Etika dan Filsafat Komunikasi

14 April 2015 21:10:00 Dibaca : 473

Nama : Rezka Apriyanto


Nim : 291414006


Kelas : Ilmu Komunikasi (A)


Pelajaran : Etika & Filsafat Komunikasi

 

Pengantar Filsafat


Pengertian Filsafat

Ada yang mengira bahwa filsafat itu sesuatu yang kabur, serba rahasia, mistis, aneh, tak berguna, tak bermetoda, atau hanya sekedar lelucon yang tak bermakna atau omong kosong. Selain itu ada pula yang mengira bahwa filsafat itu merupakan kombinasi dari astrologi, psikologi dan teologi. Filsafat bukanlah semua itu.

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan filsafat sebagai:
1. pengetahuan dan penyedilikan dengan akal budi mengenai hakikat segala yang ada, sebab, dan hukumnya;
2. teori yang mendasari alam pikiran atau suatu kegiatan;
3. ilmu yang berintikan logika, estetika, metafisika, dan epistemologi;
4. falsafah.

Menurut Kamus Filsafat, filsafat merupakan (Bagus, 2000: 242):


1. Upaya spekulatif untuk menyajikan suatu pandangan sistematik serta lengkap tentang seluruh realitas.


2. Upaya untuk melukiskan hakikat realitas akhir dan dasar serta nyata.


3. Upaya untuk menentukan batas-batas dan jangkauan pengetahuan: sumbernya, hakikatnya, keabsahannya, dan nilainya.


4. Penyelidikan kritis atas pengandaian-pengandaian dan penyataan-pernyataan yang diajukan oleh berbagai bidang pengetahuan.


5. Disiplin ilmu yang berupaya untuk membantu manusia melihat apa yang dikatakan dan untuk mengatakan apa yang dilihat.

Secara etimologi atau asal kata, kata "filsafat" berasal dari sebuah kata dalam bahasa Yunani yang berbunyi philosophia. Kata philophia ini merupakan kata majemuk yang terdiri dari kata philos dan sophia. Kata philos berarti kekasih atau sahabat, dan kata sophia yang berarti kearifan atau kebijaksanaan, tetapi juga dapat diartikan sebagai pengetahuan. Jadi secara etimologi, philosophia berarti kekasih/ sahabat kebijaksaan/ kearifan atau kekasih/ sahabat pengetahuan.

Agar bisa menjadi kekasih atau sahabat, seseorang haruslah mengenal dekat dan akrab dengan seseorang atau sesuatu yang ingin dijadikan kekasih atau sahabat tersebut. Dan ini hanya bisa dilakukan apabila seseorang tersebut senantiasa terus-menerus berupaya untuk mengenalnya secara dalam dan menyeluruh. Dengan harapan bahwa upaya yang terus-menerus itu dapat membawa seseorang atau sesuatu itu pada kedekatan yang akrab sehingga dapat mengasihinya.

Seseorang yang melakukan aktivitas tersebut disebut filsuf. Filsuf adalah seseorang yang mendalami filsafat dan berusaha memahami dan menyelidikinya secara konsisten dan mendalam. Konsisten artinya bahwa seseorang tersebut terus menerus menggeluti filsafat. Mendalam berarti bahwa ia benar-benar berusaha mempelajari, memahami, menyelidiki, meneliti filsafat.

Tadi dikatakan bahwa filsafat adalah kekasih/ sahabat kebijaksaan/ kearifan atau kekasih/ sahabat pengetahuan, jadi karena ia merupakan kekasih/ sahabat kebijaksaan/ kearifan atau kekasih/ sahabat pengetahuan, maka filsafat memiliki hasrat untuk selalu ingin dekat, ingin akrab, ingin mengasihi kearifan/ kebjaksanaan/ pengetahuan. Tapi, kearifan/ kebijaksanaan/ pengetahuan merupakan sesuatu yang sangat abstrak dan luas. Keabstrakan dan keluasan ini menjadikan hasrat yang dimiliki filsafat tersebut tak mudah untuk dipuaskan sepenuhnya. Ini menyebabkan filsafat terus-menerus melakukan usaha untuk memenuhinya. Usaha yang terus menerus ini membuat filsafat, pada satu sisi, dikenal tak lebih dari sebagai sebuah usaha atau suatu upaya.

Selain sebagai sebuah usaha atau suatu upaya, William James, seorang filsuf dari Amerika, melihat bahwa berpikir juga merupakan sisi lain dari filsafat. Menurutnya, filsafat adalah suatu upaya yang luar biasa hebat untuk berpikir yang jelas dan terang. Artinya, bahwa segala upaya yang dilakukan oleh filsafat tak dapat dilepaskan dari tujuannya untuk meraih kejelasan dan keterangan dalam berpikir. Jadi, berpikir adalah sisi lain yang dimiliki filsafat.

Bagi manusia, berpikir adalah hal yang sangat melekat. Manusia, merujuk pada Aritoteles, adalah animal rationale atau mahluk berpikir. Tidak seperti mahluk-mahluk lainnya, oleh Tuhan manusia diberi anugerah yang sangat istemewa yakni akal. Dengan akal, manusia memiliki kemampuan untuk berpikir dan mengatasi dan memecahkan segala permasalahan yang dihadapinya pikirannya. Karena filsafat mengandaikan adanya kerja pikiran, maka sifat pertama yang terdapat dalam berpikir secara filsafat adalah rasional.

Rasional berarti bahwa segala yang dipikirkannya berpusar pada akal. Tapi, tidak semua aktivitas berpikir manusia dapat dikatakan berpikir secara filsafat. Untuk dapat dikatakan bahwa satu aktivitas berpikir itu merupakan berpikir secara filsafat, aktivitas berpikir itu haruslah bersifat metodis.

Secara umum, berpikir metodis berarti berpikir dengan cara tertentu yang teratur. Dalam membeberkan pikiran-pikirannya, filsafat senantiasa menggunakan cara tertentu yang teratur. Keteraturan ini membuat pikiran-pikiran yang dibeberkan oleh filsafat menjadi jelas dan terang. Tapi agar cara tertentu itu dapat teratur, filsafat membutuhkan faktor lain, yakni sistem.

