendapat lebih condong untuk memasukan pengaturan hukum zona tambahan kedalam UU ZEE atau RUU kelautan.
Sebagai kesimpulan, mengerucut kepada dua alternatif yakni menyempurnakan RUU Kelautan atau merevisi UU nomor 6 tahun 1996 tentang Perairan Indonesia.
Agar kesepakatan penentuan penambahan pengaturan hukum tentang Zona Tambahan Indonesia dari 2 alternatif terpilih (RUU Kelautan atau UU No.6 th. 1996 tentang Perairan Indonesia), perlu dicermati berdasarkan azas efektif dan efisien serta target yang harus dicapai pada akhir 2010, mengingat masih terjadinya perdebatan cukup “alot” dari kementerian dan Institusi terkait mengenai tindak lanjut RUU Kelautan. Selanjutnya, perlu juga di perhatikan peraturan2 yang sudah ada di seluruh kementerian atau lembaga serta institusi terkait agar tidak terjadi tumpang tindih, tidak bertentangan namun menambah kewenangan.

H. Landas kontine
Landas kontinen adalah suatu Negara berpantai meliputi dasar laut dan tanah di bawahnya yang terletak di laur laut teritorialnya sepanjang merupakan kelanjutan alamiah wilayah daratannya. Jaraknya 200 mil laut dari garis pangkal atau dapat lebih dari itu dengan tidak melebihi 350 mil, tidak boleh melebihi 100 mil dari garis batas kedalaman dasar laut sedalam 2500 mil.
Landas Kontinen (BLK) adalah daerah di bawah laut yang meliputi dasar laut dan tanah di bawahnya dari daerah dibawah permukaan laut yang terletak di luar laut teritorial sepanjang kelanjutan alamiah wilayah daratan hingga pinggiran laut tepi kontinen, sehingga suatu jarak 200 mil laut dari garis pangkal, dalam hal pinggiran luar tepi kontinen tidak mencapai jarak tersebut. Garis batas luar kondisi kontinen pada dasar laut, tidak boleh melebihi 350 mil laut dari garis pangkal atau tidak melebihi 100 mil laut dari garis kedalaman (isobath) 2500m, kecuali untuk elevasi dasar laut yang merupakan bagian alamiah tepian kontinen, seperti pelataran (plateau), tanjakan (rise), puncak (caps), ketinggian yang datar ( banks) dan puncak gunung yang bulat (spurs).

I. Zona Ekonomi Eklusif

  Pada tanggal 21 Maret 1980 Indonesia mengumumkan ZEE. Batas Zona Ekonomi Eksklusif adalah wilayah laut Indonesia selebar 200 mil yang diukur dari garis pangkal laut wilayah Indonesia. Apabila ZEE suatu negara berhimpitan dengan ZEE negara lain maka penetapannya didasarkan kesepakatan antara kedua negara tersebut. Dengan adanya perundingan maka pembagian luas wilayah laut akan adil. Sebab dalam batas ZEE suatu negara berhak melakukan eksploitasi, eksplorasi, pengolahan, dan pelestarian sumber kekayaan alam yang berada di dalamnya baik di dasar laut maupun air laut di atasnya. Oleh karena itu, Indonesia bertanggung jawab untuk melestarikan dan melindungi sumber daya alam dari kerusakan.

J. Laut lepas

  Berdasarkan pasal 86 konvensi PBB tentang hukum laut menyatakan bahwa laut lepas merupakan semua bagian dari laut yang tidak termasuk dalam zona ekonoi eksklusif, dalam laut teritorial atau dalam perairan pedalaman suatu negara, atau dalam perairan kepulauan suatu negara kepulauan. Jadi sesuai definisi ini laut lepas terletak di bagian luar zona ekonomi eksklusif.adapun prinsip hukum yang mengatur rezim dilaut lepas adalah prinisip kebebasan.. oleh karena itu pada dulunya negara-negara anglo-saxon menamai laut lepas itu open sea. Namun demikian prinsip kebebasan ini harus pula dilengkapi dengan tindakan-tindakn pengawasan, kerena kebebasan tanpa pengawasan dapat mengacau kebebasan itu sendiri.

Prisip kebebasan di laut lepas
Secara umum dan sesuai dengan pasal 87 konvensi, kebebasan dilaut lepas berarti bahwa laut lepas dapat digunakan oleh negara manapun. Menurut pasal 87 konvensi tersebut diatas kebebasan-kebebasan tersebut antara lain :

  • kebebasan berlayar,
  • kebebasan penerbangan,
  • kebebasan untuk memasang kabel dan pipa bawah laut, dengan mematuhi   ketentuanketentuan bab VI konvensi,
  • kebebasan untuk membangun pulau buatan dan instalasi-instalasi lainnya yang diperbolehkan berdasarkan hukum internasional dengan tunduk kepada babVI,
  • kebebasan menangkap ikan dengan tunduk pada persyaratan yang tercantum dalam sub bab II,
  • kebebasan riset ilmiah, dengan tunduk pada bab VI dan bab XIII.

Kebebasan ini berarti juga bahwa tidak satupun negara yang dapat menundukkan kegiatan apapun di laut lepas di bawah kedaulatannya dan laut lepas hanya dapat digunakna untuk tujuan-tujuan damai sebagaimana yang telah ditetapkan dalam pasal-pasal 88 dan 89 konvensi.
Sekarang ini penggunaan laut lepas untuk keperluan khusus bersifat nasional seperti percobaan nuklir sering menimbulkan permasalahan dengan keseluruhan kebebasan laut lepas yang telah diakui oleh masyarakat dunia. Dibuatnya suatu parameter yang melarang navigasi kapal-kapal waktu pelaksanaan ujicoba nuklir misalnya mendapat tantangan dari banyak negara karena mengurangi kebebasan dilaut lepas. Kritikan terhadap penggunaan laut lepas untuk ujicoba nuklir tertsebut terutamadidasarkan atas ketentuan pasal 88 dalam konvensi yang menyatakan laut diperuntukan untuk tujuan-tujuan damai. Didirikannya suatu zona terlarang selama berlangsungnya ujicoba tentu saja bertentangan dengan prinsip kebebasan berlayar dan kebebasan terbang diatasnya. Sehubungan dengan ini banyak negara membuat konvensi yang mengharuskan perundang-undangan nasionalnya berisikan ketentuan untuk membayarkan ganti rugi pada negara-negara lain dalam peleksanaan kebebasan –kebebasan tertentu dilaut lepas.

Pengawasan di laut lepas
  Pengawasan di laut lepas dirasakan perlu untuk menjamin kebebasan penggunaan laut. Pengawasan ini dilakukan oleh kapal-kapal perang. Pengawasan yang dilakukan di laut lepas tersebut dibagi atas dua bagian yaitu pengawasan umum dan pengawasan khusus.

Kategori

  • Masih Kosong

Blogroll

  • Masih Kosong