Karakter Mahasiswa dan Intelektual
Assalamualaikum wr.wb.
selamat siang kawan-kawan skalian, ini merupakan postingan saya yang prtama kalinya, siang ini saya akn membahas mengenai karakter mahasiswa dan intelektualnya..
Cekidott...
BERBICARA tentang mahasiswa memanglah sangat menarik. Kenapa? Mahasiswa merupakan pemuda yang nota bene adalah bagian dari masyarakat intelektual yang mempunyai potensi dan ilmu yang tinggi. Dengan potensi dan ilmunya, mahasiswa mempunyai posisi tawar terhadap berbagai kebijakan yang dibuat oleh pihak kampus maupun pihak pemerintah. Kritikan, saran, serta ide yang diajukan mahasiswa cukup diperhitungkan oleh berbagai pihak, sehingga masyarakat sering menyebut mahasiswa sebagai bagian komponen intelektual masyarakat.
Dari aspek lainnya, banyak sorotan yang telah diarahkan pada perilaku mahasiswa saat ini. Sorotan terutama pada demonstrasi yang dilakukannya sangat menggangu aktivitas masyarakat seperti membakar ban, merusak fasilitas umum, kemacetan lalulintas, dan lainnya. Jangan mahasiswa menjadi spiderman, sebuah cerita fiksi manusia laba-laba yang bisa terbang dan melengket di gedung-gedung tinggi sebagai penyelamat setiap ada anggota masyarakat yang menghadapi masalah, karena memang itu hanya dalam cerita komik dan film Hollywood yang tidak mungkin dilakukan bukan hanya oleh mahasiswa, tetapi manusia secara umum. Untuk menjadi intelektual, mahasiswa hanya perlu menyelamatkan dirinya dari “korban” idealisme, dan mereka akan menjadikan korban sebagai kesemrawutan kuliahnya.
Mengapa mahasiswa senang berdemonstrasi? Dengan mudah menjawabnya bahwa untuk menunjukkan protes terhadap kebijakan pemerintah atau perilaku luar yang dianggapnya merugikan masyarakat, termasuk masyarakat kampus yang mereka wakili. Lalu mengapa mereka sering melakukan demonstrasi di jalan raya? Itu adalah bagian dari upaya untuk mencari perhatian publik, dan hakikat demonstrasi adalah aksi yang seharusnya diperlihatkan, kalupun bila dilakukan di dalam kampus, ada kehawatiran bahwa suara mereka tidak langsung didengar oleh masyarakat atau pejalan raya. Bahkan ada kekhawatiran tidak diliput oleh media yang bisa diakses oleh masyarakat secara luas.
Persoalannya, mengapa mahasiswa sering terjebak pada aksi demonstrasi yang anarkis? Di sinilah masalahnya. Kecenderungan pemahaman mahasiswa bahwa sebuah demonstrasi yang sukses bila menimbulkan dampak karena dampak itulah yang nantinya bekal menjadi pertimbangan pengambil kebijakan untuk menimbang ulang protes secara terbuka yang dilakukan oleh mahasiswa. Karena dampak itulah, mahasiswa berdemo di jalan raya dengan beramai-ramai yang sering menimbulkan masalah. Jalan raya bukanlah diperuntukkan untuk tempat demo. Jalan raya adalah tempat umum yang dilalui oleh orang-orang yang mempunyai hajatan, keperluan, atau urusan, mungkin ada di antaranya yang sangat mendesak. Menghalangi mereka karena jalanan terblok tentu menjadi masalah tersendiri. Sementara urusan yang mereka jalankan bukan saja untuk kepentingan mereka sendiri tetapi kepentingan banyak orang.
Sukses akademik dan selalu berdemo belumlah cukup untuk menjadikan diri kita menjadi intelektual. Intelektual adalah seorang mahasiswa memiliki kecerdasan emosional dan spiritual yaitu mahasiswa yang dapat memahami, menyadari, dan menjalankan peran yang dibebankan kepadanya dengan sebaik-baiknya. Untuk menjadi mahasiswa berintelektual, harus mempunyai wawasan kompetensi yang luas terhadap ilmunya, terutama terhadap ilmu yang menjadi fokus kita, mengikuti organisasi untuk meningkatkan kapasitas diri, bukan untuk berdemo sepanjang waktu, tetapi mahasiswa bekerja melatih diri untuk dapat menghidupi dirinya sendiri serta dapat berprestasi di berbagai bidang lainnya, misalnya di bidang pendidikan bagaimana mahasiswa menguasai ilmu pendidikan pembelajaran dan di bidang karya ilmiah lainnya. Harapannya, apapun yang kita lakukan sekarang ini tidak hanya bermanfaat untuk diri kita, tetapi juga dapat berdampak pada kesejahteraan masyarakat dan dunia pada umumnya.