Sebagai sebuah sistem, filsafat suatu susunan teratur berpola yang membentuk suatu keseluruhan. Ia terdiri dari unsur-unsur atau komponen-komponen yang secara teratur menurut pola tertentu, dan membentuk satu kesatuan. Adanya sistem membuat satu cara berpikir tertentu yang teratur tetap pada keteraturannya. Oleh karena itu, selain berpikir metodis filsafat juga memiliki sifat berpikir sistematis.
Berpikir secara sistematis memiliki pengertian, bahwa aktivitas berpikir tersebut haruslah mengikuti cara tertentu yang teratur, yang dilakukan menurut satu aturan tertentu, runtut dan bertahap, serta hasilnya dituliskan mengikuti satu aturan tertentu pula tersusun menurut satu pola yang tidak tersusun secara acak atau sembarangan. Jadi, agar dapat dikatakan bahwa seseorang tersebut sedang berpikir secara filsafat, ia haruslah berpikir menurut atau mengikuti satu aturan tertentu yang runut dan bertahap dan tidak acak atau sembarangan.

Sistematis mengandaikan adanya keruntutan. Jadi, berpikir filsafat atau berpikir filsafati juga memiliki sifat runtut atau koheren. Koheren berarti bertalian. Ia merupakan kesesuaian yang logis. Dalam koherensi, hubungan yang terjadi karena adanya gagasan yang sama. Pada berpikir filsafat, koherensi berarti tidak adanya loncatan-loncatan, kekacauan-kekacauan, dan berbagai kontradiksi. Dalam koherensi, tidak boleh ada pernyataan-pernyataan yang saling bertentangan. Contoh:

Hujan turun
Tidak benar bahwa hujan turun

Pernyataan yang pertama yang berbunyi "Hujan turun" bertentangan dengan pernyataan yang kedua, "Tidak benar bahwa hujan turun,", begitu juga sebaliknya. Dalam berpikir secara koherensi hal ini tidak dibenarkan. Karena kedua pernyataan ini saling bertentangan. Jadi, dalam berpikir secara koherensi, pernyataan-pernyataan yang ada haruslah saling mendukung.

Agar dapat memperoleh pernyataan-pernyataan yang mendukung, filasafat haruslah mencari, mendapatkan, memeriksa, ataupun menyelidiki keseluruhan pernyataan yang ada. Filsafat berusaha memberikan penjelasan tentang dunia seluruhnya, termasuk dirinya sendiri. Usaha ini membawa filsafat pada penyelidikan terhadap keseluruhan. Jadi, sifat berpikir filsafat yang berikutnya adalah keseluruhan atau komprehensif dalam artian bahwa segala sesuatu berada dalam jangkauannya.

Tadi dikatakan bahwa berpikir filsafat memiliki sifat koherensi, maka agar koherensi dapat terjadi, seorang filsuf atau seseorang yang sedang mempelajari dan mendalami filsafat haruslah mampu memahami dan memilah pernyataan-pernyataan yang ada. Agar dapat mencapai hal tersebut, dibutuhkan apa yang dinamakan berpikir kritis Jadi, kritis adalah sifat berpikir filsafat yang berikutnya.

Kritis dapat dipahami dalam artian bahwa tidak menerima sesuatu begitu saja. Secara spesifik, berpikir kritis secara filsafat adalah berpikir secara terbuka terhadap segala kemungkinan, dialektis, tidak membakukan dan membekukan pikiran-pikiran yang ada, dan selalu hati-hati serta waspada terhadap berbagai kemungkinan kebekuan pikiran.

Untuk mencapai berpikir kritis, hal yang harus dilakukan adalah berpikir secara skeptis. Skeptis berbeda dengan sinis. Skeptis adalah sikap untuk selalu mempertanyakan segala sesuatu, meragukan apa yang diterima, dan mewaspadai segala kepastian agar tidak mudah ditipu. Sedangkan sinis adalah sikap yang berdasar pada ketidakpercayaan. Secara metaforis, sikap sinis dapat digambarkan seperti seorang laki-laki di tengah perempuan-perempuan cantik, tapi dia malah mencari seekor kambing yang paling buruk. Jadi, pada intinya, sikap skpetis itu adalah meragukan, sementara sikap sinis adalah ketidakpercayaan.

Tadi telah dipaparkan di atas, bahwa filsafat berusaha memberikan penjelasan tentang dunia seluruhnya, termasuk dirinya sendiri. Agar dapat meraih hal tersebut, filsafat harus menemukan radix (akar) dunia seluruhnya tersebut. Jadi berpikir radikal adalah sifat berpikir filsafat yang berikutnya.

Usaha menemukan akar dunia seluruhnya ini sangat diperlukan. Karena dengan penemuan akarnya, diharapkan, setiap persoalan ataupun permasalahan-permasalahan yang bertumbuhan di atasnya dapat disingkap. Untuk dapat menemukan akar tersebut, seorang filsuf atau seseorang yang sedang mempelajari dan mendalami filsafat perlu untuk berpikir secara radikal. Berpikir radikal merupakan cara berpikir yang tidak pernah terpaku hanya pada satu fenomena suatu entitas tertentu, dan tidak pernah berhenti hanya pada satu wujud tertentu.

Sampai di sini, kiranya, kita telah mengetahui mengapa filsafat itu bukan sesuatu yang kabur, serba rahasia, mistis, aneh, tak berguna, tak bermetoda, atau hanya sekedar lelucon yang tak bermakna atau omong kosong.

Bagi Plato (+ 427-347 SM) filsafat adalah penyelidikan tentang sebab-sebab dan asas-asas yang paling akhir dari segala sesuatu yang ada. Sementara bagi Aritoteles (+ 384-322 SM), filsafat adalah ilmu pengetahuan yang berupaya mempelajari "peri ada selaku ada" (being as being) atau "peri ada sebagaimana adanya" (being as such). Dari dua pernyataan tersebut, dapatlah diketahui bahwa "ada" merupakan objek materia dari filsafat. Karena filsafat berusaha memberikan penjelasan tentang dunia seluruhnya, termasuk dirinya sendiri, maka "ada" di sini meliputi segala sesuatu yang ada dan, bahkan, yang mungkin ada atau seluruh ada.