Mahasiswa yang sejatinya sebagai agen perubahan dan agen perbaikan bangsa malah sibuk berdemo tanpa memikirkan perkuliahannya. Mereka hanya sibukkan dengan aktifitas diluar kampus dan pada akhirnya nilai akademiknya tidak mendukung (1,00). Hal ini semakin menekan mahasiswa untuk memerontak pada pengelolah kampus. Mereka menganggap bahwa sukses dalam bidang akademik adalah bukan segala-galanya untuk mendapatkan pekerjaan yang layak. Padahal, pekerjaan yang layak akan dimiliki jika seseorang memiliki kemampuan kompetensi serta keahlian lebih dibanding yang lain. Dengan potensi mahasiswa dan posisinya yang sangat strategis, seharusnya memanfaatkan waktu dan kesempatan untuk melakukan terbaik bagi orang tua dan keluargannya.
Kompetensi seorang mahasiswa dapat mengimplementasikan ilmunya pada masyarakat, bangsa dan negaranya sehingga ilmu yang diperoleh juga dapat bermanfaat dunia dan akhirat. Selain itu, dengan intelektualnya mahasiswa akan mendapat berbagai macam manfaat. Manfaat tersebut antara lain: akan memiliki kesadaran moral, terutama dalam memanajemen waktu, disiplin, bertanggung jawab, visioner, berprilaku adil, dan lainnya. Selain itu, mahasiswa juga belajar untuk menghargai orang lain, belajar berkomunikasi, dan bersosialisasi terhadap orang lain, melatih rasa percaya diri, memupuk rasa tanggung jawab, meningkatkan rasa solidaritas terhadap teman dan lain sebagainya. Jika kita sudah terbiasa melatih diri untuk berusaha menyeimbangkan berbagai aspek, terutama kuliah dan berorganisasi, harapannya kita tidak akan kaget dalam menghadapi berbagai masalah dan kita selalu bersukur nikmat yang di diberikan Allah SWT.
SOLUSI
Sikap mahasiswa intelektual sebagai insan akademis yang berkarakter yaitu memahami nilai etika, tata cara berkomunikasi dengan dosen, pemahaman terhadap hak, tanggung jawab, dan kewajibannya sebagaimana yang di harapkan, baik sebagai bagian dari masyarakat kampus maupun sebagai warga negara yang berkarakter. Dalam berbagai permaalahan sosial baik tingkat nasional maupun local, mahasiswa selayaknya berperan aktif sebagai mahasiswa yang memiliki kesadaran emosional dan spiritual sehingga akan sadar dengan apa yang ia lakukan setiap saat, bukan intelektual yang dikedepankan sehingga citranya sebagai komponen masyarakat intelektual di percayai dan mahasiswa sebaiknya lebih tampil sebagai kekuatan moral intelektual yang didukung dengan emosinal dan spiritual.
Kecerdasan emosi-spiritual merupakan dasar mengenali dan memahami bagian terdalam dari suara hati kita sendiri dan juga perasaan serta suara hati orang lain, di mana suara hati adalah dasar kecerdasan emosi-spiritual dalam membangun ketangguhan pribadi sekaligus membangun ketangguhan sosial. Konsep ini telah mengubah pandangan para intelektual mahasiswa bahwa keberhasilan seorang mahasiswa bukan semata-mata didasarkan pada kecerdasan akademik yang diukur dengan intelektual (IQ) yang kemudian merusak karakter dirinya tetapi lebih pada kecerdasan emosinya dan spiritual, kemudian mendorong pemikiran lebih ke nilai-nilai intelektualnya.
Pendidikan kita selama ini terlalu menekankan arti masalah akademik atau kecerdasan intelektual semata. Dari pendidikan tingkat dasar sampai tingkat perguruan tinggi jarang sekali ditemukan pendidikan tentang kecerdasan emosi-spirtual yang mengajarkan tentang integritas, kejujuran, komitmen, visi, kreativitas, ketahanan mental, kebijaksanaan, keadilan, prinsip kepercayaan, dan penguasaan diri atau sinergi, padahal justru hal-hal itulah yang terpenting, sehingga mengasah intelektual mahasiswa itu dengan baik. Hal seperti ini akibatnya karakter dan kualitas mahasiswa masih patut dipertanyakan, yang berbuntut pada krisis intelektual yang berkepanjangan saat ini. Hal tersebut ditandai dengan krisis moral atau buta hati yang terjadi di segala bidang. Meskipun mereka berpendidikan sangat tinggi dengan bermacam-macam gelar di depan maupun di belakang namanya, kemudian mereka selalu mengandalkan intelektual dan mengabaikan nilai emosional dan spirtual yang sebenarnya mampu memberikan informasi sangat penting untuk meraih keberhasilan.
Dalam hal penilaian, seorang Dosen dapat saja memberikan nilai ukuran dengan ujian tenga semester (UTS) dan ujian akhir semester (UAS), tanpa mengindahkan kemampuan atau skill yang dimiliki oleh mahasiswa dan nilai prilakunya tersebut. Proses penilaian seperti ini sungguh sangat tidak relevan dengan era globalisasi saat ini. Tetapi sebaiknya penilaian dilihat dari prilaku sehari-hari dan kemampuan skilllnya. Sehingga lulusan sarjana mampu mengebangkan skill dan prilaku yang baik di masyarakat.
sekian dan terima kasih
wassalamualaikum.wr.wb.