Peranan dan Tujuan Filsafat

Tadi telah dipaparkan bahwa filsafat merupakan suatu upaya berpikir yang jelas dan terang tentang seluruh kenyataan. Upaya ini, bagi manusia, menghasilkan beberapa peranan. Pertama, filsafat berperan sebagai pendobrak. Artinya, bahwa filsafat mendobrak keterkungkungan pikiran manusia. Dengan mempelajari dan mendalami filsafat, manusia dapat menghancurkan kebekuan, kebakuan, bahkan keterkungkungan pikirannya dengan kembali mempertanyakan segala.

Pendobrakan ini membuat manusia bebas dari kebekuan, kebakuan, dan keterkungkungan. Jadi, bagi manusia, filsafat juga memiliki peranan sebagai pembebas pikiran manusia. Maka, pembebas merupakan peranan kedua yang dimiliki filsafat bagi manusia.

Pembebasan ini membimbing manusia untuk berpikir lebih jauh, lebih mendalam, lebih kritis terhadap segala hal sehingga manusia bisa mendapatkan kejelasan dan keterangan atas seluruh kenyataan. Jadi, peranan ketiga yang dimiliki oleh filsafat bagi manusia adalah sebagai pembimbing.

Selain memiliki peranan bagi manusia, filsafat juga berperan bagi ilmu pengetahuan umumnya. Menurut Descartes (1596-1650), filsafat adalah himpunan dari segala pengetahuan yang pangkal penyelidikannya adalah mengenai Tuhan, alam dan manusia. Ia, merujuk pada Kant (1724-1804), adalah ilmu pengetahuan yang menjadi pokok dan pangkal dari segala pengetahuan. Jadi, merujuk pada dua penrnyataan tersebut, dapat dapat disimpulkan bahwa bagi ilmu pengetahuan, filsafat, memiliki peranan sebagai penghimpun pengetahuan.

Memahami perannya sebagai penghimpun, maka filsafat dapat dikatakan merupakan induk segala ilmu pengetahuan atau mater scientiarum. Bagi Bacon (1561-1626, filsafat adalah induk agung dari ilmu-ilmu. Ia menangani semua pengetahuan.

Selain sebagai induk yang menghimpun semua pengetahuan, bagi ilmu pengetahuan filsafat juga memiliki peranan lain, yakni sebagai pembantu ilmu pengetahun.

Bagi Bertrand Russell (1872-1970), filsafat adalah sebuah wilayah tak bertuan di antara ilmu pengetahuan dan teknologi, yang memiliki kemungkinan untuk menyerang
Berikut adalah pendapat yang saya tuangkan dalam bentuk beberapa bagan :
 Pengantar Filsafat

 Filsafat mempelajari

 Filsafat secara etimologi

• Manusia bisa berkembang karena nalar


• Filsafat sebagai Metode


• Etika Konsep Bentuk


Filsafat menuru Socrates Konsep manusia Api, air, udara, tanah.
 Kenapa Manusia Berifilsafat ?


- Karena manusia takjub melihat alam semesta


- Karena Ingin bertanya.


- Karena selalu ingin tahu (penasaran)


 Filsafat Bersifat kritis & etis
Karakteristik filsafat Apa yang membedakan :


1. Fundamental (mendasar) harus jelas basisnya.


2. Spekulatif


3. Universal (keseluruhan)


Filsafat Aristoteles :
- Aristologi


- Ontologi


- Epistemologi


- Aksiologi

Pengetahuan manusia berdasarkan pengalaman. Ada beberapa ciri-ciri pengetahuan yang harus di ketahui di antaranya :
1. Objektif

 

2. Secara Empiris


3. Sisrematis/tersusun


4. Analisi/terurai


(referensi : http://perkuliahan-perkuliahan.blogspot.com/2009/03/materi-kuliah-pengantar-filsafat-02.html)

Filsafat dan Ilmu Komunikasi


• Filsafat Ilmu Dalam Filsafat Komunikasi
Para ahli sepakat bahwa landasan ilmu komunikasi yang pertama adalah filsafat. Filsafat melandasi ilmu komunikasi dari domain ethos, pathos, dan logos dari teori Aristoteles dan Plato. Ethos merupakan komponen filsafat yang mengajarkan ilmuwan tentang pentingnya rambu-rambu normatif dalam pengembangan ilmu pengetahuan yang kemudian menjadi kunci utama bagi hubungan antara ilmu dan masyarakat. Pathos merupakan komponen filsafat yang menyangkut aspek emosi atau rasa yang ada dalam diri manusia sebagai makhluk yang senantiasa mencintai keindahan, penghargaan, yang dengan ini manusia berpeluang untuk melakukan improvisasi dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Logos merupakan komponen filsafat yang membimbing para ilmuwan untuk mengambil suatu keputusan berdasarkan pada pemikiran yang bersifat nalar dan rasional, yang dicirikan oleh argument-argumen yang logis.
Komponen yang lain dari filsafat adalah komponen piker, yang terdiri dari etika, logika, dan estetika, Komponen ini bersinegri dengan aspek kajian ontologi (keapaan), epistemologi (kebagaimanaan), dan aksiologi (kegunaan atau kemanfaatan).
Pada dasarnya filsafat komunikasi memberikan pengetahuan tentang kedudukan Ilmu Komunikasi dari perspektif epistemology:


a. Ontologis: What It Is?
Ontologi berarti studi tentang arti “ada” dan “berada”, tentang cirri-ciri esensial dari yang ada dalam dirinya sendiri, menurut bentuknya yang paling abstrak (Suparlan: 2005). Ontolgi sendiri berarti memahami hakikat jenis ilmu pengetahuan itu sendiri yang dalam hal ini adalah Ilmu Komunikasi.
Ilmu komunikasi dipahami melalui objek materi dan objek formal. Secara ontologism, Ilmu komunikasi sebagai objek materi dipahami sebagai sesuatu yang monoteistik pada tingkat yang paling abstrak atau yang paling tinggi sebagai sebuah kesatuan dan kesamaan sebagai makhluk atau benda. Sementara objek forma melihat Ilmu Komunikasi sebagai suatu sudut pandang (point of view), yang selanjutnya menentukan ruang lingkup studi itu sendiri.
Contoh relevan aspek ontologis Ilmu Komunikasi adalah sejarah ilmu Komunikasi, Founding Father, Teori Komunikasi, Tradisi Ilmu Komunikasi, Komunikasi Manusia, dll.


b. Epistemologis
Hakikat pribadi ilmu (Komunikasi) yaitu berkaitan dengan pengetahuan mengenai pengetahuan ilmu (Komunikasi) sendiri atau Theory of Knowledge. Persoalan utama epsitemologis Ilmu Komunikasi adalah mengenai persoalan apa yang dapat ita ketahui dan bagaimana cara mengetahuinya, “what can we know, and how do we know it?” (Lacey: 1976). Menurut Lacey, hal-hal yang terkait meliputi “belief, understanding, reson, judgement, sensation, imagination, supposing, guesting, learning, and forgetting”.
Secara sederhana sebetulnya perdebatan mengenai epistemology Ilmu Komunikasi sudah sejak kemunculan Komunikasi sebagai ilmu. Perdebatan apakah Ilmu Komunikasi adalah sebuah ilmu atau bukan sangat erat kaitannya dengan bagaimana proses penetapan suatu bidang menjadi sebuah ilmu. Dilihat sejarahnya, maka Ilmu Komunikasi dikatakan sebagai ilmu tidak terlepas dari ilmu-ilmu social yang terlebih dahulu ada. pengaruh Sosiologi dan Psikologi sangat berkontribusi atas lahirnya ilmu ini.
Bahkan nama-nama seperti Laswell, Schramm, Hovland, Freud, sangat besar pengaruhnya atas perkembangan keilmuan Komunikasi. Dan memang, Komunikasi ditelaah lebih jauh menjadi sebuah ilmu baru oada abad ke-19 di daratan Amerika yang sangat erat kaitannya dengan aspek aksiologis ilmu ini sendiri.
Contoh konkret epistemologis dalam Ilmu Komunikasi dapat dilihat dari proses perkembangan kajian keilmuan Komunikasi di Amerika (Lihat History of Communication, Griffin: 2002). Kajian Komunikasi yang dipelajari untuk kepentingan manusia pada masa peperangan semakin meneguhkan Komunikasi menjadi sebuah ilmu.

c. Aksiologis: What For?
Hakikat individual ilmu pengetahuan yang bersitaf etik terkait aspek kebermanfaat ilmu itu sendiri. Seperti yang telah disinggung pada aspek epistemologis bahwa aspek aksiologis sangat terkait dengan tujuan pragmatic filosofis yaitu azas kebermanfaatan dengan tujuan kepentingan manusia itu sendiri. Perkembangan ilmu Komunikasi erat kaitannya dengan kebutuhan manusia akan komunikasi.
Kebutuhan memengaruhi (persuasive), retoris (public speaking), spreading of information, propaganda, adalah sebagian kecil dari manfaat Ilmu Komunikasi. Secara pragmatis, aspek aksiologis dari Ilmu Komunikasi terjawab seiring perkembangan kebutuhan manusia.

• Filsafat Komunikasi Dan Penelitian Ilmu Komunikasi
Filsafat Komunikasi sangat erat kaitannya dengan metodologi penelitian :Positive, Post-Positive dan Kritis. Kesemuanya harus jelas sumber dan asumsi-asumsinya.
Metode (metodologi) ilmiah merupakan prosedur dalam mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu. Jadi ilmu merupakan pengetahuan yang didapatkan lewat metode ilmiah. Metodologi ini secara filsafati termasuk dalam apa yang dinamakan epistemologi. Epistemologi membahas mengenai: Apakah sumber pengetahuan? Apakah hakikat, jangkauan dan ruang lingkup pengetahuan? Apakah manusia dimungkinkan untuk mendapatkan pengetahuan? Sejauh mana manusia mampu menangkap pengetahuan? (Jujun S. Suriasumantri, 1984: 119)

Melalui filsafat komunikasi, dari komponen epistemologi, kita telah mengenal sejumlah metode dan model penelitian komunikasi selain teori-teori yang dilahirkan secara ontologis. Metode-metode tersebut dapat dipahami dengan menyimak tiga kelompok paham yang mengembangkan komunikasi secara falsafati.

 Positive(isme)
Asumsi dasar positivisme tentang realitas adalah tunggal, dalam artian bahwa fenomena alam dan tingkah laku manusia itu terikat oleh tertib hukum. Fokus kajian-kajian positivis adalah peristiwa sebab-akibat (Deddy Mulyana, 2001: 25). Dalam hal ini, positivisme menyebutkan, hanya ada dua jalan untuk mengetahui: pertama, verifikasi langsung melalui data pengindera (empirikal); dan kedua, penemuan lewat logika (rasional).
Pendekatan metodologi yang positivis antara lain: empirisme, rasionalisme, behavioristik, behavioral, struktural, fungsionalisme, mekanistik, deterministik, reduksionis, sistemik, dan lain-lain. Para penggagas dan pengasuh metode positive ini antara lain Paul F. Lazarsfeld, Bernard Berelson, Robert K. Merton, Wilbur Schramm, Shannon dan Weaver, dan lain-lain. Mereka-mereka itulah yang komunitasnya dikenal dengan nama Mazhab Chicago.
Metode peneltian komunikasi yang tercakup dalam paham antara lain: model mekanistis, model komunikasi Shannon dan Weaver, pendekatan behaviorisme, analisis isi klasik-kuantitatif, dan lain-lain.

Komponen-komponen pokok teori dan metodologi positivis adalah sebagai berikut:
- Metode penelitian: kuantitatif


- Sifat metode positivisme adalah obyektif.


- Penalaran: deduktif.


- Hipotetik

 

 Post-Positifisme [humanistik]
Asumsi dasar post-positivie tentang realitas adalah jamak individual. Hal itu berarti bahwa realitas (perilaku manusia) tindak tunggal melainkan hanya bisa menjelaskan dirinya sendiri menurut unit tindakan yang bersangkutan. Fokus kajian post-positivis adalah tindakan-tindakan (actions) manusia sebagai ekspresi dari sebuah keputusan.


Pendekatan metodologi penelitian kualitatif: interaksionisme simbolik, fenomenologi, etnometodologi, dramaturgi, hermeneutika, semiotika, teori feminisme, marxisme sartrian, teori kritis, pasca-strukturalisme, dekonstruktivisme, teori paska-kolonialis, dan sebagainya (Deddy Mulyana dalam Eriyanto, 2002: IV). Aliran pemahanan ini berasal dari sejumlah ilmuan, antara lain: Max Weber, Charles Horton Cooley, George Hebert Mead, William I. Thomas, Ervin Goffman, dan lain-lain.
Metode penelitian komunikasi yang tercakup dalam paham antara lain interaksionisme simbolik, analisis framing, analisis wacana, analisis semiotika, dan lain-lain.
Komponen-komponen pokok teori dan metodologi post-positivis adalah sebagai berikut:


- Metode penelitian: kualitatif


- Sifat metode post-positive: Subyektif


- Penalaran: Induktif.


- Interpretatif

 

 Kritisme
Asumsi dasar paham kritisme adalah realitas didominasi oleh status quo. Maksdunya adalah, tidak ada aspek kehidupan yang bebas dari kepentingan, termasuk ilmu pengetahuan. Kesemuanya berada dalam dominasi status quo. Aliran pemahaman kritis diinspirasi oleh pemikiran Karl Marx. Namun paham kritisme ini hanya sedikit berbicara tentang Marxisme (Sasa Djuarsa S., 1994: 392-396). Faham kritisme merupakan merupakan pilar utama mazhab frankfurt. Selanjutnya ditindaklanjuti oleh Juergen Habermas (John B. Thompson, 2004: 487). Fokus kajian mazhab Frankfurt ini adalah sistem tindakan komunikasi manusia (teori tindakan komunikasi).
Tokoh aliran ini antara lain: Max Horkheimer, Theodore Adorno, Hebert Markuz, Juergen Habermas, dan lain-lain.
Metode penelitian dalam paham ini belum populer penggunaannya dalam penelitian komunikasi. Seperti dikemukakan oleh Habermas sendiri, diskusi tentang metode dan teori tindakan komunikasi adalah proses yang tidak pernah berakhir dan sama sekali belum sampai pada suatu konsensus (Juergen Habermas, 2004: vii)

Metode Penelitian : Analisis Sejarah Sosial (Social History Analysis)
Sifat metodologi: kritisPenalaran: Dialektika Meta-theoritical Discourse
• Suatu disiplin ilmu yang menelaah pemahaman (verstehen) secara fundamental, metodologis, sistematis, analitis,kritis, dan holistik tentang teori dan proses komunikasi yang meliputi segala dimensinya (Onong U.Effendy)

• Ilmu komunikasi adalah suatu ilmu yang mempelajari usaha manusia dalam menyampaikan isi pesannya kepada manusia lain (Hoeta Soehoet)

• Menurut Richard Lanigan, Filsafat komunikasi adalah upaya menjawab pertanyaan:

a) Apa yang aku ketahui ?


b) Bagaimana aku mengetahuinya ?


c) Apakah aku yakin ?


d) Apakah aku benar ?


Cabang-cabang Filsafat
1. Metafisika
Suatu studi tentang sifat dan fungsi teori tentang realita. Dalam hubungannya teori dan proses komunikasi metafisika berkaitan dengan :
• Sifat manusia dan hubungannya secara kontekstual dan individual dengan realita.


• Sifat dan fakta bagi tujuan, perilaku, penyebab dan aturan Problema Pilihan.

 

2. Epistemologi
Merupakan suatu cara untuk mengetahui bagaimana pengetahuan, dalam hal ini teori komunikasi disusun dari bahan yang diperoleh yang dalam prosesnya menggunakan metode ilmiah. Yakni berdasarkan :
• Kerangka Pemikiran yang logis


• Penjabaran Hipotesis


• Menguji Kebenaran Hipotesis

 

3. Aksiologi


• Dalam hubungannya dengan filsafat komunikasi, aksiologi merupakan studi etika dan estetika mengenai bagaimana cara mengekspresikannya.

• Hal ini penting bagi seorang komunikator dalam kaitannya dengan proses komunikasi ketika ia mengemas pikirannya sebagai isi pesan yang ingin disampaikannya dengan menggunakan bahasa atau lambang, terlebih dahulu melakukan pertimbangan nilai, apa yang perlu disampaikan dan apa yang tidak perlu disampaikan.

4. Logika
Logika teramat penting dalam komunikasi karena suatu pemikiran harus dikomunikasikan kepada orang lain, dan yang dikomunikasikan harus merupakan putusan sebagai hasil dari proses berpikir logis
Tahapan Penyelidikan Ilmu Komunikasi
• Dalam pandangan Stephen Littlejohn, filsafat komunikasi merupakan metateori.


• Meta berarti: Di luar pengertian dan pengalaman manusia.


• Teori : seperangkat dalil / prinsip umum yang kait mengait (hipotesis yang di uji berulangkali ) mengenai aspek – aspek suatu realitas.

1. Tahap metateori
Tahap ini bersifat melakukan penyelidikan yang melebihi isi khusus dari teori tertentu.
penyelidikan di mulai dari bagaimana pengetahuan disusun:
- Apa yang akan diamati


-  Bagaimana pengamatan dilakukan


-  Bentuk teori yang bagaimana yang diambil


2. Tahap Hipotetikal


Pada teori komunikasi terdapat gambaran realitas dan pembinaan kerangka kerja pengetahuan. Pertanyaan dalam tahap ini adalah bagaimana metode dan prosedur dalam mengkaji dugaan sementara

3. Tahap Deskriptif
Timbul pernyataan – pernyataan aktual mengenai kegiatan dan penemuan – penemuan terkait. Pertanyaan dalam penelitian ini adalah menyangkut bagaimana teknik dalam melakukan pengujian hipotesis sebagai penilaian yang objektif .

Asumsi – asumsi Epistimologikal


o Rasionalisme
Pengetahuan timbul dari kekuatan pikiran manusia


o Empirisme
Pengetahuan muncul dalam persepsi yang berarti melihat apa yang terjadi


o Konstruktivisme
Pengetahuan diciptakan seseorang agar berfungsi bagi hidupnya


o Konstruktivisme Sosial
Pengetahuan merupakan produk dari interaksi simbolik (kehidupan kelompok / budaya)

Komunikasi sebagai Sebuah Ilmu
Syarat-syarat Ilmu:
1. Suatu ilmu harus mempunyai objek kajian.


2. Objek kajiannya terdiri dari satu golongan masalah yang sama tabiatnya baik dilihat dari dalam maupun dari luar.


3. Keterangan mengenai objek kajian tersebut dapat disusun dalam rangkaian hubungan sebab akibat.

• Objek kajian Ilmu Komunikasi adalah “usaha manusia dalam menyampaikan isi pesannya kepada manusia lain”.


• Objek kajian ilmu komunikasi terdiri dari satu golongan masalah, yaitu bagaimana usaha manusia menyampaikan isi pesannya kepada manusia lain, bukan usaha manusia mencari nafkah, bukan usaha manusia mencari keadilan, dan lain-lain.


• Ilmu komunikasi jg mempunyai satu golongan masalah yang sama tabiatnya maupun menurut kedudukannya tampak dari luar maupun menurut bangunnya baik dilihat dari dalam. Pelaku komunikasi adalah manusia secara sadar melakukan proses makna

Pelaku komunikasi adalah manusia secara sadar melakukan proses makn, berikut adalalah bagan tentang Intersionalisme Simbolik.

Mead Mind, self & Sosiety
1. Kebohongan terstrukutur


2. Penipuan Di sengaja


- Kebenaran tergantung konteks


- Kebenaran ilmiah Kebenaran berdasarkan Ilmiah


- Koherensi Di uji dengan realita di lihat dengan indra


Contoh : Api itu panas, Garam itu asin


3. Tidak Jujur Contoh : Media (dalam filsafat komunikasi di katakan sebuah kebenaran.
- Interpretasi
Penilaian subjektif makna harus di interpretasikan supaya benar.

 

(http://catatan-anakfikom.blogspot.com/2012/03/filsafat-komunikasi-dan-ilmu-komunikasi.html)


Materi Kebenaran
Kebenaran adalah satu nilai utama di dalam kehidupan human. Sebagai nilai-nilai yang menjadi fungsi rohani manusia. Artinya sifat manusiawi atau martabat kemanusiaan (human dignity) selalu berusaha “memeluk” suatu kebenaran.


A. Pengertian Kebenaran dan Tingkatannya
Berdasarkan scope potensi subjek, maka susunan tingkatan kebenaran itu menjadi :


1. Tingkatan kebenaran indera adalah tingakatan yang paling sederhanan dan pertama yang dialami manusia


2. Tingkatan ilmiah, pengalaman-pengalaman yang didasarkan disamping melalui indara, diolah pula dengan rasio


3. Tingkat filosofis,rasio dan pikir murni, renungan yang mendalam mengolah kebenaran itu semakin tinggi nilainya


4. Tingkatan religius, kebenaran mutlak yang bersumber dari Tuhan yang Maha Esa dan dihayati oleh kepribadian dengan integritas dengan iman dan kepercayaan
Manusia selalu mencari kebenaran, jika manusia mengerti dan memahami kebenaran, sifat asasinya terdorong pula untuk melaksankan kebenaran itu. Sebaliknya pengetahuan dan pemahaman tentang kebenran, tanpa melaksankan konflik kebenaran, manusia akan mengalami pertentangan batin, konflik spilogis. Karena di dalam kehidupan manusia sesuatu yang dilakukan harus diiringi akan kebenaran dalam jalan hidup yang dijalaninya dan manusia juga tidak akan bosan untuk mencari kenyataan dalam hidupnya yang dimana selalu ditunjukkan oleh kebanaran.


B. Teori-Teori Kebenaran Menurut Filsafat
1. Teori Corespondence ï‚® menerangkan bahwa kebenaran atau sesuatu kedaan benar itu terbukti benar bila ada kesesuaian antara arti yang dimaksud suatu pernyataan atau pendapat dengan objek yang dituju/ dimaksud oleh pernyataan atau pendapat tersebut.


2. Teori Consistency ï‚® Teori ini merupakan suatu usah apengujian (test) atas arti kebenaran. Hasil test dan eksperimen dianggap relible jika kesan-kesanyang berturut-turut dari satu penyelidik bersifat konsisten dengan hasil test eksperimen yang dilakukan penyelidik lain dalam waktu dan tempat yang lain.


3. Teori Pragmatisme ï‚® Paragmatisme menguji kebenaran dalam praktek yang dikenal apra pendidik sebagai metode project atau medoe problem olving dai dalam pengajaran. Mereka akan benar-benar hanya jika mereka berguna mampu memecahkan problem yang ada. Artinya sesuatu itu benar, jika mengmbalikan pribadi manusia di dalamkeseimbangan dalam keadaan tanpa persoalan dan kesulitan. Sebab tujuan utama pragmatisme ialah supaya manusia selalu ada di dalam keseimbangan, untuk ini manusia harus mampu melakukan penyesuaian dengan tuntutan-tuntutan lingkungan.


4. Kebenaran Religius ï‚® Kebenaran tak cukup hanya diukur dnenga rasion dan kemauan individu. Kebenaran bersifat objective, universal,berlaku bagi seluruh umat manusia, karena kebenaran ini secara antalogis dan oxiologis bersumber dari Tuhan yang disampaikan melalui wahyu.
Pendidikan pada umumnya dan ilmu pengetahuan pada khususnya mengemban tugas utama untuk menemukan, pengembangan, menjelaskan, menyampaikan nilai-nilai kebenaran. Semua orang yang berhasrat untuk mencintai kebenaran, bertindak sesuai dengan kebenaran. Kebenaran adalah satu nilai utama di dalam kehidupan human. Sebagai nilai-nilai yang menjadi fungsi rohani manusia. Artinya sifat manusiawi atau martabat kemanusiaan (human dignity) selalu berusaha “memeluk” suatu kebenaran.
Kebenaran sebagai ruang lingkup dan obyek pikir manusia sudah lama menjadi penyelidikan manusia. Manusia sepanjang sejarah kebudayaannya menyelidiki secara terus menerus apakah hakekat kebenaran itu?
Jika manusia mengerti dan memahami kebenaran, sifat asasinya terdorong pula untuk melaksanakan kebenaran itu. Sebaliknya pengetahuan dan pemahaman tentang kebenaran, tanpa melaksanakan kebenaran tersebut manusia akan mengalami pertentangan batin, konflik spikologis. Menurut para ahli filsafat itu bertingkat-tingkat bahkan tingkat-tingkat tersebut bersifat hirarkhis. Kebenaran yang satu di bawah kebenaran yang lain tingkatan kualitasnya ada kebenaran relatif, ada kebenaran mutlak (absolut). Ada kebenaran alami dan ada pula kebenaran illahi, ada kebenaran khusus individual, ada pula kebenaran umum universal.
A. Pengertian Kebenaran dan Tingkatannya


Dalam kehidupan manusia, kebenaran adalah fungsi rohaniah. Manusia di dalam kepribadian dan kesadarannya tak mungkin tnapa kebanran.
Berdasarkan scope potensi subjek, maka susunan tingkatan kebenaran itu menjadi :


- Tingkatan kebenaran indera adalah tingakatan yang paling sederhanan dan pertama yang dialami manusia


- Tingkatan ilmiah, pengalaman-pengalaman yang didasarkan disamping melalui indara, diolah pula dengan rasio


- Tingkat filosofis,rasio dan pikir murni, renungan yang mendalam mengolah kebenaran itu semakin tinggi nilainya


- Tingkatan religius, kebenaran mutlak yang bersumber dari Tuhan yang Maha Esa dan dihayati oleh kepribadian dengan integritas dengan iman dan kepercayaan.


Keempat tingkat kebenarna ini berbeda-beda wujud, sifat dan kualitasnya bahkan juga proses dan cara terjadinya, disamping potensi subyek yang menyadarinya. Potensi subyek yang dimaksud disini ialah aspek kepribadian yang menangkap kebenarna itu. Misalnya pada tingkat kebenaran indera, potensi subyek yang menangkapnya ialah panca indra.
Kebenaran itu ialah fungsi kejiwaan, fungsi rohaniah. Manusia selalu mencari kebanran itu, membina dan menyempurnakannya sejalan dengan kematangan kepribadiannya.
Ukuran Kebenarannya :


– Berfikir merupakan suatu aktifitas manusia untuk menemukan kebenaran


– Apa yang disebut benar oleh seseorang belum tentu benar bagi orang lain


– Oleh karena itu diperlukan suatu ukuran atau kriteria kebenaran


Jenis-jenis Kebenaran :
1. Kebenaran Epistemologi (berkaitan dengan pengetahuan)


2. Kebenaran ontologis (berkaitan dengan sesuatu yang ada/ diadakan)


3. Kebenaran semantis (berkaitan dengan bahasa dan tutur kata)


Manusia selalu mencari kebenaran, jika manusia mengerti dan memahami kebenaran, sifat asasinya terdorong pula untuk melaksankan kebenaran itu. Sebaliknya pengetahuan dan pemahaman tentang kebenran, tanpa melaksankan konflik kebenaran, manusia akan mengalami pertentangan batin, konflik spilogis. Karena di dalam kehidupan manusia sesuatu yang dilakukan harus diiringi akan kebenaran dalam jalan hidup yang dijalaninya dan manusia juga tidak akan bosan untuk mencari kenyataan dalam hidupnya yang dimana selalu ditunjukkan oleh kebanaran.
Kebenaran agama yang ditangkap dengan seluruh kepribadian, terutama oleh budi nurani merupakan puncak kesadaran manusia. Hal ini bukan saja karena sumber kebnarna itu bersal dari Tuhan Yang Maha Esa supernatural melainkan juga karena yang menerima kebenaran ini adalah satu subyek dengna integritas kepribadian. Nilai kebenaran agama menduduki status tertinggi karena wujud kebenaran ini ditangkap oleh integritas kepribadian. Seluruh tingkat pengalaman, yakni pengalaman ilmiah, dan pengalaman filosofis terhimpun pada puncak kesadaran religius yang dimana di dalam kebenaran ini mengandung tujuan hidup manusia dan sangat berarti untuk dijalankan oleh manusia.
Teori-Teori Kebenaran Menurut Filsafat


1. Teori Corespondence
Masalah kebenaran menurut teori ini hanyalah perbandingan antara realita oyek (informasi, fakta, peristiwa, pendapat) dengan apa yang ditangkap oleh subjek (ide, kesan). Jika ide atau kesan yang dihayati subjek (pribadi) sesuai dengan kenyataan, realita, objek, maka sesuatu itu benar.
Teori korispodensi (corespondence theory of truth) ï‚® menerangkan bahwa kebenaran atau sesuatu kedaan benar itu terbukti benar bila ada kesesuaian antara arti yang dimaksud suatu pernyataan atau pendapat dengan objek yang dituju/ dimaksud oleh pernyataan atau pendapat tersebut.
Kebenaran adalah kesesuaian pernyataan dengan fakta, yang berselaran dengan realitas yang serasi dengan sitasi aktual. Dengan demikian ada lima unsur yang perlu yaitu :


1. Statemaent (pernyataan)


2. Persesuaian (agreemant)


3. Situasi (situation)


4. Kenyataan (realitas)


5. Putusan (judgements)


Kebenaran adalah fidelity to objektive reality (kesesuaian pikiran dengan kenyataan). Teori ini dianut oleh aliran realis. Pelopornya plato, aristotels dan moore dikembangkan lebih lanjut oleh Ibnu Sina, Thomas Aquinas di abad skolatik, serta oleh Berrand Russel pada abad moderen.


Cara berfikir ilmiah yaitu logika induktif menggunakan teori korespodensi ini. Teori kebenaran menuru corespondensi ini sudah ada di dalam masyarakat sehingga pendidikan moral bagi anak-anak ialah pemahaman atas pengertian-pengertian moral yang telah merupakan kebenaran itu. Apa yang diajarkan oleh nilai-nilai moral ini harus diartikan sebagai dasar bagi tindakan-tindakan anak di dalam tingkah lakunya.


Artinya anak harus mewujudkan di dalam kenyataan hidup, sesuai dengan nilai-nilai moral itu. Bahkan anak harus mampu mengerti hubungan antara peristiwa-peristiwa di dalam kenyataan dengan nilai-nilai moral itu dan menilai adakah kesesuaian atau tidak sehingga kebenaran berwujud sebagai nilai standard atau asas normatif bagi tingkah laku. Apa yang ada di dalam subyek (ide, kesan) termasuk tingkah laku harus dicocokkan dengan apa yang ada di luar subyek (realita, obyek, nilai-nilai) bila sesuai maka itu benar.


2. Teori Consistency
Teori ini merupakan suatu usah apengujian (test) atas arti kebenaran. Hasil test dan eksperimen dianggap relible jika kesan-kesanyang berturut-turut dari satu penyelidik bersifat konsisten dengan hasil test eksperimen yang dilakukan penyelidik lain dalam waktu dan tempat yang lain.


Menurut teori consistency untuk menetapkan suatu kebenarna bukanlah didasarkan atas hubungan subyek dengan realitas obyek. Sebab apabila didasarkan atas hubungan subyek (ide, kesannya dan comprehensionnya) dengan obyek, pastilah ada subyektivitasnya. Oleh karena itu pemahaman subyek yang satu tentang sesuatu realitas akan mungkin sekali berbeda dengan apa yang ada di dalam pemahaman subyek lain.


Teori ini dipandang sebagai teori ilmiah yaitu sebagai usaha yang sering dilakukan di dalam penelitian pendidikan khsusunya di dalam bidang pengukuran pendidikan.


Teori konsisten ini tidaklah bertentangan dengan teori korespondensi. Kedua teori ini lebih bersifat melengkapi. Teori konsistensi adalah pendalaman dankelanjutan yang teliti dan teori korespondensi. Teori korespondensi merupakan pernyataan dari arti kebenaran. Sedah teori konsistensi merupakan usaha pengujian (test) atas arti kebenaran tadi.


Teori koherensi (the coherence theory of trut) menganggap suatu pernyataan benar bila di dalamnya tidak ada perntentangan, bersifat koheren dan konsisten dengna pernyataan sebelumnya yang telah dianggap benar. Dengan demikian suatu pernyataan dianggap benar, jika pernyataan itu dilaksanakan atas pertimbangan yang konsisten dan pertimbangan lain yang telah diterima kebenarannya.


Rumusan kebenaran adalah turth is a sistematis coherence dan trut is consistency. Jika A = B dan B = C maka A = C
Logika matematik yang deduktif memakai teori kebenaran koherensi ini. Logika ini menjelaskan bahwa kesimpulan akan benar, jika premis-premis yang digunakan juga benar. Teori ini digunakan oleh aliran metafisikus rasional dan idealis.
Teori ini sudah ada sejak Pra Socrates, kemudian dikembangan oleh Benedictus Spinoza dan George Hegel. Suatu teori dianggapbenar apabila telah dibuktikan (klasifikasi) benar dan tahan uji. Kalau teori ini bertentangan dengan data terbaru yagn benar atau dengan teori lama yang benar, maka teori itu akan gugur atau batal dengan sendirinya.


3. Teori Pragmatisme
Paragmatisme menguji kebenaran dalam praktek yang dikenal apra pendidik sebagai metode project atau medoe problem olving dai dalam pengajaran. Mereka akan benar-benar hanya jika mereka berguna mampu memecahkan problem yang ada. Artinya sesuatu itu benar, jika mengmbalikan pribadi manusia di dalamkeseimbangan dalam keadaan tanpa persoalan dan kesulitan. Sebab tujuan utama pragmatisme ialah supaya manusia selalu ada di dalam keseimbangan, untuk ini manusia harus mampu melakukan penyesuaian dengan tuntutan-tuntutan lingkungan.
Dalam dunia pendidikan, suatu teori akan benar jika ia membuat segala sesutu menjadi lebih jelas dan mampu mengembalikan kontinuitas pengajaran, jika tidak, teori ini salah.
Jika teori itu praktis, mampu memecahkan problem secara tepat barulah teori itu benar. Yang dapat secara efektif memecahkan masalah itulah teori yang benar (kebenaran).
Teori pragmatisme (the pragmatic theory of truth) menganggap suatu pernyataan, teori atau dalil itu memliki kebanran bila memiliki kegunaan dan manfaat bagi kehidupan manusia.
Kaum pragmatis menggunakan kriteria kebenarannya dengan kegunaan (utility) dapat dikerjakan (workobility) dan akibat yagn memuaskan (satisfaktor consequence). Oleh karena itu tidak ada kebenaran yang mutak/ tetap, kebenarannya tergantung pada manfaat dan akibatnya.


Akibat/ hasil yang memuaskan bagi kaum pragmatis adalah :


1. Sesuai dengan keinginan dan tujuan


2. Sesuai dengan teruji dengan suatu eksperimen


3. Ikut membantu dan mendorong perjuangan untuk tetap eksis (ada)


Teori ini merupakan sumbangan paling nyata dari pada filsup Amerika tokohnya adalha Charles S. Pierce (1914-1939) dan diikuti oleh Wiliam James dan John Dewey (1852-1859).


Wiliam James misalnya menekankan bahwa suatu ide itu benar terletak pada konsikuensi, pada hasil tindakan yang dilakukan. Bagi Dewey konsikasi tidaklah terletak di dalam ide itu sendiri, malainkan dalam hubungan ide dengan konsekuensinya setelah dilakukan. Teory Dewey bukanlah mengerti obyek secara langsung (teori korepondensi) atau cara tak langsung melalui kesan-kesan dari pada realita (teori konsistensi). Melainkan mengerti segala sesuai melalui praktek di dalam program solving.


4. Kebenaran Religius
Kebenaran adalah kesan subjek tentang suatu realita, dan perbandingan antara kesan dengan realita objek. Jika keduanya ada persesuaian, persamaan maka itu benar.
Kebenaran tak cukup hanya diukur dnenga rasion dan kemauan individu. Kebenaran bersifat objective, universal,berlaku bagi seluruh umat manusia, karena kebenaran ini secara antalogis dan oxiologis bersumber dari Tuhan yang disampaikan melalui wahyu.
Nilai kebenaran mutlak yang bersumber dari Tuhan itu adalah objektif namun bersifat superrasional dan superindividual. Bahkan bagi kaum religius kebenarn aillahi ini adalah kebenarna tertinggi, dimnaa semuakebanaran (kebenaran inderan, kebenaran ilmiah, kebenaran filosofis) taraf dan nilainya berada di bawah kebanaran ini :


Agama sebagai teori kebenaran
Ketiga teori kebenaran sebelumnya menggunakan alat, budi,fakta, realitas dan kegunaan sebagai landasannya. Dalam teori kebanran agama digunakan wahyu yang bersumber dari Tuhan. Sebagai makluk pencari kebeanran, manusia dan mencari dan menemukan kebenaran melalui agama. Dengan demikian, sesuatu dianggap benar bila sesuai dan koheren dengan

Kategori

  • Masih Kosong

Blogroll

  • Masih Kosong